"Memangnya aku bisa pergi dari sini?" Vivian menjawab dengan acuh. Dengan langkah cepat Max mendekati wanita itu, sembari mencengkram kedua tangannya dengan kasar. "Kau pura-pura bodoh atau bagaimana hah?" Max mendekatkan diri dengan Vivian, bola matanya bahkan terlihat seperti mengeluarkan cahaya merah seperti iblis. Secepat mungkin Vivian mendorong tubuh suaminya menjauh. "Lagi-lagi kau seperti ini, bisakah kau memperbaiki perilakumu mendekat secara tiba-tiba!" Manik coklat yang kerap bersinar kini berbalik arah, enggan melihat Max dalam pandangannya. "Pergilah, aku sedang tidak ingin melihatmu." Wanita itu kembali menatap jendela dengan kedua tangan dilipat. Tangan Max perlahan mengepal. Untuk yang kesekian kalinya lagi telinga ini mendengar penolakan dengan sangat jelas. Perlahan tangan pria tampan tersebut mengepal bahkan membuat sekujur tubuhnya mematung ditempat. "Ah...rupanya kau masih tidak ingin memberitahuku. Baiklah biar pelayan kesayanganmu saja yang akan merasaka
"Ya cukup begini saja, dia tak akan membenciku hanya karena ini kan?" Vivian baru saja terbangun setelah menghabiskan malam penuh hasrat. Di ruang kamar yang terasa bisu, dilihatnya Max sudah pergi, meninggalkan tumpukan seprai kusut disampingnya. "Sudah pakaian keberapa ini?" Vivian terbangun sambil menjumput dress yang kemarin dia kenakan, tampak koyak tak layak pakai. Selimut yang melekat ditubuhnya tampak begitu hangat dan nyaman, namun berlainan dengan isi pikiran, Vivian merasakan kekhawatiran yang menakutkan. Dia pegang perut yang tak berbalut apapun, tampak khawatir dengan kemungkinan yang akan terjadi selanjutnya. "Jangan sampai aku mengandung, aku harus segera mencegahnya." Setelah yakin bahwa Max tak ada di ruangan yang sama, segera selimut yang melekat dilepas diganti dengan kaos besar yang tersimpan banyak di lemari. Untuk pertama kalinya Vivian berani memakai pakaian pria, terlebih pakaian tersebut adalah milik Max-suaminya. "Dari pada tak memakai apapun, lebih
"Sini," pinta Max lalu mengangkat tubuhnya sampai terduduk diatas kasur. Saat surat telah berpindah tangan, Max dengan teliti membaca isi didalamnya. Paham dengan isi surat tersebut lantas Max segera menyimpan surat dalam laci. Bagai kilat, tanpa sedikitpun aba-aba Max langsung menarik tangan kanan Vivian sampai wanita itu duduk di pangkuannya. "Diamlah." Sedari tadi Max telah menahan diri, dan kini saat bibir sang istri nampak nyata didepan mata, tak ada penghalang lagi, Max mencium bibir ranum yang menyilaukan pagi ini seolah terus melambai meminta dikecup berkali-kali. "Hosh..." "Hosh..." Sejenak ciuman panas tersebut terhenti. Max dengan senyum menggoda menarik pinggang Vivian agar menempel sempurna dengannya. "Besok kamu tetaplah disini, jangan keluar selangkahpun mengerti?" Walaupun tak mendapat balasan, Max sudah menyimpulkan jawaban sang istri. Dia mencium bibir Vivian kembali memangutnya lebih ganas lagi. Pagi itu berlangsung panas hingga pagi datang lagi barulah me
"MAMA!!" River tersungkur di aspal saat mobil polisi melaju begitu saja. "Hosh...hosh...bagaimana ini..." River meremas rambut, sangat terguncang dengan apa yang baru saja terjadi. "Ini salahku...aku yang bersalah." Remasan pada rambutnya semakin menguat. Ibunya telah pergi menyerahkan diri dan itulah saat dimana River merasa menyesal sedalam-dalamnya telah mendorong sang ayah hingga meregang nyawa. Sementara itu sang ayah telah diberi batas penjaga untuk dievakuasi dan saat itu pula ketika kepalanya terangkat dia dapat melihat Max diujung pandangan tengah memandangnya tanpa ekspresi. "Akh...dia," River sempat melamun, namun begitu sadar Max mulai menghampirinya, River lalu berdiri. Pandangannya langsung tertuju pada pakaiannya sendiri, lusuh dan kotor, jauh berbeda dengan pakaian Max yang selalu begitu bersih dan mahal. Bahkan dari alas kaki saja sudah dapat terlihat perbedaannya, sandal yang bisa dibeli oleh beberapa uang logam saja tak akan mampu menyamai sandal yang hany
Hari ini adalah hari pembagian juara kelas, hari bahagia seluruh siswa mendapatkan laporan hasil belajar mereka. Sementara itu Justin sedang menenteng sebuah Box sebagai tebusan atas permintaan maaf untuk River temannya. "Semoga dia bisa menerima permintaan maaf kita," batin Justin. Bersamaan dengan itu MC mulai berbicara. Juara dari kelas satu dan dua telah diumumkan sampai sorak bahagia terdengar bertebaran disekitarnya. Dan detik ini adalah saat-saat pengumuman kejuaraan untuk kelas 3 A tempat dimana para bintang sekolah berada disana. "Siapkanlah dirimu kau akan kedepan," ucap Max menepuk bahu Justin, sangat percaya diri temannya itu akan menduduki juara pertama seperti dua tahun sebelumnya. "Juara tiga Lovely!" Begitu diumumkan beberapa orang menjerit bahagia terutama Lovely yang merupakan putri sekolah. "Juara dua..." MC mengantungkan kalimat. Sudah tahu juara dua tak ada yang bisa menggeser River dari sana. "Juara dua jatuh kepada... JUSTIN QUINCY." Begitu mendengar nam
Secepat mungkin Max menarik bahu Vivian agar mendekat padanya. "Bukankah kau harus memeriksa Vila ku? Mengapa kau diam saja?" tanya Max sinis sembari menegaskan Vivian adalah miliknya. Sementara sepasang kekasih yang tengah dimabuk asmara, tak melepas pandangan. Keduanya masih butuh waktu untuk saling menebus rindu satu sama lain. "Sebentar lagi, tunggulah aku menjemputmu," batin River lalu bergegas menjalankan tugas pemeriksaan. Vivian dapat merasakan ketenangan luar biasa saat bertemu sang kekasih. Raut wajahnya tak bisa disembunyikan lagi sampai-sampai Max hanya diam menahan geram yang hampir meledak seketika dari ubun-ubun. Dengan mata elang yang begitu tajam Max melirik istrinya. "Kau ikutilah aku," titah Max dengan tegas. ... Di belakang Vila, tepatnya di tepi danau Max berhadapan dengan sang istri, wajahnya yang tegas semakin sulit dipandang kala timbunan amarah terlihat jelas diwajahnya. "Dimana sapu tangan yang ku berikan waktu itu? JAWAB!" Vivian tertundu
Sejak malam itu Max tak lagi menampakkan diri. Satu bulan telah berlalu dan Vivian hanya menghabiskan waktu sepanjang haris didalam kamar. "Ini mustahil kan?" Sambil memegang perut, Vivian merasa cemas saat mendapati dalam satu bulan ini bulan merah tak kunjung datang. "Tapi aku selalu rutin meminum obat ini, mana mungkin aku bisa hamil." Untuk mengurangi kecemasan lantas Vivian bergegas mengambil telepon rumah yang disediakan khusus untuk menghubungi pelayan. "Halo." "Iya ada apa Nona?" "Kau siapa?" tanya Vivian mendengar balasan suara yang terdengar asing. "Saya Mita Nona." "Tolong panggilkan Moa ke kamarku secepatnya, aku butuh bantuannya." "Baik Nona akan segera saya sampaikan pada kepala pelayan." Percakapan langsung ditutup. Vivian kembali duduk ditepi ranjang sambil meraba perutnya. "Ya ini mustahil, mungkin aku sedang sakit saja," batinnya dengan pandangan kosong menatap lantai. Tok...tok... "Nona, saya Moa," ucap Moa mengetuk pintu. Dengan sigap Vivian membuk
Pagi menjemput, matahari telah melambai membangunkan wanita cantik diranjang king size. Begitu mata terbuka, Vivian tak menemukan keberadaan suaminya, dan secara bersamaan wanita itu teringat pada janin kecil yang hidup di rahimnya. "Membesarkannya... aku tidak bisa, aku sama sekali tidak bisa." Pikirannya langsung melintas ke lain waktu. River, nama indah tersebut langsung terpatri memenuhi isi kepalanya. "River, aku membutuhkan dia, aku harus menemuinya." Secepat mungkin Vivian bangun menyingkap selimut membiarkannya tergeletak dilantai. Tanpa memikirkan apapun wanita cantik itu membuka pintu kamar lalu berlari menuju lantai bawah. Begitu langkah kaki kecil menapak di ruang tengah, dari luar terdengar suara gemuruh langkah kaki datang. "Vivian!!!" Panggil seseorang dengan suara lantang. Bak! Pintu didobrak hingga nampak lah beberapa manusia berlarian datang. "Vivian kenapa kamu disini, kamu jangan kelelahan, ayo kita ke kamarmu sayang," ucap Sophie antusias. "P