"MAMA!!" River tersungkur di aspal saat mobil polisi melaju begitu saja. "Hosh...hosh...bagaimana ini..." River meremas rambut, sangat terguncang dengan apa yang baru saja terjadi. "Ini salahku...aku yang bersalah." Remasan pada rambutnya semakin menguat. Ibunya telah pergi menyerahkan diri dan itulah saat dimana River merasa menyesal sedalam-dalamnya telah mendorong sang ayah hingga meregang nyawa. Sementara itu sang ayah telah diberi batas penjaga untuk dievakuasi dan saat itu pula ketika kepalanya terangkat dia dapat melihat Max diujung pandangan tengah memandangnya tanpa ekspresi. "Akh...dia," River sempat melamun, namun begitu sadar Max mulai menghampirinya, River lalu berdiri. Pandangannya langsung tertuju pada pakaiannya sendiri, lusuh dan kotor, jauh berbeda dengan pakaian Max yang selalu begitu bersih dan mahal. Bahkan dari alas kaki saja sudah dapat terlihat perbedaannya, sandal yang bisa dibeli oleh beberapa uang logam saja tak akan mampu menyamai sandal yang hany
Hari ini adalah hari pembagian juara kelas, hari bahagia seluruh siswa mendapatkan laporan hasil belajar mereka. Sementara itu Justin sedang menenteng sebuah Box sebagai tebusan atas permintaan maaf untuk River temannya. "Semoga dia bisa menerima permintaan maaf kita," batin Justin. Bersamaan dengan itu MC mulai berbicara. Juara dari kelas satu dan dua telah diumumkan sampai sorak bahagia terdengar bertebaran disekitarnya. Dan detik ini adalah saat-saat pengumuman kejuaraan untuk kelas 3 A tempat dimana para bintang sekolah berada disana. "Siapkanlah dirimu kau akan kedepan," ucap Max menepuk bahu Justin, sangat percaya diri temannya itu akan menduduki juara pertama seperti dua tahun sebelumnya. "Juara tiga Lovely!" Begitu diumumkan beberapa orang menjerit bahagia terutama Lovely yang merupakan putri sekolah. "Juara dua..." MC mengantungkan kalimat. Sudah tahu juara dua tak ada yang bisa menggeser River dari sana. "Juara dua jatuh kepada... JUSTIN QUINCY." Begitu mendengar nam
Secepat mungkin Max menarik bahu Vivian agar mendekat padanya. "Bukankah kau harus memeriksa Vila ku? Mengapa kau diam saja?" tanya Max sinis sembari menegaskan Vivian adalah miliknya. Sementara sepasang kekasih yang tengah dimabuk asmara, tak melepas pandangan. Keduanya masih butuh waktu untuk saling menebus rindu satu sama lain. "Sebentar lagi, tunggulah aku menjemputmu," batin River lalu bergegas menjalankan tugas pemeriksaan. Vivian dapat merasakan ketenangan luar biasa saat bertemu sang kekasih. Raut wajahnya tak bisa disembunyikan lagi sampai-sampai Max hanya diam menahan geram yang hampir meledak seketika dari ubun-ubun. Dengan mata elang yang begitu tajam Max melirik istrinya. "Kau ikutilah aku," titah Max dengan tegas. ... Di belakang Vila, tepatnya di tepi danau Max berhadapan dengan sang istri, wajahnya yang tegas semakin sulit dipandang kala timbunan amarah terlihat jelas diwajahnya. "Dimana sapu tangan yang ku berikan waktu itu? JAWAB!" Vivian tertundu
Sejak malam itu Max tak lagi menampakkan diri. Satu bulan telah berlalu dan Vivian hanya menghabiskan waktu sepanjang haris didalam kamar. "Ini mustahil kan?" Sambil memegang perut, Vivian merasa cemas saat mendapati dalam satu bulan ini bulan merah tak kunjung datang. "Tapi aku selalu rutin meminum obat ini, mana mungkin aku bisa hamil." Untuk mengurangi kecemasan lantas Vivian bergegas mengambil telepon rumah yang disediakan khusus untuk menghubungi pelayan. "Halo." "Iya ada apa Nona?" "Kau siapa?" tanya Vivian mendengar balasan suara yang terdengar asing. "Saya Mita Nona." "Tolong panggilkan Moa ke kamarku secepatnya, aku butuh bantuannya." "Baik Nona akan segera saya sampaikan pada kepala pelayan." Percakapan langsung ditutup. Vivian kembali duduk ditepi ranjang sambil meraba perutnya. "Ya ini mustahil, mungkin aku sedang sakit saja," batinnya dengan pandangan kosong menatap lantai. Tok...tok... "Nona, saya Moa," ucap Moa mengetuk pintu. Dengan sigap Vivian membuk
Pagi menjemput, matahari telah melambai membangunkan wanita cantik diranjang king size. Begitu mata terbuka, Vivian tak menemukan keberadaan suaminya, dan secara bersamaan wanita itu teringat pada janin kecil yang hidup di rahimnya. "Membesarkannya... aku tidak bisa, aku sama sekali tidak bisa." Pikirannya langsung melintas ke lain waktu. River, nama indah tersebut langsung terpatri memenuhi isi kepalanya. "River, aku membutuhkan dia, aku harus menemuinya." Secepat mungkin Vivian bangun menyingkap selimut membiarkannya tergeletak dilantai. Tanpa memikirkan apapun wanita cantik itu membuka pintu kamar lalu berlari menuju lantai bawah. Begitu langkah kaki kecil menapak di ruang tengah, dari luar terdengar suara gemuruh langkah kaki datang. "Vivian!!!" Panggil seseorang dengan suara lantang. Bak! Pintu didobrak hingga nampak lah beberapa manusia berlarian datang. "Vivian kenapa kamu disini, kamu jangan kelelahan, ayo kita ke kamarmu sayang," ucap Sophie antusias. "P
Di halaman rumah para orang tua tengah asyik memanggang daging. Jun dan William tampak akrab dengan bahasan bisnis mereka, sementara Sophie dan Evelyn menyiapkan saus dan hidangan pembuka. "Max kemana anak itu? Mama tidak melihat batang hidungnya sejak tadi," celetuk Sophie. Baru saja dibicarakan, suara deru mobil tiba-tiba datang. "Baru saja di bahas, sudah datang saja." Sudah dapat ditebak, Max dan manajer kesayangannya telah datang. Saat kaki jenjang menapak tanah, kantung mata yang hitam dapat terlihat jelas menggelayut di bawah matanya. Kemeja hitam yang dikenakan bahkan terlihat kusut, rambut yang setiap kali terlihat rapih kini tak terlihat lagi. Max benar-benar terlihat berantakan hari ini. "Kau baik-baik saja? Mama sampai tidak mengenalimu lho?" tanya Sophie heran melihat putranya. "Istriku ada dimana?" tanya Max pada kedua ibunya. "Vivian kelelahan, dia tertidur di kamar, mungkin saat ini sudah bangun," jawab Evelyn. "Baiklah terimakasih ma, aku akan menemuinya du
Justin lalu menyandarkan diri pada pintu sambil berusaha menahan emosi. "Anda akan peduli ataupun tidak, saya tidak akan mempermasalahkan tentang itu, saya hanya ingin anda tahu saja bahwa Max selama beberapa hari ini telah bekerja, mengurus kasus Vila, dan mengurusi anda secara bersamaan." "Anda tidak tahu, siapa yang membeli susu untuk ibu hamil, konsultasi kesehatan gizi untuk ibu hamil dan yang lainnya, saya sampai muak dengan kelakuan Max yang konyol itu, tapi itu demi anda Nona, demi istri dan anaknya." "Disamping jadwal syuting yang padat, kasus pemeriksaan Vila yang semakin rumit dan juga kehamilan anda, bisakah anda sedikit saja mengerti lelahnya Max, dia hanya ingin melepas lelahnya dengan anda," jelas Justin. "Lalu jika aku memerhatikannya, siapa yang akan memerhatiakan ku? Justin asal kau tahu aku tidak menginginkan anak ini sedikitpun, aku dijebak sampai harus mengandung anak dia, aku tidak menyukainya," balas Vivian. "Apakah sekarang kau akan bersimpati padaku? Kau
Tanpa terasa berbulan-bulan telah berlalu, dan kini Vivian telah berada didalam mobil untuk keberangkatan pemeriksaan kehamilan.Dengan hati-hati dia duduk di jok depan, dan ketika telah siap untuk berangkat, Max melirik sekilas pakaian istrinya."Haruskah dia memakai pakaian setipis itu?" batin Max saat melihat dress putih dengan bagian lengan menerawang.Tangan Max seakan ingin bergerak mengambil jaket di jok belakang, namun begitu teringat saat-saat Vivian mengusirnya seketika tangan yang hampir mengenai jaket tersebut langsung mengepal."Ah sudahlah." Max lantas menyalakan mesin lalu menyalakan mobil sementara Vivian tak lelah menatap pemandangan luar dengan pandangan kosong....Sekian jam dihabiskan dalam perjalanan, dan kini mereka telah tiba disebuah klinik kandungan. Mata Vivian mendongak dan tak sampai dua detik pandangannya kembali kosong.Sementara itu Max tergesa-gesa membukakan pintu untuk sang istri namun belum sempat melakukannya Vivian telah mandiri keluar sendiri.D