Usai pertengkaran Kak Makmur dengan Kak Aulia, tak terdengar lagi suara apa-apa dari rumah mereka. Aku sendiri memilih bersiap pergi karena Je telah mengirimkan pesan bahwa akan segera menjemput sesuai janjinya. Saat berniat ke toilet, aku sedikit terkejut melihat pintu rumah belakang yang terbuka. Ketakutan yang sempat menyinggahi pun sedikit mereda saat melihat sosok Kak Aulia-lah yang berada di dalamnya.
“Nay!” Kak Aulia yang juga melihatku tanpa ragu memanggil.
Setelah menoleh dan memastikan sekitar, kulangkahkan kaki masuk mendekatinya. Meski dalam kondisi cahaya yang tak terlalu terang, aku masih bisa melihat mata sembabnya. Kuamati kedua pipinya yang bagaimanapun bekas tamparan dari Kak Makmur seakan hampir-hampir tak berjejak.
“Kamu pasti denger keributan tadi? Maaf.” Tawa kecil bercampur nada getir terdengar darinya.
Aku terdiam, tak bisa menjawab atau membalas apa pun. Rasa bersalah itu semakin meraksasa saat kami h
Setelah melajukan kembali sepeda motor, Je berniat mengajak untuk ke pantai sebelum makan malam. Aku mengiyakan karena hanya berpikir kalau tujuannya adalah siring pantai yang memang selalu ramai pengunjung. Namun, ternyata dia malah melaju cukup jauh meninggalkan perbatasan kota, kemudian baru berhenti pada pantai yang suasananya lebih sepi.Aku hanya terdiam memandangi air laut yang terus menghantam pasir di pinggiran pantai. Langit lagi-lagi sedang terang meski belum bulan purnama.Je terlebih dahulu menuruni sepeda motornya. Terpa angin yang sejuk malah mengantarkan sesak di dadaku.“Apa kita perlu pergi ke tempat lain saja, Nay?” tanya Je yang menyadarkanku.Aku yang segera menoleh, mendapati tangan Je masih menggantung terulur padaku.Kuanggukkan kepala pelan. “Apa boleh?”Je malah tersenyum, tangan yang semula terulur dilipatkannya di bawah dada, kemudian tubuh dan wajahnya membungkuk. “Tentu,&rdquo
Kuakhiri lambaian tangan setelah bayang dan bunyi sepeda motor benar-benar telah menghilang. Kutengadahkan kepala, menarik napas panjang dan mengempaskannya. Langit tampak semakin gelap karena awan mendung yang berarak. Padahal, masih musim kemarau, apakah hujan akan benar-benar datang?Kuraba dada, kemudian perlahan kembali menundukkan wajah. Perasaan hangat ini, sudah lama sekali sejak terakhir singgah. Apa sekarang aku akan bisa mempertahankannya sedikit lebih lama dibanding sebelumnya? Degup-degup keras yang menggila, tapi aku malah diliputi ketenangan yang begitu nyaman.Langkah pun terasa lebih ringan saat mulai memasuki rumah. Yang sedari tadi berputar di kepala hanya bagaimana kami terasa begitu dekat, saling bercanda dan tertawa. Apa aku merindukan sosoknya, atau hanya merindukan bagaimana bersamanya bisa menjadi manusia yang apa adanya?Kuempaskan tubuh ke ranjang setelah melemparkan tas sembarang arah. Pandangan masih mengedar pada langit-langit kamar
Semua seakan begitu cepat. Suara berdebum yang diiringi melemahnya tekanan bantal pada wajah hingga aku bisa segera menyingkirkan dan bangkit berduduk. Napasku masih tersengal saat pandangan samar-samar melihat Kak Makmur yang meringis di lantai.“Jangan mendekat! Kalau mendekat, saya tidak akan segan-segan melapor ke polisi!” ancam Je.“Nay, kita melakukannya suka sama suka. Kamu melayaniku secara sukarela demi uang ….” Belum selesai Kak Makmur berucap dengan tawa sinis, Je terlebih dahulu menghampiri dan menutup kedua telingaku rapat-rapat.“A-ayo pergi, Je,” pintaku pelan.Je masih bergeming, amarahnya bisa kurasakan dari empasan napas bahkan detak dari dadanya yang sama keras hingga terasa.“Aku mohon, Je! Kita pergi saja!” desakku yang mengalihkan kedua tangannya dari telinga, kemudian menatap sepasang matanya yang tampak nanar.Je yang mengalah akhirnya membantuku untuk berdi
Usai menenangkanku, baru Je menepati janji untuk pergi ke tempat fotokopi yang maksud. Aku sedikit tak menduga karena tempatnya benar-benar tak jauh dari SMA 1. Jika berdiri pada jalanan di sisi SMA 1 yang menghubungkan langsung pada pantai, menuju rumah adalah belok kiri, sedang menuju tempat fotokopi tersebut adalah ke kanan.Saat berhenti di depan, Je yang memarkir sepeda motornya kemudian turun terlebih dahulu. Aku memilih berjalan tetap di belakangnya dengan menjaga jarak. Kami disambut oleh seorang wanita paruh baya yang tampak masih bugar. Wanita yang semula tampak sibuk merapikan beberapa alat tulis pada etalase itu tersenyum ramah.Je memperkenalkan diri sebelum kemudian turut mengenalkanku juga, baru setelahnya mempertanyakan perihal lowongan yang sempat dia ketahui. Mendengar hal itu, wanita tersebut juga memberitahu bahwa nama beliau adalah Bu Dama. Kami dipersilakan masuk dan duduk.Tempat ini tak terlalu besar, tapi harus kuakui saat memindainya ta
Aku menolak turun dari sepeda motor saat Je berhenti di halaman sebuah penginapan.“Anterin aku pulang, Je,” tolakku menatap nanar sepasang mata pria yang sama sekali tak membiaskan rasa bersalah itu.Aku memang merasa berat untuk kembali pulang, tapi bukan berarti pun harus sampai seperti ini.“Sementara kamu di sini dulu sampai kita bisa menemukan kost baru, Nay.” Je mengulurkan tangan dengan isyarat meminta agar aku segera turun.Aku menggeleng tegas. Walaupun benar, sama sekali hal itu tak bisa dijadikan alasan ….“Jangan khawatir. Setelah pesan kamar buat kamu dan memastikan kamu benar-benar aman, aku langsung pulang,” ujarnya mengacak rambutku dengan gemas.“Gak usah. Kalau kamu khawatir, aku bisa minta izin tidur sama Kak Aulia malam ini. Gimana?” tawarku.Je meletakkan jari telunjuknya melekat pada kedua bibirku, sedikit berbisik, “Ssst!”“Atau kam
[Kamu ke mana aja jam segini belum pulang? Apa kamu seperti ini karena sudah menemukan orang baru, Nay?][Aku minta maaf kalau pagi tadi sudah menyakiti kamu, Nay. Seperti yang kamu dengar, Aulia sudah menceraikan aku, kan?][Nayla! Jangan sampai membuatku marah. Kamu pikir kamu siapa?]Aku mengembuskan napas perlahan. Baru menyalakan ponsel, rentetan pesan dari Kak Makmur silih berganti masuk. Satu, dua, tiga pesannya masih bisa kusingkirkan dari bar notifikasi. Tapi, semakin banyak yang berdatangan, membuat kerja ponsel melambat dan … aku salah menekan hingga semuanya terbuka.Meski tak berniat membaca semuanya, beberapa pesan terakhir yang dikirimkan dalam rentang waktu berdekatan itu tetap saja tertangkap oleh penglihatan. Semakin lama, topeng yang terbuka dari pria itu semakin menunjukkan wajah asli yang persis seperti Kak Ijul. Mengingat hal itu, tanpa sadar aku kembali meringis seolah nyeri bekas tamparannya kemarin masih saja berjejak.
Aku yang pertama kalinya merasakan dunia kerja, benar-benar mendapat cukup banyak pengalaman serta rasa lelah berkali-kali lipat dibanding biasanya.Saat sarapan bersama, Bu Dama telah memberitahuku sedikit banyaknya bagaimana di tempat ini. “Kalau sepi, mau tiduran santai gak ada yang ganggu. Tapi, kalau sudah ramai, mau duduk pun susah.” Begitulah celetukan Bu Dama.Namun, dugaan bahwa tempat fotokopi yang jauh dari kota ini takkan terlalu ramai ternyata salah. Walau bukan dari anak-anak sekolah, pekerjaan yang berdatangan hari ini lebih banyak dari dinas dan berbagai lembaga.Selain memberitahu apa saja yang harus dilakukan, Bu Dama juga telah mengajariku cara mengoperasikan mesin fotokopi hingga cara memasukkan kertas jika habis. Semakin melewati waktu di sini pun, aku cukup mengerti kenapa Bu Dama mendapatkan pelanggan-pelanggan setia.Harga yang murah, pelayanan yang baik dan ramah. Bu Dama juga tak lupa mengingatkanku agar tetap sabar b
Kuteruskan langkah menuju rumah belakang tanpa berniat memedulikan sosok itu. Aku yang menunduk, hanya bisa merasakan keberadaan Je serta melihat sepasang kaki kami yang beriringan melangkah. Begitu menaiki pelatar rumah belakang, tergesa kuketuk pintu tempat Kak Aulia tinggal. Tak lama, wanita itu membukakan, sedikit terkejut saat melihatku dan segera menyambut masuk.“Malam banget, Nay. Dari mana aja?” tanya Kak Aulia.“Aku udah dapat kerjaan, Kak. Kost juga, semua karena bantuan Je,” sahutku menjelaskan.Serta merta Kak Aulia mengucap syukur dengan senyum penuh yang mengembang sempurna di bibirnya.“A-aku udah mulai kerja, trus juga dua atau tiga hari lagi pindah ke kost, Kak. Malam ini, aku juga bakal nginep di rumah temen. Dia temen paling akrab aku di sekolah, mau pindah ke kota lain juga. Apa aku boleh habisin waktu sama dia dulu, Kak?” jelasku sebelum meminta izin dengan teramat hati-hati.Tampak Kak Auli