Lea menatap miris pada lingerie yang telah habis terbakar tesebut. Bukan hanya itu, celana pendek serta crop top miliknya– semua Haiden bakar. Yang membuat Lea sangat sedih adalah celana pendek motif bunga-bunga miliknya, juga menjadi korban kebakaran.
"Jahat sekali!" nanar Lea, terduduk lesu tak jauh dari tong sampah–bahan besih, yang menjadi wadah pakaiannya dilahap api. "Ke-kebakaran, kebakaran apa yang menyakitkan? kebakaran api cemburu? Enggaaaaak! Tapi melihat Celana pendek bunga-bungaku menjadi korban kebakaran. Aaaaa … i--itu celana pendekku yang kubeli saat masih kuliah. A-aku merawatnya sepenuh hati dan segenap jiwa, ngalahin Malika si kedelai hitam. Huaa … ahk'aaaa … aku susah-susah nawar biar dapat tiga seratus ribu, ta-tapi … aaaa … hiks … aaaa … dibakaaaar," tangis Lea pada akhirnya, sesenggukan karena merasa kehilangan teman lama. Tuk' Tiba-tiba saja ada yang mengetuk ubun-ubunnya, membuat Lea yang menangis langsung berhenti dan beralih mendongak untuk melihat siapa yang mengetuk kepalanya. Melihat Haiden lah pelakunya, Lea merasa malu tetapi dominan dongkol. Pria ini adalah Lucifer yang telah membunuh temannya dengan membakarnya hidup-hidup. Yah, celana pendek bunga-bunga adalah teman bagi Lea. "Apa yang kau tangisi?" tanya Haiden, menarik lengan Lea supaya perempuan itu berdiri. Lea dengan kasar menepis cengkeraman Haiden di tangannya, dia yang masih posisi duduk langsung bergeser tempat dari sebelah Haiden. "Punya mata kan?!" jawab Lea ketus. "Berdiri dan segera sarapan." Haiden kembali menarik Lea, kali ini lebih kuat–sekali sentakan perempuan itu sudah berdiri. Lea ingin memberontak akan tetapi Haiden memeluk pinggangnya dengan erat. Melihat tatapan Haiden yang dingin dan menusuk, Lea pada akhirnya diam. "Hah." Terdengar helaan napas dari bibir pria tampan tersebut, satu tangannya ia angkat–mengusap lembut pipi istrinya yang basah, "untuk apa kau menangisi pakaian-pakaian sampah itu?" ucap Haiden. Nadanya benar-benar lembut, tetapi percayalah hati Lea ngilu mendengarnya. Sakit hati! Pakaian sampah? Sungguh, Lea miris dan ingin menangis saat mendengarnya. Beberapa pakaian sampah yang Haiden sebut tadi, Lea beli dari sisa jajannya dahulu. Dia sangat merawat pakaiannya sehingga mereka awet dan tahan lama. Lea memang berasal dari keluarga berada, tetapi dia bukan anak yang beruntung untuk merasakan harta orangtuanya. Meski pada akhrinya Tante dan Paman (orangtua angkatnya) sangat baik padanya, tetapi Lea cukup malu meminta dibelikan pakaian oleh keduanya. Oke! Lingerie ia dapat dari hasil kado pernikahan dan beberapa ia beli dari uang yang Haiden beri padanya. Tetapi lainnya, sungguh Lea membeli dari jeri payah sendiri. Cup' Haiden mencium kelopak mata Lea secara bergantian, membuat Lea kian mematung. Perasaan sakit itu masih ada karena perkataan Haiden, tetapi perlakuan pria ini mampu menghapusnya. Tak sampai di sana, pria itu mengusap pucuk kepalanya kemudian merogok sesuatu saku celana. "Beli pakaian yang sopan." Haiden meraih tangan Lea lalu meletakkan sebuah debit card di atas telapak tangan istrinya. Haiden memang telah memberikan Salah satu black card miliknya pada Lea, akan tetapi debit card ini sebagai ganti baju yang ia bakar. 'Sial. Mana aku sedikit matre lagi. Nggak bisa! Tolonglah, harga dirimu, Lea. Jangan terima!' sugesti Lea, tetapi bodohnya dengan cepat dia menyembunyikan debit card tersebut ke belakang tubuh. "Hehehe …." Lea cengengesan konyol pada akhirnya, pasrah saja ketika Haiden membanya masuk. 'Bangke! Niat hati ingin tobat menggunakan uang Mas Haiden, supaya sepupunya yang bang-sat itu berhenti mengata-ngataiku. Tapi … mau bagaimana lagi? Suamiku terlalu royal untukku yang tobat sambal. Nggak bisa, Tuhan. Nggak bisa aku nolak.' *** "Kenapa dengan wajahmu, Azalea?" Haiden memandang raut muka murung istrinya, memperhatikannya secara lekat dan intens. Mereka telah sampai di ruangan makan, dan seperti biasa akan sarapan berdua bersama. Lea menggelengkan kepala, menarik sudut bibir ke atas hingga membentuk lengkungan tipis. Dia tersenyum manis akan tetapi dalam hati terasa sepat. Pikirannya kembali dipenuhi oleh lingerie dan baju lain miliknya yang habis dibakar oleh Haiden. Padahal, beberapa lingerie masih baru dan khusus Lea siapkan untuk Haiden. Apa setidak ingin itu suaminya melihat tubuhnya? Sret' Lea mengerjapkan mata secara berulang, cukup kaget ketika Haiden menarik kursi untuknya. "Silahkan duduk," ucap Haiden datar lalu kembali duduk ke tempat semula. "Terimakasih, Mas," ucap Lea pelan, memperhatikan sejenak pada Haiden yang sudah larut ke tabletnya. Seperti biasa! "Hum." Haiden menjawab dengan deheman, menoleh sejenak ke arah istrinya. "Jangan pernah membeli pakaian seksi lagi, awas saja jika pakaian seperti itu masuk ke dalam rumah ini," peringat Haiden, berkata tanpa nada akan tetapi penuh peringatan. Lea terdiam, meriah roti kemudian menggigitnya pelan. "Kenapa memangnya jika aku mengenakan pakaian seksi? Bukannya bagus untuk …-" Ucapan Lea berhenti seketika, Haiden tiba-tiba menatapnya tajam. "Jika suamimu melarang maka jangan lakukan!" tegur Haiden, berkata dingin dengan tatapan yang sangat tajam pada Lea. Lea memutar bola mata jengah. 'Bilang saja kamu jijik melihatku. Terus terang saja, supaya sakitnya nggak nanggung.' batin Lea, mengigit kuat roti dengan selai perpaduan kacang dan coklat tersebut. "Ck." Haiden berdecak marah karena melihat ekspresi wajah Lea, seperti membangkang dan menyepelekan. Haiden mudah marah, bahkan dalam hal sekecil apapun. Namun, kemarahannya teralihkan ketika melihat selai coklat di ujung bibir Lea. Sedangkan Lea, merasa diperhatikan oleh Haiden, dia langsung menyadari jika ada yang salah dengan wajahnya. Lea spontan mengangkat tangan, berniat membersihkan sesuatu di pipi atau sudut bibirnya. Mungkin itu yang membuat Haiden menatapnya secara terus-terusan. Akan tetapi tiba-tiba saja Haiden menahan pergelangan tangan Lea. Haiden bangkit dari kursi lalu mendekat bahkan mencondongkan tubuh ke arah Lea. Tentu saja Lea yang tak paham menarik kepala untuk menjauh dari Haiden, dia mengerutkan kening–mendongak dengan tatapan aneh pada Haiden. Cup' Tiba-tiba saja Haiden menciumnya, membuat Lea kaget bukan main. Dia juga panik dan gugup karena ada beberapa maid yang berjaga tak jauh dari mereka. Awalnya Lea kira Haiden hanya iseng, hanya sekedar mencium bibirnya. Akan tetapi pria itu melumat dan bahkan terasa menjilat bibirnya. Lea semakin syok dan panas dingin. Apa-apaan Haiden?! "Apa-apaan sih, Mas?" protes Lea seketika, saat setelah Haiden mencium bibirnya. Lea meneguk seliva secara kasar lalu melirik ke arah maid–ingin memastikan apakah mereka melihat. Untungnya para maid tersebut terlihat menundukkan kepala. Sepertinya mereka tak melihat adegan berbahaya tadi. "Ada coklat di bibirmu," jawab Haiden, sudah kembali duduk di kursinya–menyerup kopi secara khidmat. "Bisa pake tangan. Nggak harus memakai bibir kali, Mas," ucap Lea dengan nada dongkol, mengusap kasar bibirnya lalu kembali mengigit roti dengan kesal. Sedangkan Haiden, dia tak mengatakan apa-apa–hanya mengamati Lea yang sedang memakan roti. *** "Hah, bosan." Lea berucap pelan, menutup novel yang sedang ia baca lalu meletakkannya di atas sebuah meja. Saat ini Lea di teras samping, sedang menikmati weekend dengan rasa malas bercampur resah. Ini adalah weekend, Haiden memang tidak ke kantor tetapi pria itu mengurung diri di ruang kerjanya. Sibuk! "Perasaan genre hidupku komedi azab deh. Tetapi kenapa setelah menikah genre hidupku berubah jadi rumtang istri menye-menye kurang belaian sengsara kuadrat kali kebang-satan pangkat tiga. Ngeness!" gumam Lea pelan, tak peduli jika ucapan kotor dan umpatan keluar dari mulutnya. Tiga bulan dia berupaya menjadi perempuan anggunly yang lemah lembut, tetapi perubahan tersebut tidak memberikan pengaruh apapun pada pernikahannya. So-- lebih baik Lea kembali ke setelan pabrik. "So if you're ready … and if you'll let me … ah, setan!" Lea awalnya bersenandung untuk mengurangi kefrustasian yang melanda. Akan tetapi dia berhenti dan berakhir mengumpat, "percuma aku nyanyi sampe jadiin tuh lagu sebagai ritual. Diulang sejuta kali pun dia nggak bakalan ready. Argk, ojek online saja ready dua puluh empat jam. Masa dia ready nya saat malam pertama doang. Satu titik dua koma, Haiden setan!" kesalnya yang diakhiri dengan sebuah pantun tak bersajak. Lea mengacak rambut lalu menjerit tanpa suara. Lea bangkit dari tempat duduk lalu berjalan mengelilingi kolam renang, dia berniat mengurangi tekanan batin. Akan tetapi dia malah berakhir terlihat seperti seseorang yang sudah terkena gejala sakit jiwa. "Ck, pernikahan yang membosankan, tak seindah yang kubayangkan," decak Lea, bergumam pelan lalu kembali duduk ke tempat tadi. Dia menghela napas lalu berdecak lagi. "Pernikahan yang membosankan?" Tiba-tiba saja suara dingin mengalun dari belakang Lea, "kau bosan menikah denganku?""Kau bosan menikah denganku?" Suara Haiden begitu menusuk, menembus hingga ke tulang-tulang–membuat tubuh Lea menegang kaku serta panas pada bagian punggung. Lea berdiri dari kursi, menatap campur aduk pada Haiden yang sudah menahan marah. Di satu sisi Lea menyesali ucapannya, tetapi di sisi lain dia ingin sekali berteriak 'ya tepat di depan wajah Haiden. "Kau diam. Itu artinya benar," Haiden mendekati Lea, membuat perempuan itu semakin gugup tetapi rasanya juga ingin melawan secara bersamaan. "Katakan, bagian mana yang membuatmu bosan?" Ketika Haiden berjalan mendekat, Lea bergerak mundur. Kepalanya tertunduk, tangannya meremas pinggiran dress yang dia kenakan. Selain takut, perasaan sedih kian menyelimuti hati. Setelah Haiden melamarnya di Paris, pria ini selalu memanjakannya. Sikapnya sangat manis dan seperti seorang pria yang sangat menginginkan wanitanya. Akan tetapi kenapa setelah menikah semua terasa hambar? Kemana Haiden yang manis? "Seingatku-- kau sangat ingin m
Ketika sadar tangan kekar itu masih memegangnya, Lea langsung menoleh ke empunya. Haiden menunduk sedikit, menatap Lea yang mendongak padanya. Tatapan perempuan ini begitu cantik, air membuat bulu mata Lea terlihat lebih jelas. Apalagi pada bagian bulu mata bawah, sehingga mata bulat Lea terlihat jauh lebih cantik. Daya tarik istrinya sangat kuat, terlebih pada bagian mata Lea. Lea memilih memalingkan wajah, dia menenangkan diri–berusaha mengatur nafas karena oksigen yang saling berdesakan pada paru-parunya. Tiba-tiba saja Haiden menarik tubuh Lea, menggendongnya di depan dan melingkarkan kaki perempuan itu di pinggangnya. Lea kira pria ini akan membawanya ke pinggir, akan tetapi …- Cup' Haiden tiba-tiba mencium bibirnya, melumatnya cukup kasar dan penuh penuntutan. Lea tidak membalas sama sekali, terdiam dengan wajah memerah padam. "Kenapa kau tidak membalas ciumanku?" tanya Haiden dingin, melayangkan tatapan tajam pada Lea. Lea menoleh ke sana kemari, menatap bebe
"Kapan pulang, Mas Haiden?" tanya Azalea Ariva pada suaminya melalui sambungan telepon. Perempuan yang kerap kali disapa Lea tersebut terlihat berseri-seri, berdebar hatinya karena tak sabar menunggu kepulangan suaminya. Tiga bulan semenjak pernikahan, Lea tidak pernah disentuh oleh suaminya. Hanya di saat malam pertama saja Haiden menyentuhnya, setelahnya tak ada lagi sentuhan panas yang menyapa Lea. Yah, suaminya memang sibuk. Sehari setelah menikah, Haiden kembali bekerja. Lalu beberapa hari kemudian, Haiden ke luar negeri untuk mengurus bisnis. Hari terus berlalu dan Haiden semakin larut dalam pekerjaan. Hubungan pernikahan mereka begitu monoton dan cukup dingin bagi Lea yang mendambakan kehangatan dari suaminya. Di saat Haiden tak keluar negeri, Lea hanya bertemu dengan suaminya saat pagi–saat mereka sarapan bersama. Itupun tanpa pembicaraan. Ketika sarapan, Haiden selalu membawa tablet dan terus menatap tablet dengan tatapan serius, hal tersebut membuat Lea tak berani untuk s
"Azalea." Lea yang sedang mengoles roti seketika mengangkat pandangan. Seperti biasa, pagi harinya selalu diawali dengan sarapan bersama Haiden. Walau pria itu selalu sibuk dengan tabletnya. "Iya, Mas?" tanya Lea seadanya. Tak ingin antusias karena masih mengingat kejadian tadi malam. Dia begitu excited menunggu kepulangan Haiden dari tempat kerja. Dia pikir malam dingin akan menjadi hangat dan penuh cinta. Namun, dia salah besar. Haiden tak mengharapkan hal yang sama dengannya. Dia berakhir tidur, ditemani kepiluan hati serta kehampaan. Sungguh?! Inikah pernikahan indah dan romantis yang Lea impikan? Dia kira setelah berhasil menaklukan Haiden, dia akan menjadi wanita beruntung yang dimanjakan oleh pria ini. Sayangnya itu tak benar. "Roti untukku?" ucap pria itu, menoleh ke arah piring yang masih kosong lalu menatap Lea–isyarat agar perempuan itu memberinya roti. Lea yang sudah selesai mengoles roti dengan selai coklat campur kacang, bahkan ingin mengigitnya, seketika meletakkan
Hari ini Lea kembali berniat menggoda Haiden. Pernikahan yang masih berusia tiga bulan ini, sudah terlalu dingin. Lea tak ingin membuatnya semakin dingin, dia harus secepatnya menghangatkan hubungan antara dia dan suaminya. Sudah jam delapan malam, Lea telah mengenakan lingerie yang ia beli saat siang tadi. Sejujurnya Lea tak diperbolehkan keluar tanpa izin dari Haiden. Tadi siang dia sama sekali tak izin karena dia merasa tak perlu. Izin tak izin, sepertinya Haiden tak akan peduli untuk saat ini–pria itu hanya peduli pada pekerjaan. Lagipula Lea hanya sebentar, jalan-jalan ke mall untuk menenangkan pikiran sejenak. Tampilannya sudah seksi dan jauh lebih menggoda dari malam sebelumnya. Seperti tadi malam, Lea berias dan mengenakan parfum yang banyak. "Halo, Mas Haiden sayang. Malam ini kamu pulang jam berapa yah kalau boleh tahu?" tanya Lea dengan lembut dan manis. Namun, alih-alih mendapat sambutan hangat, dia malah dimarahi oleh Haiden. 'Kepala maid melapor jika kau keluar dari
"Totalnya empat ratus lima puluh ribut," ucap Lea pada seorang pembeli yang saat ini melakukan transaksi pembayaran. Pembeli tersebut memberikan uang sebanyak lima lembar berwarna pink. Lea menerima uang tersebut kemudian memberi kembalian. "Kembalian lima puluh ribu lagi, Kak. Terimakasih sudah mengunjungi cafe kita, semoga harinya menyenangkan." Pembeli tersebut tersipu malu kemudian segera beranjak dari sana. Lea langsung menghela napas, memanggil salah satu staf dan menyuruhnya berganti tugas. "Ck, mungkin saja perempuan itu seorang model, sedangkan aku hanyalah seorang pelayan cafe. Oleh sebab itu Mas Haiden memilihnya. Ah, aku harus mencari pekerjaan lain intinya. Aku tidak boleh kalah. Menikah dengannya, bukan berarti aku berhenti berjuang. Semangat semangat semangat!" gumam Lea antusias pada akhirnya kalimat untuk mensugesti diri sendiri. Akan tetapi dia mengurungkan niat untuk masuk ke dapur karena ternyata cafe sedang ramai. Lea sebenarnya koki di cafe milik sahabatnya i
"Ya Tuhan, boleh nggak sih kalau aku mengatakan menyesal menikah dengan Mas Haiden? Dia sangat sempurna, sedangkan aku-- kurasa pengemis dijalanan lebih sukses dibandingkan aku. Mereka mah … modal duduk sama megang kemasan teh gelas saja bisa menghasilkan uang jutaan perhari. Aku? Kerja hasil giveaway, gaji besar karena yang memberi upah sahabat sendiri. Hah, itupun masih mengeluh. Manusia manusia … kebanyakan ngeluh!" pekik Lea, memukul kepala sendiri beberapa kali, tak peduli pada orang sekitar yang memperhatikan. "Kenapa jadi tak nyambung? Ck, dah jam empat ternyata. Pantas kumat," gumamnya, menghela napas lalu mengeluh lagi. Hingga tiba-tiba saja dia tiba di sebuah tempat yang ramai. "Kebakaran.""Kebakaran.""Kebakaran."Teriakan orang-orang memenuhi tempat tersebut. Melihat itu, Lea mendekat bahkan mendadak ikut dengan para pemuda dan bapak-bapak untuk gotong royong mengangkut air. "Aku tidak bisa, Pak. Aku takut api." Ucap seseorang perempuan sembari melempar ID card. Setel
"Terimakasih atas bantuannya, Lea." Lea tersenyum lebar, berjabat tangan dengan pria perut buncit tersebut–kepala tim yang tadi membuat Lea mendadak menjadi reporter. "Ini." Bapak tersebut memberikan sebuah kartu nama pada Lea. "Secepatnya, datanglah ke perusahaan Medi Zone. Bapak pastikan kamu mendapat pekerjaan di sana," ucap Raja, nama pria tersebut. Lea membulatkan mata, meraih kartu nama tersebut dengan semangat. Dia tersenyum lebar lalu kembali bersalaman secara semangat dengan Raja. "Terimakasih, Pak. Ini yang kubutuhkan.""Semangatmu sangat luar biasa anak muda." Raja tertawa begitu juga dengan Lea. "BTW, Pak." Lea dengan santai menepuk pelan pundak Raja, dia bersikap seolah Raja adalah teman lamanya. "Bagaimana tadi? Aku berbakat tidak jadi reporter?" "Ahahaha …." Raja tertawa cukup kencang, bukan karena menyetujui ucapan Lea akan tetapi karena merasa risau. Dia tak akan lagi menjadikan perempuan ini sebagai reporter, dia sudah jera dan sangat syok. Sekarang dia menyiapk
Ketika sadar tangan kekar itu masih memegangnya, Lea langsung menoleh ke empunya. Haiden menunduk sedikit, menatap Lea yang mendongak padanya. Tatapan perempuan ini begitu cantik, air membuat bulu mata Lea terlihat lebih jelas. Apalagi pada bagian bulu mata bawah, sehingga mata bulat Lea terlihat jauh lebih cantik. Daya tarik istrinya sangat kuat, terlebih pada bagian mata Lea. Lea memilih memalingkan wajah, dia menenangkan diri–berusaha mengatur nafas karena oksigen yang saling berdesakan pada paru-parunya. Tiba-tiba saja Haiden menarik tubuh Lea, menggendongnya di depan dan melingkarkan kaki perempuan itu di pinggangnya. Lea kira pria ini akan membawanya ke pinggir, akan tetapi …- Cup' Haiden tiba-tiba mencium bibirnya, melumatnya cukup kasar dan penuh penuntutan. Lea tidak membalas sama sekali, terdiam dengan wajah memerah padam. "Kenapa kau tidak membalas ciumanku?" tanya Haiden dingin, melayangkan tatapan tajam pada Lea. Lea menoleh ke sana kemari, menatap bebe
"Kau bosan menikah denganku?" Suara Haiden begitu menusuk, menembus hingga ke tulang-tulang–membuat tubuh Lea menegang kaku serta panas pada bagian punggung. Lea berdiri dari kursi, menatap campur aduk pada Haiden yang sudah menahan marah. Di satu sisi Lea menyesali ucapannya, tetapi di sisi lain dia ingin sekali berteriak 'ya tepat di depan wajah Haiden. "Kau diam. Itu artinya benar," Haiden mendekati Lea, membuat perempuan itu semakin gugup tetapi rasanya juga ingin melawan secara bersamaan. "Katakan, bagian mana yang membuatmu bosan?" Ketika Haiden berjalan mendekat, Lea bergerak mundur. Kepalanya tertunduk, tangannya meremas pinggiran dress yang dia kenakan. Selain takut, perasaan sedih kian menyelimuti hati. Setelah Haiden melamarnya di Paris, pria ini selalu memanjakannya. Sikapnya sangat manis dan seperti seorang pria yang sangat menginginkan wanitanya. Akan tetapi kenapa setelah menikah semua terasa hambar? Kemana Haiden yang manis? "Seingatku-- kau sangat ingin m
Lea menatap miris pada lingerie yang telah habis terbakar tesebut. Bukan hanya itu, celana pendek serta crop top miliknya– semua Haiden bakar. Yang membuat Lea sangat sedih adalah celana pendek motif bunga-bunga miliknya, juga menjadi korban kebakaran. "Jahat sekali!" nanar Lea, terduduk lesu tak jauh dari tong sampah–bahan besih, yang menjadi wadah pakaiannya dilahap api. "Ke-kebakaran, kebakaran apa yang menyakitkan? kebakaran api cemburu? Enggaaaaak! Tapi melihat Celana pendek bunga-bungaku menjadi korban kebakaran. Aaaaa … i--itu celana pendekku yang kubeli saat masih kuliah. A-aku merawatnya sepenuh hati dan segenap jiwa, ngalahin Malika si kedelai hitam. Huaa … ahk'aaaa … aku susah-susah nawar biar dapat tiga seratus ribu, ta-tapi … aaaa … hiks … aaaa … dibakaaaar," tangis Lea pada akhirnya, sesenggukan karena merasa kehilangan teman lama. Tuk' Tiba-tiba saja ada yang mengetuk ubun-ubunnya, membuat Lea yang menangis langsung berhenti dan beralih mendongak untuk melihat sia
Apakah Haiden akan menyentuhnya? Dari ciuman Haiden yang basah dan panas, sepertinya iya. Namun-- Gluk' Lea meneguk saliva secara kasar saat Haiden menyudahi permainan bibir mereka. "Bibirmu sangat manis, Sweetheart," ucap Haiden dengan nada tenang, mengusap bibir Lea secara lembut dan hati-hati. Setelah itu, dia beralih menepuk-nepuk pucuk kepala istrinya, "ganti pakaianmu. Kita akan pulang ke rumah kita." Lea tersenyum kaku, sebetulnya menutupi kesedihan dan perasaan dongkol yang larut dalam hatinya. Dia sudah berharap, tetapi ternyata Haiden tidak ingin menyentuhnya. 'Apa yang salah dari tubuhku, Tuhan? Kenapa suamiku tidak mau menyentuhku?' batin Lea, berjalan ke kamar mandi untuk mengganti pakaian. Setelah berganti pakaian, Lea mengemasi barang-barangnya dalam koper. Dia ingin membangkang dengan menolak pulang, akan tetapi dia takut Haiden marah seperti tadi. "Kenapa kau menginap di hotel?" tanya Haiden yang sekarang sedang duduk di sofa, menyender dengan bersedek
"Apa aku kurang cantik yah, oleh sebab itu Mas Haiden tidak mau menyentuhku." Lea menatap tampilan dirinya di depan cermin wastafel. Dia baru saja mandi, berendam cukup lama untuk merilekskan pikiran. Lea terus membohongi dirinya dengan berpura-pura enjoy menjalani kehidupan. Tetapi kenyataannya, pikirannya tak lepas dari suaminya. Kenapa setelah malam pertama, Haiden tak pernah lagi menyentuhnya? Adakah yang salah dari Lea? "Sebelum menikah, Mas Haiden terlihat begitu menginginkanku. Dia bahkan pernah hampir lepas kendali. Dan saat malam pertama, dia begitu bersemangat. Malam itu ...-" Lea terdiam sejenak, mengingat kembali kegiatan panas yang dia lakukan saat malam pertama dengan suaminya. Haiden menyentuh tubuhnya dengan begitu bersemangat, tak ada sedikitpun kulit Lea yang lepas dari sentuhan panas suaminya. 'Kau tidak akan bisa menghentikanku, Lea. Sekalipun kau menjerit kesakitan.' 'Selama ini kau terus menggodaku, dan malam ini-- akan kubuat kau merintih di bawahk
"Terimakasih atas bantuannya, Lea." Lea tersenyum lebar, berjabat tangan dengan pria perut buncit tersebut–kepala tim yang tadi membuat Lea mendadak menjadi reporter. "Ini." Bapak tersebut memberikan sebuah kartu nama pada Lea. "Secepatnya, datanglah ke perusahaan Medi Zone. Bapak pastikan kamu mendapat pekerjaan di sana," ucap Raja, nama pria tersebut. Lea membulatkan mata, meraih kartu nama tersebut dengan semangat. Dia tersenyum lebar lalu kembali bersalaman secara semangat dengan Raja. "Terimakasih, Pak. Ini yang kubutuhkan.""Semangatmu sangat luar biasa anak muda." Raja tertawa begitu juga dengan Lea. "BTW, Pak." Lea dengan santai menepuk pelan pundak Raja, dia bersikap seolah Raja adalah teman lamanya. "Bagaimana tadi? Aku berbakat tidak jadi reporter?" "Ahahaha …." Raja tertawa cukup kencang, bukan karena menyetujui ucapan Lea akan tetapi karena merasa risau. Dia tak akan lagi menjadikan perempuan ini sebagai reporter, dia sudah jera dan sangat syok. Sekarang dia menyiapk
"Ya Tuhan, boleh nggak sih kalau aku mengatakan menyesal menikah dengan Mas Haiden? Dia sangat sempurna, sedangkan aku-- kurasa pengemis dijalanan lebih sukses dibandingkan aku. Mereka mah … modal duduk sama megang kemasan teh gelas saja bisa menghasilkan uang jutaan perhari. Aku? Kerja hasil giveaway, gaji besar karena yang memberi upah sahabat sendiri. Hah, itupun masih mengeluh. Manusia manusia … kebanyakan ngeluh!" pekik Lea, memukul kepala sendiri beberapa kali, tak peduli pada orang sekitar yang memperhatikan. "Kenapa jadi tak nyambung? Ck, dah jam empat ternyata. Pantas kumat," gumamnya, menghela napas lalu mengeluh lagi. Hingga tiba-tiba saja dia tiba di sebuah tempat yang ramai. "Kebakaran.""Kebakaran.""Kebakaran."Teriakan orang-orang memenuhi tempat tersebut. Melihat itu, Lea mendekat bahkan mendadak ikut dengan para pemuda dan bapak-bapak untuk gotong royong mengangkut air. "Aku tidak bisa, Pak. Aku takut api." Ucap seseorang perempuan sembari melempar ID card. Setel
"Totalnya empat ratus lima puluh ribut," ucap Lea pada seorang pembeli yang saat ini melakukan transaksi pembayaran. Pembeli tersebut memberikan uang sebanyak lima lembar berwarna pink. Lea menerima uang tersebut kemudian memberi kembalian. "Kembalian lima puluh ribu lagi, Kak. Terimakasih sudah mengunjungi cafe kita, semoga harinya menyenangkan." Pembeli tersebut tersipu malu kemudian segera beranjak dari sana. Lea langsung menghela napas, memanggil salah satu staf dan menyuruhnya berganti tugas. "Ck, mungkin saja perempuan itu seorang model, sedangkan aku hanyalah seorang pelayan cafe. Oleh sebab itu Mas Haiden memilihnya. Ah, aku harus mencari pekerjaan lain intinya. Aku tidak boleh kalah. Menikah dengannya, bukan berarti aku berhenti berjuang. Semangat semangat semangat!" gumam Lea antusias pada akhirnya kalimat untuk mensugesti diri sendiri. Akan tetapi dia mengurungkan niat untuk masuk ke dapur karena ternyata cafe sedang ramai. Lea sebenarnya koki di cafe milik sahabatnya i
Hari ini Lea kembali berniat menggoda Haiden. Pernikahan yang masih berusia tiga bulan ini, sudah terlalu dingin. Lea tak ingin membuatnya semakin dingin, dia harus secepatnya menghangatkan hubungan antara dia dan suaminya. Sudah jam delapan malam, Lea telah mengenakan lingerie yang ia beli saat siang tadi. Sejujurnya Lea tak diperbolehkan keluar tanpa izin dari Haiden. Tadi siang dia sama sekali tak izin karena dia merasa tak perlu. Izin tak izin, sepertinya Haiden tak akan peduli untuk saat ini–pria itu hanya peduli pada pekerjaan. Lagipula Lea hanya sebentar, jalan-jalan ke mall untuk menenangkan pikiran sejenak. Tampilannya sudah seksi dan jauh lebih menggoda dari malam sebelumnya. Seperti tadi malam, Lea berias dan mengenakan parfum yang banyak. "Halo, Mas Haiden sayang. Malam ini kamu pulang jam berapa yah kalau boleh tahu?" tanya Lea dengan lembut dan manis. Namun, alih-alih mendapat sambutan hangat, dia malah dimarahi oleh Haiden. 'Kepala maid melapor jika kau keluar dari