Aku menolak turun dari sepeda motor saat Je berhenti di halaman sebuah penginapan.
“Anterin aku pulang, Je,” tolakku menatap nanar sepasang mata pria yang sama sekali tak membiaskan rasa bersalah itu.
Aku memang merasa berat untuk kembali pulang, tapi bukan berarti pun harus sampai seperti ini.
“Sementara kamu di sini dulu sampai kita bisa menemukan kost baru, Nay.” Je mengulurkan tangan dengan isyarat meminta agar aku segera turun.
Aku menggeleng tegas. Walaupun benar, sama sekali hal itu tak bisa dijadikan alasan ….
“Jangan khawatir. Setelah pesan kamar buat kamu dan memastikan kamu benar-benar aman, aku langsung pulang,” ujarnya mengacak rambutku dengan gemas.
“Gak usah. Kalau kamu khawatir, aku bisa minta izin tidur sama Kak Aulia malam ini. Gimana?” tawarku.
Je meletakkan jari telunjuknya melekat pada kedua bibirku, sedikit berbisik, “Ssst!”
“Atau kam
[Kamu ke mana aja jam segini belum pulang? Apa kamu seperti ini karena sudah menemukan orang baru, Nay?][Aku minta maaf kalau pagi tadi sudah menyakiti kamu, Nay. Seperti yang kamu dengar, Aulia sudah menceraikan aku, kan?][Nayla! Jangan sampai membuatku marah. Kamu pikir kamu siapa?]Aku mengembuskan napas perlahan. Baru menyalakan ponsel, rentetan pesan dari Kak Makmur silih berganti masuk. Satu, dua, tiga pesannya masih bisa kusingkirkan dari bar notifikasi. Tapi, semakin banyak yang berdatangan, membuat kerja ponsel melambat dan … aku salah menekan hingga semuanya terbuka.Meski tak berniat membaca semuanya, beberapa pesan terakhir yang dikirimkan dalam rentang waktu berdekatan itu tetap saja tertangkap oleh penglihatan. Semakin lama, topeng yang terbuka dari pria itu semakin menunjukkan wajah asli yang persis seperti Kak Ijul. Mengingat hal itu, tanpa sadar aku kembali meringis seolah nyeri bekas tamparannya kemarin masih saja berjejak.
Aku yang pertama kalinya merasakan dunia kerja, benar-benar mendapat cukup banyak pengalaman serta rasa lelah berkali-kali lipat dibanding biasanya.Saat sarapan bersama, Bu Dama telah memberitahuku sedikit banyaknya bagaimana di tempat ini. “Kalau sepi, mau tiduran santai gak ada yang ganggu. Tapi, kalau sudah ramai, mau duduk pun susah.” Begitulah celetukan Bu Dama.Namun, dugaan bahwa tempat fotokopi yang jauh dari kota ini takkan terlalu ramai ternyata salah. Walau bukan dari anak-anak sekolah, pekerjaan yang berdatangan hari ini lebih banyak dari dinas dan berbagai lembaga.Selain memberitahu apa saja yang harus dilakukan, Bu Dama juga telah mengajariku cara mengoperasikan mesin fotokopi hingga cara memasukkan kertas jika habis. Semakin melewati waktu di sini pun, aku cukup mengerti kenapa Bu Dama mendapatkan pelanggan-pelanggan setia.Harga yang murah, pelayanan yang baik dan ramah. Bu Dama juga tak lupa mengingatkanku agar tetap sabar b
Kuteruskan langkah menuju rumah belakang tanpa berniat memedulikan sosok itu. Aku yang menunduk, hanya bisa merasakan keberadaan Je serta melihat sepasang kaki kami yang beriringan melangkah. Begitu menaiki pelatar rumah belakang, tergesa kuketuk pintu tempat Kak Aulia tinggal. Tak lama, wanita itu membukakan, sedikit terkejut saat melihatku dan segera menyambut masuk.“Malam banget, Nay. Dari mana aja?” tanya Kak Aulia.“Aku udah dapat kerjaan, Kak. Kost juga, semua karena bantuan Je,” sahutku menjelaskan.Serta merta Kak Aulia mengucap syukur dengan senyum penuh yang mengembang sempurna di bibirnya.“A-aku udah mulai kerja, trus juga dua atau tiga hari lagi pindah ke kost, Kak. Malam ini, aku juga bakal nginep di rumah temen. Dia temen paling akrab aku di sekolah, mau pindah ke kota lain juga. Apa aku boleh habisin waktu sama dia dulu, Kak?” jelasku sebelum meminta izin dengan teramat hati-hati.Tampak Kak Auli
“A-ada apa, Je?” tanyaku tak bisa menyembunyikan getar pada suara yang keluar.Je menuntunku untuk turun dan berdiri menghadapku. Tangannya menggenggam kedua tanganku dengan erat. “Nay, apa pun yang terjadi, jangan takut. Kamu gak sendiri,” ucapnya tanpa bisa kumengerti untuk apa, dan juga kenapa.Tak lama berselang, sepeda motor lain berhenti menghampiri kami. Je melepaskan genggaman tangannya dan berdiri membelakangiku untuk menghadap orang itu.“Lama tidak bertemu di luar rumah, ya, Nay. Akhir-akhir ini, kita hanya menghabiskan waktu di kamar tanpa bisa banyak bicara,” sapa pemilik sepeda motor yang lebih tepatnya tengah menghinaku itu.“Apalagi yang kamu inginkan? Berhenti mengganggu Nayla!” potong Je.“Kamu benar-benar akan mengakhiri hubungan kita seperti ini, Nay? Aku sama Aulia sudah memutuskan buat cerai, jadi gak akan ada yang menghalangi atau perlu kamu takuti lagi sekarang,” bu
Je menghentikan sepeda motornya di depan toko. “Kamu yakin bisa kerja, Nay? Mata kamu masih bengkak, wajah kamu juga keliatan pucat,” tanyanya khawatir setelah aku turun. Tak lupa dia memberikan makanan yang sebelumnya dibeli untuk sarapanku.“Kamu terlalu berlebihan mengkhawatirkanku. Sudah, pergi sana. Makasih!” usirku setelah memegangi kantong plastik. Pagi ini, aku sengaja hanya meminta nasi bungkus agar Je tak memilih apalagi membelikan sesuatu yang mahal.“Kunci toko mana? Biar aku yang bukain!” tagihnya.“Aku mau belajar sendiri!” tolakku yang tak ingin lebih ketergantungan padanya.“Kenapa? Itu berat, memangnya kuat?”“Je, biarin aku belajar sendiri. Aku … pasti bakal minta bantu kalau kesulitan nanti.” Aku memohon dengan tegas.Sejak kejadian tadi malam, tak ada sedikit pun yang berubah dari sikap Je terhadapku. Sepertinya, hanya aku yang merasa malu seka
Aku menghitung satu per satu jumlah lembaran dari setiap berkas, lalu menuliskan di kertas kecil dan turut menyelipkannya saat menjepit agar mudah mentotalkan harganya. Kak Amran yang sibuk membongkar bagian-bagian mesin, tapi tak jarang dia melirik ke arahku lalu tertawa kecil. Aku berusaha tetap mengabaikan dengan menganggapnya tak ada.“Kamu gak cape ngitung, Nay?” tanyanya meski tangan terus berkutat memegang obeng.“Mau cape juga, ya, gimana lagi,” jawabku sekenanya.Kak Amran kembali fokus pada pekerjaannya. Belum aku selesai menghitung, seorang bapak berperut buncit yang tampak sudah cukup berumur memanggil dan meletakkan sebuah plastik besar
Satu hari lagi telah terlewati, dengan kuanggap cukup baik. Mesin yang masih belum selesai diperbaiki, menandakan besok pun aku masih harus bertemu dengan Kak Amran. Je yang menjemputku sebelum toko benar-benar tutup pun, terlihat kurang menyukai keberadaan pria itu. Dia hanya menyapa seperlunya, dan segera mengajakku pergi.“Dia orang baru, Nay? Tapi Bu Dama gak kasih tau kalau bakal nyari orang lagi,” tanya Je beberapa saat setelah sepeda motor melaju meninggalkan toko.“Bukan. Ada mesin yang bermasalah, jadi dia itu teknisi yang datang buat service aja,” sahutku.Je hanya berdeham, kemudian menambah kecepatan hingga kami lebih cepat meninggalkan perkampungan. Kurapatkan sweater yang menjadi salah satu dari isi tote bag pemberian Je. Saat sepeda motor dibelokkan ke arah jembatan yang menghubungkan antar kota pun, aku hanya berpiikir bahwa Je akan mengajak makan malam seperti biasa. Namun, dugaanku salah karena dia malah berhenti pada se
“Nay! Dengarkan aku!” Suara panggilan itu terdengar di antara dengungan-dengungan keras yang memenuhi telinga.Aku masih memegangi dada yang terasa sesak, degup yang sangat kencang di dalam menimbulkan rasa sakit. Seluruh otot terus terasa menegang hingga pada beberapa titik aku mulai merasa seolah mati rasa. Keringat semakin membasahi.Uluran tangan itu memberikan bantal, kemudian mengalihkan kedua tanganku sendiri untuk memeluknya. Aku meremas keras bagian ujung-ujung bantal, berusaha mengalihkan perasaan-perasaan sakit yang seperti menerjang seluruh tubuh.“Tarik napas, lalu keluarkan pelan-pelan,” instruksinya yang kemudian diiring hitungan berulang. Kuikuti apa yang bisa kudengar, hingga satu per satu rasa sesak itu seperti diurai.“Aku sangat mengerti keadaan kamu sekarang, Nay. Kamu gak sendirian,” ucapnya yang terasa seperti tetes-tetes air menghujani, mendinginkan, dan sangat menenangkan.Aku yang mulai