Lea menatap miris pada lingerie yang telah habis terbakar tesebut. Bukan hanya itu, celana pendek serta crop top miliknya– semua Haiden bakar. Yang membuat Lea sangat sedih adalah celana pendek motif bunga-bunga miliknya, juga menjadi korban kebakaran. "Jahat sekali!" nanar Lea, terduduk lesu tak jauh dari tong sampah–bahan besih, yang menjadi wadah pakaiannya dilahap api. "Ke-kebakaran, kebakaran apa yang menyakitkan? kebakaran api cemburu? Enggaaaaak! Tapi melihat Celana pendek bunga-bungaku menjadi korban kebakaran. Aaaaa … i--itu celana pendekku yang kubeli saat masih kuliah. A-aku merawatnya sepenuh hati dan segenap jiwa, ngalahin Malika si kedelai hitam. Huaa … ahk'aaaa … aku susah-susah nawar biar dapat tiga seratus ribu, ta-tapi … aaaa … hiks … aaaa … dibakaaaar," tangis Lea pada akhirnya, sesenggukan karena merasa kehilangan teman lama. Tuk' Tiba-tiba saja ada yang mengetuk ubun-ubunnya, membuat Lea yang menangis langsung berhenti dan beralih mendongak untuk melihat sia
"Kau bosan menikah denganku?" Suara Haiden begitu menusuk, menembus hingga ke tulang-tulang–membuat tubuh Lea menegang kaku serta panas pada bagian punggung. Lea berdiri dari kursi, menatap campur aduk pada Haiden yang sudah menahan marah. Di satu sisi Lea menyesali ucapannya, tetapi di sisi lain dia ingin sekali berteriak 'ya tepat di depan wajah Haiden. "Kau diam. Itu artinya benar," Haiden mendekati Lea, membuat perempuan itu semakin gugup tetapi rasanya juga ingin melawan secara bersamaan. "Katakan, bagian mana yang membuatmu bosan?" Ketika Haiden berjalan mendekat, Lea bergerak mundur. Kepalanya tertunduk, tangannya meremas pinggiran dress yang dia kenakan. Selain takut, perasaan sedih kian menyelimuti hati. Setelah Haiden melamarnya di Paris, pria ini selalu memanjakannya. Sikapnya sangat manis dan seperti seorang pria yang sangat menginginkan wanitanya. Akan tetapi kenapa setelah menikah semua terasa hambar? Kemana Haiden yang manis? "Seingatku-- kau sangat ingin m
Ketika sadar tangan kekar itu masih memegangnya, Lea langsung menoleh ke empunya. Haiden menunduk sedikit, menatap Lea yang mendongak padanya. Tatapan perempuan ini begitu cantik, air membuat bulu mata Lea terlihat lebih jelas. Apalagi pada bagian bulu mata bawah, sehingga mata bulat Lea terlihat jauh lebih cantik. Daya tarik istrinya sangat kuat, terlebih pada bagian mata Lea. Lea memilih memalingkan wajah, dia menenangkan diri–berusaha mengatur nafas karena oksigen yang saling berdesakan pada paru-parunya. Tiba-tiba saja Haiden menarik tubuh Lea, menggendongnya di depan dan melingkarkan kaki perempuan itu di pinggangnya. Lea kira pria ini akan membawanya ke pinggir, akan tetapi …- Cup' Haiden tiba-tiba mencium bibirnya, melumatnya cukup kasar dan penuh penuntutan. Lea tidak membalas sama sekali, terdiam dengan wajah memerah padam. "Kenapa kau tidak membalas ciumanku?" tanya Haiden dingin, melayangkan tatapan tajam pada Lea. Lea menoleh ke sana kemari, menatap bebe
"J--JVM …," gumam Lea, mulai panik dan gugup. Jantungnya bahkan sudah berdebar sangat kencang. JVM itu perusahaan … suaminya. Ya Tuhan!! "Ada apa, Neng?" tanya Raja, memperhatikan wajah tegang perempuan cantik yang duduk di sebelahnya–kursi penumpang. Lea menggelengkan kepala, nyengir konyol pada bos-nya. "Hehehe … hanya sedikit gugup, Pak. Ma-makluk, Pak, katanya CEO-nya ganteng. Siapa tahu nanti kami bertemu dan jodoh. Ya kaaaaann …," canda Lea, akan tetapi buru-buru merapalkan doa yang berlawanan dari perkataannya barusan. 'Ja-jangan sampai, Ya Allah. Jangan sampai aku bertemu dengan Mas Deden. Maksudku seperti di novel-novel, Ya Allah. Tunggu dulu aku menjadi artis terkenal, baru identitas rahasiaku sebagai artis papan atas terbongkar di depan Mas Den. Ini masih awal, masa sudah ketahuan.' batin Lea, semakin panik bahkan berkeringat dingin ketika mereka telah sampai di depan gedung perusahaan JVM yang terlihat sangat besar dan menjulang tinggi. *** Lea merapatkan topi
"Ekhem." Lea tiba-tiba berdehem, bergerak gelisah dan berusaha memutar otak supaya terhindar dari suaminya. "Meri ketumbar hei …," ucap Lea tiba-tiba, bernada dan dengan intonasi diimut-imutkan. Haiden menaikkan sebelah alis, masih duduk di kursi kekuasaannya. Jaraknya cukup jauh dari tempat istrinya berdiri, akan tetapi dia bisa mencium aroma tubuh istrinya yang khas. Dia sangat mengenali aroma ini, karena parfum tersebut adalah racikan Haiden sendiri--khusus untuk wanita bodohnya yang sangat suka berpetualang. Haiden menyender pada kursi, bersedekap dingin sembari mengamati perempuan yang menutupi wajah tersebut secara intens. Sebesar apapun usaha Lea menutupi wajahnya, Haiden tetap bisa mengenali, baik dari bentuk maupun aroma. Akan tetapi, Haiden memilih diam, mengamati sejauh mana perempuan ini akan bertindak absurd. "Meri ketumbar hei? Acha acha nehi nehi …-" Lea sejenak berhenti, gugup karena tatapan dingin Haiden. Tatapan suaminya seperti harimau yang mengintai mangsa
"Aku tidak bersedia," bantah Lea tiba-tiba, membuat Raja dan bahkan Citra menatap tak percaya padanya. Citra buru-buru menutupi keterkejutan dirinya dengan cara memasang ekspresi angkuh, dia menaikkan dagu kemudian menatap dingin pada Lea. "Angkuh sekali kamu menolak Tuanku. Jangan ge'er hanya karena Tuan ingin diwawancarai olehmu. Mungkin Tuan memilihmu mungkin karena kamu perempuan paling buruk. Tuan menghindari perempuan berpenampilan menarik karena tak ingin membuat orang-orang berasumsi buruk. Jadi tolong jangan ge'er." "Mulutmu kurang ajar juga yah." Lea menatap Citra dengan kesal, dia ingin sekali menampar perempuan itu. Akan tetapi tiba-tiba saja pintu ruangan Haiden terbuka, memperlihatkan Haiden yang langsung melayangkan tatapan dingin padanya. "Lima menit wawancara tidak dimulai, Medi Zone akan menanggung akibatnya," ucap Haiden datar, setelah itu kembali masuk dalam ruangannya. Sebelumnya menyempatkan diri untuk bersitatap dengan Lea. Lea langsung mengepalkan tan
Haiden mengatupkan rahang ketika menemukan istrinya yang sudah dalam keadaan mabuk. Sorot mata Haiden tajam, menusuk dan penuh kemarahan. Dengan aura gelap yang mengerikan, dia berjalan mendekati istrinya. Setelah berada di sebelah Lea, tangan Haiden mengepal kuat karena mencium aroma alkohol dari tubuh dan sekitar istrinya. Dia menahan marah, memilih meraih tubuh Lea, berniat membawanya. Akan tetapi tiba-tiba saja, Raja–bos istrinya, menahan tangan Haiden. "Jangan berani menyentuh anak ini. Dia tanggung jawabku … ayahnya-- aku." ucap Raja susah payah, memukul dada sendiri di akhir kalimat, menegaskan jika Lea memang putrinya. Raja berusaha untuk tetap sadar, walau pun pandangan sudah mengabur–tak mengenali orang yang ingin membawa pergi rekannya. "Aku suaminya," ucap Haiden singkat, menepis tangan bos istrinya kemudian memilih menggendong tubuh Lea. "Suami?" Lea bergumam pelan, kemudian senyum-senyum sendiri, sama sekali tak memberontak ketika Haiden mengendong tubuhnya
"Ini apa?" tanya Lea kembali. "Benda yang membuatmu bisa merasakan kenikmatan. Rasanya seperti permen. Kau mau, Wife?" tawar Haiden. Seakan-akan dia adalah om-om yang berniat menodai bocah dibawah umur. Lea dengan polos mengangguk, tersenyum lebar dan terlihat gembira. Pikir Lea, permen yang ukuran kecil saja sangat enak, apalagi ini-- ukuran jumbo. Wow! Kapan lagi Lea bisa mendapat lolipop ukuran besar seperti ini? Haiden terkekeh pelan, merasa gila tetapi sangat menikmati kejahatannya pada istrinya. Dia memanfaatkan kondisi Lea yang sedang mabuk. Dan ternyata mempermainkan Lea yang sedang mabuk jauh lebih menyenangkan dibandingkan saat -- Haiden memulai permainannya. Dia benar-benar menikmatinya karena Lea sangat patuh. Perempuan yang sedang dalam keadaan mabuk ini, bersedia melakukan apapun yang ia perintahkan. Walau pada akhirnya Lea menangis, merengek untuk dibiarkan tidur. "Aku sudah mengantuk. Aku tidak mau permen lagi. Aku mau tidur," keluh Lea, menangis layaknya
"Tu-Tuan." Haiden menatap maid dengan tampang muka penuh tanda tanya. Dia telah pulang kerja dan baru sampai di rumah, bahkan masih di ambang pintu. Namun, tiba-tiba tiga maid berlari terburu-buru kepadanya. Firasat Haiden menjadi tak enak, dia takut terjadi sesuatu pada istrinya. "Di mana Nyonya HaiLe?" Haiden langsung menanyakan istrinya, karena pikirannya langsung kepada istrinya. Ketika maid mendatanginya, Haiden seketika mencemaskan istrinya. "Di-di dapur basah, Tuan," jawab salah satu maid. "Nyonya memasak?" Wajah Haiden mulai terlihat marah. Meskipun dia tidak ingin anak, akan tetapi bukan berati dia membiarkan anak itu dalam keadaan buruk. Jika anak itu kenapa-napa, jelas Lea yang akan menanggung sakit dari semuanya. Oleh sebab itu, Haiden begitu overprotektif pada kehamilan Lea. Dia sudah memerintahkan pada maid supaya tidak membiarkan Lea untuk memasak. Yah, walau Haiden kurang rela sebab dia sangat suka masakan istrinya, akan tetapi dia terpaksa demi kebaikan Lea dan
Tiada angin tiada hujan, Melody ingin bertemu dengannya? [Oke.] Lea membalas pelan tersebut, setelah itu Lea dilanjutkan langkahnya–memasuki sebuah toko es krim karena dia sedang sangat ingin memakan es krim. "Es krim rasa bon cabe level 50 satu yah, Bang," ucap Lea pada penjaga kasir, membuat kasir tersebut melongo–mata melotot dan mulut menganga. "Mohon maaf, Kak. Tetapi …-" Lea langsung memotong, "kalau rasa bon cabe tidak ada, rasa bon utang juga enggak apa-apa. Yang penting pedes."Kasir tersebut semakin dibuat pusing, hanya bisa menggaruk tengkuk karena tak tahu cara menghadapi makhluk cantik tetapi aneh tersebut. Hampir saja pria ini berniat menggombali perempuan cantik dengan mata bulat yang indah. Namun, dia mengurungkan niat karena reflek trauma oleh permintaan aneh si cantik yang terasa seperti makhluk alien. ***[Kapan kamu datang? Ini sudah sore.]Lea tersenyum manis, kemudian membalas pesan dari Melodi. [Sabar, Kak sayang. Ini saya lagi di jalan. Tapi macet.] Lea me
"Azalea, waktunya makan," ucap Haiden, akan tetapi melayangkan tatapan penuh peringatan pada adiknya. Lea menoleh cepat pada Haiden, dia cukup terkejut karena Haiden mendadak ada di sana. Lea memperlihatkan cengiran kemudian segera bangkit. "Mama dan Papa masih di sini kan?" tanya Lea saat akan beranjak dari sana. "Humm." Haiden menganggukkan kepala, mengusap pucuk kepala Lea saat perempuan itu akan lewat. Melihat Lea pergi, Ziea buru-buru menyusul. Dia menerobos untuk keluar akan tetapi Haiden menghadangnya. "Kak Deden, aku ingin lewat." Ziea mengerucutkan bibir, menatap mendongak pada kakaknya yang berdiri di depannya–menghadangnya. "Ember sekali mulutmu," marah Haiden, melayangkan tatapan tajam pada Ziea. "Bagiamana jika Azalea menghindariku setelah ini, Bocah?!" Ziea menggaruk pipi yang tak gatal, hanya kikuk bercampur gugup karena dimarahi oleh kakaknya. "Mana mungkin! Lea ke Kakak kan cinta mati." "Naif!" dengkus Haiden, menyentil cukup kuat kening adiknya. "Tutup
Setelah Lea keluar dari ruangan tersebut–di mana Haiden masih di sana, mengobrol dengan orangtua angkat Lea dan orangtuanya. Kini Lea berada di ruangan lain, bersama Ziea. Sedangkan bayi Ziea–si kembar Razie dan Zira, bersama dengan daddynya, Reigha. Saat ini mereka bercerita, lebih tepatnya Ziea yang menceritakan keluarganya. Awal mula, Lea bertanya pada Ziea mengenai Ebrahim, karena dulu Haiden pernah bilang padanya jika suatu saat mereka punya anak, maka Haiden ingin namanya adalah Ebrahim. Sejujurnya, Ziea sudah pernah menceritakan pasal siapa Ebrahim pada Lea, namun kurang rincih. Skalian Lea menanyakan kenapa suaminya–Haiden, bisa mode iblis. Pasti ada alasannya bukan? "Ebrahim itu nama adiknya Daddy dan aunty Keena. Dia si bungsu dan kesayangan keluarga ini. Seperti yang pernah ku beritahu padamu, Uncle Ebrahim telah meninggal dan menyisakan duka dan trauma di keluarga kami." Ziea menjeda sejenak, sedangkan Lea mendengar secara serius, "Sebenarnya, Kakek Jay itu punya tangan
Lea diam-diam ke lantai bawah, dia pusing karena lama terkurung dalam kamar. Sedangkan Haiden, suaminya tertidur sangat pulas, dan oleh sebab itu Lea bisa diam-diam keluar. "Pak Rekq," ucap Lea, terkejut melihat pria yang membantunya selama penculikan ada di rumahnya. "Halo, Nona Lea. Senang bisa bertemu denganmu lagi." Rekq membungkuk hormat pada Lea, tak lupa sebuah senyuman manis menyungging di bibir. "Iya. Terimakasih untuk bantuannya, Pak Rekq," Lea mendekat lalu tersenyum balik pada Rekq. Saat itu dia belum sempat berterimakasih pada Rekq, dan untungnya mereka bertemu di sini. "Terimakasih kembali juga pada Nona. Jika bukan karena Nona, mungkin saya dan beberapa maid itu, sudah tak ada di dunia ini," jawab Rekq dengan begitu manis dan sopan. Tak ada rasa apapun selain hormat yang dia miliki pada perempuan ini. Yang membuat Rekq sangat salut pada Lea adalah karena keteguhannya dalam menjaga kehormatannya selama penculikan. Lea tidak tahu siapa suaminya yang sebenarnya di
"Lalu apa yang kalian banggakan sedangkan kalian tak memiliki peran di keluarga Mahendra?" terang Denis, menatap para kerabat mertua putrinya dengan mimik muka tak bersahabat. Jelas ada pancaran kemarahan yang terlihat nyata karena dia tak menyangka putrinya difitnah oleh keluarga ini. Lea baru selamat dari kasus penculikan, bisa dikatakan kondisi putrinya belum baik-baik saja. Namun, mereka sangat keji dengan melempar ucapan jahat pada Lea. "Yang kami katakan fakta. Dan … bagiamana mungkin Lea lebih baik dari kami?" Ernio, suami Selly, melayangkan tatapan sinis pada Denis. "Jika bukan karena Ziea, memangnya putri yang kau banggakan tersebut memangnya bisa apa? Dia saja menikah dengan Haiden kami karena permintaan Ziea." "Kalian orang yang selalu merasa paling tahu." Kenzie angkat bicara, "fakta dan kebenarannya-- Ziea punya ide untuk bisnis cafenya karena melihat kemampuan Lea dalam memasak. Salah besar jika kalian mengira Lea mendapatkan pekerjaan karena diberi oleh Ziea, dia be
"Dan-- ja-jangan-jangan anak yang Lea kandung adalah anak Orion," cicit Selly pelan, cukup takut pada Haiden. Akan tetapi tatapan Kenzie juga mengerikan, membuatnya terpaksa bersuara. Nanda cengang mendengar ucapan tante dari Haiden. Bagaimana bisa dia berpikir demikian? "Kau yakin telah membawa otakmu sebelum datang ke sini?" Kenzie mengernyit, kesal mendengar ucapan iparnya. Bagaimana bisa dia berpikir anak yang Lea kandung milik Orion, sedangkan Lea diculik baru beberapa hari lalu. "Bi-bisa saja. Orion bertemu dengan Lea saat Haiden dan Lea berbulan madu, bukan?" Selly mencari pembenaran dan alasan lain. Intinya dia ingin membuat Lea hina dihadapan Kenzie dan Moza. Kenzie memijat pelipis, sakit kepala karena mendengar ucapan Selly. Tadi, menantunya difitnah hamil karena insiden penculikan, sekarang pindah karena bulan madu Haiden dan Lea. Semakin mereka ingin menjatuhkan Lea, semakin mereka terlihat blunder. "Kau juga ingin mati sepertinya!" geram Haiden. Syur' Tuk' Na
"Ck." Haiden berdecak pelan, berkacak pinggang sembari memperhatikan istrinya yang sedang berbaring lemah di atas ranjang. Hari ini Haiden berniat ke kantor. Dia sudah rapi dengan setelah jas mahal. Dia terlihat mendekati kata 'sempurna melalui pancaran pesona dan karismanya. Haiden bahkan telah ada dalam mobil–akan berangkat ke kantor. Namun, maid berlari panik. Maid tersebut mengejar mobil yang akan keluar dari pekarangan rumah untuk menghentikan mobil yang membawa tuannya. Haiden menyuruh Nanda berhenti lalu menghampiri maid, di mana maid melapor secara tergesa-gesa, mengatakan kalau sang nyonya pingsang. Untungnya nyonya mereka pingsang dalam keadaan duduk di sofa, sehingga kecemasan mereka tak berkali-kali lipat. Sekarang Lea sudah diperiksa oleh dokter, kondisinya sangat memprihatinkan. Fisik Lea sangat lemah, begitu juga dengan kandungannya. Namun, dokter mengatakan supaya Haiden tidak khawatir berlebihan. Beberapa wanita hamil mengalami hal seperti ini--mudah drop dan j
Namun, tiba-tiba saja Haiden muncul. Pria itu berjalan dengan langkah panjang, akan tetapi wajahnya menunjukkan mimik yang tenang sehingga sangat sulit bagi mereka untuk menebak apa yang sedang pria itu pikirkan serta rasakan. Mendengar langkah kaki, Lea menoleh ke arah belakang–menatap Haiden yang berjalan mendekat ke arahnya. Haiden melewatinya, akan tetap menyempatkan diri untuk mengusap pelan pucuk kepala Lea–saat dia melewati perempuan itu. Bug' Haiden langsung melayangkan tinju ke wajah tantenya, pukulannya sangat kuat sehingga perempuan itu terhempas kasar ke lantai kemudian berakhir tak sadarkan diri, di mana darah segar keluar dari hidung dan mulut. "Haiden!" bentak Tommi–suami dari Sania. Dia berlari ke arah istrinya dan langsung menggendongnya. Sedangkan Haiden, dia menggerakkan lengan–meregangkan otot lengan lalu kembali mengambil ancang-ancang untuk memukul Sania. Persetan, perempuan itu sudah tumbang. Jika dia masih terlihat oleh Haiden dalam bentuk utuh, maka H