Jangan lupa dukung novel kita dengan cara vote gems, komentar manis, hadiah dan doa baik tentunya, MyRe. Sehat selalu untuk kita semua dan semangat!! IG : @deasta18
"Ini apa?" tanya Lea kembali. "Benda yang membuatmu bisa merasakan kenikmatan. Rasanya seperti permen. Kau mau, Wife?" tawar Haiden. Seakan-akan dia adalah om-om yang berniat menodai bocah dibawah umur. Lea dengan polos mengangguk, tersenyum lebar dan terlihat gembira. Pikir Lea, permen yang ukuran kecil saja sangat enak, apalagi ini-- ukuran jumbo. Wow! Kapan lagi Lea bisa mendapat lolipop ukuran besar seperti ini? Haiden terkekeh pelan, merasa gila tetapi sangat menikmati kejahatannya pada istrinya. Dia memanfaatkan kondisi Lea yang sedang mabuk. Dan ternyata mempermainkan Lea yang sedang mabuk jauh lebih menyenangkan dibandingkan saat -- Haiden memulai permainannya. Dia benar-benar menikmatinya karena Lea sangat patuh. Perempuan yang sedang dalam keadaan mabuk ini, bersedia melakukan apapun yang ia perintahkan. Walau pada akhirnya Lea menangis, merengek untuk dibiarkan tidur. "Aku sudah mengantuk. Aku tidak mau permen lagi. Aku mau tidur," keluh Lea, menangis layaknya
"Kak Den, si-silahkan duduk. Anggap ru-rumah sendiri," ucap Ziea, sengaja supaya menghentikan Lea yang bisa saja akan mengatakan hal yang tidak-tidak. "Hah?" Lea terkejut dan reflek menoleh ke arah belakang. Dia semakin terkejut ketika mendapati suaminya berada tepat di belakangnya. Lea panik seketika, takut Haiden mendengar pembicaraannya dengan Ziea–di mana Lea berencana menghindari sang suami. Haiden menatap Lea sekilas kemudian beralih menatap adiknya. "Ini rumahku," ucapnya sedikit ketus, akibat kesal mendengar ucapan Lea dan adiknya. Azalea-nya berniat menghindarinya, heh?! "Ehehe … kukira rumahku, Kak." Ziea cengar-cengir. "Si-silahkan duduk, Kak," ucap Ziea kemudian, kembali mempersilahkan Haiden untuk duduk. Ziea cukup canggung karena ekpresi kesal kakaknya yang terlihat kentara. Pasti kakaknya marah karena mendengar penuturan Lea yang berniat menghindari Haiden. Haiden mengambil tempat, duduk di antara istri dan adiknya. Sedangkan Lea, dia tiba-tiba berdiri–satu de
Saat Lea membuka pintu–di mana maid terus mengikuti Lea, memohon supaya Lea tak pergi–Lea langsung mematung di ambang pintu. Mobil mewah yang biasa suaminya gunakan, ada di depan rumah–bersamaan dengan si empunya yang turun, Haiden Mahendra. Kening Haiden langsung mengerut, alis menekuk tajam dan ekspresi yang tak bersahabat terpasang jelas di wajah. "Kau mau kemana, Azalea?" dingin Haiden, segera menghampiri istrinya yang terlihat membeku di ambang pintu. Lea cengengesan, berdiri kaku dan kikuk. Saat Haiden di depannya, Lea buru-buru menyambar tangan pria itu–menyalam dan mencium punggung tangan sang suami. "Kau mau pergi ke mana?" tanya Haiden kembali, mengulangi pertanyaan sebelumnya. "Ke cafe, Mas. Malam ini cafe sedang ramai dan aku ingin ke sana untuk membantu," ucap Lea yang tak ingin berbohong karena dia rasa itu hal yang percuma. Berbohong atau tidak berbohong, tetap dia akan dimarahi oleh pria ini. "Masuk," titah Haiden, bernada bossy dan dingin. Lea menganggukkan
"Tapi kamu ikut lah ke pesta, Neng. Bapak tak ada teman, sekalian ini peluang untukmu bertemu dengan banyak orang penting." Lea mengaruk rambut, tak tahu harus menjawab apa. Dia ingin mengiyakan tetapi dia takut Haiden tak membolehkan. Namun, kasihan juga pada Raja, yang sepertinya menginginkan Lea ikut ke pesta itu. "Orang cantik itu harus dipamerkan. Apalagi kamu, yang cantiknya unik," ucap Raja, terus merayu Lea supaya bersedia ikut ke pesta. "Alah, Bos." Lea mengibas tangan di depan wajah, "masih ingat aku kata-kata si maling ayam–sekretaris Tuan Haiden. Dia bilang aku ini jelek, makanya Tuan ingin diwawancarai olehku," lanjut Lea, memutar bola mata jengah. Mengingat ucapan sekretaris suaminya tersebut, Lea sebenarnya cukup kepikiran. Apa dia memang jelek karena Haiden memang tak pernah mengajaknya keluar berdua. Semenjak menikah, Haiden tak pernah berkencan dengannya. Bahkan identitas Lea sebagai istri pria itu disembunyikan. Lea tiba-tiba murung, mungkin benar jika dia je
Haiden mendekati Lea, akan tetapi tiba-tiba saja Citra menghampirinya dan menghalangi langkahnya. "Tuan Haiden, anda ingin kemana? Tuan Kevan masih belum selesai berbicara dengan anda," ucap Citra. "Menyingkir," dingin Haiden, terus menatap ke arah Lea yang sudah duduk di sebuah kursi, istrinya datang dengan bosnya. "Tapi, Tuan, ini menyangkut--" "Kau bisa diam, Hah?" marah Haiden, mendorong cukup kasar pundak Citra kemudian kembali melangkah menuju tempat istrinya. Akan tetapi, dia terlambat. Lea sudah pergi entah kemana. Haiden berusaha mencari tetapi tak menemukan Lea. Haiden segera meninggalkan pesta karena dia yakin Lea melihatnya dan Lea kabur dari pesta ini. *** "Aku selamat!" ucap Lea, merasa senang karena dia akhirnya berhasil pergi dari pesta tersebut. Dia kabur dari pesta setelah mendapat pesan dari Nanda, di mana Nanda mengatakan jika Haiden melihatnya dan mungkin berniat menemui Lea. Untungnya Lea bisa kabur. Lea mengirim pesan pada bosnya, dia pulang duluan
"Azalea," panggil Haiden, nadanya pelan dan lebih lembut. Dia sengaja karena dia tahu perempuan ini sedang merajuk padanya. Lea menghela napas, berhenti makan kemudian bangkit dari sofa. Dia melewati Haiden, sengaja menyenggol lengan pria itu secara kasar. Haiden menatap Lea, ingin menegur tetapi ia urungkan. Haiden memilih mengikuti Lea, menuju ke arah dapur. Lea menyiapkan bahan untuk ia masak, setelah itu dia mencuci tangan dan mulai berkutat di dapur. Akan tetapi saat menyadari rambutnya tak dikuncir, Lea menghentikan aktivitas. Dia kembali mencuci tangan, mengeringkan tangan sembari mencari sesuatu sebagai pengikat rambut. Namun tiba-tiba saja, Haiden menghampirinya. Pria itu berjalan ke belakang tubuh Lea, dia mengumpulkan rambut Lea kemudian mengikat rambut istrinya dengan sebuah ikat rambut polos berwarna hitam yang selalu Haiden bawa–ia jadikan gelang. "Terimakasih," ucap Lea, cukup baper pada Haiden karena mengikat rambutnya. Pertanyaannya, darimana pria ini menda
"Lea, tunggu." Dimas mengajar Lea, sedikit berlari karena Lea berjalan dengan sangat cepat. Mereka sudah di lobi dan banyak yang memperhatikan mereka, akan tetapi Dimas tak peduli. Dia harus memastikan kondisi Lea karena setelah berniat menemui Haiden, Lea mendadak buru-buru pergi. "Lea …," panggil Dimas. Lea berhenti melangkah, buru-buru menghapus air mata kemudian memutar tubuh ke arah belakang. Namun, saat berputar, Lea menyenggol tangan Dimas sehingga membuat kotak souvenir yang ada pada Dimas jatuh. Brak' Kotak tersebut jatuh, ikatan pita terlepas dan isinya keluar–sebuah souvenir mewah yang terbuat dari keramik dengan bahan kualitas tinggi. Tak ada yang pecah, akan tetapi suara dentingan antara kramik dan lantai, terdengar nyaring. Lea melebarkan mata, mulut menganga lebar karena syok dan panik. Lea buru-buru berjongkok untuk membereskan souvenir yang terjatuh. Begitu juga dengan Dimas. "Maaf, Dim, aku nggak sengaja menyenggol tangan kamu," ucap Lea dengan penuh per
"Hum." Haiden berdehem singkat, kembali melanjutkan langkah dengan tampang yang datar. Penciumannya memang tak pernah salah, itu aroma milik istrinya dan Lea memang kemari. Setelah tiba di lobi, rahang Haiden langsung mengatup, kemarahan seketika menyelimuti–tak suka melihat istrinya bersama pria lain. Haiden melangkah panjang ke arah sana dan ketika sudah di dekat Lea, tanpa mengatakan apa-apa Haiden langsung menarik pergelangan Lea–membawa Lea secara paksa. Tiba di ruangannya, Haiden mengunci pintu kemudian membawa Lea ke sofa. Dia mendudukkan Lea secara kasar ke atas sofa. "Apa yang kau lakukan di sini? Kenapa kau datang ke kantorku?!" marah Haiden, membentak Lea dengan suara tinggi dan mencekam. Lea sampai tersentak oleg bentakan Haiden, tubuhnya berakhir gemetar–tak tahan mendengar suara bentakan. Namun, Lea berusaha menahan diri, dia berusaha membendung air mata di pelupuk. 'Aku sudah biasa dibentak oleh Papaku. Dan bentakan Mas Haiden … aku juga harus terbiasa.' bat
"A-apa? Aku dijodohin sama Papa?" Kaget dan panik Nindi. "Udah. Kamu mandi dulu. Nanti Mama bicarain ke kamu." Setelah sampai di kamar putrinya, Lachi mendorong Nindi masuk ke dalam kamar–menyuruh putrinya untuk segera mandi. *** "Jadi bagaimana? Masih ingin menikahi putri Paman?" tanya Danzel, di mana saat ini dia sedang berbicara dengan anak dari salah satu temannya lamanya di dunia bisnis. Sejak dulu pemuda ini sudah mendatanginya dan mengatakan keinginannya untuk memperistri putranya. Dulu, Danzel menertawakan karena anak ini masih remaja labil. Tapi meski begitu, dia menganggukkan kepala–setuju jika pria ini menikahi putrinya di masa depan. Sejujurnya Danzel tak terlalu serius dan menganggap itu hanya candaan ssmata. Danzel merasa anak ini tak akan bertahan lama dalam rasa sukanya pada Nindi. Dari remaja hingga dewasa–tak mungkin pria ini tak menemukan perempuan lain di luaran sana. Intinya, Danzel tak yakin jika pemuda ini bertahan dalam hal menyukai putrinya. Namu
Saat ini Nindi berada di kontrakan kecil miliknya. Hidupnya berubah drastis setelah empat bulan terakhir ini. Dia menjalani hari-hari penuh dengan kekurangan, dia berusaha bertahan di era miskin yang melanda dirinya karena ingin hidup mandiri seperti ibunya saat muda dulu. Neneknya bilang ibunya seorang perempuan mandiri yang tak pernah mengandalkan kekayaan orangtuanya. Nindi yang selama ini berfoya-foya dengan uang ayahnya, merasa tersindir. Hingga akhirnya dia memutuskan untuk hidup sendiri. Dia memisah dari keluarga Adam, mencari pekerjaan secara mandiri di perusahaan lain, dan berusaha menyesuaikan diri dengan keadaan ekonomi yang serba kurang. Bagi Nindi ini cukup sulit karena dia terbiasa hidup penuh kemewahan. Namun, sejauh ini, Nindi menikmati kehidupan barunya. Derrttt'Nindi meraih handphone di atas meja nakas, samping ranjang kecil miliknya. Dia langsung mengangkat telepon dari sahabatnya, Clara. "Iya, Ra?" ucap Nindi, satu tangan menempelkan ponsel ke telinga, satu la
"Lihat penampilanmu sekarang, nggak terurus, buruk dan … harus aku akui, kamu jelek banget." "Yang penting aku masih hidup." "Iya, masalahnya, siapa yang mau pacaran sama kamu kalau kamu bentukannya begini, Nindi." Mendengar nama itu, seorang pria yang sedang menunggu pesanannya segera menoleh ke arah sumber suara tersebut. Dia bisa melihat dua perempuan sedang duduk bersama, satu perempuan berpenampilan rapi dan satu lagi terlihat seperti gembel. Perempuan gembel itu-- rambutnya berminyak, wajah kusam, pakaian tak disetrika, dan sandal jepit yang dia kenakan sudah diikat tali plastik. Sepertinya sandalnya putus, dan dia mengakalinya dengan tali plastik. Diam-diam pria itu mengambil potret si perempuan gembel tersebut, setelah itu mengamati potret yang ia ambil dengan sangat serius. Sejujurnya meskipun berpenampilan gembel, perempuan ini masih tetap cantik. Hanya saja-- bukankah perempuan ini berasal dari keluarga terpandang, kenapa penampilannya seperti gembel? Apa pamannya–a
"Apa mereka sedang menggunjing istri yah?" timpal Ziea, membuat semua orang menoleh padanya. "Ahahah, tidak mungkin, Ziea." Serena tertawa dengan anggun, menatap lucu pada Ziea. "Positif thinking, pasti membahas mobil. Para pria kan suka begitu," tebak Lea, kali ini mendapat anggukkan dari yang lainnya karena itu masuk diakal dan mereka setuju. "Ah ya ampun!! Pria yang pake kemeja hitam, ganteng sekali." Lea senyum-senyum manis. "Kak Deden?" Ziea memicingkan mata, mendapat anggukan dari Lea. "Tampan kan?!" Lea menaik turunkan alis. "Aduh. Tobat, Lea, tobat! Kamu sudah tua, Sayang!" Ziea mengomeli Lea, tetapi Lea tidak peduli–tetap memuji ketampanan suaminya. "Ada Alana loh di sini. Kamu tidak malu?" "Enggak apa-apa, Aunty. Alana sudah biasa kok," jawab Alana santai. "Pantas anteng, ternyata sudah biasa." Serena tertawa kecil. "Itu adek Kak Zana kan?" bisik Kanza pelan pada Anna, menatap seorang pria yang baru masuk. Pria itu tinggi, berpenampilan rapi dan p
*** Ethan memasuki rumahnya dengan langkah cool. Hari ini dia pulang lebih cepat dari kantor karena orangtua dan mertuanya sayang ke rumah. Keluarga yang lain juga akan datang, untuk menjenguk Alana yang sedang hamil. Sebenarnya ini kebiasaan keluarga Mahendra yang sangat kekeluargaan. Namun, karena daddynya tak mau kalah dan pada akhirnya yang lain ikut-ikutan. Jadilah hari ini mereka semua datang ke rumah ini. Ah, kakaknya juga datang. Namun, Samuel lebih dulu sampai ke sini dibandingkan Ethan yang merupakan tuan rumah. "Nyonya ada di mana?" tanya Ethan pada salah satu maid, ketika maid itu tergesa-gesa keluar dari sebuah ruangan lalu memberi hormat padanya saat melewatinya. Maid tersebut terlihat panik, segera menyembunyikan buku nyonya-nya ke belakang tubuh. "Ah-- itu, Tuan, Nyonya di-di halaman belakang bersama keluarga." "Humm." Ethan berdehem singkat. "Apa yang kau sembunyikan? Perlihatkan sekarang!" titah Ethan kemudian. Maid tersebut dengan ragu memperlihatkan buku
"Ngapain kamu ke sini?" tanya Alana, melayangkan tatapan tajam ke arah seorang laki-laki. Karena mendapat laporan dari maid–ada seorang pria di depan gerbang rumah, Alana langsung ke sana untuk memeriksa. Alana sejujurnya malas, akan tetapi dia tak ingin membuat keributan. Dia takut pria itu nekat ke dalam atau Ethan tiba-tiba pulang dan salah paham pada si pria itu. Jadi lebih baik Alana turun tangan. "Alana, akhirnya kau bersedia menemuiku." Pria itu begitu senang setelah melihat Alana datang. Dia tersenyum lebar, layaknya seseorang yang telah menemukan berlian langka di dunia. Pria itu mendekat tetapi Alana mundur. "Ck, kamu ngapain datang ke sini, Hendru?!" ketus Alana, menatap sinis dan tak suka pada Hendru. Alana sudah muak dengan Hendru karena pria ini sangat mengganggunya. Hendru meninggalkan kenangan buruk bagi Alana, tetapi pria ini muncul dengan gampangnya dihadapannya, tanpa merasa bersalah sedikit pun atau tak malu sama sekali. "Aku ingin meminta maaf pa
Alana terdiam di depan pintu ruangan Ethan. Dia sudah membuat kopi untuk Ethan akan tetapi dia tak berani untuk mengantarnya akibat dia … memanggil Ethan dengan embel-embel 'mas. Dia melakukannya tanpa sadar dan sekarang dia sangat malu. "Tapi sepertinya Kak Ed juga tidak sadar kalau tadi aku memangilnya Mas," gumam Alana pelan, mengenal napas pela untuk menenangkan diri. Setelah itu, dia membuka pintu ruangan Ethan dan langsung masuk. "Ini kopinya, Kak," ucap Alana pelan, meletakkan kopi di dekat suaminya. Ethan mendongak, sejenak mengamati wajah cantik istrinya lalu tiba-tiba menyunggingkan smirk tipis. "Aku suka." Alana mengerutkan kening, "tapi Kak Ethan belum mencoba kopinya," jawabnya bingung. "Aku suka dipanggil mas olehmu," lanjut Ethan, berhasil membuat pipi Alana memerah dan terasa panas. 'Astaga, jadi Kak Ed sadar? Hah, kok jantungku berdebar-debar kencang? Apakah ini tanda-tanda …- tidak!' Alana langsung membalik tubuh, meletakkan tangan di dada untuk merasakan
"Ugh, Kak Ethan sangat tampan!" gumam Alana pelan, senyum malu-malu ketika melihat suaminya turun dari mobil. Pipinya panas, menyembulkan semu merah yang mempercantik wajahnya. Melihat Ethan berjalan ke rumah, jantung Alana berdebar kencang. Dia segera beranjak dari sana, berjalan buru-buru dan kembali ke tempat semula. "Nyonya, ke-kenapa anda kembali ke sini? Nyonya tidak ingin menyambut Tuan yah?" tanya salah satu maid, cukup bingung karena Alana berlari kecil dari pintu utama. Bukankah seharusnya Alana membukakan pintu untuk suaminya dan menyambutnya? "Ekhm." Alana berdehem singkat, melirik maid dengan wajah datar, "untuk apa?""Jadi … kenapa kami disuruh memantau Tuan, Nyo-Nyonya?" bingung maid tersebut. "Ck." Alana berdecak, "kalian saja yang menyambutnya. Sana sana."Para maid segera beranjak dari sana, menyisakan Alana di ruangan tersebut. Alana meraih novel di atas meja kemudian menutup ke wajah, dia kembali tersenyum malu-malu–mengingat paras Ethan yang sangat tampan.
Mata Tia melebar mendengarkan perkataan Ebrahim. Dia mulai panik dan muali takut. "Ta-tapi … Alana jahat padaku, dan Tuan Ethan melakukan hal buruk padaku, Tu-Tuan Ebrahim," ucap Tia dengan nada gemetar, "anda terkenal baik dan selalu berpihak pada kebenaran." "Dan kebenarannya, kau berencana mencelakai adikku. Aku berniat merebut suami adikku, dan kau menusuk adikku dari belakang," jawab Ebrahim santai, "sekarang kutanya padamu, kau ingin mati di tanganku atau tetap hidup lebih lama dalam lingkar penderitaan yang Ethan ciptakan untukmu." Deg deg deg' Mata Tia melebar, reflek mundur bahkan berakhir terjatuh ke lantai karena lemas dan drop mendengar ucapan Ebrahim. Dia kira dia selamat bila meminta bantuan Ebrahim, akan tetapi status hidupnya malah diperjelas–hanya sebatas mati dan menderita. "Ku sarankan kau memilih Ethan, siapa tahu kau berobat dan Ethan melepasmu," ucap Ebrahim dengan menyunggingkan smirk tipis. Dia sedang menjebak perempuan ini. Faktanya, sekalipun Tia berub