"Tolong ceraikan aku!" pinta Vivian.
"Bercerai? Hahaha...kau milikku sayang," balasan yang terdengar renyah tersebut terlontar dari bibir Maximilian Windsor, seorang aktor sekaligus suami di depannya. Max menatap bola mata coklat yang selalu terlihat membara. Sementara Vivian beberapa kali menelan Saliva, kesal karena tubuhnya terus dihimpit disudut yang sempit. "Sudah kukatakan lepaskan aku! Tidakkah kau sadar sikap obsesimu itu hampir membunuhku!" "Membunuh? Kau tidak boleh terbunuh, permainannya akan jadi membosankan tanpamu." Vivian benar-benar emosi, pikirannya berkali-kali menyuruhnya untuk memberi tamparan pada suaminya. Disamping itu jari-jemari Max perlahan meraba ujung kening Vivian, sembari menggerakkan ibu jari dengan pandangan yang saling terkunci. "Dengarkan aku baik-baik, malam ini dan seterusnya, kau akan terus bersamaku. Jika kau mencoba kabur, tunggu saja hadiah apa yang akan ku berikan padamu." Deg Mendengar ancaman itu, dada Vivian terasa di dobrak. Pikirannya tiba-tiba melintasi waktu, teringat saat-saat dimana rencana pernikahan disampaikan padanya. Tiga setengah bulan yang lalu... Malam ini, setelah mengikat rambut dengan tali, Vivian berniat mengerjakan tugas kuliah sambil menikmati secangkir kopi. Namun saat gadis itu hendak membuka laptop, tiba-tiba pintu kamar terbuka. Di sana, sang ibu muncul dengan wajah tertunduk lesu. "An, papa mau bicara sebentar, tidak apa-apa?" tanya Evelyn dengan selendang yang melingkar dipundaknya. "Tidak ma, sebentar, aku akan segera kesana," jawab Vivian, dia langsung menutup kembali laptopnya secepat kilat. Di ruang tengah, William duduk dengan wajah serius. Vivian mendekati kedua orang tuanya yang sedang menunggu, lalu duduk dihadapan mereka. Terlihat William mengusap beberapa kali wajahnya, ada kekhawatiran dan ketidakmampuan yang tergambar dalam raut wajah sang ayah. "An, kamu ingin cuti kuliah tidak?" tanya William. "Enggak pa, memangnya kenapa?" Vivian secara bergantian melihat ayah dan ibunya. "Sebelumnya Papa minta maaf, Papa bukan sengaja membuatmu menderita atau apapun itu, Papa hanya..." William tak kuat meneruskan kalimatnya. Evelyn lantas mengusap tangan sang suami untuk menguatkan. "Pah, mah ada apa?" Alis Vivian berkerut bingung. William mengusap kedua ujung matanya beberapa kali, terlihat berusaha kuat. "Papa mendapat perintah untuk menjadikanmu menantu seseorang," ucap William dengan berat hati. "Apa?" Sontak mendengar ucapan tersebut, bola mata gadis itu membulat sempurna. "Tapi aku kan sedang kuliah pah, kenapa Papah tidak menolaknya saja?" Tanpa sadar Vivian meninggikan suara. "Sayang, hanya dua sampai tiga bulan saja, setelah itu kamu bisa bebas sesukamu." Evelyn menambahkan. "Papa mempunyai utang kepadanya untuk pengobatan Van dahulu, Papa jadi tidak bisa menolaknya sembarangan, jika seandainya kamu tidak mau, untuk sementara Papa akan meminjam dulu dari teman papa yang lain untuk melunasinya." Lagi-lagi pinjaman, Vivian tak setuju dengan solusi itu. "Memang berapa jumlah utang Papa? aku punya sedikit tabungan di rekeningku, mungkin cukup untuk melunasinya." "Cukup besar, mungkin kita bisa membayarnya hanya dengan menjual rumah ini." Mendengar hal itu Vivian langsung termenung, jelas tabungannya tak akan mampu menutupi utang itu. "Sudahlah ini memang tidak masuk akal, Papa akan bicarakan lagi dengan atasan Papa." "Pah, apakah dengan aku menikah, utang papa akan lunas?" "Hanya setengah utang papa yang akan lunas, sisanya Papa akan mencicil semampu Papa, Papa akan bekerja keras untuk meningkatkan produk perusahaan kita, Papa hanya membutuhkan sedikit waktu saja." Suara William terdengar pasrah. Setelah berpikir sejenak, Vivian telah mengambil keputusan. "Papa aku akan menikah saja, tapi apakah Papa bisa berjanji padaku satu hal?" William mengangguk, dia tak berani memandang putrinya. "Jangan berutang lagi, Papa bisa berjanji satu hal itu kan?" Vivian menodongkan jari kelingkingnya, sama seperti dulu saat Vivian membuat janji dengan setiap anggota keluarga. William membalas jari kelingking tersebut dengan wajah penuh haru. "Papa janji." Sementara Evelyn telah berada di samping Vivian bersiap untuk memeluk putrinya. Sambil meraih tubuh kecil Vivian, Evelyn berbisik pelan. "An, tunggulah sampai dua atau tiga bulan, jika kamu tidak menyukai pria itu, langsung ceraikan saja dia, Mama akan selalu mendukungmu apapun keputusanmu, tapi tolong untuk dua bulan setidaknya kamu harus bertahan, kami disini akan berusaha membebaskan mu," ucap Evelyn sambil mengusap rambut putrinya. "Ya, aku akan melakukan sesuai kemauanku, jangan berutang lagi!" tegas Vivian kembali sembari membalas pelukan sang ibu. "Besok, kita akan menemui calon suamimu, tidurlah sekarang kamu pasti lelah." Vivian mengangguk, lalu meninggalkan kedua orang tuanya menuju kamar. Setelah malam penuh kebimbangan itu berlalu, di ruang kamar, Vivian sedang memikirkan rencana mendadak untuk menyelamatkan hidupnya. "Menikah." Dalam pikiran Vivian, pernikahan hanyalah sebuah ikatan antara seorang laki-laki dan perempuan, tak lebih dari itu. Rencana awal yang sempat Vivian pikirkan ketika menjalin hubungan dengan calon suaminya adalah usaha untuk menjalin kerja sama yang akan menguntungkan kedua belah pihak. Lantas Vivian mengambil pena lalu mencoret kertas dalam bentuk poin-poin berisi rangkaian rencana yang akan dia lakukan nanti. "Sempurna, esok akan ku jalankan rencana ini."Keesokan hari, di sebuah hotel ternama, Max terbangun akibat cahaya yang memancar dari celah tirai jendela kamar.Tring!!!Dering ponsel tiba-tiba berbunyi. Max meraba-raba meja untuk meraih ponsel dengan segera. "Halo," ucap Max dengan suara serak, bahkan matanya masih tertutup tak mau terbuka."Papa tunggu di kafe Dellie jam 8, tak ada alasan untuk kau telat," ucap dari seberang sana. Max langsung menutup panggilan tersebut, tak ada yang penting dari perintah pria tua itu. Dia menjatuhkan kepalanya lagi, melanjutkan kembali tidur paginya dengan tenang. Ting... Sebuah bunyi pesan tiba-tiba muncul. Seperti biasa mungkin Laura telah mengirimi foto cantik kepadanya, lantas Max mengambil ponsel lagi untuk membuka pesan tersebut. Matanya memicing, namun saat dilihat tak ada satupun pesan yang dapat diterima dari sang kekasih. Berlainan dengan sang ayah, puluhan pesan berjejer di layar ponsel. Dengan asal Max menggulir pesan tersebut sampai tiba matanya menangkap satu pesan yang berha
Keesokan hari, dikediaman Windsor ...Brak! Sebuah kendi berhasil dilempar dengan sempurna hingga pecahannya berserakan di mana-mana."Pa, bisakah Papa diam saja, jangan urusi kehidupanku!" bentak Max. Nafasnya terengah-engah dengan emosi yang tertahan. Luka akibat pecahan kaca di tangannya bahkan masih meneteskan darah kental, menggenang di lantai.Jun hanya duduk sembari menyaksikan amukan sang anak. "Kehidupanmu? Kau tahu, nama Windsor hampir ternodai karena siapa?" Jun mulai berdiri, mendekati sang putra dengan langkah pasti."Tck, itu karena Papa yang selalu mencampuri urusanku!" Max tak kalah mengeraskan suaranya."Kau pikir Papa begini karena apa? Kau pasti lebih tahu tentang bagaimana keluarga Laura. Seperti ini kah caramu menjatuhkan nama Windsor!" Bola mata yang tampak membara tak lepas tertuju pada Jun, seiring langkah demi langkah yang semakin dekat dengan sang anak.Tak... Tak...Langkah tenang terhenti tepat didepan Max. Kedua tangan Jun dilipat di depan dada sambil m
PAGI HARI...Suara merdu kicau burung menyapa dari balik jendela. Bersamaan dengan itu, seorang wanita cantik baru terbangun dari tidurnya dengan tangan yang masih menggantung, disertai rasa sakit dan pegal di sekujur tubuh."Akh..." rintih Vivian. Wanita itu melihat pergelangan tangannya yang masih menggantung sambil berusaha melepas ikatan kain itu secara perlahan.Cklek...Seorang pria keluar dari kamar mandi dengan dibalut sehelai kain handuk yang melingkar di pinggangnya. Sambil mengeringkan rambut dengan acak, tiba-tiba pandangan pria itu langsung tertuju pada wanita yang masih menggantung di sudut ruangan, terlihat sedang berusaha dengan tubuh lemas dan kelelahan.Melihat pemandangan itu, tiba-tiba sudut bibir Max terangkat, melihat istrinya menderita, membuatnya puas dan bangga."Pfftt...dia berusaha?" batin Max ingin tertawa.Dengan langkah panjang, Max mengambil pengering rambut tanpa menghiraukan Vivian sedikit pun, membiarkan tubuh wanita yang lemah itu berusaha sekuat ten
Pagi hari...Kicau burung pipit terlantun indah dalam dinginnya suasana pagi. Tirai putih berkibar membangunkan seorang wanita yang terbaring lemah di atas ranjang."An! An!"Perlahan Vivian membuka mata, ketika matanya memicing, terlihat samar beberapa wajah yang tengah mengerumuninya. Dengan pelan dia menarik badan lalu membenarkan posisinya."Akh..." rintih Vivian merasakan denyutan di kepala."Tidurlah, jangan bergerak, nanti kamu pusing lagi,...haish...kamu ini bagaimana di hari pertama sudah sakit begini," ucap Evelyn sambil memberikan perhatian.Vivian menyandarkan kepala sambil memejamkan mata untuk beberapa detik.Bagai pelangi yang datang setelah badai, Vivian menghembuskan nafas lega setelah melihat sang ibunda yang tengah mengkhawatirkan dirinya. Entah ke mana hilangnya rasa takut yang kian menghantui setiap kali melihat pria yang berstatus sebagai suaminya itu, sekarang tak ada yang perlu Vivian takuti lagi, semua penderitaan ini sudah selesai sampai di sini.Air mata Viv
Vivian termenung sembari memainkan ibu jari, dia benar-benar yakin apa yang dirasakan kemarin adalah nyata, bukan sekedar mimpi bahkan ilusi, semuanya nyata dengan rasa yang begitu jelas.Vivian menatap pergelangan tangan yang tiba-tiba terlihat baik-baik saja, masih belum percaya dengan semua yang dia lihat saat ini."Rasa sakitnya bahkan masih terasa," batin Vivian sembari menatap pergelangan tangan.Tanpa terasa berjam-jam berlalu, namun kesimpulan yang mesti Vivian dapatkan masih belum dia temukan.Cklek...Wanita itu menoleh menatap seseorang di awang pintu, tengah melangkah menghampirinya. "Vivian Mama pulang dulu ya, cepat sembuh ya sayang, Mama akan merindukanmu," ucap Evelyn sembari memberi kecupan di kening sebagai tanda perpisahan.Setelah memberi hujan kecupan, Evelyn membenarkan tasnya sembari berbalik meninggalkan Vivian sendiri duduk di atas ranjang dengan tatapan kosong."Mama..." Mendengar satu kata itu Evelyn menoleh melihat putri tercintanya terdiam dengan tetesan
Vivian terbelalak mendengar ucapan suaminya. Seketika wanita itu merangkak mundur, berusaha menjauhkan diri dengan degup dada yang berpacu semakin cepat.Bagaimana pun dia harus menemukan celah untuk pergi. Dia coba menoleh kanan kiri berharap ada sedikit ruang untuk bisa keluar, namun naas pria itu sudah menunjukkan seringai di wajahnya, senyum smirk has yang terukir, benar-benar mengingatkannya pada kejadian kelam beberapa hari lalu."Bodoh!" pekik Vivian dalam hati.Set!Max menarik lengan Vivian dengan kasar, menyeret wanita itu menuju toilet.Bugh!Vivian terbanting membentur dinding."Akh!" Senyum puas terukir kembali di wajah Max. Tanpa ragu Max menekan shower hingga semburan air mengucur deras tepat di pucuk kepala istrinya. Tubuh Vivian kini terasa sakit lagi. Perih dia rasakan di pergelangan tangan dan sedikit demi sedikit, luka itu mulai terlihat lagi. Memar ungu terlihat mengerikan menggenang di kedua pergelangan tangan."Ini..." gumam Vivian.Apa yang wanita itu lihat d
Tawa dan canda ringan terlontar di antara mereka. Rayuan dan tingkah manis kerap didengar Vivian, bergema di sekitar telinganya."Dia siapa?"Vivian menatap nanar lantai toilet dengan wajah sembab. Ternyata, di luar dugaan, Max bisa bersikap manis, namun jika seandainya Max bisa bahagia hanya dengan bertemu wanita itu saja, mengapa pria itu harus menyiksa Vivian yang tak tahu apa-apa?Kesal dan marah sekilas terbersit, begitu pun malaikat maut, mungkin merasakan hal yang sama, menanti Vivian yang hendak mati namun tak jadi, dan semua hal itu tentu berkat pria biadab bernama Maximilian Windsor."Huh...bodoh."Vivian menekuk kedua lututnya, menenggelamkan wajah sedalam-dalamnya. Rasa tubuh kian tak beraturan, dingin, panas, gerah, bersatu dalam satu rasa. Saluran pernafasan terus mengeluarkan hembusan panas, namun tubuh kecilnya tak bisa merasakan udara panas itu, dari ujung kepala hingga ujung kaki semua rata pucat, bagai seorang yang enggan hidup mati pun tak mau."Aku ingin pulang."
Suara lemah, terucap halus dari bibir kecil wanita cantik yang tengah terbaring."Mah."Suara yang nyaris tak terdengar, terlantun samar. Ketika menantu satu-satunya berucap, pandangan Sophie langsung berbalik tertuju pada wanita itu. Dengan cepat Sophie mendekati Vivian untuk melihat kembali kondisinya."Vivian," panggil Sophie dengan halus, sembari meraba kening, memastikan apakah menantunya telah sadar atau hanya sekedar mengigau."Mah..." panggil Vivian kembali, sambil menunjukkan sedikit kerutan kening seperti merasakan nyeri dari dalam."Max pegang ini, ambilkan kompres nya, Mama mau liat Vivian dulu," ucap Sophie sigap memberikan mangkuk yang dia pegang kepada putranya.Max menerima mangkuk tersebut dan langsung mengambil alih menyiapkan kompresan.Tak... Tak...Langkah panjang terdengar jelas menggema di penjuru ruangan. Max memegang hendel pintu toilet, dan ketika pintu itu sedikit terbuka, sekilas mata elangnya menoleh ke arah sang ibu. Bagai kilat, pandangan singkat itu lan
Sorot mata kosong kerap terlihat. Tubuhnya bersandar pada tembok, sangat putus asa seperti tak memiliki harapan untuk hidup. "Max jangan begini lagi, tolong demi mama, mama tak bisa hidup jika kau pergi juga." Seolah tak bisa mendengar, Max memejamkan mata. Waktu terasa lama sekali, telinganya tak ingin mendengar apapun, hanya ingin menghilang dan menghilang begitulah pikirnya. Justin yang melihat kejadian itu hanya bisa mematung terkejut. Rasanya seperti mendengar kabar kematian River dahulu, seketika membuat ujung kaki sampai ujung kepala dibuat lemas karenanya. "Jangan sampai, dia ikut pergi juga." Justin segera memanggil beberapa pelayan, dan begitu mereka datang "Bersihkan seluruh benda tajam dikamar ini termasuk benda yang mudah pecah, jangan ada yang tersisa!" Justin langsung pergi menuju ruang tamu, dia merebahkan diri sambil berusaha mengangkat ponsel yang terus menerus mengeluarkan nada pesan. "Haa... Dasar anj***," pekik Justin saat beratus pesan muncul setelah mereba
Dua hari telah berlalu sejak kepergian sang istri. Sejak itu pula Max tidak pernah menunjukan diri, dia tetap berada di ruang kamar sembari menanti kedatangan Vivian setiap hari. Dalam sunyi, Max memandang foto satu-satunya bersama sang istri. Senyum cantik yang terukir indah itu dia elus dengan lembut. "An... Apakah kau marah? Aku menunggumu sejak kemarin, apakah kau tidak ingin menemui ku lagi?" "Siapa yang perlu ku bunuh agar kau kembali, siapa yang harus ku marahi agar kau senang, tolong beritahu aku agar aku bisa melakukannya untukmu." Dengan pandangan kosong Max tersenyum gila, dan disaat itu tiba-tiba... Cklek... Seorang pria datang dengan nampan berisi makanan. "Max, makanlah kau belum makan apapun sejak kemarin." Justin menyimpan nampan diatas meja sementara Max tak bergerak seolah tak merasakan kehadiran siapapun. Justin melihat setiap sudut kamar yang dipenuhi pecahan kaca dan benda hias lainnya. Padahal baru saja kemarin para pelayan membersihkan kekacauan yang dibu
Dibelahan tempat lain, semua prajurit telah berbaris rapi. Tegap sempurna mendengarkan komando dengan seksama. "Tim satu, persiapkan dari arah Utara. Tim dua awasi dari selatan, dan yang lainnya dengarkan perintah dari komandan mengerti!" "Siap mengerti!" Serentak seluruh prajurit berhamburan, memposisikan diri sesuai arahan. River yang berada di Tim satu segera mengikuti komandan menuju tempat persembunyian di bagian utara. Arah utara merupakan tempat diduganya penyelundupan dan sindikat obat-obatan terlarang berkumpul, maka dari itu jumlah prajurit dikerahkan dalam jumlah banyak dengan para prajurit terpilih saja yang di utus. Begitu sampai, River dan tim satu memposisikan diri. Rencana yang telah dibuat sematang mungkin dijalankan dengan hati-hati. Target mendekat, senapan diangkat dengan pandangan fokus memantau target. "Sekarang!" DOR! DOR! DOR! Penyerangan dilakukan serentak pada beberapa target. Secepat mungkin setelah itu muncul kawan lainnya menyerang dengan membab
Mata berkaca-kaca terlihat tertuju pada wanita di sisinya.“Max,” panggil Vivian.Kata tersebut sangat jernih terdengar hingga rasa haru langsung menembus kalbu hanya dari lantunan suara lembut tersebut. Tangan nan lemah sang istri Max pegang erat, sementara kedua malaikat kecilnya tersimpan di dada sang ibu.Disaat itu anggota keluarga diperbolehkan masuk. Senyum lemah terukir indah dengan susah payah, setelah perjuangan menyelamatkan dua buah hati, dan di saat itu pula sebagaimana rencananya, tugas wanita cantik itu telah selesai. Perlahan Vivian menoleh memberikan seucap kata untuk pria di sampingnya.“Tolong jaga anak kita ya,” ucapnya dengan susah payah dan dibalas dengan genggaman erat penuh keyakinan.“Pasti, aku akan selalu menjaganya.” Haru tak bisa Max bendung lagi, tangis bayi telah meluluhkan hati Max yang teramat keras.Dengan pelan dia mengelus kepala anak-anaknya yang masih merah dan belum bisa membuka mata. Kelahiran mereka benar-benar memberikan kabar bahagia, semua o
Sudah genap sembilan bulan dua bayi kembar dikandungnya. Vivian terbaring di ranjang, tubuhnya tertutup selimut, matanya menutup untuk sejenak mengistirahatkan diri.Disamping itu, Max menyiapkan koper dan segala keperluan persalinan bersama Sophie dan Evelyn."Selesai," ucap Sophie sembari menepuk-nepuk tangannya selesai berkemas."Sekarang kita berangkat," lanjut Sophie.Saat Max melihat istrinya tertidur dengan tenang, dia langsung berkata. "Mama boleh pergi dulu membawa barang-barang, aku akan pergi bersama istriku nanti."Sekilas Evelyn dan Sophie melihat Vivian di ranjang sana."Ah baiklah, kami pergi dulu kalau begitu, hati-hati saat pergi nanti ya." Pelayan yang telah sedia didepan pintu untuk membawa barang-barang langsung bergegas menjalankan tugas.Disamping itu Evelyn tak melepas pandangan dari putrinya."Max bagaimana kalau Mama ikut dengan kalian saja nanti?" tawar Evelyn tak tega membiarkan Vivian bersama suaminya berdua.Begitu tawaran itu terdengar, suara dari ranjang
Usai menghadiri acara penghargaan, Justin menepuk pundak Max berkali-kali setelah Max meraih tropi sebagai most attention received actors of the year pada tahun ini. "Sudah kuduga kau pasti akan mendapatkannya," ucap Justin bangga. "Malam ini sutradara Wang mengajakmu untuk merayakan kemenangan ini, kau akan akan hadir kan?" Justin bertanya sambil terus melangkah menuju parkiran. Piala dengan ukiran bintang cemerlang itu Max tatap sejenak. "Max, kau akan datang kan?" tanya Justin lagi saat Max tak memberi balasan. "Tidak, aku akan pulang saja." Max segera membuka pintu, namun sebelum benar-benar masuk Justin terdengar menyela. "Max, tapi sutradara memintaku..." "Tolong wakilkan aku." Setelah mengucap kalimat terakhir Max mengambil alih kunci mobil dan segera tancap gas meninggalkan Justin sendiri ditempat. "Hah..." Justin mematung ditempat. ... Sunyi menyertai pagi, dengan perut yang semakin membesar Vivian pandang foto satu-satunya bersama kedua keluarga dengan pihak suami.
Tak...tak... Suara langkah kaki begitu jelas memecah hening. Begitu terlihat tas yang tak asing lagi tergeletak di dekat pohon. Dengan cepat pria itu meraih benda tersebut lalu melihat isi di dalamnya. Ketika lembaran kertas terlihat, tangannya yang besar langsung membuka isi kertas tersebut. Pelan namun pasti rangkaian kata berhasil dibaca. Kalimat indah yang disajikan dengan begitu rapi telah berhasil membuatnya menarik nafas sangat dalam. "Haa...pada akhirnya apa yang ku khawatirkan selama ini ternyata tetap terjadi." ... Sementara itu, di Vila Max sedang duduk di sofa ruang tamu, saat Vivian dan Moa memasuki ruangan, terlihat wanita cantik itu menutupi wajah dengan rambutnya menyembunyikan mata sembab akibat menangis sepanjang tadi. "Kemarilah," pinta Max agar duduk di dekatnya. Vivian lalu duduk dan otomatis Moa undur diri setelah melihat tatapan Max yang dingin padanya. "Besok adalah hari pemeriksaan terakhir kandunganmu, sepertinya aku tidak akan bisa mengantarmu, ada
Di klinik kandungan, Vivian dibaringkan untuk melakukan USG melihat jenis kelamin buah hati mereka. "Selamat sepertinya anda berdua dikaruniai buah hati kembar," ucap dokter Oliv terlihat senang. Max fokus melihat gambar dalam layar, terlihat dua bayi tengah meringkuk disana. "Bagaimana dengan jenis kelaminnya?" tanya Max penasaran. "Sebentar, saya akan lihat." Dokter segera memerhatikan lagi. "Sepertinya anak anda laki-laki dan perempuan, anda bisa melihat di gambar ini." Dokter menunjuk letak gambar kelamin bayi. Max menarik nafas pelan. Tak bisa di tutupi hadirnya dua buah hati telah membuatnya teramat senang. "Kedua bayinya sehat kan?" tanya Max lagi. "Alhamdulillah dari hasil USG tak ada kecacatan sedikitpun." Max lalu melirik istrinya, bibirnya seakan ingin mengucapkan kalimat sakral yang mungkin akan mengubah kehidupan mereka, namun sayangnya ego yang besar telah meredam keinginan tersebut jauh dalam dalam, hingga Max hanya bisa memegang tangan Vivian erat-erat, tanp
Tanpa terasa langit telah berubah warna, Vivian telah kembali menuju Vila. Langkah lemah menapak menyingkap rerumputan taman yang panjang, dan begitu pandangannya terangkat, disana sosok Max telah berdiri, dia lihat mata biru itu tengah memperhatikan dengan pandangan tak senang. "Kau darimana saja?" Vivian membalas dengan senyuman yang sangat indah, angin yang sengaja bertiup juga semakin mempercantik wajahnya. "Aku melepasnya, seperti keinginanmu aku telah memutuskannya," jawab Vivian dengan mata berkaca-kaca, menahan tangis yang terus bergejolak di dada. Vivian menurunkan pandangan. "Akan tetapi dia belum sepenuhnya melepas ku, jadi tolong biarkan aku membujuknya agar dia tidak menganggu ku lagi." Max tak bisa menjawab, melihat mata coklat bersinar hanya bisa membuatnya diam. "Jika kau memberiku izin, akan ku pastikan sebelum anak ini lahir aku akan meninggalkan dia sepenuhnya, bagaimana bisakah kau mewujudkan permintaanku?" "Baiklah, namun aku akan mengantarmu saat menemui