Hari ini Lea kembali berniat menggoda Haiden. Pernikahan yang masih berusia tiga bulan ini, sudah terlalu dingin. Lea tak ingin membuatnya semakin dingin, dia harus secepatnya menghangatkan hubungan antara dia dan suaminya.
Sudah jam delapan malam, Lea telah mengenakan lingerie yang ia beli saat siang tadi. Sejujurnya Lea tak diperbolehkan keluar tanpa izin dari Haiden. Tadi siang dia sama sekali tak izin karena dia merasa tak perlu. Izin tak izin, sepertinya Haiden tak akan peduli untuk saat ini–pria itu hanya peduli pada pekerjaan. Lagipula Lea hanya sebentar, jalan-jalan ke mall untuk menenangkan pikiran sejenak. Tampilannya sudah seksi dan jauh lebih menggoda dari malam sebelumnya. Seperti tadi malam, Lea berias dan mengenakan parfum yang banyak. "Halo, Mas Haiden sayang. Malam ini kamu pulang jam berapa yah kalau boleh tahu?" tanya Lea dengan lembut dan manis. Namun, alih-alih mendapat sambutan hangat, dia malah dimarahi oleh Haiden. 'Kepala maid melapor jika kau keluar dari rumah. Kemana?' dingin Haiden di seberang sana. "A-aku … hanya keluar sebentar, ke mall. Sebentar kok, Mas," cicit Lea. 'Aku paling tidak suka kau berkeliaran, Azalea. Awas saja kau! Setelah aku pulang, aku akan menghukummu.' Lea awalnya takut tetapi bersemangat karena Haiden mengetakana setelah pulang. Itu berarti suaminya akan segera pulang bukan? "Iya, hukum saja tak apa-apa, Mas. Hehehe … Adinda dengan segenap jiwa menunggu hukuman Kakanda. Eh, tapi-- kamu masih lama tak pulangnya? Ada yang ingin kutunjukkan pada Mas Haiden terlope-lope soalnya. Ini spesial!" cerocos Lea, mulai kesetelan pabrik karena terlalu antusias dan bersemangat. Ah, dia tak sabar suaminya pulang. Dia yakin sekali kali ini dia akan berhasil meluluhkan Haiden. Kepercayaan diri Lea bertambah karena bantuan lingerie yang dia kenakan. 'Humm. Seminggu lagi.' "Hah? Seminggu lagi?" Lea mengerutkan kening, "memangnya Mas di mana? Kenapa seminggu lagi baru pulang?" Lea mulai panik dan perlahan kesedihan menghampirinya. Beberapa detik Lea merasa seperti orang linglung, saking syok mendengar suaminya pulang seminggu lagi. 'Luar kota.' Suara rendah Haiden terdengar, 'jangan bertingkah selama aku di sini. Aku selalu mengawasimu, Sweetheart.' lanjut pemilik suara bariton yang berat tersebut. "Luar kota yah?" Lea berkata pelan, suaranya getir dan serak. Napasnya mulai memburu, hatinya terasa perih dan dadanya terasa panas. Tes' Bulir kristal jatuh dari pelupuk, Lea merasa perih dan itu teramat sakit. Suaminya keluar kota dan baru mengabari sekarang. Seandainya Lea tak menelpon, dia yakin sekali Haiden tak akan pernah memberitahunya. Apa Haiden menganggapnya istri? Mungkinkah Lea hanya istri pajangan? 'Ada apa dengan suaramu? Kau sakit, Sweetheart?' Suara Haiden terdengar penuh perhatian. Akan tetapi itu sama sekali tak menyentuh bagi Lea yang sudah terlanjur sakit hati. "Tanya bapakmu!" emosi Lea, lagi-lagi menjatuhkan air mata karena merasa dipermainkan oleh Haiden. Lea begitu effort untuk menyiapkan malam ini. Dia membeli lingerie baru, dia mencari parfum terbaik yang cocok untuk penciuman Haiden, dia juga berendam untuk membuat kulitnya semakin bersinar. Ia lakukan semuanya demi menyenangkan Haiden, demi mendapatkan sentuhan-- Tetapi suaminya? Pria itu sudah berada di luar kota! Jahat sekali. 'Azalea Ariva Mahendra! Pantas kau berbicara seperti itu, Hah?! Ck, aku ke luar kota untuk pekerjaan. Hanya seminggu, tidak lama. Sekarang tidurlah.' "Aku tidak mau tidur!" teriak Lea marah, Haiden di seberang sana berdecak kesal dan menggeram marah. 'Azalea!!' peringat Haiden dengan nada mengerikan. "Mas Haiden, aku ingin kita …-" 'Tuan Haiden, kita telah sampai.' Ucapan Lea seketika berhenti, dadanya semakin sesak dan perih saat mendengar suara perempuan. Suara yang sama dengan yang sebelumnya. Lea langsung mematikan sambungan telepon dan juga buru-buru memblokir nomor Haiden. Suaminya ke luar kota bersama seorang perempuan? Haiden mengatakan untuk pekerjaan. Tetapi … apakah Lea-- istri yang tak pernah disentuh ini lagi, percaya akan hal itu?! "Argkkk!" Lea menjerit marah, membanting tubuhnya ke ranjang lalu menangis di sana. "Dia bilang dia akan menjadi suami baik. Tapi ini apa?! Dia ke luar kota dengan seorang perempuan-- entah perempuan itu siapa." "Jahat! Haiden jahat! Benar kata Ziea, Haiden banteng! Aaaarkkk …," tangis Lea, terus menepuk-nepuk dadanya yang terasa sakit dan panas. Malam itu, dia menangis sesenggukan. Rasanya Lea sangat hancur dan kepalanya dipenuhi oleh over thinking parah. "Aku pikir setelah menikah dengannya, aku sudah berhasil. Tetapi apa? Aku bahkan lebih menyedihkan dari sebelum menikah dengannya." Lea bangkit dari ranjang, berdiri di depan cermin meja rias–menatap menampilan dirinya yang sangat menyedihkan. "Aku seperti perempuan murahan, semua hanya demi dia." Air mata Lea kembali jatuh, terasa panas saat menyentuh pipi–bukti jika hatinya sedang hancur. "Perempuan itu-- apa aku terlihat menjijikan? Karena aku tidak punya karir selain menjadi pelayan cafe, oleh sebab itu Mas Haiden mencari perempuan lain? Aku memang bukan siapa-siapa. Hanya perempuan yang bermimpi menjadi istri Mas Haiden, perempuan yang punya khayalan bahagia setelah menikah dengan Mas Haiden." Lea berhenti sejenak, berusaha menetralkan perasaan sakit dalam hati. Dia kembali meraung, sesenggukan dan berlinang air mata. "Banyak sekali orang-orang dari keluarga Mas Haiden yang melarangku menjadi pendampingnya. Bahkan dulu, orangtuaku menyebutku tak pantas untuk Mas Haiden. Kupikir mereka hanya iri padaku karena bisa menaklukan seorang Haiden Mahendra. Ternyata aku salah, mereka benar. Aku memang tidak pantas untuk Mas Haiden yang sempurna." Lea tiba-tiba tertawa. Bukan sebuah tawa bahagia, melainkan tawa mengejek untuk dirinya sendiri. Tawanya semakin miris ketika dia menatap pantulan dirinya di cermin. Dia perempuan yang sangat menyedihkan. "Ahaha … aku terlalu naif, Tuhan, karena mengira cintaku sudah cukup membuatku layak bersanding dengan Mas Haiden. Kenyataannya-- wanita yang tidak punya apa-apa sepertiku, tidak layak menjadi istrinya. Pantas saja dia jijik padaku, aku hanya wanita-- yang tak punya apa-apa. Aku tidak punya karir seperti wanita di sekelilingnya." Lea begitu putus asa dan sedih, terus berbicara pada dirinya sendiri lewat pantulan kaca. Hingga pada akhirnya, Lea memutuskan mengganti pakaian lalu tidur dalam dekapan dingin malam. *** Haiden berdecak marah karena tidak bisa menghubungi nomor istrinya. Ternyata nomornya telah diblokir oleh Lea, membuat Haiden semakin marah. "Awas saja, Nyonya HaiLe, aku akan menghukummu sampai kau memohon ampunan padaku!" geram Haiden, emosi karena Lea memblokir nomornya. Haile adalah nama singkatan Haiden Lea. Haiden suka memanggil nama HaiLe pada Lea–perempuan itu terasa terjerat olehnya. Miliknya! "Ck." Haiden mengusap wajah kasar kemudian mengambil sebuah buku pink kecil yang selalu ia bawa kemana-mana. Haiden memasukkan buku kecil tersebut dalam jas, kemudian bersiap-siap untuk keluar dari penginapan–menemui mitra kerja. Namun, tiba-tiba saja handphone Haiden berdering–tepat saat Haiden berada di depan kamar penginapan. "Tuan, Pak Sona sudah menunggu," ucap perempuan anggun, berpakaian formal dan rapi. Rambutnya dicepol kuda dan riasannya apa adanya. Dia cantik serta elegen secara bersamaan. "Kau duluan." Haiden berucap dingin, memberi perintah dengan nada bossy pada Citra Wilona, sekretaris baru Haiden. Citra membungkuk hormat, diam-diam memperhatikan Haiden kemudian beranjak dari sana. Haiden mengangkat telepon dari seseorang tersebut–tak lain adalah kepala maid. Setelah menikah, Haiden tinggal di rumah sendiri. Dia selalu mengawasi istrinya lewat para maid dan penjaga. "Ada laporan apa?" tanya Haiden datar. Di sisi lain, Citra memperlambat langkah. Dia ingin tahu siapa orang yang berbicara pada Haiden. Namun, saat mendengar Haiden bertanya tentang laporan, Citra mempercepat langkah–tersenyum tipis, entah bermaksud apa. 'Hari ini Nyonya HaiLe pergi keluar, Tuan.' "Kemana?" 'Nyonya bilang ke Cafe milik Nona Ziea.' "Humm. Biarkan saja. Tempat itu aman dan tak perlu mengkhawatirkan Nyonya." Haiden yang awalnya emosi seketika menenang saat tahu ke mana istrinya pergi. Hanya ke cafe milik adiknya! Tak masalah. "Jam lima sore, pastikan Nyonya HaiLe telah sampai ke rumah. Jika jam tersebut Nyonya belum pulang, kalian akan tahu akibatnya," titah Haiden kemudian, berkata dingin dan penuh ancaman. 'Ba-baik, Tuan.' gugup kepala maid di seberang sana. "Satu lagi. Katakan pada Nyonya untuk membuka blokiran nomorku." Setelah mengatakan itu, Haiden mematikan sambungan telepon kemudian segera beranjak dari sana. Tangannya terkepal, menahan emosi dan kemarahan yang menyelimuti diri. Berani sekali Azalea memblokir nomornya! Lihat saja! Jika dia pulang, dia akan memberi pelajaran pada perempuan itu. Haiden akan memberikan hukuman yang sangat berat! Bagaimana tiga bab kita, MyRe? Semoga suka yah. Oh iya, bagi yang baru tahu HaiLe, CaCi sarankan baca lebih dulu 'Sentuhan Panas Suami Dingin' yah. Karena kisah Lea dan Haiden sebelum menikah ada di sana. Jangan lupa ramaikan kolom review, MyRe. Sehat selalu untuk kalian semua. I*:@deasta18"Totalnya empat ratus lima puluh ribut," ucap Lea pada seorang pembeli yang saat ini melakukan transaksi pembayaran. Pembeli tersebut memberikan uang sebanyak lima lembar berwarna pink. Lea menerima uang tersebut kemudian memberi kembalian. "Kembalian lima puluh ribu lagi, Kak. Terimakasih sudah mengunjungi cafe kita, semoga harinya menyenangkan." Pembeli tersebut tersipu malu kemudian segera beranjak dari sana. Lea langsung menghela napas, memanggil salah satu staf dan menyuruhnya berganti tugas. "Ck, mungkin saja perempuan itu seorang model, sedangkan aku hanyalah seorang pelayan cafe. Oleh sebab itu Mas Haiden memilihnya. Ah, aku harus mencari pekerjaan lain intinya. Aku tidak boleh kalah. Menikah dengannya, bukan berarti aku berhenti berjuang. Semangat semangat semangat!" gumam Lea antusias pada akhirnya kalimat untuk mensugesti diri sendiri. Akan tetapi dia mengurungkan niat untuk masuk ke dapur karena ternyata cafe sedang ramai. Lea sebenarnya koki di cafe milik sahabatnya i
"Ya Tuhan, boleh nggak sih kalau aku mengatakan menyesal menikah dengan Mas Haiden? Dia sangat sempurna, sedangkan aku-- kurasa pengemis dijalanan lebih sukses dibandingkan aku. Mereka mah … modal duduk sama megang kemasan teh gelas saja bisa menghasilkan uang jutaan perhari. Aku? Kerja hasil giveaway, gaji besar karena yang memberi upah sahabat sendiri. Hah, itupun masih mengeluh. Manusia manusia … kebanyakan ngeluh!" pekik Lea, memukul kepala sendiri beberapa kali, tak peduli pada orang sekitar yang memperhatikan. "Kenapa jadi tak nyambung? Ck, dah jam empat ternyata. Pantas kumat," gumamnya, menghela napas lalu mengeluh lagi. Hingga tiba-tiba saja dia tiba di sebuah tempat yang ramai. "Kebakaran.""Kebakaran.""Kebakaran."Teriakan orang-orang memenuhi tempat tersebut. Melihat itu, Lea mendekat bahkan mendadak ikut dengan para pemuda dan bapak-bapak untuk gotong royong mengangkut air. "Aku tidak bisa, Pak. Aku takut api." Ucap seseorang perempuan sembari melempar ID card. Setel
"Terimakasih atas bantuannya, Lea." Lea tersenyum lebar, berjabat tangan dengan pria perut buncit tersebut–kepala tim yang tadi membuat Lea mendadak menjadi reporter. "Ini." Bapak tersebut memberikan sebuah kartu nama pada Lea. "Secepatnya, datanglah ke perusahaan Medi Zone. Bapak pastikan kamu mendapat pekerjaan di sana," ucap Raja, nama pria tersebut. Lea membulatkan mata, meraih kartu nama tersebut dengan semangat. Dia tersenyum lebar lalu kembali bersalaman secara semangat dengan Raja. "Terimakasih, Pak. Ini yang kubutuhkan.""Semangatmu sangat luar biasa anak muda." Raja tertawa begitu juga dengan Lea. "BTW, Pak." Lea dengan santai menepuk pelan pundak Raja, dia bersikap seolah Raja adalah teman lamanya. "Bagaimana tadi? Aku berbakat tidak jadi reporter?" "Ahahaha …." Raja tertawa cukup kencang, bukan karena menyetujui ucapan Lea akan tetapi karena merasa risau. Dia tak akan lagi menjadikan perempuan ini sebagai reporter, dia sudah jera dan sangat syok. Sekarang dia menyiapk
"Apa aku kurang cantik yah, oleh sebab itu Mas Haiden tidak mau menyentuhku." Lea menatap tampilan dirinya di depan cermin wastafel. Dia baru saja mandi, berendam cukup lama untuk merilekskan pikiran. Lea terus membohongi dirinya dengan berpura-pura enjoy menjalani kehidupan. Tetapi kenyataannya, pikirannya tak lepas dari suaminya. Kenapa setelah malam pertama, Haiden tak pernah lagi menyentuhnya? Adakah yang salah dari Lea? "Sebelum menikah, Mas Haiden terlihat begitu menginginkanku. Dia bahkan pernah hampir lepas kendali. Dan saat malam pertama, dia begitu bersemangat. Malam itu ...-" Lea terdiam sejenak, mengingat kembali kegiatan panas yang dia lakukan saat malam pertama dengan suaminya. Haiden menyentuh tubuhnya dengan begitu bersemangat, tak ada sedikitpun kulit Lea yang lepas dari sentuhan panas suaminya. 'Kau tidak akan bisa menghentikanku, Lea. Sekalipun kau menjerit kesakitan.' 'Selama ini kau terus menggodaku, dan malam ini-- akan kubuat kau merintih di bawahk
Apakah Haiden akan menyentuhnya? Dari ciuman Haiden yang basah dan panas, sepertinya iya. Namun-- Gluk' Lea meneguk saliva secara kasar saat Haiden menyudahi permainan bibir mereka. "Bibirmu sangat manis, Sweetheart," ucap Haiden dengan nada tenang, mengusap bibir Lea secara lembut dan hati-hati. Setelah itu, dia beralih menepuk-nepuk pucuk kepala istrinya, "ganti pakaianmu. Kita akan pulang ke rumah kita." Lea tersenyum kaku, sebetulnya menutupi kesedihan dan perasaan dongkol yang larut dalam hatinya. Dia sudah berharap, tetapi ternyata Haiden tidak ingin menyentuhnya. 'Apa yang salah dari tubuhku, Tuhan? Kenapa suamiku tidak mau menyentuhku?' batin Lea, berjalan ke kamar mandi untuk mengganti pakaian. Setelah berganti pakaian, Lea mengemasi barang-barangnya dalam koper. Dia ingin membangkang dengan menolak pulang, akan tetapi dia takut Haiden marah seperti tadi. "Kenapa kau menginap di hotel?" tanya Haiden yang sekarang sedang duduk di sofa, menyender dengan bersedek
Lea menatap miris pada lingerie yang telah habis terbakar tesebut. Bukan hanya itu, celana pendek serta crop top miliknya– semua Haiden bakar. Yang membuat Lea sangat sedih adalah celana pendek motif bunga-bunga miliknya, juga menjadi korban kebakaran. "Jahat sekali!" nanar Lea, terduduk lesu tak jauh dari tong sampah–bahan besih, yang menjadi wadah pakaiannya dilahap api. "Ke-kebakaran, kebakaran apa yang menyakitkan? kebakaran api cemburu? Enggaaaaak! Tapi melihat Celana pendek bunga-bungaku menjadi korban kebakaran. Aaaaa … i--itu celana pendekku yang kubeli saat masih kuliah. A-aku merawatnya sepenuh hati dan segenap jiwa, ngalahin Malika si kedelai hitam. Huaa … ahk'aaaa … aku susah-susah nawar biar dapat tiga seratus ribu, ta-tapi … aaaa … hiks … aaaa … dibakaaaar," tangis Lea pada akhirnya, sesenggukan karena merasa kehilangan teman lama. Tuk' Tiba-tiba saja ada yang mengetuk ubun-ubunnya, membuat Lea yang menangis langsung berhenti dan beralih mendongak untuk melihat sia
"Kau bosan menikah denganku?" Suara Haiden begitu menusuk, menembus hingga ke tulang-tulang–membuat tubuh Lea menegang kaku serta panas pada bagian punggung. Lea berdiri dari kursi, menatap campur aduk pada Haiden yang sudah menahan marah. Di satu sisi Lea menyesali ucapannya, tetapi di sisi lain dia ingin sekali berteriak 'ya tepat di depan wajah Haiden. "Kau diam. Itu artinya benar," Haiden mendekati Lea, membuat perempuan itu semakin gugup tetapi rasanya juga ingin melawan secara bersamaan. "Katakan, bagian mana yang membuatmu bosan?" Ketika Haiden berjalan mendekat, Lea bergerak mundur. Kepalanya tertunduk, tangannya meremas pinggiran dress yang dia kenakan. Selain takut, perasaan sedih kian menyelimuti hati. Setelah Haiden melamarnya di Paris, pria ini selalu memanjakannya. Sikapnya sangat manis dan seperti seorang pria yang sangat menginginkan wanitanya. Akan tetapi kenapa setelah menikah semua terasa hambar? Kemana Haiden yang manis? "Seingatku-- kau sangat ingin m
Ketika sadar tangan kekar itu masih memegangnya, Lea langsung menoleh ke empunya. Haiden menunduk sedikit, menatap Lea yang mendongak padanya. Tatapan perempuan ini begitu cantik, air membuat bulu mata Lea terlihat lebih jelas. Apalagi pada bagian bulu mata bawah, sehingga mata bulat Lea terlihat jauh lebih cantik. Daya tarik istrinya sangat kuat, terlebih pada bagian mata Lea. Lea memilih memalingkan wajah, dia menenangkan diri–berusaha mengatur nafas karena oksigen yang saling berdesakan pada paru-parunya. Tiba-tiba saja Haiden menarik tubuh Lea, menggendongnya di depan dan melingkarkan kaki perempuan itu di pinggangnya. Lea kira pria ini akan membawanya ke pinggir, akan tetapi …- Cup' Haiden tiba-tiba mencium bibirnya, melumatnya cukup kasar dan penuh penuntutan. Lea tidak membalas sama sekali, terdiam dengan wajah memerah padam. "Kenapa kau tidak membalas ciumanku?" tanya Haiden dingin, melayangkan tatapan tajam pada Lea. Lea menoleh ke sana kemari, menatap bebe
Ketika sadar tangan kekar itu masih memegangnya, Lea langsung menoleh ke empunya. Haiden menunduk sedikit, menatap Lea yang mendongak padanya. Tatapan perempuan ini begitu cantik, air membuat bulu mata Lea terlihat lebih jelas. Apalagi pada bagian bulu mata bawah, sehingga mata bulat Lea terlihat jauh lebih cantik. Daya tarik istrinya sangat kuat, terlebih pada bagian mata Lea. Lea memilih memalingkan wajah, dia menenangkan diri–berusaha mengatur nafas karena oksigen yang saling berdesakan pada paru-parunya. Tiba-tiba saja Haiden menarik tubuh Lea, menggendongnya di depan dan melingkarkan kaki perempuan itu di pinggangnya. Lea kira pria ini akan membawanya ke pinggir, akan tetapi …- Cup' Haiden tiba-tiba mencium bibirnya, melumatnya cukup kasar dan penuh penuntutan. Lea tidak membalas sama sekali, terdiam dengan wajah memerah padam. "Kenapa kau tidak membalas ciumanku?" tanya Haiden dingin, melayangkan tatapan tajam pada Lea. Lea menoleh ke sana kemari, menatap bebe
"Kau bosan menikah denganku?" Suara Haiden begitu menusuk, menembus hingga ke tulang-tulang–membuat tubuh Lea menegang kaku serta panas pada bagian punggung. Lea berdiri dari kursi, menatap campur aduk pada Haiden yang sudah menahan marah. Di satu sisi Lea menyesali ucapannya, tetapi di sisi lain dia ingin sekali berteriak 'ya tepat di depan wajah Haiden. "Kau diam. Itu artinya benar," Haiden mendekati Lea, membuat perempuan itu semakin gugup tetapi rasanya juga ingin melawan secara bersamaan. "Katakan, bagian mana yang membuatmu bosan?" Ketika Haiden berjalan mendekat, Lea bergerak mundur. Kepalanya tertunduk, tangannya meremas pinggiran dress yang dia kenakan. Selain takut, perasaan sedih kian menyelimuti hati. Setelah Haiden melamarnya di Paris, pria ini selalu memanjakannya. Sikapnya sangat manis dan seperti seorang pria yang sangat menginginkan wanitanya. Akan tetapi kenapa setelah menikah semua terasa hambar? Kemana Haiden yang manis? "Seingatku-- kau sangat ingin m
Lea menatap miris pada lingerie yang telah habis terbakar tesebut. Bukan hanya itu, celana pendek serta crop top miliknya– semua Haiden bakar. Yang membuat Lea sangat sedih adalah celana pendek motif bunga-bunga miliknya, juga menjadi korban kebakaran. "Jahat sekali!" nanar Lea, terduduk lesu tak jauh dari tong sampah–bahan besih, yang menjadi wadah pakaiannya dilahap api. "Ke-kebakaran, kebakaran apa yang menyakitkan? kebakaran api cemburu? Enggaaaaak! Tapi melihat Celana pendek bunga-bungaku menjadi korban kebakaran. Aaaaa … i--itu celana pendekku yang kubeli saat masih kuliah. A-aku merawatnya sepenuh hati dan segenap jiwa, ngalahin Malika si kedelai hitam. Huaa … ahk'aaaa … aku susah-susah nawar biar dapat tiga seratus ribu, ta-tapi … aaaa … hiks … aaaa … dibakaaaar," tangis Lea pada akhirnya, sesenggukan karena merasa kehilangan teman lama. Tuk' Tiba-tiba saja ada yang mengetuk ubun-ubunnya, membuat Lea yang menangis langsung berhenti dan beralih mendongak untuk melihat sia
Apakah Haiden akan menyentuhnya? Dari ciuman Haiden yang basah dan panas, sepertinya iya. Namun-- Gluk' Lea meneguk saliva secara kasar saat Haiden menyudahi permainan bibir mereka. "Bibirmu sangat manis, Sweetheart," ucap Haiden dengan nada tenang, mengusap bibir Lea secara lembut dan hati-hati. Setelah itu, dia beralih menepuk-nepuk pucuk kepala istrinya, "ganti pakaianmu. Kita akan pulang ke rumah kita." Lea tersenyum kaku, sebetulnya menutupi kesedihan dan perasaan dongkol yang larut dalam hatinya. Dia sudah berharap, tetapi ternyata Haiden tidak ingin menyentuhnya. 'Apa yang salah dari tubuhku, Tuhan? Kenapa suamiku tidak mau menyentuhku?' batin Lea, berjalan ke kamar mandi untuk mengganti pakaian. Setelah berganti pakaian, Lea mengemasi barang-barangnya dalam koper. Dia ingin membangkang dengan menolak pulang, akan tetapi dia takut Haiden marah seperti tadi. "Kenapa kau menginap di hotel?" tanya Haiden yang sekarang sedang duduk di sofa, menyender dengan bersedek
"Apa aku kurang cantik yah, oleh sebab itu Mas Haiden tidak mau menyentuhku." Lea menatap tampilan dirinya di depan cermin wastafel. Dia baru saja mandi, berendam cukup lama untuk merilekskan pikiran. Lea terus membohongi dirinya dengan berpura-pura enjoy menjalani kehidupan. Tetapi kenyataannya, pikirannya tak lepas dari suaminya. Kenapa setelah malam pertama, Haiden tak pernah lagi menyentuhnya? Adakah yang salah dari Lea? "Sebelum menikah, Mas Haiden terlihat begitu menginginkanku. Dia bahkan pernah hampir lepas kendali. Dan saat malam pertama, dia begitu bersemangat. Malam itu ...-" Lea terdiam sejenak, mengingat kembali kegiatan panas yang dia lakukan saat malam pertama dengan suaminya. Haiden menyentuh tubuhnya dengan begitu bersemangat, tak ada sedikitpun kulit Lea yang lepas dari sentuhan panas suaminya. 'Kau tidak akan bisa menghentikanku, Lea. Sekalipun kau menjerit kesakitan.' 'Selama ini kau terus menggodaku, dan malam ini-- akan kubuat kau merintih di bawahk
"Terimakasih atas bantuannya, Lea." Lea tersenyum lebar, berjabat tangan dengan pria perut buncit tersebut–kepala tim yang tadi membuat Lea mendadak menjadi reporter. "Ini." Bapak tersebut memberikan sebuah kartu nama pada Lea. "Secepatnya, datanglah ke perusahaan Medi Zone. Bapak pastikan kamu mendapat pekerjaan di sana," ucap Raja, nama pria tersebut. Lea membulatkan mata, meraih kartu nama tersebut dengan semangat. Dia tersenyum lebar lalu kembali bersalaman secara semangat dengan Raja. "Terimakasih, Pak. Ini yang kubutuhkan.""Semangatmu sangat luar biasa anak muda." Raja tertawa begitu juga dengan Lea. "BTW, Pak." Lea dengan santai menepuk pelan pundak Raja, dia bersikap seolah Raja adalah teman lamanya. "Bagaimana tadi? Aku berbakat tidak jadi reporter?" "Ahahaha …." Raja tertawa cukup kencang, bukan karena menyetujui ucapan Lea akan tetapi karena merasa risau. Dia tak akan lagi menjadikan perempuan ini sebagai reporter, dia sudah jera dan sangat syok. Sekarang dia menyiapk
"Ya Tuhan, boleh nggak sih kalau aku mengatakan menyesal menikah dengan Mas Haiden? Dia sangat sempurna, sedangkan aku-- kurasa pengemis dijalanan lebih sukses dibandingkan aku. Mereka mah … modal duduk sama megang kemasan teh gelas saja bisa menghasilkan uang jutaan perhari. Aku? Kerja hasil giveaway, gaji besar karena yang memberi upah sahabat sendiri. Hah, itupun masih mengeluh. Manusia manusia … kebanyakan ngeluh!" pekik Lea, memukul kepala sendiri beberapa kali, tak peduli pada orang sekitar yang memperhatikan. "Kenapa jadi tak nyambung? Ck, dah jam empat ternyata. Pantas kumat," gumamnya, menghela napas lalu mengeluh lagi. Hingga tiba-tiba saja dia tiba di sebuah tempat yang ramai. "Kebakaran.""Kebakaran.""Kebakaran."Teriakan orang-orang memenuhi tempat tersebut. Melihat itu, Lea mendekat bahkan mendadak ikut dengan para pemuda dan bapak-bapak untuk gotong royong mengangkut air. "Aku tidak bisa, Pak. Aku takut api." Ucap seseorang perempuan sembari melempar ID card. Setel
"Totalnya empat ratus lima puluh ribut," ucap Lea pada seorang pembeli yang saat ini melakukan transaksi pembayaran. Pembeli tersebut memberikan uang sebanyak lima lembar berwarna pink. Lea menerima uang tersebut kemudian memberi kembalian. "Kembalian lima puluh ribu lagi, Kak. Terimakasih sudah mengunjungi cafe kita, semoga harinya menyenangkan." Pembeli tersebut tersipu malu kemudian segera beranjak dari sana. Lea langsung menghela napas, memanggil salah satu staf dan menyuruhnya berganti tugas. "Ck, mungkin saja perempuan itu seorang model, sedangkan aku hanyalah seorang pelayan cafe. Oleh sebab itu Mas Haiden memilihnya. Ah, aku harus mencari pekerjaan lain intinya. Aku tidak boleh kalah. Menikah dengannya, bukan berarti aku berhenti berjuang. Semangat semangat semangat!" gumam Lea antusias pada akhirnya kalimat untuk mensugesti diri sendiri. Akan tetapi dia mengurungkan niat untuk masuk ke dapur karena ternyata cafe sedang ramai. Lea sebenarnya koki di cafe milik sahabatnya i
Hari ini Lea kembali berniat menggoda Haiden. Pernikahan yang masih berusia tiga bulan ini, sudah terlalu dingin. Lea tak ingin membuatnya semakin dingin, dia harus secepatnya menghangatkan hubungan antara dia dan suaminya. Sudah jam delapan malam, Lea telah mengenakan lingerie yang ia beli saat siang tadi. Sejujurnya Lea tak diperbolehkan keluar tanpa izin dari Haiden. Tadi siang dia sama sekali tak izin karena dia merasa tak perlu. Izin tak izin, sepertinya Haiden tak akan peduli untuk saat ini–pria itu hanya peduli pada pekerjaan. Lagipula Lea hanya sebentar, jalan-jalan ke mall untuk menenangkan pikiran sejenak. Tampilannya sudah seksi dan jauh lebih menggoda dari malam sebelumnya. Seperti tadi malam, Lea berias dan mengenakan parfum yang banyak. "Halo, Mas Haiden sayang. Malam ini kamu pulang jam berapa yah kalau boleh tahu?" tanya Lea dengan lembut dan manis. Namun, alih-alih mendapat sambutan hangat, dia malah dimarahi oleh Haiden. 'Kepala maid melapor jika kau keluar dari