Diruang hening, Vivian terbangun di ranjang untuk pertama kalinya. Dia dapat merasakan tubuh yang tak berbalut sehelai kain tertelungkup dibalik selimut putih. Netra yang terbuka langsung disuguhkan pemandangan pria di sisinya. Kelelahan, Max terlihat seperti itu membuat Vivian merasa marah secara tiba-tiba. "Dia telah mengambil semuanya, kebahagiaanku, kehormatanku, semuanya tak tersisa." Vivian membatin. Wanita itu berbalik membelakangi. Dia teringat River, sang kekasih yang sangat dia cintai. Disaat itu pula tanpa rencana tetesan demi tetesan keluar dari pelupuk mata, merasa berdosa dengan apa yang telah dia lakukan semalam kemarin. Mendengar suara yang mengganggu telinga, pada akhirnya Max terbangun. Punggung indah penuh cupang terlihat jelas dari belakang. Saat dia hendak memeluk tubuh istrinya, Max terhenti kala menyadari Vivian tengah menangis tersedu-sedu. Dengan perasaan kesal, Max membuka selimut lalu berjalan menuju toilet tanpa sehelai kain apapun. Menyadari Max pergi
Secepat kilat Max menarik selimut dari tubuh sang istri. "Max!" Vivian berteriak, lalu segera menyilangkan tangan untuk menutupi tubuhnya yang tak berbalut apapun. Max termenung, begitu indah dan menawan, maha karya luar biasa yang bisa pria itu saksikan. "JANGAN MENDEKAT!!" Max tak teralihkan. Bola matanya berbinar saat melihat Vivian begitu cantik dan menggoda. "Max, JANGAN!" cegahnya lagi. Pria itu tak bisa mengendalikan diri, candu dan candu pikirannya terus berfikir demikian. Pengalaman pertama yang luar biasa, berhasil mereka rasakan kemarin malam, dan hari ini melihat Vivian didepannya, Max menginginkannya kembali. Rasa berdebar, dan kenikmatan tiada tara dia ingin merasakannya kembali. "Max, kumohon jangan seperti ini, aku salah, aku salah, tolong lepaskan aku." Vivian telah merendahkan diri serendah-rendahnya, namun Max seolah tak bisa mendengar. Pria itu tanpa aba-aba langsung menyerbu bibir ranum sang istri, memangutnya sampai Vivian kewalahan menghimpit tembok. "H
Sinar matahari menembus jendela, mengisi ruangan dengan cahaya hangat, namun bagi Vivian, cahaya itu hanyalah pengingat pedih bahwa sejak aksi pengurungan paksa, tak pernah ada lagi kebebasan untuknya. Suara kicauan burung, tarian bunga-bunga, semua keindahan itu seketika direnggut paksa dari kehidupannya. "Kapan ini akan berakhir?" Dada kembali terasa sakit, rasa takut dan marah bercampur aduk. Bagaimana jika Max memiliki obsesi berlebih terhadapnya? Jangankan membayangkan bebas, untuk sekadar melihat bukunya saja rasanya akan sangat sulit. Rasa takut semakin menggema di hati. Vivian benar-benar mengingat wajah Max saat itu, dengan wajahnya yang memaksa dan penuh penolakan serta kekangan, tampak seperti orang gila yang tak mampu berfikir. Vivian benar-benar takut. "Ini hanya sementara kan? Tidak mungkin dia melakukan ini untuk selamanya." Sambil menatap sinar matahari dari jendela, Vivian meratapi nasib. Kehormatannya telah hilang, kebahagiannya telah hilang, cintanya pun ikut
Srk..srk... Suara langkah kaki, menapak diatas dedaunan kering. Satu bulan telah berlalu dan kini pria berseragam dengan senjata khasnya hanya bisa menghela nafas putus asa menanti sang kekasih yang tak kunjung datang lagi. "Jika hari ini aku tidak menemukanmu lagi, hari ini juga akan kutanyakan pada orang-orang di Vila itu." River berencana. Dedaunan terus mengeluarkan bunyi seiring langkah berlalu, dan tiba-tiba dengan pandangan lesu, terlihat seorang wanita duduk meringkuk sembari memeluk kedua lutut, sendirian di tempat paling indah baginya. "Vivi?" panggil River dengan mata membulat. Wanita tersebut menoleh, menampakkan wajah sembab yang menyedihkan. "River..." Vivian tak kuat menahan tangis, melihat sosok paling dia rindukan selama ini kini berada dihadapan matanya dengan nyata. Secepat mungkin River memeluk wanita itu, mendekapnya dengan sungguh-sungguh. "Ku kira tak akan bertemu lagi denganmu, aku sangat khawatir." Sementara itu Vivian mengeratkan pelukan, me
"Memangnya aku bisa pergi dari sini?" Vivian menjawab dengan acuh. Dengan langkah cepat Max mendekati wanita itu, sembari mencengkram kedua tangannya dengan kasar. "Kau pura-pura bodoh atau bagaimana hah?" Max mendekatkan diri dengan Vivian, bola matanya bahkan terlihat seperti mengeluarkan cahaya merah seperti iblis. Secepat mungkin Vivian mendorong tubuh suaminya menjauh. "Lagi-lagi kau seperti ini, bisakah kau memperbaiki perilakumu mendekat secara tiba-tiba!" Manik coklat yang kerap bersinar kini berbalik arah, enggan melihat Max dalam pandangannya. "Pergilah, aku sedang tidak ingin melihatmu." Wanita itu kembali menatap jendela dengan kedua tangan dilipat. Tangan Max perlahan mengepal. Untuk yang kesekian kalinya lagi telinga ini mendengar penolakan dengan sangat jelas. Perlahan tangan pria tampan tersebut mengepal bahkan membuat sekujur tubuhnya mematung ditempat. "Ah...rupanya kau masih tidak ingin memberitahuku. Baiklah biar pelayan kesayanganmu saja yang akan merasaka
"Ya cukup begini saja, dia tak akan membenciku hanya karena ini kan?" Vivian baru saja terbangun setelah menghabiskan malam penuh hasrat. Di ruang kamar yang terasa bisu, dilihatnya Max sudah pergi, meninggalkan tumpukan seprai kusut disampingnya. "Sudah pakaian keberapa ini?" Vivian terbangun sambil menjumput dress yang kemarin dia kenakan, tampak koyak tak layak pakai. Selimut yang melekat ditubuhnya tampak begitu hangat dan nyaman, namun berlainan dengan isi pikiran, Vivian merasakan kekhawatiran yang menakutkan. Dia pegang perut yang tak berbalut apapun, tampak khawatir dengan kemungkinan yang akan terjadi selanjutnya. "Jangan sampai aku mengandung, aku harus segera mencegahnya." Setelah yakin bahwa Max tak ada di ruangan yang sama, segera selimut yang melekat dilepas diganti dengan kaos besar yang tersimpan banyak di lemari. Untuk pertama kalinya Vivian berani memakai pakaian pria, terlebih pakaian tersebut adalah milik Max-suaminya. "Dari pada tak memakai apapun, lebih
"Sini," pinta Max lalu mengangkat tubuhnya sampai terduduk diatas kasur. Saat surat telah berpindah tangan, Max dengan teliti membaca isi didalamnya. Paham dengan isi surat tersebut lantas Max segera menyimpan surat dalam laci. Bagai kilat, tanpa sedikitpun aba-aba Max langsung menarik tangan kanan Vivian sampai wanita itu duduk di pangkuannya. "Diamlah." Sedari tadi Max telah menahan diri, dan kini saat bibir sang istri nampak nyata didepan mata, tak ada penghalang lagi, Max mencium bibir ranum yang menyilaukan pagi ini seolah terus melambai meminta dikecup berkali-kali. "Hosh..." "Hosh..." Sejenak ciuman panas tersebut terhenti. Max dengan senyum menggoda menarik pinggang Vivian agar menempel sempurna dengannya. "Besok kamu tetaplah disini, jangan keluar selangkahpun mengerti?" Walaupun tak mendapat balasan, Max sudah menyimpulkan jawaban sang istri. Dia mencium bibir Vivian kembali memangutnya lebih ganas lagi. Pagi itu berlangsung panas hingga pagi datang lagi barulah me
"MAMA!!" River tersungkur di aspal saat mobil polisi melaju begitu saja. "Hosh...hosh...bagaimana ini..." River meremas rambut, sangat terguncang dengan apa yang baru saja terjadi. "Ini salahku...aku yang bersalah." Remasan pada rambutnya semakin menguat. Ibunya telah pergi menyerahkan diri dan itulah saat dimana River merasa menyesal sedalam-dalamnya telah mendorong sang ayah hingga meregang nyawa. Sementara itu sang ayah telah diberi batas penjaga untuk dievakuasi dan saat itu pula ketika kepalanya terangkat dia dapat melihat Max diujung pandangan tengah memandangnya tanpa ekspresi. "Akh...dia," River sempat melamun, namun begitu sadar Max mulai menghampirinya, River lalu berdiri. Pandangannya langsung tertuju pada pakaiannya sendiri, lusuh dan kotor, jauh berbeda dengan pakaian Max yang selalu begitu bersih dan mahal. Bahkan dari alas kaki saja sudah dapat terlihat perbedaannya, sandal yang bisa dibeli oleh beberapa uang logam saja tak akan mampu menyamai sandal yang hany