"Hum." Haiden berdehem singkat, kembali melanjutkan langkah dengan tampang yang datar. Penciumannya memang tak pernah salah, itu aroma milik istrinya dan Lea memang kemari. Setelah tiba di lobi, rahang Haiden langsung mengatup, kemarahan seketika menyelimuti–tak suka melihat istrinya bersama pria lain. Haiden melangkah panjang ke arah sana dan ketika sudah di dekat Lea, tanpa mengatakan apa-apa Haiden langsung menarik pergelangan Lea–membawa Lea secara paksa. Tiba di ruangannya, Haiden mengunci pintu kemudian membawa Lea ke sofa. Dia mendudukkan Lea secara kasar ke atas sofa. "Apa yang kau lakukan di sini? Kenapa kau datang ke kantorku?!" marah Haiden, membentak Lea dengan suara tinggi dan mencekam. Lea sampai tersentak oleg bentakan Haiden, tubuhnya berakhir gemetar–tak tahan mendengar suara bentakan. Namun, Lea berusaha menahan diri, dia berusaha membendung air mata di pelupuk. 'Aku sudah biasa dibentak oleh Papaku. Dan bentakan Mas Haiden … aku juga harus terbiasa.' bat
"Silahkan, airnya sudah kusiapkan," ucap Lea setelah menyiapkan air pemandian untuk suaminya berendam. Lea menoleh sejenak pada Haiden, berjalan menuju ranjang untuk mengambil novel yang ia letakkan di sana. Namun, pergelangan tangan Lea dicekal oleh Haiden, membuat Lea terpaksa menghentikan langkah. "Kau marah, Azalea?" tanya Haiden, nadanya memang terkesan datar akan tetapi tersirat perhatian serta kekhawatiran di sana. Tatapannya teduh, memperhatikan ekspresi wajah Lea yang terlihat lelah. Lea menggelengkan kepala, melepas paksa tangan Haiden dari pergelangan nya. "Aku bukan orang yang menghabiskan tenaga untuk marah," jawab Lea pelan, terkesan acuh tak acuh. Setelah itu kembali melanjutkan langkah, mengambil novel di atas ranjang dan setelahnya memilih keluar dari kamar. Haiden menatap kepergian Lea dengan ekspresi yang sulit diartikan. Dia ingin mengejar Lea, akan tetapi Haiden mengurungkan niat. Dia memilih masuk dalam kamar mandi, menenangkan diri yang diselimuti kem
"Maaf-- aku tidak sesuai ekspektasi, Azalea," lanjut Haiden, nadanya jauh lebih berat dan terasa dalam. Tangisan Lea perlahan redup. Lea tak butuh perkataan maaf karena dia menginginkan perhatian Haiden. Akan tetapi, ucapan Haiden membuat hati Lea bergetar. 'Apa tanpa sadar aku menuntutnya? Tapi aku tidak pernah menegurnya yang tak pernah memperhatikanku, aku hanya diam.' batin Lea, air matanya masih terus jatuh akan tetapi suara isakan tak keluar lagi. "Jangan menangis." Haiden menangkup pipi Lea kemudian mengusap air mata istrinya secara lembut. Tatapannya begitu teduh dan dalam, sorotnya berhasil menghipnotis Lea yang terdiam sembari terus menatap pada manik gelap suaminya. "Teman-temanku datang, aku sedikit khawatir kau bertemu dengan mereka. Maaf," ucap Haiden kembali, menangkup pipi Lea–mengusap pipi istrinya dengan ibu jari, "aku suka kau datang ke kantor. Terlebih jika itu untuk menemuiku." "Ucapanku kadang berbanding terbalik," lanjut Haiden. "Memangnya kenapa
"Aku tidak ingin kau bekerja di sana," ucap Haiden yang saat ini sedang sarapan dengan Lea. Lea yang akan menggigit roti, langsung menoleh pada Haiden. "Aku dan Dimas hanya berteman, Dimas juga sudah punya tunangan, Mas," jelas Lea cepat, sedikit kesal karena dia baru memulai untuk menjadi wanita karir tetapi Haiden berniat menghentikannya. Dia langsung membahas Dimas, karena kemarin Haiden marah juga karena dia bersama Dimas. "Menurut padaku, Azalea Ariva Mahendra." Haiden berucap dingin, kembali ke setelan pabrik. "Alasannya apa, Mas Den? Kasih tahu aku kenapa aku tidak boleh bekerja," tanya Lea, menahan sabar dalam hati. 'Nih orang sepertinya dari spesies pemanis buatan, atau … gulali. Manisnya sesaat doang, ngotor-ngotorin gigi saja!' gerutu Lea dalam batin. "Kau kesal, Azalea?" Haiden memperhatikan ekspresi istrinya. "Ck." Lea berdecak pelan, tak menjawab ucapan Haiden sama sekali. 'Nanya lagi?!' "Medi Zone terlalu jauh dari rumah kita. Aku kesulitan mengawasimu j
"Haiden." Moza, mommy Haiden memekik, menegur putranya yang menurutnya mengatakan hal yang jahat. Moza tidak enak pada menantunya yang sudah terlihat murung dan kikuk. Mungkin Lea juga tak menduga Haiden akan menjawab demikian. "Haiden," tegur Kenzie, daddy Haiden–melayangkan tatapan tajam pada Haiden. Semua orang begitu kaget mendengar ucapan Haiden, akan tetapi ada juga yang bahagia. Melody adalah orang yang sangat bahagia mendengar perkataan Haiden. Mungkin Haiden bukan tidak ingin punya anak, tetapi Haiden tak mau memiliki anak dari Lea. Lea adalah perempuan bar-bar, etika minus dan masih kekanak-kanakan. Siapa yang akan percaya wanita seperti itu bisa menjadi seorang ibu suatu saat nanti? Melody masih punya kesempatan untuk mendapatkan Haiden karena dia jelas jauh lebih baik lagi Lea, dari segi apapun. "Aku sedang sibuk, Dad, Mom. Pekerjaanku sangat banyak, dan waktu dengan Azalea sangat sedikit. Aku tidak ingin punya anak karena setelah ini ingin meluangkan waktu deng
Hari ini Lea kembali bekerja ke perusahaan Medi Zone. Dia datang penuh semangat ke sana akan tetapi kabar buruk ia terima, membuat Lea patah semangat dan sedih. "Maaf, Neng Lea, Bapak tidak bisa berbuat apa-apa. CEO yang langsung berbicara supaya memecatmu," ucap Raja, menyerahkan surat pemecatan pada Lea. Lea menerima surat tersebut dengan ekspresi tak percaya. Apa kesalahannya sehingga dia dipecat? Bukankah sebelumnya CEO Medi Zone menganggap Lea sebagai keberuntungan perusahaan ini? Kenapa sekarang dia disingkirkan? "Aku melakukan kesalahan apa, Bos? Masalah souvenir yah?" tanya Lea, mimik mukanya tak enak. "Bu-bukan, Neng. Tetapi anu … itu-- suami jahanam Neng Lea, Tuan Haiden yah?" Lea melebarkan mata, cukup syok Raja mengetahui hal itu. Ya Tuhan! Kenapa Raja tahu? Bukankah Haiden menutup identitas Lea sebagai istrinya? Tetapi sekarang ada orang yang tahu jika Lea adalah istri Haiden. Kalau Haiden tahu masalah ini, apa Haiden akan memarahi Lea? "Hehehe …." Lea tak tahu
"Aku ingin bercerai, Mas Haiden," lirih Lea, mendongak pada Haiden dengan mata berkaca-kaca. Bening kristal telah berkumpul di pelupuk, hanya tinggal menunggu dia terjatuh. Haiden terdiam mendengar penuturan Lea, perasaan cemas dan takut perlahan hadir dalam hatinya. Amarah yang sempat menguasai seketika hilang entah kenapa, berganti dengan rasa panas akibat tamparan oleh ucapan istrinya. Ini mengejutkan! Haiden tak menyangka perkataan sialan ini akan terucap dari bibir manis Azalea-nya. "Aku ingin kita mengakhiri semuanya, Mas Haiden," ucap Lea kembali. Cengkeraman Haiden lepas seketika dari pundak Lea. Pria itu mundur beberapa langkah, mengusap wajah secara kasar lalu berbalik badan–memijat pelipis untuk menahan kemarahan yang kembali menguasai diri. "Aaarrrgk!!!" teriak Haiden marah, berjalan ke arah dinding kamar kemudian meninju tembok sekuat mungkin. Bug' Suara tinjuan Haiden pada tembok begitu kuat, emosi pria itu meluap. Amarah menguasai diri! Wajah Haiden mera
Pagi sekali Lea keluar dari rumah Haiden. Pertengkaran tadi malam masih membekas dalam memori dan hati Lea. Mengenai perceraian, dia yakin Haiden sudah mengurusnya–menghentikannya. "Aku tidak peduli. Katakan padanya jangan mencariku," ucap Lea melalui sambungan telepon, berbicara dengan kepala maid. Kepala maid menghubungi Lea karena diperintah oleh Haiden. Pria itu mencarinya dan menyuruh Lea untuk secara pulang. Akan tetapi Lea tak akan pulang, dia ingin mencari pekerjaan dari hasil sendiri. 'Nyonya HaiLe, Tuan belum sarapan dan Tuan tidak mau memakan sarapan dari kami.' Lea memutar bola mata jengah. Haiden pikir dengan dia tak mau sarapan, Lea akan pulang? Tidak! "Biarkan saja. Dia tidak peduli pada rasa sakitku, ngapain aku peduli pada rasa sakitnya. Persetan, Bu," ucap Lea, nadanya ketus karena kesal pada Haiden. Setelah itu, Lea mematikan sambungan telepon secara sepihak. Dia masuk dalam taksi, berniat ke sebuah perusahaan yang direkomendasikan teman lama. Di si
"A-apa? Aku dijodohin sama Papa?" Kaget dan panik Nindi. "Udah. Kamu mandi dulu. Nanti Mama bicarain ke kamu." Setelah sampai di kamar putrinya, Lachi mendorong Nindi masuk ke dalam kamar–menyuruh putrinya untuk segera mandi. *** "Jadi bagaimana? Masih ingin menikahi putri Paman?" tanya Danzel, di mana saat ini dia sedang berbicara dengan anak dari salah satu temannya lamanya di dunia bisnis. Sejak dulu pemuda ini sudah mendatanginya dan mengatakan keinginannya untuk memperistri putranya. Dulu, Danzel menertawakan karena anak ini masih remaja labil. Tapi meski begitu, dia menganggukkan kepala–setuju jika pria ini menikahi putrinya di masa depan. Sejujurnya Danzel tak terlalu serius dan menganggap itu hanya candaan ssmata. Danzel merasa anak ini tak akan bertahan lama dalam rasa sukanya pada Nindi. Dari remaja hingga dewasa–tak mungkin pria ini tak menemukan perempuan lain di luaran sana. Intinya, Danzel tak yakin jika pemuda ini bertahan dalam hal menyukai putrinya. Namu
Saat ini Nindi berada di kontrakan kecil miliknya. Hidupnya berubah drastis setelah empat bulan terakhir ini. Dia menjalani hari-hari penuh dengan kekurangan, dia berusaha bertahan di era miskin yang melanda dirinya karena ingin hidup mandiri seperti ibunya saat muda dulu. Neneknya bilang ibunya seorang perempuan mandiri yang tak pernah mengandalkan kekayaan orangtuanya. Nindi yang selama ini berfoya-foya dengan uang ayahnya, merasa tersindir. Hingga akhirnya dia memutuskan untuk hidup sendiri. Dia memisah dari keluarga Adam, mencari pekerjaan secara mandiri di perusahaan lain, dan berusaha menyesuaikan diri dengan keadaan ekonomi yang serba kurang. Bagi Nindi ini cukup sulit karena dia terbiasa hidup penuh kemewahan. Namun, sejauh ini, Nindi menikmati kehidupan barunya. Derrttt'Nindi meraih handphone di atas meja nakas, samping ranjang kecil miliknya. Dia langsung mengangkat telepon dari sahabatnya, Clara. "Iya, Ra?" ucap Nindi, satu tangan menempelkan ponsel ke telinga, satu la
"Lihat penampilanmu sekarang, nggak terurus, buruk dan … harus aku akui, kamu jelek banget." "Yang penting aku masih hidup." "Iya, masalahnya, siapa yang mau pacaran sama kamu kalau kamu bentukannya begini, Nindi." Mendengar nama itu, seorang pria yang sedang menunggu pesanannya segera menoleh ke arah sumber suara tersebut. Dia bisa melihat dua perempuan sedang duduk bersama, satu perempuan berpenampilan rapi dan satu lagi terlihat seperti gembel. Perempuan gembel itu-- rambutnya berminyak, wajah kusam, pakaian tak disetrika, dan sandal jepit yang dia kenakan sudah diikat tali plastik. Sepertinya sandalnya putus, dan dia mengakalinya dengan tali plastik. Diam-diam pria itu mengambil potret si perempuan gembel tersebut, setelah itu mengamati potret yang ia ambil dengan sangat serius. Sejujurnya meskipun berpenampilan gembel, perempuan ini masih tetap cantik. Hanya saja-- bukankah perempuan ini berasal dari keluarga terpandang, kenapa penampilannya seperti gembel? Apa pamannya–a
"Apa mereka sedang menggunjing istri yah?" timpal Ziea, membuat semua orang menoleh padanya. "Ahahah, tidak mungkin, Ziea." Serena tertawa dengan anggun, menatap lucu pada Ziea. "Positif thinking, pasti membahas mobil. Para pria kan suka begitu," tebak Lea, kali ini mendapat anggukkan dari yang lainnya karena itu masuk diakal dan mereka setuju. "Ah ya ampun!! Pria yang pake kemeja hitam, ganteng sekali." Lea senyum-senyum manis. "Kak Deden?" Ziea memicingkan mata, mendapat anggukan dari Lea. "Tampan kan?!" Lea menaik turunkan alis. "Aduh. Tobat, Lea, tobat! Kamu sudah tua, Sayang!" Ziea mengomeli Lea, tetapi Lea tidak peduli–tetap memuji ketampanan suaminya. "Ada Alana loh di sini. Kamu tidak malu?" "Enggak apa-apa, Aunty. Alana sudah biasa kok," jawab Alana santai. "Pantas anteng, ternyata sudah biasa." Serena tertawa kecil. "Itu adek Kak Zana kan?" bisik Kanza pelan pada Anna, menatap seorang pria yang baru masuk. Pria itu tinggi, berpenampilan rapi dan p
*** Ethan memasuki rumahnya dengan langkah cool. Hari ini dia pulang lebih cepat dari kantor karena orangtua dan mertuanya sayang ke rumah. Keluarga yang lain juga akan datang, untuk menjenguk Alana yang sedang hamil. Sebenarnya ini kebiasaan keluarga Mahendra yang sangat kekeluargaan. Namun, karena daddynya tak mau kalah dan pada akhirnya yang lain ikut-ikutan. Jadilah hari ini mereka semua datang ke rumah ini. Ah, kakaknya juga datang. Namun, Samuel lebih dulu sampai ke sini dibandingkan Ethan yang merupakan tuan rumah. "Nyonya ada di mana?" tanya Ethan pada salah satu maid, ketika maid itu tergesa-gesa keluar dari sebuah ruangan lalu memberi hormat padanya saat melewatinya. Maid tersebut terlihat panik, segera menyembunyikan buku nyonya-nya ke belakang tubuh. "Ah-- itu, Tuan, Nyonya di-di halaman belakang bersama keluarga." "Humm." Ethan berdehem singkat. "Apa yang kau sembunyikan? Perlihatkan sekarang!" titah Ethan kemudian. Maid tersebut dengan ragu memperlihatkan buku
"Ngapain kamu ke sini?" tanya Alana, melayangkan tatapan tajam ke arah seorang laki-laki. Karena mendapat laporan dari maid–ada seorang pria di depan gerbang rumah, Alana langsung ke sana untuk memeriksa. Alana sejujurnya malas, akan tetapi dia tak ingin membuat keributan. Dia takut pria itu nekat ke dalam atau Ethan tiba-tiba pulang dan salah paham pada si pria itu. Jadi lebih baik Alana turun tangan. "Alana, akhirnya kau bersedia menemuiku." Pria itu begitu senang setelah melihat Alana datang. Dia tersenyum lebar, layaknya seseorang yang telah menemukan berlian langka di dunia. Pria itu mendekat tetapi Alana mundur. "Ck, kamu ngapain datang ke sini, Hendru?!" ketus Alana, menatap sinis dan tak suka pada Hendru. Alana sudah muak dengan Hendru karena pria ini sangat mengganggunya. Hendru meninggalkan kenangan buruk bagi Alana, tetapi pria ini muncul dengan gampangnya dihadapannya, tanpa merasa bersalah sedikit pun atau tak malu sama sekali. "Aku ingin meminta maaf pa
Alana terdiam di depan pintu ruangan Ethan. Dia sudah membuat kopi untuk Ethan akan tetapi dia tak berani untuk mengantarnya akibat dia … memanggil Ethan dengan embel-embel 'mas. Dia melakukannya tanpa sadar dan sekarang dia sangat malu. "Tapi sepertinya Kak Ed juga tidak sadar kalau tadi aku memangilnya Mas," gumam Alana pelan, mengenal napas pela untuk menenangkan diri. Setelah itu, dia membuka pintu ruangan Ethan dan langsung masuk. "Ini kopinya, Kak," ucap Alana pelan, meletakkan kopi di dekat suaminya. Ethan mendongak, sejenak mengamati wajah cantik istrinya lalu tiba-tiba menyunggingkan smirk tipis. "Aku suka." Alana mengerutkan kening, "tapi Kak Ethan belum mencoba kopinya," jawabnya bingung. "Aku suka dipanggil mas olehmu," lanjut Ethan, berhasil membuat pipi Alana memerah dan terasa panas. 'Astaga, jadi Kak Ed sadar? Hah, kok jantungku berdebar-debar kencang? Apakah ini tanda-tanda …- tidak!' Alana langsung membalik tubuh, meletakkan tangan di dada untuk merasakan
"Ugh, Kak Ethan sangat tampan!" gumam Alana pelan, senyum malu-malu ketika melihat suaminya turun dari mobil. Pipinya panas, menyembulkan semu merah yang mempercantik wajahnya. Melihat Ethan berjalan ke rumah, jantung Alana berdebar kencang. Dia segera beranjak dari sana, berjalan buru-buru dan kembali ke tempat semula. "Nyonya, ke-kenapa anda kembali ke sini? Nyonya tidak ingin menyambut Tuan yah?" tanya salah satu maid, cukup bingung karena Alana berlari kecil dari pintu utama. Bukankah seharusnya Alana membukakan pintu untuk suaminya dan menyambutnya? "Ekhm." Alana berdehem singkat, melirik maid dengan wajah datar, "untuk apa?""Jadi … kenapa kami disuruh memantau Tuan, Nyo-Nyonya?" bingung maid tersebut. "Ck." Alana berdecak, "kalian saja yang menyambutnya. Sana sana."Para maid segera beranjak dari sana, menyisakan Alana di ruangan tersebut. Alana meraih novel di atas meja kemudian menutup ke wajah, dia kembali tersenyum malu-malu–mengingat paras Ethan yang sangat tampan.
Mata Tia melebar mendengarkan perkataan Ebrahim. Dia mulai panik dan muali takut. "Ta-tapi … Alana jahat padaku, dan Tuan Ethan melakukan hal buruk padaku, Tu-Tuan Ebrahim," ucap Tia dengan nada gemetar, "anda terkenal baik dan selalu berpihak pada kebenaran." "Dan kebenarannya, kau berencana mencelakai adikku. Aku berniat merebut suami adikku, dan kau menusuk adikku dari belakang," jawab Ebrahim santai, "sekarang kutanya padamu, kau ingin mati di tanganku atau tetap hidup lebih lama dalam lingkar penderitaan yang Ethan ciptakan untukmu." Deg deg deg' Mata Tia melebar, reflek mundur bahkan berakhir terjatuh ke lantai karena lemas dan drop mendengar ucapan Ebrahim. Dia kira dia selamat bila meminta bantuan Ebrahim, akan tetapi status hidupnya malah diperjelas–hanya sebatas mati dan menderita. "Ku sarankan kau memilih Ethan, siapa tahu kau berobat dan Ethan melepasmu," ucap Ebrahim dengan menyunggingkan smirk tipis. Dia sedang menjebak perempuan ini. Faktanya, sekalipun Tia berub