"Apa aku kurang cantik yah, oleh sebab itu Mas Haiden tidak mau menyentuhku." Lea menatap tampilan dirinya di depan cermin wastafel. Dia baru saja mandi, berendam cukup lama untuk merilekskan pikiran.
Lea terus membohongi dirinya dengan berpura-pura enjoy menjalani kehidupan. Tetapi kenyataannya, pikirannya tak lepas dari suaminya. Kenapa setelah malam pertama, Haiden tak pernah lagi menyentuhnya? Adakah yang salah dari Lea? "Sebelum menikah, Mas Haiden terlihat begitu menginginkanku. Dia bahkan pernah hampir lepas kendali. Dan saat malam pertama, dia begitu bersemangat. Malam itu ...-" Lea terdiam sejenak, mengingat kembali kegiatan panas yang dia lakukan saat malam pertama dengan suaminya. Haiden menyentuh tubuhnya dengan begitu bersemangat, tak ada sedikitpun kulit Lea yang lepas dari sentuhan panas suaminya. 'Kau tidak akan bisa menghentikanku, Lea. Sekalipun kau menjerit kesakitan.' 'Selama ini kau terus menggodaku, dan malam ini-- akan kubuat kau merintih di bawahku.' 'Bagaimana, Sweetheart. Kau masih sanggup?' 'Ampun. A-aku tidak akan menggodamu lagi, Pak--Mas. Aku berjanji telah bertobat. Tolong jangan lagi, aku kesakitan.' Lea saat itu merintih dan bahkan memohon supaya Haiden berhenti. Awalnya Lea pikir bercinta adalah hal yang menyenangkan dan penuh kenikmatan. Akan tetapi milik Haiden membuatnya kesakitan. Lea jera dan meminta ampun. Sayangnya malam itu Haiden terus mengulang, tak kenal lelah dan tak membiarkan Lea beristirahat. Rasanya Lea akan pingsan malam itu, tak habis pikir jika Haiden begitu buas, penuh nafsu dan sangat panas. Dari malam itu, Lea sempat mengira jika Haiden tak akan membiarkan malam Lea berakhir begitu saja. Mungkin setiap hari Lea akan melayani hasrat pria itu. Tetapi ... itu tak seperti yang Lea pikir. Malam pertama bisa dikatakan malam terakhir bagi Lea untuk merasakan hasrat suaminya. Setelahnya, Haiden tak pernah menyentuhnya. "Apa dia menyesal? Atau ... Mas Haiden sebenarnya hanya penasaran padaku, dan setelah mendapatkan apa yang dia mau, dia merasa tidak membutuhkanku lagi?" monolog Lea, menepuk pelan pipinya supaya pelembab kulit yang ia kenakan menyerap dengan sempurna. Lea tiba-tiba menoleh pada serangkaian botol skincare-nya. Dia tersenyum miris dan bahkan hampir menangis. Lihatlah Lea? Dia merasa dirinya seperti badut! Setiap hari merias diri, merawat tubuh dan terus mempercantik diri. Akan tetapi suaminya sama sekali tak menginginkannya. Lea mengerjap beberapa kali, menghapus air mata secara kasar lalu menghela napas. "Ayolah, Lea. Aku mohon jangan cengeng. Jangan menangis! Masih masalah begini saja, aku sudah nangis. Hah, lemah!" Lea meledek dirinya sendiri, terkekeh miris dan kembali mengusap air mata. Lea menarik napas dalam-dalam, menenangkan diri sebelum keluar dari kamar mandi. Ini sudah tengah malam dan saatnya dia tidur. Ceklek' Lea membuka pintu kamar hotel, langsung dibuat kaget karena sosok pria dengan tubuh kekar yang duduk di pinggir ranjang. Deg deg deg' Jantung Lea berdebar sangat kencang, rasanya akan copot dari tempat! Beberapa detik, Lea membeku di ambang pintu, menatap gugup bercampur takut pada sosok tersebut. Haiden Mahendra-suaminya! Pertanyaannya, bagaimana bisa Haiden di sini? Bukankah pria itu di luar kota. Apa jangan-jangan Haiden berbohong tentang ke luar kota? Haiden mengatupkan rahang, gigi bergemelutuk dengan pandangan menghunus tajam ke arah Lea. Melihat pakaian Lea yang begitu seksi, emosi Haiden semakin naik. Istrinya sendiri di hotel dan dia mengenakan gaun tidur yang seksi. Haiden sangat tidak suka! "Apa yang kau lakukan di sini, Azalea Ariva Mahendra?!" dingin Haiden, duduk di tepi ranjang dengan tangan yang melipat di dada. Tatapannya masih sama, masih menghujam tepat pada Lea yang terlihat mematung. 'Suaranya dingin sekali. Seperti ingin membunuhku saja. Ya, tapi kalau mau dibunuh yah bunuh saja. Dia yang rugi. Aku-- palingan mati trus kembali ke tempat asal, kayangan. Aku kan bidadari. Sedangkan dia-- cih, jadi duda kembang.' batin Lea, tiba-tiba mendapat keberanian untuk balik menatap Haiden. Lea bersedekap di dada lalu menyender pada tembok di sebelah pintu. "Apa yang aku lakukan di sini? Tentu saja menginap dan tidur. Emangnya hotel tempat apa?" "Kau punya rumah untuk tidur." Suara Haiden semakin dingin. "Hotel lebih nyaman daripada rumahmu, jika itu yang kamu maksud," jawab Lea cuek, berjalan ke arah sebuah meja lalu meletakkan tas skincare di sana. Wajahnya memang dongkol tetapi hatinya begitu miris. Faktanya memang begitu. Hotel dan rumah Haiden, tak ada bedanya bagi Lea. Dia tetap tidur sendiri, dalam sepi dan dingin. Suami? Mungkin itu hanya status, Lea tidak benar-benar memilikinya. "Kemasi barang-barangmu sekarang juga," titah Haiden dengan nada bossy. Lea melotot horor, menatap protes pada suaminya. "Kenapa aku harus mengemasi barang-barangku? Satu lagi, kenapa Mas bisa masuk ke kamarku? Wah ... hotel bintang lima tetapi keamanannya sangat minus. Bisa-bisanya mereka membiarkan pria masuk ke kamar seorang gadis," cerewet Lea, tidak peduli jika suaminya sedang marah. "Siapa bilang kau masih gadis? Kau tidak menganggapku?" Haiden melayangkan tatapan tajam pada istrinya, mendekat ke arah Lea lalu mencengkeram kuat lengan istrinya. "Ahss, sakit! Tolong, lepaskan tangan Mas. Ahgk," pekik Lea, merintih sakit karena cengkeraman Haiden. Dia tidak main-main, cengkeraman Haiden sangat kuat dan rasanya tulangnya akan patah. Haiden tidak melepas cengkeramnya, akan tetapi mengendorkannya. "Katakan, Nyonya HaiLe, bagaimana bisa seorang istri masih mengira dirinya seorang gadis?" Lea mengerjap cepat untuk menyembunyikan air matanya. Selain sakit karena lengannya, dia ingin menangis karena takut pada sosok di depannya. Aura Haiden begitu mengerikan. Ucapan pria ini juga sangat menusuk hati. 'Dia tak mau menyentuhku tetapi saat aku mengatakan aku gadis, dia tidak terima. Brengsek!' batin Lea, mengigit bibir bawah untuk menahan diri supaya tak menangis. Tiba-tiba saja Haiden menyentuh bibirnya, itu membuat Lea melepas gigitannya. Yang membuatnya terkejut adalah tanpa mengatakan apa-apa ataupun sekedar basa-basi, Haiden menempelkan bibirnya di atas bibir Lea. Pria itu melumatnya cukup kasar dan penuh nafsu. Namun-- Bug' Tubuh Lea tersentak dan jantungnya terasa meledak dalam sana. Haiden secara mengejutkan meninju tembok yang berada tepat di belakang Lea, membuat Lea syok dan mematung kaku. 'Kak Deden itu brengsek, jahat dan sangat pemarah, Le. Apa yang mau kamu ambil darinya sebagai suami?' Itu peringatan yang sering Ziea ucapkan pada Lea, sebelum dia menikah dengan Haiden. Dulu, Lea tidak peduli dan menganggap ucapan sahabatnya tersebut sebagai angin lalu. Cinta membutakan Lea. Namun sekarang, untuk berkata-kata pun Lea tak sanggup. Dia benar-benar takut! "Kenapa kau tidak membalas ciumanku?!" geram Haiden, mencengkeram pipi Lea dan mengangkatnya tinggi-tinggi-memaksa Lea supaya mendongak padanya. "Jawab!" dinginnya. Lea berusaha menenangkan diri, berusaha mengumpulkan keberanian jua supaya bisa berbicara. "A-amatir. A-aku masih amatir, Mas Haiden," jawab Lea pelan, cengenges bodoh di akhir kalimat. Dia memang takut, tetapi dia berusaha untuk tak menunjukkannya. "Balas. Lakukan seperti apa yang kulakukan. Gunakan nalurimu, Sweetheart," ucap Haiden, mendadak lembut dan tenang, seolah kemarahan yang sebelumnya tak pernah terjadi. Lea menganggukkan kepala sebagai jawaban. Haiden kembali menciumnya dan melumat bibirnya penuh gairah. Lea mencoba membalas, menuruti ucapan suaminya. Lea bisa merasakan jika gejolak hasrat pria ini semakin menggebu-gebu setelah Lea membalas ciumannya. Pangutan bibir keduanya kian memanas dan penuh hasrat. Meskipun jantungnya berdebar sangat kencang karena perasaan gugup, akan tetapi Lea sangat bersemangat.Buat yang belum baca 'Sentuhan Panas Suami Dingin', CaCi Sarankan untuk membaca lebih dulu. Supaya lebih mengerti bagaimana hubungan awal Lea dan Haiden yah, MyRe. IG Author:@deasta18
Apakah Haiden akan menyentuhnya? Dari ciuman Haiden yang basah dan panas, sepertinya iya. Namun-- Gluk' Lea meneguk saliva secara kasar saat Haiden menyudahi permainan bibir mereka. "Bibirmu sangat manis, Sweetheart," ucap Haiden dengan nada tenang, mengusap bibir Lea secara lembut dan hati-hati. Setelah itu, dia beralih menepuk-nepuk pucuk kepala istrinya, "ganti pakaianmu. Kita akan pulang ke rumah kita." Lea tersenyum kaku, sebetulnya menutupi kesedihan dan perasaan dongkol yang larut dalam hatinya. Dia sudah berharap, tetapi ternyata Haiden tidak ingin menyentuhnya. 'Apa yang salah dari tubuhku, Tuhan? Kenapa suamiku tidak mau menyentuhku?' batin Lea, berjalan ke kamar mandi untuk mengganti pakaian. Setelah berganti pakaian, Lea mengemasi barang-barangnya dalam koper. Dia ingin membangkang dengan menolak pulang, akan tetapi dia takut Haiden marah seperti tadi. "Kenapa kau menginap di hotel?" tanya Haiden yang sekarang sedang duduk di sofa, menyender dengan bersedek
Lea menatap miris pada lingerie yang telah habis terbakar tesebut. Bukan hanya itu, celana pendek serta crop top miliknya– semua Haiden bakar. Yang membuat Lea sangat sedih adalah celana pendek motif bunga-bunga miliknya, juga menjadi korban kebakaran. "Jahat sekali!" nanar Lea, terduduk lesu tak jauh dari tong sampah–bahan besih, yang menjadi wadah pakaiannya dilahap api. "Ke-kebakaran, kebakaran apa yang menyakitkan? kebakaran api cemburu? Enggaaaaak! Tapi melihat Celana pendek bunga-bungaku menjadi korban kebakaran. Aaaaa … i--itu celana pendekku yang kubeli saat masih kuliah. A-aku merawatnya sepenuh hati dan segenap jiwa, ngalahin Malika si kedelai hitam. Huaa … ahk'aaaa … aku susah-susah nawar biar dapat tiga seratus ribu, ta-tapi … aaaa … hiks … aaaa … dibakaaaar," tangis Lea pada akhirnya, sesenggukan karena merasa kehilangan teman lama. Tuk' Tiba-tiba saja ada yang mengetuk ubun-ubunnya, membuat Lea yang menangis langsung berhenti dan beralih mendongak untuk melihat sia
"Kau bosan menikah denganku?" Suara Haiden begitu menusuk, menembus hingga ke tulang-tulang–membuat tubuh Lea menegang kaku serta panas pada bagian punggung. Lea berdiri dari kursi, menatap campur aduk pada Haiden yang sudah menahan marah. Di satu sisi Lea menyesali ucapannya, tetapi di sisi lain dia ingin sekali berteriak 'ya tepat di depan wajah Haiden. "Kau diam. Itu artinya benar," Haiden mendekati Lea, membuat perempuan itu semakin gugup tetapi rasanya juga ingin melawan secara bersamaan. "Katakan, bagian mana yang membuatmu bosan?" Ketika Haiden berjalan mendekat, Lea bergerak mundur. Kepalanya tertunduk, tangannya meremas pinggiran dress yang dia kenakan. Selain takut, perasaan sedih kian menyelimuti hati. Setelah Haiden melamarnya di Paris, pria ini selalu memanjakannya. Sikapnya sangat manis dan seperti seorang pria yang sangat menginginkan wanitanya. Akan tetapi kenapa setelah menikah semua terasa hambar? Kemana Haiden yang manis? "Seingatku-- kau sangat ingin m
Ketika sadar tangan kekar itu masih memegangnya, Lea langsung menoleh ke empunya. Haiden menunduk sedikit, menatap Lea yang mendongak padanya. Tatapan perempuan ini begitu cantik, air membuat bulu mata Lea terlihat lebih jelas. Apalagi pada bagian bulu mata bawah, sehingga mata bulat Lea terlihat jauh lebih cantik. Daya tarik istrinya sangat kuat, terlebih pada bagian mata Lea. Lea memilih memalingkan wajah, dia menenangkan diri–berusaha mengatur nafas karena oksigen yang saling berdesakan pada paru-parunya. Tiba-tiba saja Haiden menarik tubuh Lea, menggendongnya di depan dan melingkarkan kaki perempuan itu di pinggangnya. Lea kira pria ini akan membawanya ke pinggir, akan tetapi …- Cup' Haiden tiba-tiba mencium bibirnya, melumatnya cukup kasar dan penuh penuntutan. Lea tidak membalas sama sekali, terdiam dengan wajah memerah padam. "Kenapa kau tidak membalas ciumanku?" tanya Haiden dingin, melayangkan tatapan tajam pada Lea. Lea menoleh ke sana kemari, menatap bebe
"J--JVM …," gumam Lea, mulai panik dan gugup. Jantungnya bahkan sudah berdebar sangat kencang. JVM itu perusahaan … suaminya. Ya Tuhan!! "Ada apa, Neng?" tanya Raja, memperhatikan wajah tegang perempuan cantik yang duduk di sebelahnya–kursi penumpang. Lea menggelengkan kepala, nyengir konyol pada bos-nya. "Hehehe … hanya sedikit gugup, Pak. Ma-makluk, Pak, katanya CEO-nya ganteng. Siapa tahu nanti kami bertemu dan jodoh. Ya kaaaaann …," canda Lea, akan tetapi buru-buru merapalkan doa yang berlawanan dari perkataannya barusan. 'Ja-jangan sampai, Ya Allah. Jangan sampai aku bertemu dengan Mas Deden. Maksudku seperti di novel-novel, Ya Allah. Tunggu dulu aku menjadi artis terkenal, baru identitas rahasiaku sebagai artis papan atas terbongkar di depan Mas Den. Ini masih awal, masa sudah ketahuan.' batin Lea, semakin panik bahkan berkeringat dingin ketika mereka telah sampai di depan gedung perusahaan JVM yang terlihat sangat besar dan menjulang tinggi. *** Lea merapatkan topi
"Ekhem." Lea tiba-tiba berdehem, bergerak gelisah dan berusaha memutar otak supaya terhindar dari suaminya. "Meri ketumbar hei …," ucap Lea tiba-tiba, bernada dan dengan intonasi diimut-imutkan. Haiden menaikkan sebelah alis, masih duduk di kursi kekuasaannya. Jaraknya cukup jauh dari tempat istrinya berdiri, akan tetapi dia bisa mencium aroma tubuh istrinya yang khas. Dia sangat mengenali aroma ini, karena parfum tersebut adalah racikan Haiden sendiri--khusus untuk wanita bodohnya yang sangat suka berpetualang. Haiden menyender pada kursi, bersedekap dingin sembari mengamati perempuan yang menutupi wajah tersebut secara intens. Sebesar apapun usaha Lea menutupi wajahnya, Haiden tetap bisa mengenali, baik dari bentuk maupun aroma. Akan tetapi, Haiden memilih diam, mengamati sejauh mana perempuan ini akan bertindak absurd. "Meri ketumbar hei? Acha acha nehi nehi …-" Lea sejenak berhenti, gugup karena tatapan dingin Haiden. Tatapan suaminya seperti harimau yang mengintai mangsa
"Aku tidak bersedia," bantah Lea tiba-tiba, membuat Raja dan bahkan Citra menatap tak percaya padanya. Citra buru-buru menutupi keterkejutan dirinya dengan cara memasang ekspresi angkuh, dia menaikkan dagu kemudian menatap dingin pada Lea. "Angkuh sekali kamu menolak Tuanku. Jangan ge'er hanya karena Tuan ingin diwawancarai olehmu. Mungkin Tuan memilihmu mungkin karena kamu perempuan paling buruk. Tuan menghindari perempuan berpenampilan menarik karena tak ingin membuat orang-orang berasumsi buruk. Jadi tolong jangan ge'er." "Mulutmu kurang ajar juga yah." Lea menatap Citra dengan kesal, dia ingin sekali menampar perempuan itu. Akan tetapi tiba-tiba saja pintu ruangan Haiden terbuka, memperlihatkan Haiden yang langsung melayangkan tatapan dingin padanya. "Lima menit wawancara tidak dimulai, Medi Zone akan menanggung akibatnya," ucap Haiden datar, setelah itu kembali masuk dalam ruangannya. Sebelumnya menyempatkan diri untuk bersitatap dengan Lea. Lea langsung mengepalkan tan
Haiden mengatupkan rahang ketika menemukan istrinya yang sudah dalam keadaan mabuk. Sorot mata Haiden tajam, menusuk dan penuh kemarahan. Dengan aura gelap yang mengerikan, dia berjalan mendekati istrinya. Setelah berada di sebelah Lea, tangan Haiden mengepal kuat karena mencium aroma alkohol dari tubuh dan sekitar istrinya. Dia menahan marah, memilih meraih tubuh Lea, berniat membawanya. Akan tetapi tiba-tiba saja, Raja–bos istrinya, menahan tangan Haiden. "Jangan berani menyentuh anak ini. Dia tanggung jawabku … ayahnya-- aku." ucap Raja susah payah, memukul dada sendiri di akhir kalimat, menegaskan jika Lea memang putrinya. Raja berusaha untuk tetap sadar, walau pun pandangan sudah mengabur–tak mengenali orang yang ingin membawa pergi rekannya. "Aku suaminya," ucap Haiden singkat, menepis tangan bos istrinya kemudian memilih menggendong tubuh Lea. "Suami?" Lea bergumam pelan, kemudian senyum-senyum sendiri, sama sekali tak memberontak ketika Haiden mengendong tubuhnya
"Putriku. Di-dimana putriku?" Haiden dan yang lainnya datang ke sana. Ebrahim yang memberitahu supaya daddynya datang ke tempat ini. Awalnya Ebrahim dan Ethan sepakat ingin menutup-nutupi masalah ini dari Haiden dan Lea. Akan tetapi, daddynya terus menghubunginya–menyuruh Ebrahim untuk mencari Alana ada di mana. Pada akhirnya Ebrahim mengatakan yang sejujurnya. "Daddy …." Alana langsung berdiri, menangis sembari menatap ke arah daddynya. Haiden merentangkan tangan supaya putrinya datang dan memeluknya. Alana langsung berlari dan …-Bug' Memeluk sosok perempuan di sebelah daddynya–mommynya. Haiden yang masih merentangkan tangan–berharap dipeluk oleh putrinya, terlihat memasang muka kaku dan dengan mata berkedut-kedut. Hell! Dia hanya mendapat angin untuk dipeluk. Semua orang yang melihat itu, berusaha menahan tawa. Lucu akan tetapi salah waktu saja. "Su-sudah, Den. Tak ada yang ingin memelukmu," ucap Reigha, menurunkan tangan Haiden yang masih direntangkan. "Nanti kita berpel
"Sudah?" tanya Ethan, melirik sekilas pada Alana yang masih berendam dalam bath up. Sebenarnya Ethan ingin sekali melirik Alana lebih dari satu detik, tetapi … damn! Dia takut dia mencelakai gadis ini. Alana menekuk kaki lalu memeluk diri sendiri. Dia sudah sadar dan tubuhnya tidak lagi merasa terbakar. "Sudah, Kak," jawabnya pelan, malu karena keadaannya hampir telanjang. "Humm." Ethan berdehem singkat, meraih handuk lalu memberikannya pada Alana. "Aku keluar," ucapnya setelah itu."Kak Ethan, bajuku basah dan aku tidak punya baju lagi," cicit Alana ketika Ethan berniat keluar dari kamar mandi. "Humm." Ethan hanya berdehem, dia keluar dari kamar mandi lalu menghubungi seseorang untuk mengantar pakaian pada Alana. Orang yang dia hubungi adalah Zana, perempuan itu dekat dengan Alana dan tentunya tahu selera berpakaian Alana. Satu lagi. Zana sepupunya dan mereka lumayan dekat. Tak lama Zana datang dengan Ebrahim, di mana raut muka Ebrahim sangat tak bersahabat–khawatir dan marah
Alana menjauhkan pandangan, meraih handphonenya dan pura-pura sibuk dengan ponsel. Jantung Alana berdebar kencang, padahal dia hanya bersitatap dengan Ethan tetapi kenapa dia gugup? Ada getaran yang tak ia pahami di dalam hati. Di sisi lain, Ethan menghela napas, Alana tidak suka padanya dan dia tidak ingin memaksa. Acara berlanjut dan begitu meriah. Di depan sana, orangtuanya membanggakan Ethan, granddad dan grandma-nya juga memuji Ethan. Di tempatnya Alana ikut senang melihatnya. Dia masih ingat waktu Ethan termenung di ruangannya karena masalah yang iklan. Masih teringat jelas wajah murung Ethan ketika kakaknya menyalahkannya di depan banyak orang, karena masalah tersebut. Namun, di sini Ethan terlihat bersinar. Dia bisa membuktikan dirinya sendiri dan akhirnya dia diakui. Tanpa sadar Alana tersenyum dan bertepuk tangan kecil. Akan tetapi senyumannya langsung lenyap ketika Ethan menatapnya. Lagi-lagi jantungnya berdebar kencang dan Alana tidak nyaman dengan tatapan Ethan. Semua
"Dia memang Azam, tetapi dia berdiri diatas kakinya sendiri. Dia tidak pernah mengandalkan nama belakangnya. Dan Kakak perhatikan Kak Ethan sangat memperhatikanmu, kau sangat beruntung jika mendapatkannya. Karena Kak Ethan tidak peduli pada sekitarnya, dan kau satu-satunya yang akan dia perhatikan.""Kak! Tolong jangan paksa aku. Aku nggak suka Kak Ethan," pekik Alana. Ebrahim menghela napas, berdiri dari sebelah adiknya lalu mengusap pucuk kepala Alana. "Terserah. Tapi-- gengsinya jangan lama-lama. Yang suka pada Kak Ethan itu bukan hanya kau.""Ih apaan sih?!" ketus Alana, langsung menutup pintu dengan kasar–setelah Ebrahim keluar dari kamarnya. Semua orang gila! Sudah Alana bilang kalau dia tidak suka pada Ethan, tetapi orang-orang terus keukeuh menganggap Alana suka pada Ethan. Hell! Bukan hanya Ethan laki-laki di dunia ini, dan … big no untuk pria Azam. Sekalipun Ebrahim sudah menasehati, itu tak mempan pada Alana. Tidak tetap tidak suka! Tok tok tok'Alana membuka pintu deng
Alana kembali mengurung diri di dalam kamar karena tidak tahan di goda oleh para sepupunya. Dia bahkan bahkan berniat menghubungi daddynya supaya menjemputnya pulang, saking tidak tahannya dia dicie-ciekan dengan Ethan. Namun, dia takut itu akan mendatangkan masalah sehingga Alana memilih mengurungkan diri. Lagi pulang hanya satu hati lagi, setelah itu mereka akan pulang dari pulau ini. Hah, Ethan. Alih-alih suka, Alana malah semakin tak Sudi menikah dengan pria itu. Dia benar-benar tidak suka dicie-ciekan. Dia sangat benci!Ceklek'Alana menoleh ke arah pintu, mendapati kakaknya di sana. Ebrahim masuk ke dalam kamar dan berjalan mendekat ke arah adiknya yang duduk di sofa. "Kenapa kau terus mengurung diri, Alana?" tanya Ebrahim, duduk di sebelah adiknya. Alana menatap sejenak pada Ebrahim kemudian lanjut membaca novel di tangan, "aku tidak nyaman dengan kalian. Dikit dikit cie cie cie. Aku tidak suka Kak Ethan dan aku tidak punya hubungan dengan Kak Ethan. Kalian begitu, aku ma
Alana langsung menarik tangannya, meringsut ke lemari kabinet bawah sembari menatap Ethan dengan muka konyol–malu bercampur panik secara bersamaan. Ethan bangkit, melayangkan tatapan dingin ke arah Alana. Setelah itu, dia beranjak dari sana–tanpa mengatakan apa-apa pada Alana. "Eih." Kanza menatap Ethan dengan tampang muka bingung. Pria itu pergi begitu saja dengan muka dingin dan terlihat seperti marah. Mengingat sesuatu, Kanza buru-buru melangkah ke dapur, bersama dengan Anne. "Kamu kenapa, Al?" tanya Kanza dengan nada perhatian, mendekati Alana lalu membantu perempuan itu untuk berdiri. "I-itu … kecoa," jawab Alana, terpaksa berbohong karena dia tak mungkin jujur kalau dia habis …-Haisss! Tangannya! "Trus Kak Ethan …-" Anne bertanya tetapi cukup ragu karena melihat wajah adik iparnya yang terlihat kaku–seperti sedang marah. Sebenarnya Ethan dan Anne seumuran, akan tetapi karena dia berbicara dengan Alana, dia menyebut Ethan dengan embel-embel kakak. Alasannya karena Ethan ja
Akhirnya produk terbaru dari Healthy'Food telah diluncurkan, bersama dengan iklan yang mengguncang dunia cinematic da perfilm-an. Iklan yang setara dengan film berkelas tesebut berhasil mencuri perhatian banyak orang. Pemasaran berhasil, produk dikenal lebih jauh dan menjadi incaran masyarakat–viral karena iklan yang spektakuler. Mereka juga berbohong-bondong membeli, demi mendapatkan foto card para model iklan. Incaran mereka adalah foto Alana dan si kecil berambut putih, tak lain adalah Abizar. Naman Ethan juga semakin dikenal, lewat proyek ini. Samuel mengakui kehebatan adiknya dan sangat bangga atas keberhasilan sang adik. Dia meminta maaf karena terlalu menekan Ethan, sedangkan Ethan menerima dengan ikhlas. Dia mengganggap tekanan yang diberikan oleh Samuel adalah salah satu dorongan untuk keberhasilan Ethan sekarang. Untuk merayakan keberhasilannya, kakak dan sepupunya yang lain mengajak Ethan berlibur ke Pulau pribadi milik keluarga Azam. Alana sebenarnya tak ingin ikut; sep
"Aku tidak apa-apa, Kak Ethan," jawab Alana cukup kikuk, menoleh ke arah Ebrahim dan berniat menghampiri kakaknya. Akan tetapi, tangannya dicekal oleh Ethan–pria itu tak membiarkan Alana beranjak dan dekat dengan Ebrahim. Ebrahim mengamati hal tersebut secara lekat dan teliti, dia menatap ke arah genggaman tangan Ethan di tangan adiknya kemudian memperhatikan Alana dan Ethan secara bergantian. "Kalian …-" Ebrahim bersedekap dingin, menatap curiga pada adiknya dan Ethan. Namun, ucapannya berhenti saat melihat Luisa berniat kabur. Ebrahim dengan sigap mengulurkan kaki, sehingga Luisa tersandung oleh kakinya dan berakhir jatuh secara kasar di lantai. "Siapa perempuan ini? Terlihat kampungan dan rendahan," ucap Ebrahim, bertanya pada Ethan dan Alana. Alana langsung melepas genggaman tangan Ethan dan menghampiri kakaknya. "Kak, dia ini model yang dekat dengan Kak Ethan. Dia selalu menggangguku dan bahkan suka merendahkan keluarga kita," ucap Alana, mengadukan kelakuan Luisa pada k
"Uncle, aku mencintai putrimu dan aku berniat memperistrinya," ucap Ethan dengan nada serius, menatap penuh harap pada Haiden. Saat ini dia di rumah orangtua Alana untuk menyampaikan niatannya memperistri perempuan itu pada orangtua Alana. Seharusnya dia ke kantor, akan tetapi Ethan lebih dulu ke sini karena … bukankah niatan baik harus disampaikan lebih awal? Haiden mengangguk-angguk kepala, tersenyum tipis pada Ethan. "Uncle suka yang terus terang seperti ini. Bawa orangtuamu dan lamar putri Uncle dengan baik. Tapi … keputusan tetap ada pada Alana." "Ah, baik, Uncle." Ethan tersenyum senang, begitu lega dan bahagia karena Haiden menyambut niatannya dengan baik, "aku akan melamar Alana setelah proyek yang kupegang selesai. Hanya tinggal sedikit lagi, Uncle. Untuk itu, kuharap Uncle tidak menerima lamaran dari pria lain pada Alana," lanjut Ethan, berkata ragu pada akhirnya kalimat. Bisa dikatakan Ethan tergesa-gesa ingin menikahi Alana. Namun, proyek yang dipegang olehnya sedik