Secepat mungkin Max menarik bahu Vivian agar mendekat padanya. "Bukankah kau harus memeriksa Vila ku? Mengapa kau diam saja?" tanya Max sinis sembari menegaskan Vivian adalah miliknya. Sementara sepasang kekasih yang tengah dimabuk asmara, tak melepas pandangan. Keduanya masih butuh waktu untuk saling menebus rindu satu sama lain. "Sebentar lagi, tunggulah aku menjemputmu," batin River lalu bergegas menjalankan tugas pemeriksaan. Vivian dapat merasakan ketenangan luar biasa saat bertemu sang kekasih. Raut wajahnya tak bisa disembunyikan lagi sampai-sampai Max hanya diam menahan geram yang hampir meledak seketika dari ubun-ubun. Dengan mata elang yang begitu tajam Max melirik istrinya. "Kau ikutilah aku," titah Max dengan tegas. ... Di belakang Vila, tepatnya di tepi danau Max berhadapan dengan sang istri, wajahnya yang tegas semakin sulit dipandang kala timbunan amarah terlihat jelas diwajahnya. "Dimana sapu tangan yang ku berikan waktu itu? JAWAB!" Vivian tertundu
Sejak malam itu Max tak lagi menampakkan diri. Satu bulan telah berlalu dan Vivian hanya menghabiskan waktu sepanjang haris didalam kamar. "Ini mustahil kan?" Sambil memegang perut, Vivian merasa cemas saat mendapati dalam satu bulan ini bulan merah tak kunjung datang. "Tapi aku selalu rutin meminum obat ini, mana mungkin aku bisa hamil." Untuk mengurangi kecemasan lantas Vivian bergegas mengambil telepon rumah yang disediakan khusus untuk menghubungi pelayan. "Halo." "Iya ada apa Nona?" "Kau siapa?" tanya Vivian mendengar balasan suara yang terdengar asing. "Saya Mita Nona." "Tolong panggilkan Moa ke kamarku secepatnya, aku butuh bantuannya." "Baik Nona akan segera saya sampaikan pada kepala pelayan." Percakapan langsung ditutup. Vivian kembali duduk ditepi ranjang sambil meraba perutnya. "Ya ini mustahil, mungkin aku sedang sakit saja," batinnya dengan pandangan kosong menatap lantai. Tok...tok... "Nona, saya Moa," ucap Moa mengetuk pintu. Dengan sigap Vivian membuk
Pagi menjemput, matahari telah melambai membangunkan wanita cantik diranjang king size. Begitu mata terbuka, Vivian tak menemukan keberadaan suaminya, dan secara bersamaan wanita itu teringat pada janin kecil yang hidup di rahimnya. "Membesarkannya... aku tidak bisa, aku sama sekali tidak bisa." Pikirannya langsung melintas ke lain waktu. River, nama indah tersebut langsung terpatri memenuhi isi kepalanya. "River, aku membutuhkan dia, aku harus menemuinya." Secepat mungkin Vivian bangun menyingkap selimut membiarkannya tergeletak dilantai. Tanpa memikirkan apapun wanita cantik itu membuka pintu kamar lalu berlari menuju lantai bawah. Begitu langkah kaki kecil menapak di ruang tengah, dari luar terdengar suara gemuruh langkah kaki datang. "Vivian!!!" Panggil seseorang dengan suara lantang. Bak! Pintu didobrak hingga nampak lah beberapa manusia berlarian datang. "Vivian kenapa kamu disini, kamu jangan kelelahan, ayo kita ke kamarmu sayang," ucap Sophie antusias. "P
Di halaman rumah para orang tua tengah asyik memanggang daging. Jun dan William tampak akrab dengan bahasan bisnis mereka, sementara Sophie dan Evelyn menyiapkan saus dan hidangan pembuka. "Max kemana anak itu? Mama tidak melihat batang hidungnya sejak tadi," celetuk Sophie. Baru saja dibicarakan, suara deru mobil tiba-tiba datang. "Baru saja di bahas, sudah datang saja." Sudah dapat ditebak, Max dan manajer kesayangannya telah datang. Saat kaki jenjang menapak tanah, kantung mata yang hitam dapat terlihat jelas menggelayut di bawah matanya. Kemeja hitam yang dikenakan bahkan terlihat kusut, rambut yang setiap kali terlihat rapih kini tak terlihat lagi. Max benar-benar terlihat berantakan hari ini. "Kau baik-baik saja? Mama sampai tidak mengenalimu lho?" tanya Sophie heran melihat putranya. "Istriku ada dimana?" tanya Max pada kedua ibunya. "Vivian kelelahan, dia tertidur di kamar, mungkin saat ini sudah bangun," jawab Evelyn. "Baiklah terimakasih ma, aku akan menemuinya du
Justin lalu menyandarkan diri pada pintu sambil berusaha menahan emosi. "Anda akan peduli ataupun tidak, saya tidak akan mempermasalahkan tentang itu, saya hanya ingin anda tahu saja bahwa Max selama beberapa hari ini telah bekerja, mengurus kasus Vila, dan mengurusi anda secara bersamaan." "Anda tidak tahu, siapa yang membeli susu untuk ibu hamil, konsultasi kesehatan gizi untuk ibu hamil dan yang lainnya, saya sampai muak dengan kelakuan Max yang konyol itu, tapi itu demi anda Nona, demi istri dan anaknya." "Disamping jadwal syuting yang padat, kasus pemeriksaan Vila yang semakin rumit dan juga kehamilan anda, bisakah anda sedikit saja mengerti lelahnya Max, dia hanya ingin melepas lelahnya dengan anda," jelas Justin. "Lalu jika aku memerhatikannya, siapa yang akan memerhatiakan ku? Justin asal kau tahu aku tidak menginginkan anak ini sedikitpun, aku dijebak sampai harus mengandung anak dia, aku tidak menyukainya," balas Vivian. "Apakah sekarang kau akan bersimpati padaku? Kau
Tanpa terasa berbulan-bulan telah berlalu, dan kini Vivian telah berada didalam mobil untuk keberangkatan pemeriksaan kehamilan.Dengan hati-hati dia duduk di jok depan, dan ketika telah siap untuk berangkat, Max melirik sekilas pakaian istrinya."Haruskah dia memakai pakaian setipis itu?" batin Max saat melihat dress putih dengan bagian lengan menerawang.Tangan Max seakan ingin bergerak mengambil jaket di jok belakang, namun begitu teringat saat-saat Vivian mengusirnya seketika tangan yang hampir mengenai jaket tersebut langsung mengepal."Ah sudahlah." Max lantas menyalakan mesin lalu menyalakan mobil sementara Vivian tak lelah menatap pemandangan luar dengan pandangan kosong....Sekian jam dihabiskan dalam perjalanan, dan kini mereka telah tiba disebuah klinik kandungan. Mata Vivian mendongak dan tak sampai dua detik pandangannya kembali kosong.Sementara itu Max tergesa-gesa membukakan pintu untuk sang istri namun belum sempat melakukannya Vivian telah mandiri keluar sendiri.D
Dalam dinginnya hembusan angin pagi, Vivian melangkah menyusuri rerumputan menuju tepi danau. Begitu melihat kursi, wanita berbadan dua itu langsung duduk menikmati udara sejuk dengan mata terpejam.Sementara di tempat lain, Max membawa nampan untuk sarapan sang istri, namun matanya membulat terkejut saat Vivian tidak ditemukan di kamarnya."Kemana dia?"Dengan cepat Max berlari menemui para pelayan yang berkeliaran di dalam rumah."Kau melihat istriku?" tanya Max cemas."Saya lihat nona sedang berada di tepi danau tuan, apakah ada yang bisa saya bantu?" tawar pelayan tersebut sembari membungkukkan badan."Tidak, kau boleh pergi." Max langsung bergegas secepat mungkin menuju danau dibelakang Vila. Disamping itu pelayan tersebut tampak tersenyum tipis melihat perhatian tuan mereka pada istrinya."Akhirnya, setelah sekian lama saya bisa merasa tenang melihat tuan dan nona." Pelayan tersebut tersenyum sembari menatap sang tuan dengan pandangan tenang....Langkah kaki Max langsung terdia
Tanpa terasa 6 bulan telah berlalu, dan dalam jangka waktu tersebut sama sekali tak ada perubahan, Max tetap pada sikapnya begitupun Vivian, dia hanya patuh pada tugasnya. Sambil memandang cahaya dari kaca jendela, Vivian mengingat kembali memori bersama sang kekasih, ada pertanyaan besar yang terus mengganggunya hingga kini. "Bagaimana hubungan kami sekarang?" Vivian terus mempertanyakan tanpa mau mencari jawaban, karena jawaban yang pasti dia temukan bukanlah yang ingin dia dengar. Sambil mengelus perut yang mulai membesar wanita berambut coklat itu menatap kosong hamparan lantai. "Melepaskannya, apakah aku bisa?" "Ha...aku sama sekali tidak menginginkannya, tapi jika terus begini aku terlalu serakah, dia sangat pantas bahagia dengan wanita lain, sedangkan aku... Aku tak memiliki apapun yang pantas diberikan padanya," gumam Vivian. Cklek... Pintu terbuka, seperti biasa Max datang dengan nampan ditangannya. "Makanlah, anakku harus tumbuh sehat." Max memerintah, dia belum bis