"Apa aku kurang cantik yah, oleh sebab itu Mas Haiden tidak mau menyentuhku." Lea menatap tampilan dirinya di depan cermin wastafel. Dia baru saja mandi, berendam cukup lama untuk merilekskan pikiran.
Lea terus membohongi dirinya dengan berpura-pura enjoy menjalani kehidupan. Tetapi kenyataannya, pikirannya tak lepas dari suaminya. Kenapa setelah malam pertama, Haiden tak pernah lagi menyentuhnya? Adakah yang salah dari Lea? "Sebelum menikah, Mas Haiden terlihat begitu menginginkanku. Dia bahkan pernah hampir lepas kendali. Dan saat malam pertama, dia begitu bersemangat. Malam itu ...-" Lea terdiam sejenak, mengingat kembali kegiatan panas yang dia lakukan saat malam pertama dengan suaminya. Haiden menyentuh tubuhnya dengan begitu bersemangat, tak ada sedikitpun kulit Lea yang lepas dari sentuhan panas suaminya. 'Kau tidak akan bisa menghentikanku, Lea. Sekalipun kau menjerit kesakitan.' 'Selama ini kau terus menggodaku, dan malam ini-- akan kubuat kau merintih di bawahku.' 'Bagaimana, Sweetheart. Kau masih sanggup?' 'Ampun. A-aku tidak akan menggodamu lagi, Pak--Mas. Aku berjanji telah bertobat. Tolong jangan lagi, aku kesakitan.' Lea saat itu merintih dan bahkan memohon supaya Haiden berhenti. Awalnya Lea pikir bercinta adalah hal yang menyenangkan dan penuh kenikmatan. Akan tetapi milik Haiden membuatnya kesakitan. Lea jera dan meminta ampun. Sayangnya malam itu Haiden terus mengulang, tak kenal lelah dan tak membiarkan Lea beristirahat. Rasanya Lea akan pingsan malam itu, tak habis pikir jika Haiden begitu buas, penuh nafsu dan sangat panas. Dari malam itu, Lea sempat mengira jika Haiden tak akan membiarkan malam Lea berakhir begitu saja. Mungkin setiap hari Lea akan melayani hasrat pria itu. Tetapi ... itu tak seperti yang Lea pikir. Malam pertama bisa dikatakan malam terakhir bagi Lea untuk merasakan hasrat suaminya. Setelahnya, Haiden tak pernah menyentuhnya. "Apa dia menyesal? Atau ... Mas Haiden sebenarnya hanya penasaran padaku, dan setelah mendapatkan apa yang dia mau, dia merasa tidak membutuhkanku lagi?" monolog Lea, menepuk pelan pipinya supaya pelembab kulit yang ia kenakan menyerap dengan sempurna. Lea tiba-tiba menoleh pada serangkaian botol skincare-nya. Dia tersenyum miris dan bahkan hampir menangis. Lihatlah Lea? Dia merasa dirinya seperti badut! Setiap hari merias diri, merawat tubuh dan terus mempercantik diri. Akan tetapi suaminya sama sekali tak menginginkannya. Lea mengerjap beberapa kali, menghapus air mata secara kasar lalu menghela napas. "Ayolah, Lea. Aku mohon jangan cengeng. Jangan menangis! Masih masalah begini saja, aku sudah nangis. Hah, lemah!" Lea meledek dirinya sendiri, terkekeh miris dan kembali mengusap air mata. Lea menarik napas dalam-dalam, menenangkan diri sebelum keluar dari kamar mandi. Ini sudah tengah malam dan saatnya dia tidur. Ceklek' Lea membuka pintu kamar hotel, langsung dibuat kaget karena sosok pria dengan tubuh kekar yang duduk di pinggir ranjang. Deg deg deg' Jantung Lea berdebar sangat kencang, rasanya akan copot dari tempat! Beberapa detik, Lea membeku di ambang pintu, menatap gugup bercampur takut pada sosok tersebut. Haiden Mahendra-suaminya! Pertanyaannya, bagaimana bisa Haiden di sini? Bukankah pria itu di luar kota. Apa jangan-jangan Haiden berbohong tentang ke luar kota? Haiden mengatupkan rahang, gigi bergemelutuk dengan pandangan menghunus tajam ke arah Lea. Melihat pakaian Lea yang begitu seksi, emosi Haiden semakin naik. Istrinya sendiri di hotel dan dia mengenakan gaun tidur yang seksi. Haiden sangat tidak suka! "Apa yang kau lakukan di sini, Azalea Ariva Mahendra?!" dingin Haiden, duduk di tepi ranjang dengan tangan yang melipat di dada. Tatapannya masih sama, masih menghujam tepat pada Lea yang terlihat mematung. 'Suaranya dingin sekali. Seperti ingin membunuhku saja. Ya, tapi kalau mau dibunuh yah bunuh saja. Dia yang rugi. Aku-- palingan mati trus kembali ke tempat asal, kayangan. Aku kan bidadari. Sedangkan dia-- cih, jadi duda kembang.' batin Lea, tiba-tiba mendapat keberanian untuk balik menatap Haiden. Lea bersedekap di dada lalu menyender pada tembok di sebelah pintu. "Apa yang aku lakukan di sini? Tentu saja menginap dan tidur. Emangnya hotel tempat apa?" "Kau punya rumah untuk tidur." Suara Haiden semakin dingin. "Hotel lebih nyaman daripada rumahmu, jika itu yang kamu maksud," jawab Lea cuek, berjalan ke arah sebuah meja lalu meletakkan tas skincare di sana. Wajahnya memang dongkol tetapi hatinya begitu miris. Faktanya memang begitu. Hotel dan rumah Haiden, tak ada bedanya bagi Lea. Dia tetap tidur sendiri, dalam sepi dan dingin. Suami? Mungkin itu hanya status, Lea tidak benar-benar memilikinya. "Kemasi barang-barangmu sekarang juga," titah Haiden dengan nada bossy. Lea melotot horor, menatap protes pada suaminya. "Kenapa aku harus mengemasi barang-barangku? Satu lagi, kenapa Mas bisa masuk ke kamarku? Wah ... hotel bintang lima tetapi keamanannya sangat minus. Bisa-bisanya mereka membiarkan pria masuk ke kamar seorang gadis," cerewet Lea, tidak peduli jika suaminya sedang marah. "Siapa bilang kau masih gadis? Kau tidak menganggapku?" Haiden melayangkan tatapan tajam pada istrinya, mendekat ke arah Lea lalu mencengkeram kuat lengan istrinya. "Ahss, sakit! Tolong, lepaskan tangan Mas. Ahgk," pekik Lea, merintih sakit karena cengkeraman Haiden. Dia tidak main-main, cengkeraman Haiden sangat kuat dan rasanya tulangnya akan patah. Haiden tidak melepas cengkeramnya, akan tetapi mengendorkannya. "Katakan, Nyonya HaiLe, bagaimana bisa seorang istri masih mengira dirinya seorang gadis?" Lea mengerjap cepat untuk menyembunyikan air matanya. Selain sakit karena lengannya, dia ingin menangis karena takut pada sosok di depannya. Aura Haiden begitu mengerikan. Ucapan pria ini juga sangat menusuk hati. 'Dia tak mau menyentuhku tetapi saat aku mengatakan aku gadis, dia tidak terima. Brengsek!' batin Lea, mengigit bibir bawah untuk menahan diri supaya tak menangis. Tiba-tiba saja Haiden menyentuh bibirnya, itu membuat Lea melepas gigitannya. Yang membuatnya terkejut adalah tanpa mengatakan apa-apa ataupun sekedar basa-basi, Haiden menempelkan bibirnya di atas bibir Lea. Pria itu melumatnya cukup kasar dan penuh nafsu. Namun-- Bug' Tubuh Lea tersentak dan jantungnya terasa meledak dalam sana. Haiden secara mengejutkan meninju tembok yang berada tepat di belakang Lea, membuat Lea syok dan mematung kaku. 'Kak Deden itu brengsek, jahat dan sangat pemarah, Le. Apa yang mau kamu ambil darinya sebagai suami?' Itu peringatan yang sering Ziea ucapkan pada Lea, sebelum dia menikah dengan Haiden. Dulu, Lea tidak peduli dan menganggap ucapan sahabatnya tersebut sebagai angin lalu. Cinta membutakan Lea. Namun sekarang, untuk berkata-kata pun Lea tak sanggup. Dia benar-benar takut! "Kenapa kau tidak membalas ciumanku?!" geram Haiden, mencengkeram pipi Lea dan mengangkatnya tinggi-tinggi-memaksa Lea supaya mendongak padanya. "Jawab!" dinginnya. Lea berusaha menenangkan diri, berusaha mengumpulkan keberanian jua supaya bisa berbicara. "A-amatir. A-aku masih amatir, Mas Haiden," jawab Lea pelan, cengenges bodoh di akhir kalimat. Dia memang takut, tetapi dia berusaha untuk tak menunjukkannya. "Balas. Lakukan seperti apa yang kulakukan. Gunakan nalurimu, Sweetheart," ucap Haiden, mendadak lembut dan tenang, seolah kemarahan yang sebelumnya tak pernah terjadi. Lea menganggukkan kepala sebagai jawaban. Haiden kembali menciumnya dan melumat bibirnya penuh gairah. Lea mencoba membalas, menuruti ucapan suaminya. Lea bisa merasakan jika gejolak hasrat pria ini semakin menggebu-gebu setelah Lea membalas ciumannya. Pangutan bibir keduanya kian memanas dan penuh hasrat. Meskipun jantungnya berdebar sangat kencang karena perasaan gugup, akan tetapi Lea sangat bersemangat.Buat yang belum baca 'Sentuhan Panas Suami Dingin', CaCi Sarankan untuk membaca lebih dulu. Supaya lebih mengerti bagaimana hubungan awal Lea dan Haiden yah, MyRe. IG Author:@deasta18
Apakah Haiden akan menyentuhnya? Dari ciuman Haiden yang basah dan panas, sepertinya iya. Namun-- Gluk' Lea meneguk saliva secara kasar saat Haiden menyudahi permainan bibir mereka. "Bibirmu sangat manis, Sweetheart," ucap Haiden dengan nada tenang, mengusap bibir Lea secara lembut dan hati-hati. Setelah itu, dia beralih menepuk-nepuk pucuk kepala istrinya, "ganti pakaianmu. Kita akan pulang ke rumah kita." Lea tersenyum kaku, sebetulnya menutupi kesedihan dan perasaan dongkol yang larut dalam hatinya. Dia sudah berharap, tetapi ternyata Haiden tidak ingin menyentuhnya. 'Apa yang salah dari tubuhku, Tuhan? Kenapa suamiku tidak mau menyentuhku?' batin Lea, berjalan ke kamar mandi untuk mengganti pakaian. Setelah berganti pakaian, Lea mengemasi barang-barangnya dalam koper. Dia ingin membangkang dengan menolak pulang, akan tetapi dia takut Haiden marah seperti tadi. "Kenapa kau menginap di hotel?" tanya Haiden yang sekarang sedang duduk di sofa, menyender dengan bersedek
Lea menatap miris pada lingerie yang telah habis terbakar tesebut. Bukan hanya itu, celana pendek serta crop top miliknya– semua Haiden bakar. Yang membuat Lea sangat sedih adalah celana pendek motif bunga-bunga miliknya, juga menjadi korban kebakaran. "Jahat sekali!" nanar Lea, terduduk lesu tak jauh dari tong sampah–bahan besih, yang menjadi wadah pakaiannya dilahap api. "Ke-kebakaran, kebakaran apa yang menyakitkan? kebakaran api cemburu? Enggaaaaak! Tapi melihat Celana pendek bunga-bungaku menjadi korban kebakaran. Aaaaa … i--itu celana pendekku yang kubeli saat masih kuliah. A-aku merawatnya sepenuh hati dan segenap jiwa, ngalahin Malika si kedelai hitam. Huaa … ahk'aaaa … aku susah-susah nawar biar dapat tiga seratus ribu, ta-tapi … aaaa … hiks … aaaa … dibakaaaar," tangis Lea pada akhirnya, sesenggukan karena merasa kehilangan teman lama. Tuk' Tiba-tiba saja ada yang mengetuk ubun-ubunnya, membuat Lea yang menangis langsung berhenti dan beralih mendongak untuk melihat sia
"Kau bosan menikah denganku?" Suara Haiden begitu menusuk, menembus hingga ke tulang-tulang–membuat tubuh Lea menegang kaku serta panas pada bagian punggung. Lea berdiri dari kursi, menatap campur aduk pada Haiden yang sudah menahan marah. Di satu sisi Lea menyesali ucapannya, tetapi di sisi lain dia ingin sekali berteriak 'ya tepat di depan wajah Haiden. "Kau diam. Itu artinya benar," Haiden mendekati Lea, membuat perempuan itu semakin gugup tetapi rasanya juga ingin melawan secara bersamaan. "Katakan, bagian mana yang membuatmu bosan?" Ketika Haiden berjalan mendekat, Lea bergerak mundur. Kepalanya tertunduk, tangannya meremas pinggiran dress yang dia kenakan. Selain takut, perasaan sedih kian menyelimuti hati. Setelah Haiden melamarnya di Paris, pria ini selalu memanjakannya. Sikapnya sangat manis dan seperti seorang pria yang sangat menginginkan wanitanya. Akan tetapi kenapa setelah menikah semua terasa hambar? Kemana Haiden yang manis? "Seingatku-- kau sangat ingin m
Ketika sadar tangan kekar itu masih memegangnya, Lea langsung menoleh ke empunya. Haiden menunduk sedikit, menatap Lea yang mendongak padanya. Tatapan perempuan ini begitu cantik, air membuat bulu mata Lea terlihat lebih jelas. Apalagi pada bagian bulu mata bawah, sehingga mata bulat Lea terlihat jauh lebih cantik. Daya tarik istrinya sangat kuat, terlebih pada bagian mata Lea. Lea memilih memalingkan wajah, dia menenangkan diri–berusaha mengatur nafas karena oksigen yang saling berdesakan pada paru-parunya. Tiba-tiba saja Haiden menarik tubuh Lea, menggendongnya di depan dan melingkarkan kaki perempuan itu di pinggangnya. Lea kira pria ini akan membawanya ke pinggir, akan tetapi …- Cup' Haiden tiba-tiba mencium bibirnya, melumatnya cukup kasar dan penuh penuntutan. Lea tidak membalas sama sekali, terdiam dengan wajah memerah padam. "Kenapa kau tidak membalas ciumanku?" tanya Haiden dingin, melayangkan tatapan tajam pada Lea. Lea menoleh ke sana kemari, menatap bebe
"J--JVM …," gumam Lea, mulai panik dan gugup. Jantungnya bahkan sudah berdebar sangat kencang. JVM itu perusahaan … suaminya. Ya Tuhan!! "Ada apa, Neng?" tanya Raja, memperhatikan wajah tegang perempuan cantik yang duduk di sebelahnya–kursi penumpang. Lea menggelengkan kepala, nyengir konyol pada bos-nya. "Hehehe … hanya sedikit gugup, Pak. Ma-makluk, Pak, katanya CEO-nya ganteng. Siapa tahu nanti kami bertemu dan jodoh. Ya kaaaaann …," canda Lea, akan tetapi buru-buru merapalkan doa yang berlawanan dari perkataannya barusan. 'Ja-jangan sampai, Ya Allah. Jangan sampai aku bertemu dengan Mas Deden. Maksudku seperti di novel-novel, Ya Allah. Tunggu dulu aku menjadi artis terkenal, baru identitas rahasiaku sebagai artis papan atas terbongkar di depan Mas Den. Ini masih awal, masa sudah ketahuan.' batin Lea, semakin panik bahkan berkeringat dingin ketika mereka telah sampai di depan gedung perusahaan JVM yang terlihat sangat besar dan menjulang tinggi. *** Lea merapatkan topi
"Ekhem." Lea tiba-tiba berdehem, bergerak gelisah dan berusaha memutar otak supaya terhindar dari suaminya. "Meri ketumbar hei …," ucap Lea tiba-tiba, bernada dan dengan intonasi diimut-imutkan. Haiden menaikkan sebelah alis, masih duduk di kursi kekuasaannya. Jaraknya cukup jauh dari tempat istrinya berdiri, akan tetapi dia bisa mencium aroma tubuh istrinya yang khas. Dia sangat mengenali aroma ini, karena parfum tersebut adalah racikan Haiden sendiri--khusus untuk wanita bodohnya yang sangat suka berpetualang. Haiden menyender pada kursi, bersedekap dingin sembari mengamati perempuan yang menutupi wajah tersebut secara intens. Sebesar apapun usaha Lea menutupi wajahnya, Haiden tetap bisa mengenali, baik dari bentuk maupun aroma. Akan tetapi, Haiden memilih diam, mengamati sejauh mana perempuan ini akan bertindak absurd. "Meri ketumbar hei? Acha acha nehi nehi …-" Lea sejenak berhenti, gugup karena tatapan dingin Haiden. Tatapan suaminya seperti harimau yang mengintai mangsa
"Aku tidak bersedia," bantah Lea tiba-tiba, membuat Raja dan bahkan Citra menatap tak percaya padanya. Citra buru-buru menutupi keterkejutan dirinya dengan cara memasang ekspresi angkuh, dia menaikkan dagu kemudian menatap dingin pada Lea. "Angkuh sekali kamu menolak Tuanku. Jangan ge'er hanya karena Tuan ingin diwawancarai olehmu. Mungkin Tuan memilihmu mungkin karena kamu perempuan paling buruk. Tuan menghindari perempuan berpenampilan menarik karena tak ingin membuat orang-orang berasumsi buruk. Jadi tolong jangan ge'er." "Mulutmu kurang ajar juga yah." Lea menatap Citra dengan kesal, dia ingin sekali menampar perempuan itu. Akan tetapi tiba-tiba saja pintu ruangan Haiden terbuka, memperlihatkan Haiden yang langsung melayangkan tatapan dingin padanya. "Lima menit wawancara tidak dimulai, Medi Zone akan menanggung akibatnya," ucap Haiden datar, setelah itu kembali masuk dalam ruangannya. Sebelumnya menyempatkan diri untuk bersitatap dengan Lea. Lea langsung mengepalkan tan
Haiden mengatupkan rahang ketika menemukan istrinya yang sudah dalam keadaan mabuk. Sorot mata Haiden tajam, menusuk dan penuh kemarahan. Dengan aura gelap yang mengerikan, dia berjalan mendekati istrinya. Setelah berada di sebelah Lea, tangan Haiden mengepal kuat karena mencium aroma alkohol dari tubuh dan sekitar istrinya. Dia menahan marah, memilih meraih tubuh Lea, berniat membawanya. Akan tetapi tiba-tiba saja, Raja–bos istrinya, menahan tangan Haiden. "Jangan berani menyentuh anak ini. Dia tanggung jawabku … ayahnya-- aku." ucap Raja susah payah, memukul dada sendiri di akhir kalimat, menegaskan jika Lea memang putrinya. Raja berusaha untuk tetap sadar, walau pun pandangan sudah mengabur–tak mengenali orang yang ingin membawa pergi rekannya. "Aku suaminya," ucap Haiden singkat, menepis tangan bos istrinya kemudian memilih menggendong tubuh Lea. "Suami?" Lea bergumam pelan, kemudian senyum-senyum sendiri, sama sekali tak memberontak ketika Haiden mengendong tubuhnya
"A-apa? Aku dijodohin sama Papa?" Kaget dan panik Nindi. "Udah. Kamu mandi dulu. Nanti Mama bicarain ke kamu." Setelah sampai di kamar putrinya, Lachi mendorong Nindi masuk ke dalam kamar–menyuruh putrinya untuk segera mandi. *** "Jadi bagaimana? Masih ingin menikahi putri Paman?" tanya Danzel, di mana saat ini dia sedang berbicara dengan anak dari salah satu temannya lamanya di dunia bisnis. Sejak dulu pemuda ini sudah mendatanginya dan mengatakan keinginannya untuk memperistri putranya. Dulu, Danzel menertawakan karena anak ini masih remaja labil. Tapi meski begitu, dia menganggukkan kepala–setuju jika pria ini menikahi putrinya di masa depan. Sejujurnya Danzel tak terlalu serius dan menganggap itu hanya candaan ssmata. Danzel merasa anak ini tak akan bertahan lama dalam rasa sukanya pada Nindi. Dari remaja hingga dewasa–tak mungkin pria ini tak menemukan perempuan lain di luaran sana. Intinya, Danzel tak yakin jika pemuda ini bertahan dalam hal menyukai putrinya. Namu
Saat ini Nindi berada di kontrakan kecil miliknya. Hidupnya berubah drastis setelah empat bulan terakhir ini. Dia menjalani hari-hari penuh dengan kekurangan, dia berusaha bertahan di era miskin yang melanda dirinya karena ingin hidup mandiri seperti ibunya saat muda dulu. Neneknya bilang ibunya seorang perempuan mandiri yang tak pernah mengandalkan kekayaan orangtuanya. Nindi yang selama ini berfoya-foya dengan uang ayahnya, merasa tersindir. Hingga akhirnya dia memutuskan untuk hidup sendiri. Dia memisah dari keluarga Adam, mencari pekerjaan secara mandiri di perusahaan lain, dan berusaha menyesuaikan diri dengan keadaan ekonomi yang serba kurang. Bagi Nindi ini cukup sulit karena dia terbiasa hidup penuh kemewahan. Namun, sejauh ini, Nindi menikmati kehidupan barunya. Derrttt'Nindi meraih handphone di atas meja nakas, samping ranjang kecil miliknya. Dia langsung mengangkat telepon dari sahabatnya, Clara. "Iya, Ra?" ucap Nindi, satu tangan menempelkan ponsel ke telinga, satu la
"Lihat penampilanmu sekarang, nggak terurus, buruk dan … harus aku akui, kamu jelek banget." "Yang penting aku masih hidup." "Iya, masalahnya, siapa yang mau pacaran sama kamu kalau kamu bentukannya begini, Nindi." Mendengar nama itu, seorang pria yang sedang menunggu pesanannya segera menoleh ke arah sumber suara tersebut. Dia bisa melihat dua perempuan sedang duduk bersama, satu perempuan berpenampilan rapi dan satu lagi terlihat seperti gembel. Perempuan gembel itu-- rambutnya berminyak, wajah kusam, pakaian tak disetrika, dan sandal jepit yang dia kenakan sudah diikat tali plastik. Sepertinya sandalnya putus, dan dia mengakalinya dengan tali plastik. Diam-diam pria itu mengambil potret si perempuan gembel tersebut, setelah itu mengamati potret yang ia ambil dengan sangat serius. Sejujurnya meskipun berpenampilan gembel, perempuan ini masih tetap cantik. Hanya saja-- bukankah perempuan ini berasal dari keluarga terpandang, kenapa penampilannya seperti gembel? Apa pamannya–a
"Apa mereka sedang menggunjing istri yah?" timpal Ziea, membuat semua orang menoleh padanya. "Ahahah, tidak mungkin, Ziea." Serena tertawa dengan anggun, menatap lucu pada Ziea. "Positif thinking, pasti membahas mobil. Para pria kan suka begitu," tebak Lea, kali ini mendapat anggukkan dari yang lainnya karena itu masuk diakal dan mereka setuju. "Ah ya ampun!! Pria yang pake kemeja hitam, ganteng sekali." Lea senyum-senyum manis. "Kak Deden?" Ziea memicingkan mata, mendapat anggukan dari Lea. "Tampan kan?!" Lea menaik turunkan alis. "Aduh. Tobat, Lea, tobat! Kamu sudah tua, Sayang!" Ziea mengomeli Lea, tetapi Lea tidak peduli–tetap memuji ketampanan suaminya. "Ada Alana loh di sini. Kamu tidak malu?" "Enggak apa-apa, Aunty. Alana sudah biasa kok," jawab Alana santai. "Pantas anteng, ternyata sudah biasa." Serena tertawa kecil. "Itu adek Kak Zana kan?" bisik Kanza pelan pada Anna, menatap seorang pria yang baru masuk. Pria itu tinggi, berpenampilan rapi dan p
*** Ethan memasuki rumahnya dengan langkah cool. Hari ini dia pulang lebih cepat dari kantor karena orangtua dan mertuanya sayang ke rumah. Keluarga yang lain juga akan datang, untuk menjenguk Alana yang sedang hamil. Sebenarnya ini kebiasaan keluarga Mahendra yang sangat kekeluargaan. Namun, karena daddynya tak mau kalah dan pada akhirnya yang lain ikut-ikutan. Jadilah hari ini mereka semua datang ke rumah ini. Ah, kakaknya juga datang. Namun, Samuel lebih dulu sampai ke sini dibandingkan Ethan yang merupakan tuan rumah. "Nyonya ada di mana?" tanya Ethan pada salah satu maid, ketika maid itu tergesa-gesa keluar dari sebuah ruangan lalu memberi hormat padanya saat melewatinya. Maid tersebut terlihat panik, segera menyembunyikan buku nyonya-nya ke belakang tubuh. "Ah-- itu, Tuan, Nyonya di-di halaman belakang bersama keluarga." "Humm." Ethan berdehem singkat. "Apa yang kau sembunyikan? Perlihatkan sekarang!" titah Ethan kemudian. Maid tersebut dengan ragu memperlihatkan buku
"Ngapain kamu ke sini?" tanya Alana, melayangkan tatapan tajam ke arah seorang laki-laki. Karena mendapat laporan dari maid–ada seorang pria di depan gerbang rumah, Alana langsung ke sana untuk memeriksa. Alana sejujurnya malas, akan tetapi dia tak ingin membuat keributan. Dia takut pria itu nekat ke dalam atau Ethan tiba-tiba pulang dan salah paham pada si pria itu. Jadi lebih baik Alana turun tangan. "Alana, akhirnya kau bersedia menemuiku." Pria itu begitu senang setelah melihat Alana datang. Dia tersenyum lebar, layaknya seseorang yang telah menemukan berlian langka di dunia. Pria itu mendekat tetapi Alana mundur. "Ck, kamu ngapain datang ke sini, Hendru?!" ketus Alana, menatap sinis dan tak suka pada Hendru. Alana sudah muak dengan Hendru karena pria ini sangat mengganggunya. Hendru meninggalkan kenangan buruk bagi Alana, tetapi pria ini muncul dengan gampangnya dihadapannya, tanpa merasa bersalah sedikit pun atau tak malu sama sekali. "Aku ingin meminta maaf pa
Alana terdiam di depan pintu ruangan Ethan. Dia sudah membuat kopi untuk Ethan akan tetapi dia tak berani untuk mengantarnya akibat dia … memanggil Ethan dengan embel-embel 'mas. Dia melakukannya tanpa sadar dan sekarang dia sangat malu. "Tapi sepertinya Kak Ed juga tidak sadar kalau tadi aku memangilnya Mas," gumam Alana pelan, mengenal napas pela untuk menenangkan diri. Setelah itu, dia membuka pintu ruangan Ethan dan langsung masuk. "Ini kopinya, Kak," ucap Alana pelan, meletakkan kopi di dekat suaminya. Ethan mendongak, sejenak mengamati wajah cantik istrinya lalu tiba-tiba menyunggingkan smirk tipis. "Aku suka." Alana mengerutkan kening, "tapi Kak Ethan belum mencoba kopinya," jawabnya bingung. "Aku suka dipanggil mas olehmu," lanjut Ethan, berhasil membuat pipi Alana memerah dan terasa panas. 'Astaga, jadi Kak Ed sadar? Hah, kok jantungku berdebar-debar kencang? Apakah ini tanda-tanda …- tidak!' Alana langsung membalik tubuh, meletakkan tangan di dada untuk merasakan
"Ugh, Kak Ethan sangat tampan!" gumam Alana pelan, senyum malu-malu ketika melihat suaminya turun dari mobil. Pipinya panas, menyembulkan semu merah yang mempercantik wajahnya. Melihat Ethan berjalan ke rumah, jantung Alana berdebar kencang. Dia segera beranjak dari sana, berjalan buru-buru dan kembali ke tempat semula. "Nyonya, ke-kenapa anda kembali ke sini? Nyonya tidak ingin menyambut Tuan yah?" tanya salah satu maid, cukup bingung karena Alana berlari kecil dari pintu utama. Bukankah seharusnya Alana membukakan pintu untuk suaminya dan menyambutnya? "Ekhm." Alana berdehem singkat, melirik maid dengan wajah datar, "untuk apa?""Jadi … kenapa kami disuruh memantau Tuan, Nyo-Nyonya?" bingung maid tersebut. "Ck." Alana berdecak, "kalian saja yang menyambutnya. Sana sana."Para maid segera beranjak dari sana, menyisakan Alana di ruangan tersebut. Alana meraih novel di atas meja kemudian menutup ke wajah, dia kembali tersenyum malu-malu–mengingat paras Ethan yang sangat tampan.
Mata Tia melebar mendengarkan perkataan Ebrahim. Dia mulai panik dan muali takut. "Ta-tapi … Alana jahat padaku, dan Tuan Ethan melakukan hal buruk padaku, Tu-Tuan Ebrahim," ucap Tia dengan nada gemetar, "anda terkenal baik dan selalu berpihak pada kebenaran." "Dan kebenarannya, kau berencana mencelakai adikku. Aku berniat merebut suami adikku, dan kau menusuk adikku dari belakang," jawab Ebrahim santai, "sekarang kutanya padamu, kau ingin mati di tanganku atau tetap hidup lebih lama dalam lingkar penderitaan yang Ethan ciptakan untukmu." Deg deg deg' Mata Tia melebar, reflek mundur bahkan berakhir terjatuh ke lantai karena lemas dan drop mendengar ucapan Ebrahim. Dia kira dia selamat bila meminta bantuan Ebrahim, akan tetapi status hidupnya malah diperjelas–hanya sebatas mati dan menderita. "Ku sarankan kau memilih Ethan, siapa tahu kau berobat dan Ethan melepasmu," ucap Ebrahim dengan menyunggingkan smirk tipis. Dia sedang menjebak perempuan ini. Faktanya, sekalipun Tia berub