Kicau burung terlantun indah di pagi yang cerah. Disaat itu pula Vivian terus berkutat dengan cermin sejak subuh, menghiasi diri dengan segala aksesoris terbaik.Rambut bergelombang di tata seindah mungkin menggunakan pita kain, poni tipis di rapihkan di kedua sudut dahi. Dress yang dikenakan hari ini juga telah dipilih sejak pagi, pilihannya jatuh pada dress cream mencapai lutut dengan lengan panjang namun menerawang. Dress yang indah untuk hanya sekedar pergi ke hutan.Dia tatap dirinya dalam cermin, sangat indah dan cantik. Entah kapan terakhir kalinya berdandan, wajah mungil dengan kulit kuning langsat itu perpaduan yang sempurna."Tinggal satu lagi."Dia lihatnya bibir ranum bergelombang, sebuah lipstik dipoles di bibirnya hingga menimbulkan warna pink yang indah. "Sempurna." Dengan langkah bersemangat Vivian segera menuju dapur. Beberapa apel terbaik dipilih, tak lupa buku dan rekaman lagu selalu ada menyertai.Sebelum berangkat Moa menghampiri sambil membawa mantel bulu."Sek
River tertegun, setiap waktu setiap menit bahkan setiap detik terasa amat sangat berarti. Sampai pertanyaan itu muncul barulah River tersadar. Apa yang dia rasakan sekarang?"Sudahlah, anggap saja aku tidak mengatakan itu." Vivian langsung mengalihkan pembicaraan, suasana sempurna tidak boleh kacau hanya karena perasaan pribadi. Dengan menikmati perasaan menggembirakan saja sudah sangat cukup bagi Vivian untuk dinikmati, kerakusan untuk memaksa memiliki perasaan yang sama adalah bukti dari kerakusan yang hakiki.Di bawah rindang pohon mereka kembali memandang burung yang berterbangan, seakan sengaja menari-nari untuk menghibur mereka."Cantik," gumam Vivian sembari tersenyum.River menoleh, semuanya memang benar-benar cantik, sangatlah cantik. Niat awal untuk menikmati waktu bersama seperti biasa, semakin terdorong untuk melakukan hal diluar rencana. River langsung berdiri lalu melihat sang wanita yang masih duduk memandangnya."Aku menemukan sebuah tempat, ikutlah denganku," ucap Ri
Langkah Vivian terasa mengapung, wajahnya menunjukkan kebahagiaan membuncah yang tak terbendung. Disimpannya mahkota bunga di tas lalu berlarian ditengah hutan bagai burung kecil yang indah.Cuaca hari ini tidak seperti biasanya, langit seakan sengaja tersenyum menyapanya. Burung-burung bahkan ikut menari dan berciutan seakan memberikan ucapan selamat atas bersatunya dua insan yang diridhoi alam.Saat tiba di Vila netranya menangkap kehadiran Moa di taman, dengan cepat Vivian berlari seperti anak kecil untuk memberikan kebahagian yang masih tersisa di hari ini."Moa, apakah kau butuh bantuan?" tanya Vivian manja-manja, sangat terlihat sisa-sisa kebahagiaan di wajahnya.Moa tersenyum lalu kembali merapikan tanaman Buxus dengan gunting panjang."Nona tampak senang hari ini, apakah ada sesuatu yang terjadi?" tanya Moa sembari tersenyum, ikut merasakan suasana bahagia tersebut.Vivian menggeleng seolah menyembunyikan perasaannya, namun berlainan dengan itu, wajah manisnya tak bisa menutup
Vivian lalu tertawa sembari menutup senyumnya, terlihat persis anak kecil. Dibalik baju berseragam itu ternyata ada jiwa kanak-kanak yang melekat pada River, dan Vivian sangat menyukainya. "Baiklah," jawab Vivian masih tetap dengan tawanya."Tapi seandainya nanti aku bahagia, kamu harus memberikan seragam mu ya.""Baju ini? Ini sangat lusuh." River mencubit seragam yang dikenakan, tampak jijik dengan pakaiannya sendiri."Tidak mau, aku ingin yang ini," paksa Vivian."Walaupun lusuh bagiku tak ada satupun yang dapat menyamainya. Aku tidak hanya melihat dari bagus atau tidaknya, namun hanya baju itu saja yang memiliki sejarah dan juga saksi dari kisah kita." Ucapan Vivian tampak tulus terucap dengan halus."Kamu tahu bagaimana perasaanku setiap kali melihat seragam itu? Ada perasaan menggelitik yang selalu membuatku ingin tersenyum, dan aku ingin terus merasakan perasaan itu."Vivian lalu menoleh dan memberikan kelingkingnya lagi."Bagaimana apakah kamu bisa berjanji juga padaku?"Tawa
Max melepas cengkraman dan beralih menarik pinggang sang istri. Hanya dengan memberikan sedikit tenaga, kini Vivian telah berada dalam pangkuan, tubuhnya yang ringan semakin mempermudah aksinya."Kau!"Vivian secepat mungkin mendorong untuk memastikan ada jarak diantara mereka, namun sayangnya Max telah mengambil alih kendali, dia mengikis habis jarak serta mengendalikan penuh atas tengkuk Vivian hingga wanita itu sulit hanya untuk sekedar menoleh.Bagai binatang buas, Max menyambar bibir ranum sang istri. Dia nikmati setiap tindakan dan sentuhan bibir yang saling bertautan, terasa manis dan nikmat.Di samping itu, bola mata Vivian membulat, dia ingin menolak, namun tangannya terimpit diantara tubuh mereka. Tubuhnya bahkan tak mampu bergerak sedikitpun, bagai terkunci tanpa bisa melakukan apapun."Hmmp..."Semakin disadari ciuman berlangsung panas, Max terlihat menikmatinya, namun disamping itu Vivian sangat ingin mengakhirinya. Wanita itu benci dengan tindakan diluar perjanjian, cium
Ada rasa gugup yang menyelimuti rencana mereka, namun Vivian tetap kukuh pada prinsip untuk menjalankan perjanjian dengan profesional. "Lakukan yang telah ku ajarkan semalam." Mendengar perintah tersebut, perlahan Vivian mulai mendekat, dia belai pipi suaminya dengan lembut lalu mendaratkan ciuman tepat di bagian bibir.Bagi seorang ahli seperti Max, ciuman tersebut terasa bagai amatiran, kegugupan serta getaran tipis dari ciuman mereka yang sengaja ditutupi sangatlah dapat terasa. Untuk menciptakan suasana lebih sempurna, Max mengangkat tubuh sang istri dalam pangkuan hingga bola mata wanita itu sontak membulat."Lakukanlah dengan baik," ucap Max disertai senyuman memikat.Mengingat masih ada sepasang mata yang menyaksikan mereka, Vivian pun memutuskan untuk mengikuti irama ciuman panas yang ditawarkan. Bibir mereka saling beradu, semakin lama semakin membara, hingga bernapas pun menjadi semakin sulit.Akibat kehabisan napas, Vivian mendorong bahu Max, berusaha untuk menghentikan
Waktu berlalu dengan cepat, meninggalkan jejak tak terhapuskan dalam perjalanan hidup mereka. Mengiringi sinar mentari setiap hari, momen-momen indah telah terangkai menjadi butir-butir rencana masa depan yang tersusun dengan sempurna. Diwaktu itu pula banyak karya indah telah tercipta, berpuluh sastra telah ditorehkan, berpuluh ukiran nama terpahat dengan cinta dan berpuluh rangkaian mahkota bunga telah dibuat, mewakili keindahan dan kebahagiaan yang pernah mereka rasakan."Anginnya lumayan kencang hari ini."Sambil memandang keindahan alam, bola mata coklat tampak tenang menyembunyikan haru. Hari ini adalah detik-detik terindah dalam hidupnya, Vivian sangat bahagia. Sebelum meninggalkan segala keindahan ini untuk selamanya, dia pandang sosok sempurna dari cinta, River berada disampingnya tersenyum tenang dan bangga. "Sudah satu bulan saja, rasanya terlalu cepat waktu berjalan bersamamu." River genggam tangan yang selalu memperlihatkan ketakutan dan getaran.Tepat di saat ini , wan
Dipagi yang diselimuti angin dingin, seorang wanita manis tengah menenteng tas dengan selimut dan mantel tebal di bahunya. Langkah kecil menapaki rumput hijau menyambut saat-saat dimana kata perceraian akan terlontar pagi ini.Dari kejauhan terlihat Justin baru saja keluar dari dalam mobil, dengan langkah cepat wanita itu menghampiri Justin untuk bertanya tentang keberadaan Max hari ini."Justin, dimana Max?" tanya Vivian langsung pada intinya.Justin yang hendak menuntaskan beberapa tugas langsung terhenti. Baru kali ini wanita yang berstatus sebagai istri temannya itu bertanya tentang keberadaan suaminya."Kau mencarinya untuk apa?""Aku ingin bercerai," jawab Vivian dengan sangat ringan. Wajahnya tampak berbinar senang."Baiklah, besok akan ku sampaikan padanya." Justin tampak tergesa-gesa sembari terus menerus melihat arloji."Baiklah, terimakasih." Senyuman indah terukir diwajahnya, matanya menyipit saat ucapan terimakasih berhasil dikatakan.Justin sejenak terhipnotis, senyuman
Sorot mata kosong kerap terlihat. Tubuhnya bersandar pada tembok, sangat putus asa seperti tak memiliki harapan untuk hidup. "Max jangan begini lagi, tolong demi mama, mama tak bisa hidup jika kau pergi juga." Seolah tak bisa mendengar, Max memejamkan mata. Waktu terasa lama sekali, telinganya tak ingin mendengar apapun, hanya ingin menghilang dan menghilang begitulah pikirnya. Justin yang melihat kejadian itu hanya bisa mematung terkejut. Rasanya seperti mendengar kabar kematian River dahulu, seketika membuat ujung kaki sampai ujung kepala dibuat lemas karenanya. "Jangan sampai, dia ikut pergi juga." Justin segera memanggil beberapa pelayan, dan begitu mereka datang "Bersihkan seluruh benda tajam dikamar ini termasuk benda yang mudah pecah, jangan ada yang tersisa!" Justin langsung pergi menuju ruang tamu, dia merebahkan diri sambil berusaha mengangkat ponsel yang terus menerus mengeluarkan nada pesan. "Haa... Dasar anj***," pekik Justin saat beratus pesan muncul setelah mereba
Dua hari telah berlalu sejak kepergian sang istri. Sejak itu pula Max tidak pernah menunjukan diri, dia tetap berada di ruang kamar sembari menanti kedatangan Vivian setiap hari. Dalam sunyi, Max memandang foto satu-satunya bersama sang istri. Senyum cantik yang terukir indah itu dia elus dengan lembut. "An... Apakah kau marah? Aku menunggumu sejak kemarin, apakah kau tidak ingin menemui ku lagi?" "Siapa yang perlu ku bunuh agar kau kembali, siapa yang harus ku marahi agar kau senang, tolong beritahu aku agar aku bisa melakukannya untukmu." Dengan pandangan kosong Max tersenyum gila, dan disaat itu tiba-tiba... Cklek... Seorang pria datang dengan nampan berisi makanan. "Max, makanlah kau belum makan apapun sejak kemarin." Justin menyimpan nampan diatas meja sementara Max tak bergerak seolah tak merasakan kehadiran siapapun. Justin melihat setiap sudut kamar yang dipenuhi pecahan kaca dan benda hias lainnya. Padahal baru saja kemarin para pelayan membersihkan kekacauan yang dibu
Dibelahan tempat lain, semua prajurit telah berbaris rapi. Tegap sempurna mendengarkan komando dengan seksama. "Tim satu, persiapkan dari arah Utara. Tim dua awasi dari selatan, dan yang lainnya dengarkan perintah dari komandan mengerti!" "Siap mengerti!" Serentak seluruh prajurit berhamburan, memposisikan diri sesuai arahan. River yang berada di Tim satu segera mengikuti komandan menuju tempat persembunyian di bagian utara. Arah utara merupakan tempat diduganya penyelundupan dan sindikat obat-obatan terlarang berkumpul, maka dari itu jumlah prajurit dikerahkan dalam jumlah banyak dengan para prajurit terpilih saja yang di utus. Begitu sampai, River dan tim satu memposisikan diri. Rencana yang telah dibuat sematang mungkin dijalankan dengan hati-hati. Target mendekat, senapan diangkat dengan pandangan fokus memantau target. "Sekarang!" DOR! DOR! DOR! Penyerangan dilakukan serentak pada beberapa target. Secepat mungkin setelah itu muncul kawan lainnya menyerang dengan membab
Mata berkaca-kaca terlihat tertuju pada wanita di sisinya.“Max,” panggil Vivian.Kata tersebut sangat jernih terdengar hingga rasa haru langsung menembus kalbu hanya dari lantunan suara lembut tersebut. Tangan nan lemah sang istri Max pegang erat, sementara kedua malaikat kecilnya tersimpan di dada sang ibu.Disaat itu anggota keluarga diperbolehkan masuk. Senyum lemah terukir indah dengan susah payah, setelah perjuangan menyelamatkan dua buah hati, dan di saat itu pula sebagaimana rencananya, tugas wanita cantik itu telah selesai. Perlahan Vivian menoleh memberikan seucap kata untuk pria di sampingnya.“Tolong jaga anak kita ya,” ucapnya dengan susah payah dan dibalas dengan genggaman erat penuh keyakinan.“Pasti, aku akan selalu menjaganya.” Haru tak bisa Max bendung lagi, tangis bayi telah meluluhkan hati Max yang teramat keras.Dengan pelan dia mengelus kepala anak-anaknya yang masih merah dan belum bisa membuka mata. Kelahiran mereka benar-benar memberikan kabar bahagia, semua o
Sudah genap sembilan bulan dua bayi kembar dikandungnya. Vivian terbaring di ranjang, tubuhnya tertutup selimut, matanya menutup untuk sejenak mengistirahatkan diri.Disamping itu, Max menyiapkan koper dan segala keperluan persalinan bersama Sophie dan Evelyn."Selesai," ucap Sophie sembari menepuk-nepuk tangannya selesai berkemas."Sekarang kita berangkat," lanjut Sophie.Saat Max melihat istrinya tertidur dengan tenang, dia langsung berkata. "Mama boleh pergi dulu membawa barang-barang, aku akan pergi bersama istriku nanti."Sekilas Evelyn dan Sophie melihat Vivian di ranjang sana."Ah baiklah, kami pergi dulu kalau begitu, hati-hati saat pergi nanti ya." Pelayan yang telah sedia didepan pintu untuk membawa barang-barang langsung bergegas menjalankan tugas.Disamping itu Evelyn tak melepas pandangan dari putrinya."Max bagaimana kalau Mama ikut dengan kalian saja nanti?" tawar Evelyn tak tega membiarkan Vivian bersama suaminya berdua.Begitu tawaran itu terdengar, suara dari ranjang
Usai menghadiri acara penghargaan, Justin menepuk pundak Max berkali-kali setelah Max meraih tropi sebagai most attention received actors of the year pada tahun ini. "Sudah kuduga kau pasti akan mendapatkannya," ucap Justin bangga. "Malam ini sutradara Wang mengajakmu untuk merayakan kemenangan ini, kau akan akan hadir kan?" Justin bertanya sambil terus melangkah menuju parkiran. Piala dengan ukiran bintang cemerlang itu Max tatap sejenak. "Max, kau akan datang kan?" tanya Justin lagi saat Max tak memberi balasan. "Tidak, aku akan pulang saja." Max segera membuka pintu, namun sebelum benar-benar masuk Justin terdengar menyela. "Max, tapi sutradara memintaku..." "Tolong wakilkan aku." Setelah mengucap kalimat terakhir Max mengambil alih kunci mobil dan segera tancap gas meninggalkan Justin sendiri ditempat. "Hah..." Justin mematung ditempat. ... Sunyi menyertai pagi, dengan perut yang semakin membesar Vivian pandang foto satu-satunya bersama kedua keluarga dengan pihak suami.
Tak...tak... Suara langkah kaki begitu jelas memecah hening. Begitu terlihat tas yang tak asing lagi tergeletak di dekat pohon. Dengan cepat pria itu meraih benda tersebut lalu melihat isi di dalamnya. Ketika lembaran kertas terlihat, tangannya yang besar langsung membuka isi kertas tersebut. Pelan namun pasti rangkaian kata berhasil dibaca. Kalimat indah yang disajikan dengan begitu rapi telah berhasil membuatnya menarik nafas sangat dalam. "Haa...pada akhirnya apa yang ku khawatirkan selama ini ternyata tetap terjadi." ... Sementara itu, di Vila Max sedang duduk di sofa ruang tamu, saat Vivian dan Moa memasuki ruangan, terlihat wanita cantik itu menutupi wajah dengan rambutnya menyembunyikan mata sembab akibat menangis sepanjang tadi. "Kemarilah," pinta Max agar duduk di dekatnya. Vivian lalu duduk dan otomatis Moa undur diri setelah melihat tatapan Max yang dingin padanya. "Besok adalah hari pemeriksaan terakhir kandunganmu, sepertinya aku tidak akan bisa mengantarmu, ada
Di klinik kandungan, Vivian dibaringkan untuk melakukan USG melihat jenis kelamin buah hati mereka. "Selamat sepertinya anda berdua dikaruniai buah hati kembar," ucap dokter Oliv terlihat senang. Max fokus melihat gambar dalam layar, terlihat dua bayi tengah meringkuk disana. "Bagaimana dengan jenis kelaminnya?" tanya Max penasaran. "Sebentar, saya akan lihat." Dokter segera memerhatikan lagi. "Sepertinya anak anda laki-laki dan perempuan, anda bisa melihat di gambar ini." Dokter menunjuk letak gambar kelamin bayi. Max menarik nafas pelan. Tak bisa di tutupi hadirnya dua buah hati telah membuatnya teramat senang. "Kedua bayinya sehat kan?" tanya Max lagi. "Alhamdulillah dari hasil USG tak ada kecacatan sedikitpun." Max lalu melirik istrinya, bibirnya seakan ingin mengucapkan kalimat sakral yang mungkin akan mengubah kehidupan mereka, namun sayangnya ego yang besar telah meredam keinginan tersebut jauh dalam dalam, hingga Max hanya bisa memegang tangan Vivian erat-erat, tanp
Tanpa terasa langit telah berubah warna, Vivian telah kembali menuju Vila. Langkah lemah menapak menyingkap rerumputan taman yang panjang, dan begitu pandangannya terangkat, disana sosok Max telah berdiri, dia lihat mata biru itu tengah memperhatikan dengan pandangan tak senang. "Kau darimana saja?" Vivian membalas dengan senyuman yang sangat indah, angin yang sengaja bertiup juga semakin mempercantik wajahnya. "Aku melepasnya, seperti keinginanmu aku telah memutuskannya," jawab Vivian dengan mata berkaca-kaca, menahan tangis yang terus bergejolak di dada. Vivian menurunkan pandangan. "Akan tetapi dia belum sepenuhnya melepas ku, jadi tolong biarkan aku membujuknya agar dia tidak menganggu ku lagi." Max tak bisa menjawab, melihat mata coklat bersinar hanya bisa membuatnya diam. "Jika kau memberiku izin, akan ku pastikan sebelum anak ini lahir aku akan meninggalkan dia sepenuhnya, bagaimana bisakah kau mewujudkan permintaanku?" "Baiklah, namun aku akan mengantarmu saat menemui