Mohon maaf, MyRe, karena CaCi terlambat up. Semoga kalian suka dengan bab ini yah …. IG:@deasta18
Saat Lea membuka pintu–di mana maid terus mengikuti Lea, memohon supaya Lea tak pergi–Lea langsung mematung di ambang pintu. Mobil mewah yang biasa suaminya gunakan, ada di depan rumah–bersamaan dengan si empunya yang turun, Haiden Mahendra. Kening Haiden langsung mengerut, alis menekuk tajam dan ekspresi yang tak bersahabat terpasang jelas di wajah. "Kau mau kemana, Azalea?" dingin Haiden, segera menghampiri istrinya yang terlihat membeku di ambang pintu. Lea cengengesan, berdiri kaku dan kikuk. Saat Haiden di depannya, Lea buru-buru menyambar tangan pria itu–menyalam dan mencium punggung tangan sang suami. "Kau mau pergi ke mana?" tanya Haiden kembali, mengulangi pertanyaan sebelumnya. "Ke cafe, Mas. Malam ini cafe sedang ramai dan aku ingin ke sana untuk membantu," ucap Lea yang tak ingin berbohong karena dia rasa itu hal yang percuma. Berbohong atau tidak berbohong, tetap dia akan dimarahi oleh pria ini. "Masuk," titah Haiden, bernada bossy dan dingin. Lea menganggukkan
"Tapi kamu ikut lah ke pesta, Neng. Bapak tak ada teman, sekalian ini peluang untukmu bertemu dengan banyak orang penting." Lea mengaruk rambut, tak tahu harus menjawab apa. Dia ingin mengiyakan tetapi dia takut Haiden tak membolehkan. Namun, kasihan juga pada Raja, yang sepertinya menginginkan Lea ikut ke pesta itu. "Orang cantik itu harus dipamerkan. Apalagi kamu, yang cantiknya unik," ucap Raja, terus merayu Lea supaya bersedia ikut ke pesta. "Alah, Bos." Lea mengibas tangan di depan wajah, "masih ingat aku kata-kata si maling ayam–sekretaris Tuan Haiden. Dia bilang aku ini jelek, makanya Tuan ingin diwawancarai olehku," lanjut Lea, memutar bola mata jengah. Mengingat ucapan sekretaris suaminya tersebut, Lea sebenarnya cukup kepikiran. Apa dia memang jelek karena Haiden memang tak pernah mengajaknya keluar berdua. Semenjak menikah, Haiden tak pernah berkencan dengannya. Bahkan identitas Lea sebagai istri pria itu disembunyikan. Lea tiba-tiba murung, mungkin benar jika dia je
Haiden mendekati Lea, akan tetapi tiba-tiba saja Citra menghampirinya dan menghalangi langkahnya. "Tuan Haiden, anda ingin kemana? Tuan Kevan masih belum selesai berbicara dengan anda," ucap Citra. "Menyingkir," dingin Haiden, terus menatap ke arah Lea yang sudah duduk di sebuah kursi, istrinya datang dengan bosnya. "Tapi, Tuan, ini menyangkut--" "Kau bisa diam, Hah?" marah Haiden, mendorong cukup kasar pundak Citra kemudian kembali melangkah menuju tempat istrinya. Akan tetapi, dia terlambat. Lea sudah pergi entah kemana. Haiden berusaha mencari tetapi tak menemukan Lea. Haiden segera meninggalkan pesta karena dia yakin Lea melihatnya dan Lea kabur dari pesta ini. *** "Aku selamat!" ucap Lea, merasa senang karena dia akhirnya berhasil pergi dari pesta tersebut. Dia kabur dari pesta setelah mendapat pesan dari Nanda, di mana Nanda mengatakan jika Haiden melihatnya dan mungkin berniat menemui Lea. Untungnya Lea bisa kabur. Lea mengirim pesan pada bosnya, dia pulang duluan
"Azalea," panggil Haiden, nadanya pelan dan lebih lembut. Dia sengaja karena dia tahu perempuan ini sedang merajuk padanya. Lea menghela napas, berhenti makan kemudian bangkit dari sofa. Dia melewati Haiden, sengaja menyenggol lengan pria itu secara kasar. Haiden menatap Lea, ingin menegur tetapi ia urungkan. Haiden memilih mengikuti Lea, menuju ke arah dapur. Lea menyiapkan bahan untuk ia masak, setelah itu dia mencuci tangan dan mulai berkutat di dapur. Akan tetapi saat menyadari rambutnya tak dikuncir, Lea menghentikan aktivitas. Dia kembali mencuci tangan, mengeringkan tangan sembari mencari sesuatu sebagai pengikat rambut. Namun tiba-tiba saja, Haiden menghampirinya. Pria itu berjalan ke belakang tubuh Lea, dia mengumpulkan rambut Lea kemudian mengikat rambut istrinya dengan sebuah ikat rambut polos berwarna hitam yang selalu Haiden bawa–ia jadikan gelang. "Terimakasih," ucap Lea, cukup baper pada Haiden karena mengikat rambutnya. Pertanyaannya, darimana pria ini menda
"Lea, tunggu." Dimas mengajar Lea, sedikit berlari karena Lea berjalan dengan sangat cepat. Mereka sudah di lobi dan banyak yang memperhatikan mereka, akan tetapi Dimas tak peduli. Dia harus memastikan kondisi Lea karena setelah berniat menemui Haiden, Lea mendadak buru-buru pergi. "Lea …," panggil Dimas. Lea berhenti melangkah, buru-buru menghapus air mata kemudian memutar tubuh ke arah belakang. Namun, saat berputar, Lea menyenggol tangan Dimas sehingga membuat kotak souvenir yang ada pada Dimas jatuh. Brak' Kotak tersebut jatuh, ikatan pita terlepas dan isinya keluar–sebuah souvenir mewah yang terbuat dari keramik dengan bahan kualitas tinggi. Tak ada yang pecah, akan tetapi suara dentingan antara kramik dan lantai, terdengar nyaring. Lea melebarkan mata, mulut menganga lebar karena syok dan panik. Lea buru-buru berjongkok untuk membereskan souvenir yang terjatuh. Begitu juga dengan Dimas. "Maaf, Dim, aku nggak sengaja menyenggol tangan kamu," ucap Lea dengan penuh per
"Hum." Haiden berdehem singkat, kembali melanjutkan langkah dengan tampang yang datar. Penciumannya memang tak pernah salah, itu aroma milik istrinya dan Lea memang kemari. Setelah tiba di lobi, rahang Haiden langsung mengatup, kemarahan seketika menyelimuti–tak suka melihat istrinya bersama pria lain. Haiden melangkah panjang ke arah sana dan ketika sudah di dekat Lea, tanpa mengatakan apa-apa Haiden langsung menarik pergelangan Lea–membawa Lea secara paksa. Tiba di ruangannya, Haiden mengunci pintu kemudian membawa Lea ke sofa. Dia mendudukkan Lea secara kasar ke atas sofa. "Apa yang kau lakukan di sini? Kenapa kau datang ke kantorku?!" marah Haiden, membentak Lea dengan suara tinggi dan mencekam. Lea sampai tersentak oleg bentakan Haiden, tubuhnya berakhir gemetar–tak tahan mendengar suara bentakan. Namun, Lea berusaha menahan diri, dia berusaha membendung air mata di pelupuk. 'Aku sudah biasa dibentak oleh Papaku. Dan bentakan Mas Haiden … aku juga harus terbiasa.' bat
"Silahkan, airnya sudah kusiapkan," ucap Lea setelah menyiapkan air pemandian untuk suaminya berendam. Lea menoleh sejenak pada Haiden, berjalan menuju ranjang untuk mengambil novel yang ia letakkan di sana. Namun, pergelangan tangan Lea dicekal oleh Haiden, membuat Lea terpaksa menghentikan langkah. "Kau marah, Azalea?" tanya Haiden, nadanya memang terkesan datar akan tetapi tersirat perhatian serta kekhawatiran di sana. Tatapannya teduh, memperhatikan ekspresi wajah Lea yang terlihat lelah. Lea menggelengkan kepala, melepas paksa tangan Haiden dari pergelangan nya. "Aku bukan orang yang menghabiskan tenaga untuk marah," jawab Lea pelan, terkesan acuh tak acuh. Setelah itu kembali melanjutkan langkah, mengambil novel di atas ranjang dan setelahnya memilih keluar dari kamar. Haiden menatap kepergian Lea dengan ekspresi yang sulit diartikan. Dia ingin mengejar Lea, akan tetapi Haiden mengurungkan niat. Dia memilih masuk dalam kamar mandi, menenangkan diri yang diselimuti kem
"Maaf-- aku tidak sesuai ekspektasi, Azalea," lanjut Haiden, nadanya jauh lebih berat dan terasa dalam. Tangisan Lea perlahan redup. Lea tak butuh perkataan maaf karena dia menginginkan perhatian Haiden. Akan tetapi, ucapan Haiden membuat hati Lea bergetar. 'Apa tanpa sadar aku menuntutnya? Tapi aku tidak pernah menegurnya yang tak pernah memperhatikanku, aku hanya diam.' batin Lea, air matanya masih terus jatuh akan tetapi suara isakan tak keluar lagi. "Jangan menangis." Haiden menangkup pipi Lea kemudian mengusap air mata istrinya secara lembut. Tatapannya begitu teduh dan dalam, sorotnya berhasil menghipnotis Lea yang terdiam sembari terus menatap pada manik gelap suaminya. "Teman-temanku datang, aku sedikit khawatir kau bertemu dengan mereka. Maaf," ucap Haiden kembali, menangkup pipi Lea–mengusap pipi istrinya dengan ibu jari, "aku suka kau datang ke kantor. Terlebih jika itu untuk menemuiku." "Ucapanku kadang berbanding terbalik," lanjut Haiden. "Memangnya kenapa
"Dan-- ja-jangan-jangan anak yang Lea kandung adalah anak Orion," cicit Selly pelan, cukup takut pada Haiden. Akan tetapi tatapan Kenzie juga mengerikan, membuatnya terpaksa bersuara. Nanda cengang mendengar ucapan tante dari Haiden. Bagaimana bisa dia berpikir demikian? "Kau yakin telah membawa otakmu sebelum datang ke sini?" Kenzie mengernyit, kesal mendengar ucapan iparnya. Bagaimana bisa dia berpikir anak yang Lea kandung milik Orion, sedangkan Lea diculik baru beberapa hari lalu. "Bi-bisa saja. Orion bertemu dengan Lea saat Haiden dan Lea berbulan madu, bukan?" Selly mencari pembenaran dan alasan lain. Intinya dia ingin membuat Lea hina dihadapan Kenzie dan Moza. Kenzie memijat pelipis, sakit kepala karena mendengar ucapan Selly. Tadi, menantunya difitnah hamil karena insiden penculikan, sekarang pindah karena bulan madu Haiden dan Lea. Semakin mereka ingin menjatuhkan Lea, semakin mereka terlihat blunder. "Kau juga ingin mati sepertinya!" geram Haiden. Syur'Tuk'Nanda bu
"Ck." Haiden berdecak pelan, berkacak pinggang sembari memperhatikan istrinya yang sedang berbaring lemah di atas ranjang. Hari ini Haiden berniat ke kantor. Dia sudah rapi dengan setelah jas mahal. Dia terlihat mendekati kata 'sempurna melalui pancaran pesona dan karismanya. Haiden bahkan telah ada dalam mobil–akan berangkat ke kantor. Namun, maid berlari panik. Maid tersebut mengejar mobil yang akan keluar dari pekarangan rumah untuk menghentikan mobil yang membawa tuannya. Haiden menyuruh Nanda berhenti lalu menghampiri maid, di mana maid melapor secara tergesa-gesa, mengatakan kalau sang nyonya pingsang. Untungnya nyonya mereka pingsang dalam keadaan duduk di sofa, sehingga kecemasan mereka tak berkali-kali lipat. Sekarang Lea sudah diperiksa oleh dokter, kondisinya sangat memprihatinkan. Fisik Lea sangat lemah, begitu juga dengan kandungannya. Namun, dokter mengatakan supaya Haiden tidak khawatir berlebihan. Beberapa wanita hamil mengalami hal seperti ini--mudah drop dan ja
Namun, tiba-tiba saja Haiden muncul. Pria itu berjalan dengan langkah panjang, akan tetapi wajahnya menunjukkan mimik yang tenang sehingga sangat sulit bagi mereka untuk menebak apa yang sedang pria itu pikirkan serta rasakan. Mendengar langkah kaki, Lea menoleh ke arah belakang–menatap Haiden yang berjalan mendekat ke arahnya. Haiden melewatinya, akan tetap menyempatkan diri untuk mengusap pelan pucuk kepala Lea–saat dia melewati perempuan itu. Bug' Haiden langsung melayangkan tinju ke wajah tantenya, pukulannya sangat kuat sehingga perempuan itu terhempas kasar ke lantai kemudian berakhir tak sadarkan diri, di mana darah segar keluar dari hidung dan mulut. "Haiden!" bentak Tommi–suami dari Sania. Dia berlari ke arah istrinya dan langsung menggendongnya. Sedangkan Haiden, dia menggerakkan lengan–meregangkan otot lengan lalu kembali mengambil ancang-ancang untuk memukul Sania. Persetan, perempuan itu sudah tumbang. Jika dia masih terlihat oleh Haiden dalam bentuk utuh, maka H
Lea berusaha menenangkan diri di halaman samping, taman rumah yang sejuk dan indah. Kewarasan Lea berasa direnggut oleh Haiden, dan sekarang Lea ingin menyendiri–ditemani oleh Haiden. Yap! Lagi-lagi Lea ingin bebas dari Haiden akan tetapi suaminya ini seperti telah direkatkan pada tubuhnya. Lengket dan tak bisa disingkirkan! "Mas tidak kerja yah?" tanya Lea, nadanya cukup sinis karena masih dongkol pada Haiden. Sebenarnya Lea mengusir secara halus. Namun, Lea juga sejujurnya bingung kenapa Haiden tidak ke kantor. Ayolah! Suaminya penggila kerja. "Tidak." Haiden menjawab datar, "kondisimu belum stabil dan siapa tahu juga kau ingin sesuatu. Ibu hamil mengidam bukan?" "O-oh. Iya." Lea menganggukkan kepala, cukup kaku dan lagi-lagi bingung. Haiden tak ingin punya anak tetapi tetap perhatian pada Lea yang sedang mengandung. Konsepnya bagaimana?! *** Karena pusing diikuti terus-terusan oleh Haiden, pada akhrinya Lea memilih tidur siang. Lea berniat hanya pura-pura supaya
"Bagaimana rasanya menjadi ayah?" tanya Haiden, tepat setelah dia duduk di sebelah Reigha. Reigha menoleh padanya, menaikkan sebelah alis karena cukup tertarik dengan pertanyaan Haiden. "Seperti yang kau lihat," jawab Reigha. Haiden seketika menatap kesal pada Reigha. "Aku buta," ketusnya sebab tidak suka dengan jawaban Reigha. Shit! Kenapa harus jawaban itu? Memangnya jawaban seperti itu bisa menjelaskan apa?! Haiden butuh yang lebih rincih, diungkapkan dengan rangkaian kata pendukung untuk meyakinkan. "Jawab yang benar, Rei." Haiden berucap lagi, mendengkus lalu melayangkan tatapan malas pada Reigha. Dia bukan hanya dekat dengan Reigha, tetapi mereka juga sangat kompak sebenarnya. Fakta lucunya, pertemanan keduanya diawali dengan alasan yang konyol. Haiden dan Reigha memiliki hubungan kekerabatan. Namun, dulu mereka tak sedekat ini. Haiden lebih masuk pada pertemanan Rafael, Maxim, Nanda dan yang lainnya karena mereka semua seumuran. Sedangkan Reigha, selain lebih
"Jaga Azalea dengan baik." "Jangan terlalu manja pada Lea juga, Kak Den. Ingat, menantu Mommy sedang hamil. Jangan macam-macam juga!" Haiden menganggukkan kepala pada orangtuanya. Setelah itu, kedua orangtuanya pamit pulang. Haiden sudah lebih baik, begitu juga dengan Lea. Maka dari itu mereka pamit untuk pulang–memberi ruang untuk Haiden dan Lea. Mungkin pasangan itu butuh waktu. Lea menatap mobil mertuanya dengan muka murung. Sejak tadi dia hanya diam, perasaannya berkecamuk dan kepalanya sedikit pusing karena banyak pikiran. Benar dugaannya! Haiden sudah tahu tetapi Haiden dasarnya memang tak ingin membahas apapun. "Masuk dan kembali ke kamar." Haiden merangkul pundak Lea, mengiring istrinya untuk kembali masuk dalam rumah. "Kau harus istirahat," lanjutnya. Lea hanya menganggukkan kepala, berjalan pelan di sebelah suaminya. Sampai sekarang! Haiden tidak menyinggung pasal kehamilannya. Apa Haiden juga berpikiran yang sama dengan para tantenya? Haiden curiga ini anak Orion?
Setelah dokter pergi, Lea langsung menyambar novel. Dia sengaja untuk mengindari Haiden, dia takut menghadapi suaminya. Lea tersenyum perih, merasa dirinya telah gila dan jahat. 'Harusnya berita kehamilanku membawa kebahagiaan, harusnya aku senang karena sebentar lagi aku akan menjadi ibu, harusnya aku bahagia karena mengandung anak dari pria yang kucintai. Tapi-- aku malah sedih, aku takut, aku cemas dan … aku rasa aku akan menjadi gila dalam waktu dekat.' batin Lea, di mana dia ingin menangis akan tetapi ia tahan karena mendengar sebuah langkah kaki yang mendekat ke arahnya. Haiden kembali ke kamar, setelah sebelumnya mengantar dokter. "Besok, Mama dan Papa akan aku bawa ke sini untuk bertemu denganmu," ucap Haiden, meletakkan botol vitamin dan pil di atas nakas. "Iya, Mas," jawab Lea seadanya, menganggukkan kepala tanpa mau bersitatap dengan suaminya. Dia pura-pura sibuk membaca novel, padahal pikirannya kemana-mana. Jantung Lea berdebar kencang, punggungnya panas akan
"Ta-tapi … kamu jangan tinggalkan Haiden yah …" Mendengar permintaan ibu mertuanya tersebut, hati Lea berdenyut sakit. Di sisi lain, Lea khawatir semua orang memintanya meninggalkan Haiden, akan tetapi di sini ibu mertuanya malah khawatir Lea lah yang akan meninggalkan Haiden. Lea langsung menggelengkan kepala. Sedikitpun tak terlintas dipikiran Lea untuk meninggalkan suaminya–hanya karena dia melihat kejadian mengerikan itu. Lea memang takut, dan secara personal Lea masih merasakan ketakutan itu. Tak bisa ia pungkiri, kejadian itu menghantui Lea. Cara Haiden menebas kepala Orion, masih terekam jelas di kepala Lea. Belum lagi saat Haiden menusuk mata anak buah Orion dengan pedang panas. Semuanya-- Lea ingat dengan baik. Akan tetapi, Lea tidak akan meninggalkan Haiden hanya karena alasan itu. Sudah Lea katakan, dia akan terus mencintai Haiden meskipun Haiden seorang monster. Selagi Haiden tetap mencintai Lea dan tak berselingkuh, Lea tidak akan meninggalkan Haiden. "Aku tidak ber
Haiden mendekat ke arah Lea yang duduk di tepi ranjang, menghadap balkon dan membelakanginya. "Azalea," panggil Haiden rendah, nadanya serak dan pelan–pertanda jika keadaannya belum pulih. Lea tersentak saat mendengar suara lemah suaminya memangilnya, lamunannya buyar. Lea buru-buru menoleh ke sebelah, mendapati suaminya berdiri di sana. "Mas Haiden," sapa Lea pelan, secara ragu-ragu menarik bibir untuk membentuk sebuah senyuman. Lea berusaha terlihat ceria, akan tetapi maniknya menyemburkan kesedihan yang terlihat jelas. Lea larut dalam pikirannya setelah ditinggal oleh Ziea. Dia terus saja memikirkan ucapan tante dan sepupu suaminya. Bisa saja Lea bercerita pada Ziea mengenai ucapan para tante sahabatnya tersebut tentang dirinya. Akan tetapi-- mereka akan semakin punya jalan untuk merendahkan Lea. Mereka akan menganggap Lea memanfaatkan Ziea, apa-apa selalu meminta bantuan pada Ziea dan ketergantungan pada Ziea. Lea lelah dengan semua hinaan yang dilempar keluarga suaminy