Waktu berlalu dengan cepat, meninggalkan jejak tak terhapuskan dalam perjalanan hidup mereka. Mengiringi sinar mentari setiap hari, momen-momen indah telah terangkai menjadi butir-butir rencana masa depan yang tersusun dengan sempurna. Diwaktu itu pula banyak karya indah telah tercipta, berpuluh sastra telah ditorehkan, berpuluh ukiran nama terpahat dengan cinta dan berpuluh rangkaian mahkota bunga telah dibuat, mewakili keindahan dan kebahagiaan yang pernah mereka rasakan."Anginnya lumayan kencang hari ini."Sambil memandang keindahan alam, bola mata coklat tampak tenang menyembunyikan haru. Hari ini adalah detik-detik terindah dalam hidupnya, Vivian sangat bahagia. Sebelum meninggalkan segala keindahan ini untuk selamanya, dia pandang sosok sempurna dari cinta, River berada disampingnya tersenyum tenang dan bangga. "Sudah satu bulan saja, rasanya terlalu cepat waktu berjalan bersamamu." River genggam tangan yang selalu memperlihatkan ketakutan dan getaran.Tepat di saat ini , wan
Dipagi yang diselimuti angin dingin, seorang wanita manis tengah menenteng tas dengan selimut dan mantel tebal di bahunya. Langkah kecil menapaki rumput hijau menyambut saat-saat dimana kata perceraian akan terlontar pagi ini.Dari kejauhan terlihat Justin baru saja keluar dari dalam mobil, dengan langkah cepat wanita itu menghampiri Justin untuk bertanya tentang keberadaan Max hari ini."Justin, dimana Max?" tanya Vivian langsung pada intinya.Justin yang hendak menuntaskan beberapa tugas langsung terhenti. Baru kali ini wanita yang berstatus sebagai istri temannya itu bertanya tentang keberadaan suaminya."Kau mencarinya untuk apa?""Aku ingin bercerai," jawab Vivian dengan sangat ringan. Wajahnya tampak berbinar senang."Baiklah, besok akan ku sampaikan padanya." Justin tampak tergesa-gesa sembari terus menerus melihat arloji."Baiklah, terimakasih." Senyuman indah terukir diwajahnya, matanya menyipit saat ucapan terimakasih berhasil dikatakan.Justin sejenak terhipnotis, senyuman
Mobil hitam yang mewah berhenti di depan Vila, mencuri perhatian semua orang yang berada di sekitarnya. Para pelayan yang berdiri berjejer dengan rapi segera melipat tangan mereka di depan dada, menunjukkan penghormatan kepada tuan mereka yang baru saja tiba."Selamat datang Tuan," sambut Lin dengan rendah hati.Max, yang mengenakan kacamata hitam melepas kacamata itu dengan cepat. Wajahnya terlihat serius saat dia berbicara dengan Lin, ekspresi tegang yang sulit disembunyikan.Semua pelayan menundukkan kepala mereka, tak berani menatap mata tuan mereka, sampai suara pecahan kacamata terdengar ...Prang!Semua orang terdiam."Di mana istriku?!" tanya Max, amarahnya meledak tanpa bisa ditahan lagi.Lin mengangguk dengan cepat, "Saya akan segera mencarinya, Tuan."Ini adalah pertama kalinya para penghuni Vila melihat amarah nyata dari tuan mereka yang selama ini terkenal dengan ketenangan dan kesempurnaannya di dunia hiburan. "Memangnya apa yang kalian lakukan seharian? Mengawasi satu
Setelah meluapkan sebagian emosi, Max tengah memperhatikan satu mobil hitam dari celah jendela, Moa dan Lin tampak berbincang sejenak sebelum mobil tersebut kembali pergi tanpa menginjakan kaki di Vila ini.Max bersandar pada dinding. Helaan nafas yang terdengar berat berembus pelan. Tangannya yang kuat mengepal erat, mencerminkan kemarahan yang masih tersisa. Dia mengusap darah di bibir dengan tangan kiri yang selalu terpasang cincin berwarna perak di sana. "Perceraian ya."...Esok menjemput, sejak pertemuan singkat kemarin tak sekalipun Max menampakkan batang hidungnya kembali, dan saat ini tepat pukul satu siang, Vivian baru selesai membersihkan diri. Saat pintu kamar mandi terbuka, Vivian langsung dikejutkan dengan kehadiran suaminya yang tengah duduk ditepi ranjang. Disampingnya terlihat gaun berwarna merah marun tersimpan rapi bersama dengan sepasang tuxedo senada."Pakai ini," titah Max jelas.Dengan langkah pasti Vivian membawa gaun tersebut, sembari sesekali menatap suamin
Saat mereka tiba di Vila, Max membuka pintu dengan gerakan cepat dan tegas. Melepas emosi yang diredam selama perjalanan.Dengan sorot mata yang tajam dan penuh otoritas, dia memberikan perintah, "Keluarlah."Disisi lain Vivian tampak enggan untuk menuruti perintah. Ada firasat buruk yang tiba-tiba muncul dalam hatinya, membuatnya merasa tidak nyaman."Kau duluan saja, nanti aku menyusul," ujarnya, menghindari tatapan mata biru Max yang terus menusuknya.Sejak dua hari yang lalu, kesabaran Max telah dipacu. Penolakan, kebencian, dan rasa sakit yang mengganggu semakin membesar dalam dirinya, dan hari ini, satu penolakan lagi berhasil dia dengar dengan sangat jelas, memicu kemarahan yang tak mampu lagi diberi sabar.Tanpa memberikan aba-aba, Max dengan kasar mengangkat Vivian dengan pangkuan ala fireman's carry. "Hey kau! Lepaskan aku!" Vivian terkejut lalu meronta untuk segera diturunkan.Beberapa pelayan tampak terkejut melihat kedatangan tuan dan nona muda mereka, namun segera fokus
Diruang hening, Vivian terbangun di ranjang untuk pertama kalinya. Dia dapat merasakan tubuh yang tak berbalut sehelai kain tertelungkup dibalik selimut putih. Netra yang terbuka langsung disuguhkan pemandangan pria di sisinya. Kelelahan, Max terlihat seperti itu membuat Vivian merasa marah secara tiba-tiba. "Dia telah mengambil semuanya, kebahagiaanku, kehormatanku, semuanya tak tersisa." Vivian membatin. Wanita itu berbalik membelakangi. Dia teringat River, sang kekasih yang sangat dia cintai. Disaat itu pula tanpa rencana tetesan demi tetesan keluar dari pelupuk mata, merasa berdosa dengan apa yang telah dia lakukan semalam kemarin. Mendengar suara yang mengganggu telinga, pada akhirnya Max terbangun. Punggung indah penuh cupang terlihat jelas dari belakang. Saat dia hendak memeluk tubuh istrinya, Max terhenti kala menyadari Vivian tengah menangis tersedu-sedu. Dengan perasaan kesal, Max membuka selimut lalu berjalan menuju toilet tanpa sehelai kain apapun. Menyadari Max pergi
Secepat kilat Max menarik selimut dari tubuh sang istri. "Max!" Vivian berteriak, lalu segera menyilangkan tangan untuk menutupi tubuhnya yang tak berbalut apapun. Max termenung, begitu indah dan menawan, maha karya luar biasa yang bisa pria itu saksikan. "JANGAN MENDEKAT!!" Max tak teralihkan. Bola matanya berbinar saat melihat Vivian begitu cantik dan menggoda. "Max, JANGAN!" cegahnya lagi. Pria itu tak bisa mengendalikan diri, candu dan candu pikirannya terus berfikir demikian. Pengalaman pertama yang luar biasa, berhasil mereka rasakan kemarin malam, dan hari ini melihat Vivian didepannya, Max menginginkannya kembali. Rasa berdebar, dan kenikmatan tiada tara dia ingin merasakannya kembali. "Max, kumohon jangan seperti ini, aku salah, aku salah, tolong lepaskan aku." Vivian telah merendahkan diri serendah-rendahnya, namun Max seolah tak bisa mendengar. Pria itu tanpa aba-aba langsung menyerbu bibir ranum sang istri, memangutnya sampai Vivian kewalahan menghimpit tembok. "H
Sinar matahari menembus jendela, mengisi ruangan dengan cahaya hangat, namun bagi Vivian, cahaya itu hanyalah pengingat pedih bahwa sejak aksi pengurungan paksa, tak pernah ada lagi kebebasan untuknya. Suara kicauan burung, tarian bunga-bunga, semua keindahan itu seketika direnggut paksa dari kehidupannya. "Kapan ini akan berakhir?" Dada kembali terasa sakit, rasa takut dan marah bercampur aduk. Bagaimana jika Max memiliki obsesi berlebih terhadapnya? Jangankan membayangkan bebas, untuk sekadar melihat bukunya saja rasanya akan sangat sulit. Rasa takut semakin menggema di hati. Vivian benar-benar mengingat wajah Max saat itu, dengan wajahnya yang memaksa dan penuh penolakan serta kekangan, tampak seperti orang gila yang tak mampu berfikir. Vivian benar-benar takut. "Ini hanya sementara kan? Tidak mungkin dia melakukan ini untuk selamanya." Sambil menatap sinar matahari dari jendela, Vivian meratapi nasib. Kehormatannya telah hilang, kebahagiannya telah hilang, cintanya pun ikut