Mobil hitam yang mewah berhenti di depan Vila, mencuri perhatian semua orang yang berada di sekitarnya. Para pelayan yang berdiri berjejer dengan rapi segera melipat tangan mereka di depan dada, menunjukkan penghormatan kepada tuan mereka yang baru saja tiba."Selamat datang Tuan," sambut Lin dengan rendah hati.Max, yang mengenakan kacamata hitam melepas kacamata itu dengan cepat. Wajahnya terlihat serius saat dia berbicara dengan Lin, ekspresi tegang yang sulit disembunyikan.Semua pelayan menundukkan kepala mereka, tak berani menatap mata tuan mereka, sampai suara pecahan kacamata terdengar ...Prang!Semua orang terdiam."Di mana istriku?!" tanya Max, amarahnya meledak tanpa bisa ditahan lagi.Lin mengangguk dengan cepat, "Saya akan segera mencarinya, Tuan."Ini adalah pertama kalinya para penghuni Vila melihat amarah nyata dari tuan mereka yang selama ini terkenal dengan ketenangan dan kesempurnaannya di dunia hiburan. "Memangnya apa yang kalian lakukan seharian? Mengawasi satu
Setelah meluapkan sebagian emosi, Max tengah memperhatikan satu mobil hitam dari celah jendela, Moa dan Lin tampak berbincang sejenak sebelum mobil tersebut kembali pergi tanpa menginjakan kaki di Vila ini.Max bersandar pada dinding. Helaan nafas yang terdengar berat berembus pelan. Tangannya yang kuat mengepal erat, mencerminkan kemarahan yang masih tersisa. Dia mengusap darah di bibir dengan tangan kiri yang selalu terpasang cincin berwarna perak di sana. "Perceraian ya."...Esok menjemput, sejak pertemuan singkat kemarin tak sekalipun Max menampakkan batang hidungnya kembali, dan saat ini tepat pukul satu siang, Vivian baru selesai membersihkan diri. Saat pintu kamar mandi terbuka, Vivian langsung dikejutkan dengan kehadiran suaminya yang tengah duduk ditepi ranjang. Disampingnya terlihat gaun berwarna merah marun tersimpan rapi bersama dengan sepasang tuxedo senada."Pakai ini," titah Max jelas.Dengan langkah pasti Vivian membawa gaun tersebut, sembari sesekali menatap suamin
Saat mereka tiba di Vila, Max membuka pintu dengan gerakan cepat dan tegas. Melepas emosi yang diredam selama perjalanan.Dengan sorot mata yang tajam dan penuh otoritas, dia memberikan perintah, "Keluarlah."Disisi lain Vivian tampak enggan untuk menuruti perintah. Ada firasat buruk yang tiba-tiba muncul dalam hatinya, membuatnya merasa tidak nyaman."Kau duluan saja, nanti aku menyusul," ujarnya, menghindari tatapan mata biru Max yang terus menusuknya.Sejak dua hari yang lalu, kesabaran Max telah dipacu. Penolakan, kebencian, dan rasa sakit yang mengganggu semakin membesar dalam dirinya, dan hari ini, satu penolakan lagi berhasil dia dengar dengan sangat jelas, memicu kemarahan yang tak mampu lagi diberi sabar.Tanpa memberikan aba-aba, Max dengan kasar mengangkat Vivian dengan pangkuan ala fireman's carry. "Hey kau! Lepaskan aku!" Vivian terkejut lalu meronta untuk segera diturunkan.Beberapa pelayan tampak terkejut melihat kedatangan tuan dan nona muda mereka, namun segera fokus
Diruang hening, Vivian terbangun di ranjang untuk pertama kalinya. Dia dapat merasakan tubuh yang tak berbalut sehelai kain tertelungkup dibalik selimut putih. Netra yang terbuka langsung disuguhkan pemandangan pria di sisinya. Kelelahan, Max terlihat seperti itu membuat Vivian merasa marah secara tiba-tiba. "Dia telah mengambil semuanya, kebahagiaanku, kehormatanku, semuanya tak tersisa." Vivian membatin. Wanita itu berbalik membelakangi. Dia teringat River, sang kekasih yang sangat dia cintai. Disaat itu pula tanpa rencana tetesan demi tetesan keluar dari pelupuk mata, merasa berdosa dengan apa yang telah dia lakukan semalam kemarin. Mendengar suara yang mengganggu telinga, pada akhirnya Max terbangun. Punggung indah penuh cupang terlihat jelas dari belakang. Saat dia hendak memeluk tubuh istrinya, Max terhenti kala menyadari Vivian tengah menangis tersedu-sedu. Dengan perasaan kesal, Max membuka selimut lalu berjalan menuju toilet tanpa sehelai kain apapun. Menyadari Max pergi
Secepat kilat Max menarik selimut dari tubuh sang istri. "Max!" Vivian berteriak, lalu segera menyilangkan tangan untuk menutupi tubuhnya yang tak berbalut apapun. Max termenung, begitu indah dan menawan, maha karya luar biasa yang bisa pria itu saksikan. "JANGAN MENDEKAT!!" Max tak teralihkan. Bola matanya berbinar saat melihat Vivian begitu cantik dan menggoda. "Max, JANGAN!" cegahnya lagi. Pria itu tak bisa mengendalikan diri, candu dan candu pikirannya terus berfikir demikian. Pengalaman pertama yang luar biasa, berhasil mereka rasakan kemarin malam, dan hari ini melihat Vivian didepannya, Max menginginkannya kembali. Rasa berdebar, dan kenikmatan tiada tara dia ingin merasakannya kembali. "Max, kumohon jangan seperti ini, aku salah, aku salah, tolong lepaskan aku." Vivian telah merendahkan diri serendah-rendahnya, namun Max seolah tak bisa mendengar. Pria itu tanpa aba-aba langsung menyerbu bibir ranum sang istri, memangutnya sampai Vivian kewalahan menghimpit tembok. "H
Sinar matahari menembus jendela, mengisi ruangan dengan cahaya hangat, namun bagi Vivian, cahaya itu hanyalah pengingat pedih bahwa sejak aksi pengurungan paksa, tak pernah ada lagi kebebasan untuknya. Suara kicauan burung, tarian bunga-bunga, semua keindahan itu seketika direnggut paksa dari kehidupannya. "Kapan ini akan berakhir?" Dada kembali terasa sakit, rasa takut dan marah bercampur aduk. Bagaimana jika Max memiliki obsesi berlebih terhadapnya? Jangankan membayangkan bebas, untuk sekadar melihat bukunya saja rasanya akan sangat sulit. Rasa takut semakin menggema di hati. Vivian benar-benar mengingat wajah Max saat itu, dengan wajahnya yang memaksa dan penuh penolakan serta kekangan, tampak seperti orang gila yang tak mampu berfikir. Vivian benar-benar takut. "Ini hanya sementara kan? Tidak mungkin dia melakukan ini untuk selamanya." Sambil menatap sinar matahari dari jendela, Vivian meratapi nasib. Kehormatannya telah hilang, kebahagiannya telah hilang, cintanya pun ikut
Srk..srk... Suara langkah kaki, menapak diatas dedaunan kering. Satu bulan telah berlalu dan kini pria berseragam dengan senjata khasnya hanya bisa menghela nafas putus asa menanti sang kekasih yang tak kunjung datang lagi. "Jika hari ini aku tidak menemukanmu lagi, hari ini juga akan kutanyakan pada orang-orang di Vila itu." River berencana. Dedaunan terus mengeluarkan bunyi seiring langkah berlalu, dan tiba-tiba dengan pandangan lesu, terlihat seorang wanita duduk meringkuk sembari memeluk kedua lutut, sendirian di tempat paling indah baginya. "Vivi?" panggil River dengan mata membulat. Wanita tersebut menoleh, menampakkan wajah sembab yang menyedihkan. "River..." Vivian tak kuat menahan tangis, melihat sosok paling dia rindukan selama ini kini berada dihadapan matanya dengan nyata. Secepat mungkin River memeluk wanita itu, mendekapnya dengan sungguh-sungguh. "Ku kira tak akan bertemu lagi denganmu, aku sangat khawatir." Sementara itu Vivian mengeratkan pelukan, me
"Memangnya aku bisa pergi dari sini?" Vivian menjawab dengan acuh. Dengan langkah cepat Max mendekati wanita itu, sembari mencengkram kedua tangannya dengan kasar. "Kau pura-pura bodoh atau bagaimana hah?" Max mendekatkan diri dengan Vivian, bola matanya bahkan terlihat seperti mengeluarkan cahaya merah seperti iblis. Secepat mungkin Vivian mendorong tubuh suaminya menjauh. "Lagi-lagi kau seperti ini, bisakah kau memperbaiki perilakumu mendekat secara tiba-tiba!" Manik coklat yang kerap bersinar kini berbalik arah, enggan melihat Max dalam pandangannya. "Pergilah, aku sedang tidak ingin melihatmu." Wanita itu kembali menatap jendela dengan kedua tangan dilipat. Tangan Max perlahan mengepal. Untuk yang kesekian kalinya lagi telinga ini mendengar penolakan dengan sangat jelas. Perlahan tangan pria tampan tersebut mengepal bahkan membuat sekujur tubuhnya mematung ditempat. "Ah...rupanya kau masih tidak ingin memberitahuku. Baiklah biar pelayan kesayanganmu saja yang akan merasaka