Aku yang sedang menjemur cucian sedikit terkejut dengan kedatangan Je. Dia tampak membawakan beberapa paper bag cukup besar saat menuruni sepeda motor dan berjalan menghampiri. Kuangkat ember dan membuang sisa air pewangi terlebih dahulu sebelum meminta izin meletakkannya kembali ke kamar mandi.
“Kamu pasti akan memerlukan semua ini,” sambut Je saat aku telah kembali menghampirinya di pelatar.
Ragu, kubuka paper bag tersebut. Masing-masing, terisi baik dari buku serta alat tulis, tas. Tak hanya itu, bahkan sepaket rok sekolah, topi, dasi, kaos kaki, jilbab, seragam olahraga hingga beberapa lembaran potongan kain bergambar lambing sekolah lengkap.
“J-Je, gimana aku bayar semua ini?” tanyaku terbata setengah tak percaya saat memikirkan nominal yang harus dibayarkan untuk itu semua.
“Aku belum tahu ukuran buat seragam sekolah kamu, jadi sementara itu dulu,” ujarnya yang sama sekali tak menanggapi pertanyaanku.
Kutut
Aku yang masih mematut diri di depan cermin rias terkesiap saat mendengar bunyi langkah mendekat. Terlebih saat menyadari pemilik langkah yang ternyata telah memasuki kamar dan berdiri tepat di belakang.“Ini di luar kesepakatan kita sebelumnya,” keluhku yang mengingat bahwa malam ini bukanlah saat yang tepat untuk dia datang.“Aku gak suka kalau ada bekas sentuhan tangan lain,” ungkapnya berjalan semakin mendekat dan memegangi kedua bahu, sedikit meremas pelan seolah tengah memijat. Meski begitu, aku cukup merasakan ketidaksukaannya yang tersampaikan.“Dari awal aku memang hanya barang bekas, kan? Kakak sendiri berani melewati batas karena mengetahui hal itu, kan?” Aku bertanya datar, walau pandangan hanya tertuju pada pantulan bayang wajahku sendiri.Sigap, pria itu beralih ke samping, tanpa izin mengangkat dan membawa tubuhku ke ranjang. Tak seperti biasanya, sikapnya kali ini terasa lebih kasar saat melepaskan satu
Aku termenung menatap foto yang sempat diambil dari isi pesan pada ponsel Kak Makmur.Apa arti yang selama ini kulakukan? Sebuah kesalahan fatal berdalih pertahanan hidup? Atau, hanya kebodohan dari pendeknya pemikiran?Aku mengakui sepenuhnya kalau semua ini terjadi karena aku begitu cepat mempercayai ucapan Kak Makmur yang sama sekali tanpa bukti dan tak berdasar. Aku terlalu segan untuk menanyai Kak Yuni perihal biaya sewa rumah, aku pun dengan cepat menyimpulkan sebuah ketakutan hidup di jalanan. Aku sama sekali tak berpikir panjang dalam mengambil keputusan.Namun, lagi-lagi penyesalan sama sekali takkan berguna. Setiap mengingat bagaimana liciknya Kak Makmur menipuku, bahkan menipu Kak Aulia, perasaan benci itu menggelegak dengan sangat hebat. Lalu menghasilkan letup-letupan amarah yang terus mengantarkan aroma menyesakkan dada. Terbesit pemikiran bahwa orang sepertinya tak pantas bersama Kak Aulia lebih lama dengan menimbun segunung dusta.Kak Auli
Tubuh yang bergerak di teratur di atasku terus mempercepat ritme permainannya. Setiap entakan kuterima dengan terus menggigit bibir bawah, sesekali meremas sprei yang dijadikan pegangan.Dibanding dua hari lalu, Kak Makmur terasa semakin memperlakukanku dengan beringas. Suasana malam yang pasti akan pecah dengan suara sekecil apa pun membuatku terpaksa menahan napas serta desahan. Saat gerakannya semakin keras mengguncangkan tubuh, bisa kurasakan saraf-saraf yang turut menggila. Kenikmatan itu serupa berhamburannya kertas-kertas kecil dari terompet yang ditiupkan, pecah, juga mengundang rasa lemas pada kedua tungkai setelahnya.Namun, jika biasanya Kak Makmur akan segera melepas dan menumpahkan cairan kental itu di dada, kali ini dia malah semakin memasukkan miliknya yang terasa menegang lebih dalam. Perlahan, tubuhnya yang bergerak memutus jarak di antara kami berdua mulai memelukku erat teriring rasa hangat dari basah yang mengalir membasahi sprei.“Nay,
Perlu keberanian sekaligus persiapan untuk kemungkinan terburuk. Bukti yang sudah ada di genggaman akan membalikkan keadaanku dan dengan Kak Makmur. Rasanya, aku seperti mengangkat beban dari pundak satu per satu. Hanya saja, masih tertinggal perasaan kasihan sekaligus bersalah pada Kak Aulia yang bagaimanapun juga dia sudah terasa seperti saudara kandungku. Aku sengaja membuat akun baru. Tanpa nama maupun foto profil yang akan digunakan untuk mengirimkan bukti yang sudah kukumpulkan tentang perselingkuhan Kak Makmur. Sekian foto panas bahkan video tak pantas. Tidak hanya itu, isi chat Kak Makmur dan selingkuhannya yang membahas tentang hal-hal kotor takkan kulewatkan satu pun. Jantungku berpacu layaknya selesai lari berkilo-kilo meter, tangan mulai berkeringat dan entah sudah berapa kali kuembuskan napas kasar hanya untuk meredakan gemuruh dalam dada. “Aku harap dengan ini, semuanya bisa lekas membaik.” Maksudku, sepandai-pandainya tupai melompat, dia akan j
Usai pertengkaran Kak Makmur dengan Kak Aulia, tak terdengar lagi suara apa-apa dari rumah mereka. Aku sendiri memilih bersiap pergi karena Je telah mengirimkan pesan bahwa akan segera menjemput sesuai janjinya. Saat berniat ke toilet, aku sedikit terkejut melihat pintu rumah belakang yang terbuka. Ketakutan yang sempat menyinggahi pun sedikit mereda saat melihat sosok Kak Aulia-lah yang berada di dalamnya.“Nay!” Kak Aulia yang juga melihatku tanpa ragu memanggil.Setelah menoleh dan memastikan sekitar, kulangkahkan kaki masuk mendekatinya. Meski dalam kondisi cahaya yang tak terlalu terang, aku masih bisa melihat mata sembabnya. Kuamati kedua pipinya yang bagaimanapun bekas tamparan dari Kak Makmur seakan hampir-hampir tak berjejak.“Kamu pasti denger keributan tadi? Maaf.” Tawa kecil bercampur nada getir terdengar darinya.Aku terdiam, tak bisa menjawab atau membalas apa pun. Rasa bersalah itu semakin meraksasa saat kami h
Setelah melajukan kembali sepeda motor, Je berniat mengajak untuk ke pantai sebelum makan malam. Aku mengiyakan karena hanya berpikir kalau tujuannya adalah siring pantai yang memang selalu ramai pengunjung. Namun, ternyata dia malah melaju cukup jauh meninggalkan perbatasan kota, kemudian baru berhenti pada pantai yang suasananya lebih sepi.Aku hanya terdiam memandangi air laut yang terus menghantam pasir di pinggiran pantai. Langit lagi-lagi sedang terang meski belum bulan purnama.Je terlebih dahulu menuruni sepeda motornya. Terpa angin yang sejuk malah mengantarkan sesak di dadaku.“Apa kita perlu pergi ke tempat lain saja, Nay?” tanya Je yang menyadarkanku.Aku yang segera menoleh, mendapati tangan Je masih menggantung terulur padaku.Kuanggukkan kepala pelan. “Apa boleh?”Je malah tersenyum, tangan yang semula terulur dilipatkannya di bawah dada, kemudian tubuh dan wajahnya membungkuk. “Tentu,&rdquo
Kuakhiri lambaian tangan setelah bayang dan bunyi sepeda motor benar-benar telah menghilang. Kutengadahkan kepala, menarik napas panjang dan mengempaskannya. Langit tampak semakin gelap karena awan mendung yang berarak. Padahal, masih musim kemarau, apakah hujan akan benar-benar datang?Kuraba dada, kemudian perlahan kembali menundukkan wajah. Perasaan hangat ini, sudah lama sekali sejak terakhir singgah. Apa sekarang aku akan bisa mempertahankannya sedikit lebih lama dibanding sebelumnya? Degup-degup keras yang menggila, tapi aku malah diliputi ketenangan yang begitu nyaman.Langkah pun terasa lebih ringan saat mulai memasuki rumah. Yang sedari tadi berputar di kepala hanya bagaimana kami terasa begitu dekat, saling bercanda dan tertawa. Apa aku merindukan sosoknya, atau hanya merindukan bagaimana bersamanya bisa menjadi manusia yang apa adanya?Kuempaskan tubuh ke ranjang setelah melemparkan tas sembarang arah. Pandangan masih mengedar pada langit-langit kamar
Semua seakan begitu cepat. Suara berdebum yang diiringi melemahnya tekanan bantal pada wajah hingga aku bisa segera menyingkirkan dan bangkit berduduk. Napasku masih tersengal saat pandangan samar-samar melihat Kak Makmur yang meringis di lantai.“Jangan mendekat! Kalau mendekat, saya tidak akan segan-segan melapor ke polisi!” ancam Je.“Nay, kita melakukannya suka sama suka. Kamu melayaniku secara sukarela demi uang ….” Belum selesai Kak Makmur berucap dengan tawa sinis, Je terlebih dahulu menghampiri dan menutup kedua telingaku rapat-rapat.“A-ayo pergi, Je,” pintaku pelan.Je masih bergeming, amarahnya bisa kurasakan dari empasan napas bahkan detak dari dadanya yang sama keras hingga terasa.“Aku mohon, Je! Kita pergi saja!” desakku yang mengalihkan kedua tangannya dari telinga, kemudian menatap sepasang matanya yang tampak nanar.Je yang mengalah akhirnya membantuku untuk berdi