Di halaman rumah para orang tua tengah asyik memanggang daging. Jun dan William tampak akrab dengan bahasan bisnis mereka, sementara Sophie dan Evelyn menyiapkan saus dan hidangan pembuka. "Max kemana anak itu? Mama tidak melihat batang hidungnya sejak tadi," celetuk Sophie. Baru saja dibicarakan, suara deru mobil tiba-tiba datang. "Baru saja di bahas, sudah datang saja." Sudah dapat ditebak, Max dan manajer kesayangannya telah datang. Saat kaki jenjang menapak tanah, kantung mata yang hitam dapat terlihat jelas menggelayut di bawah matanya. Kemeja hitam yang dikenakan bahkan terlihat kusut, rambut yang setiap kali terlihat rapih kini tak terlihat lagi. Max benar-benar terlihat berantakan hari ini. "Kau baik-baik saja? Mama sampai tidak mengenalimu lho?" tanya Sophie heran melihat putranya. "Istriku ada dimana?" tanya Max pada kedua ibunya. "Vivian kelelahan, dia tertidur di kamar, mungkin saat ini sudah bangun," jawab Evelyn. "Baiklah terimakasih ma, aku akan menemuinya du
Justin lalu menyandarkan diri pada pintu sambil berusaha menahan emosi. "Anda akan peduli ataupun tidak, saya tidak akan mempermasalahkan tentang itu, saya hanya ingin anda tahu saja bahwa Max selama beberapa hari ini telah bekerja, mengurus kasus Vila, dan mengurusi anda secara bersamaan." "Anda tidak tahu, siapa yang membeli susu untuk ibu hamil, konsultasi kesehatan gizi untuk ibu hamil dan yang lainnya, saya sampai muak dengan kelakuan Max yang konyol itu, tapi itu demi anda Nona, demi istri dan anaknya." "Disamping jadwal syuting yang padat, kasus pemeriksaan Vila yang semakin rumit dan juga kehamilan anda, bisakah anda sedikit saja mengerti lelahnya Max, dia hanya ingin melepas lelahnya dengan anda," jelas Justin. "Lalu jika aku memerhatikannya, siapa yang akan memerhatiakan ku? Justin asal kau tahu aku tidak menginginkan anak ini sedikitpun, aku dijebak sampai harus mengandung anak dia, aku tidak menyukainya," balas Vivian. "Apakah sekarang kau akan bersimpati padaku? Kau
Tanpa terasa berbulan-bulan telah berlalu, dan kini Vivian telah berada didalam mobil untuk keberangkatan pemeriksaan kehamilan.Dengan hati-hati dia duduk di jok depan, dan ketika telah siap untuk berangkat, Max melirik sekilas pakaian istrinya."Haruskah dia memakai pakaian setipis itu?" batin Max saat melihat dress putih dengan bagian lengan menerawang.Tangan Max seakan ingin bergerak mengambil jaket di jok belakang, namun begitu teringat saat-saat Vivian mengusirnya seketika tangan yang hampir mengenai jaket tersebut langsung mengepal."Ah sudahlah." Max lantas menyalakan mesin lalu menyalakan mobil sementara Vivian tak lelah menatap pemandangan luar dengan pandangan kosong....Sekian jam dihabiskan dalam perjalanan, dan kini mereka telah tiba disebuah klinik kandungan. Mata Vivian mendongak dan tak sampai dua detik pandangannya kembali kosong.Sementara itu Max tergesa-gesa membukakan pintu untuk sang istri namun belum sempat melakukannya Vivian telah mandiri keluar sendiri.D
Dalam dinginnya hembusan angin pagi, Vivian melangkah menyusuri rerumputan menuju tepi danau. Begitu melihat kursi, wanita berbadan dua itu langsung duduk menikmati udara sejuk dengan mata terpejam.Sementara di tempat lain, Max membawa nampan untuk sarapan sang istri, namun matanya membulat terkejut saat Vivian tidak ditemukan di kamarnya."Kemana dia?"Dengan cepat Max berlari menemui para pelayan yang berkeliaran di dalam rumah."Kau melihat istriku?" tanya Max cemas."Saya lihat nona sedang berada di tepi danau tuan, apakah ada yang bisa saya bantu?" tawar pelayan tersebut sembari membungkukkan badan."Tidak, kau boleh pergi." Max langsung bergegas secepat mungkin menuju danau dibelakang Vila. Disamping itu pelayan tersebut tampak tersenyum tipis melihat perhatian tuan mereka pada istrinya."Akhirnya, setelah sekian lama saya bisa merasa tenang melihat tuan dan nona." Pelayan tersebut tersenyum sembari menatap sang tuan dengan pandangan tenang....Langkah kaki Max langsung terdia
Tanpa terasa 6 bulan telah berlalu, dan dalam jangka waktu tersebut sama sekali tak ada perubahan, Max tetap pada sikapnya begitupun Vivian, dia hanya patuh pada tugasnya. Sambil memandang cahaya dari kaca jendela, Vivian mengingat kembali memori bersama sang kekasih, ada pertanyaan besar yang terus mengganggunya hingga kini. "Bagaimana hubungan kami sekarang?" Vivian terus mempertanyakan tanpa mau mencari jawaban, karena jawaban yang pasti dia temukan bukanlah yang ingin dia dengar. Sambil mengelus perut yang mulai membesar wanita berambut coklat itu menatap kosong hamparan lantai. "Melepaskannya, apakah aku bisa?" "Ha...aku sama sekali tidak menginginkannya, tapi jika terus begini aku terlalu serakah, dia sangat pantas bahagia dengan wanita lain, sedangkan aku... Aku tak memiliki apapun yang pantas diberikan padanya," gumam Vivian. Cklek... Pintu terbuka, seperti biasa Max datang dengan nampan ditangannya. "Makanlah, anakku harus tumbuh sehat." Max memerintah, dia belum bis
Terasa lebih ringan beban yang menimpa aktor muda itu, namun entah mengapa ada lelah lain yang terus menanti untuk diselesaikan. Langkah pelan nan berat tiba-tiba menyusuri lantai menuju ruangan dimana ada seseorang yang dia inginkan disana.Cklek...Dalam sudut pandangnya terlihat wanita cantik nan indah sedang duduk sembari memegang botol kecil. Kedua matanya yang jernih nampak menatap lantai tanpa teralihkan sedikitpun.Max memerhatikan lagi benda di tangan istrinya, dan saat Max sadar, dengan cepat dia segera merebut benda tersebut."Kau sedang memakan obat apa?" tanya Max sambil merebut botol obat, keningnya berkerut marah.Vivian memandang Max pelan."Entahlah, Moa memberikannya padaku," jawab Vivian masih tetap dengan pandangan tanpa arti, kedua mata mereka bertemu namun Max tak menemukan cahaya kehidupan di titik itu sama sekali.Max langsung membaca tulisan yang tertempel di sisi botol. Tidak sepenuhnya mengerti namun dia tahu obat apa yang sedang dia pegang saat ini.Dengan
Tanpa terasa langit telah berubah warna, Vivian telah kembali menuju Vila. Langkah lemah menapak menyingkap rerumputan taman yang panjang, dan begitu pandangannya terangkat, disana sosok Max telah berdiri, dia lihat mata biru itu tengah memperhatikan dengan pandangan tak senang. "Kau darimana saja?" Vivian membalas dengan senyuman yang sangat indah, angin yang sengaja bertiup juga semakin mempercantik wajahnya. "Aku melepasnya, seperti keinginanmu aku telah memutuskannya," jawab Vivian dengan mata berkaca-kaca, menahan tangis yang terus bergejolak di dada. Vivian menurunkan pandangan. "Akan tetapi dia belum sepenuhnya melepas ku, jadi tolong biarkan aku membujuknya agar dia tidak menganggu ku lagi." Max tak bisa menjawab, melihat mata coklat bersinar hanya bisa membuatnya diam. "Jika kau memberiku izin, akan ku pastikan sebelum anak ini lahir aku akan meninggalkan dia sepenuhnya, bagaimana bisakah kau mewujudkan permintaanku?" "Baiklah, namun aku akan mengantarmu saat menemui
Di klinik kandungan, Vivian dibaringkan untuk melakukan USG melihat jenis kelamin buah hati mereka. "Selamat sepertinya anda berdua dikaruniai buah hati kembar," ucap dokter Oliv terlihat senang. Max fokus melihat gambar dalam layar, terlihat dua bayi tengah meringkuk disana. "Bagaimana dengan jenis kelaminnya?" tanya Max penasaran. "Sebentar, saya akan lihat." Dokter segera memerhatikan lagi. "Sepertinya anak anda laki-laki dan perempuan, anda bisa melihat di gambar ini." Dokter menunjuk letak gambar kelamin bayi. Max menarik nafas pelan. Tak bisa di tutupi hadirnya dua buah hati telah membuatnya teramat senang. "Kedua bayinya sehat kan?" tanya Max lagi. "Alhamdulillah dari hasil USG tak ada kecacatan sedikitpun." Max lalu melirik istrinya, bibirnya seakan ingin mengucapkan kalimat sakral yang mungkin akan mengubah kehidupan mereka, namun sayangnya ego yang besar telah meredam keinginan tersebut jauh dalam dalam, hingga Max hanya bisa memegang tangan Vivian erat-erat, tanp