Hari ini Lea kembali berniat menggoda Haiden. Pernikahan yang masih berusia tiga bulan ini, sudah terlalu dingin. Lea tak ingin membuatnya semakin dingin, dia harus secepatnya menghangatkan hubungan antara dia dan suaminya. Sudah jam delapan malam, Lea telah mengenakan lingerie yang ia beli saat siang tadi. Sejujurnya Lea tak diperbolehkan keluar tanpa izin dari Haiden. Tadi siang dia sama sekali tak izin karena dia merasa tak perlu. Izin tak izin, sepertinya Haiden tak akan peduli untuk saat ini–pria itu hanya peduli pada pekerjaan. Lagipula Lea hanya sebentar, jalan-jalan ke mall untuk menenangkan pikiran sejenak. Tampilannya sudah seksi dan jauh lebih menggoda dari malam sebelumnya. Seperti tadi malam, Lea berias dan mengenakan parfum yang banyak. "Halo, Mas Haiden sayang. Malam ini kamu pulang jam berapa yah kalau boleh tahu?" tanya Lea dengan lembut dan manis. Namun, alih-alih mendapat sambutan hangat, dia malah dimarahi oleh Haiden. 'Kepala maid melapor jika kau keluar dari
"Totalnya empat ratus lima puluh ribut," ucap Lea pada seorang pembeli yang saat ini melakukan transaksi pembayaran. Pembeli tersebut memberikan uang sebanyak lima lembar berwarna pink. Lea menerima uang tersebut kemudian memberi kembalian. "Kembalian lima puluh ribu lagi, Kak. Terimakasih sudah mengunjungi cafe kita, semoga harinya menyenangkan." Pembeli tersebut tersipu malu kemudian segera beranjak dari sana. Lea langsung menghela napas, memanggil salah satu staf dan menyuruhnya berganti tugas. "Ck, mungkin saja perempuan itu seorang model, sedangkan aku hanyalah seorang pelayan cafe. Oleh sebab itu Mas Haiden memilihnya. Ah, aku harus mencari pekerjaan lain intinya. Aku tidak boleh kalah. Menikah dengannya, bukan berarti aku berhenti berjuang. Semangat semangat semangat!" gumam Lea antusias pada akhirnya kalimat untuk mensugesti diri sendiri. Akan tetapi dia mengurungkan niat untuk masuk ke dapur karena ternyata cafe sedang ramai. Lea sebenarnya koki di cafe milik sahabatnya i
"Ya Tuhan, boleh nggak sih kalau aku mengatakan menyesal menikah dengan Mas Haiden? Dia sangat sempurna, sedangkan aku-- kurasa pengemis dijalanan lebih sukses dibandingkan aku. Mereka mah … modal duduk sama megang kemasan teh gelas saja bisa menghasilkan uang jutaan perhari. Aku? Kerja hasil giveaway, gaji besar karena yang memberi upah sahabat sendiri. Hah, itupun masih mengeluh. Manusia manusia … kebanyakan ngeluh!" pekik Lea, memukul kepala sendiri beberapa kali, tak peduli pada orang sekitar yang memperhatikan. "Kenapa jadi tak nyambung? Ck, dah jam empat ternyata. Pantas kumat," gumamnya, menghela napas lalu mengeluh lagi. Hingga tiba-tiba saja dia tiba di sebuah tempat yang ramai. "Kebakaran.""Kebakaran.""Kebakaran."Teriakan orang-orang memenuhi tempat tersebut. Melihat itu, Lea mendekat bahkan mendadak ikut dengan para pemuda dan bapak-bapak untuk gotong royong mengangkut air. "Aku tidak bisa, Pak. Aku takut api." Ucap seseorang perempuan sembari melempar ID card. Setel
"Terimakasih atas bantuannya, Lea." Lea tersenyum lebar, berjabat tangan dengan pria perut buncit tersebut–kepala tim yang tadi membuat Lea mendadak menjadi reporter. "Ini." Bapak tersebut memberikan sebuah kartu nama pada Lea. "Secepatnya, datanglah ke perusahaan Medi Zone. Bapak pastikan kamu mendapat pekerjaan di sana," ucap Raja, nama pria tersebut. Lea membulatkan mata, meraih kartu nama tersebut dengan semangat. Dia tersenyum lebar lalu kembali bersalaman secara semangat dengan Raja. "Terimakasih, Pak. Ini yang kubutuhkan.""Semangatmu sangat luar biasa anak muda." Raja tertawa begitu juga dengan Lea. "BTW, Pak." Lea dengan santai menepuk pelan pundak Raja, dia bersikap seolah Raja adalah teman lamanya. "Bagaimana tadi? Aku berbakat tidak jadi reporter?" "Ahahaha …." Raja tertawa cukup kencang, bukan karena menyetujui ucapan Lea akan tetapi karena merasa risau. Dia tak akan lagi menjadikan perempuan ini sebagai reporter, dia sudah jera dan sangat syok. Sekarang dia menyiapk
"Apa aku kurang cantik yah, oleh sebab itu Mas Haiden tidak mau menyentuhku." Lea menatap tampilan dirinya di depan cermin wastafel. Dia baru saja mandi, berendam cukup lama untuk merilekskan pikiran. Lea terus membohongi dirinya dengan berpura-pura enjoy menjalani kehidupan. Tetapi kenyataannya, pikirannya tak lepas dari suaminya. Kenapa setelah malam pertama, Haiden tak pernah lagi menyentuhnya? Adakah yang salah dari Lea? "Sebelum menikah, Mas Haiden terlihat begitu menginginkanku. Dia bahkan pernah hampir lepas kendali. Dan saat malam pertama, dia begitu bersemangat. Malam itu ...-" Lea terdiam sejenak, mengingat kembali kegiatan panas yang dia lakukan saat malam pertama dengan suaminya. Haiden menyentuh tubuhnya dengan begitu bersemangat, tak ada sedikitpun kulit Lea yang lepas dari sentuhan panas suaminya. 'Kau tidak akan bisa menghentikanku, Lea. Sekalipun kau menjerit kesakitan.' 'Selama ini kau terus menggodaku, dan malam ini-- akan kubuat kau merintih di bawahk
Apakah Haiden akan menyentuhnya? Dari ciuman Haiden yang basah dan panas, sepertinya iya. Namun-- Gluk' Lea meneguk saliva secara kasar saat Haiden menyudahi permainan bibir mereka. "Bibirmu sangat manis, Sweetheart," ucap Haiden dengan nada tenang, mengusap bibir Lea secara lembut dan hati-hati. Setelah itu, dia beralih menepuk-nepuk pucuk kepala istrinya, "ganti pakaianmu. Kita akan pulang ke rumah kita." Lea tersenyum kaku, sebetulnya menutupi kesedihan dan perasaan dongkol yang larut dalam hatinya. Dia sudah berharap, tetapi ternyata Haiden tidak ingin menyentuhnya. 'Apa yang salah dari tubuhku, Tuhan? Kenapa suamiku tidak mau menyentuhku?' batin Lea, berjalan ke kamar mandi untuk mengganti pakaian. Setelah berganti pakaian, Lea mengemasi barang-barangnya dalam koper. Dia ingin membangkang dengan menolak pulang, akan tetapi dia takut Haiden marah seperti tadi. "Kenapa kau menginap di hotel?" tanya Haiden yang sekarang sedang duduk di sofa, menyender dengan bersedek
Lea menatap miris pada lingerie yang telah habis terbakar tesebut. Bukan hanya itu, celana pendek serta crop top miliknya– semua Haiden bakar. Yang membuat Lea sangat sedih adalah celana pendek motif bunga-bunga miliknya, juga menjadi korban kebakaran. "Jahat sekali!" nanar Lea, terduduk lesu tak jauh dari tong sampah–bahan besih, yang menjadi wadah pakaiannya dilahap api. "Ke-kebakaran, kebakaran apa yang menyakitkan? kebakaran api cemburu? Enggaaaaak! Tapi melihat Celana pendek bunga-bungaku menjadi korban kebakaran. Aaaaa … i--itu celana pendekku yang kubeli saat masih kuliah. A-aku merawatnya sepenuh hati dan segenap jiwa, ngalahin Malika si kedelai hitam. Huaa … ahk'aaaa … aku susah-susah nawar biar dapat tiga seratus ribu, ta-tapi … aaaa … hiks … aaaa … dibakaaaar," tangis Lea pada akhirnya, sesenggukan karena merasa kehilangan teman lama. Tuk' Tiba-tiba saja ada yang mengetuk ubun-ubunnya, membuat Lea yang menangis langsung berhenti dan beralih mendongak untuk melihat sia
"Kau bosan menikah denganku?" Suara Haiden begitu menusuk, menembus hingga ke tulang-tulang–membuat tubuh Lea menegang kaku serta panas pada bagian punggung. Lea berdiri dari kursi, menatap campur aduk pada Haiden yang sudah menahan marah. Di satu sisi Lea menyesali ucapannya, tetapi di sisi lain dia ingin sekali berteriak 'ya tepat di depan wajah Haiden. "Kau diam. Itu artinya benar," Haiden mendekati Lea, membuat perempuan itu semakin gugup tetapi rasanya juga ingin melawan secara bersamaan. "Katakan, bagian mana yang membuatmu bosan?" Ketika Haiden berjalan mendekat, Lea bergerak mundur. Kepalanya tertunduk, tangannya meremas pinggiran dress yang dia kenakan. Selain takut, perasaan sedih kian menyelimuti hati. Setelah Haiden melamarnya di Paris, pria ini selalu memanjakannya. Sikapnya sangat manis dan seperti seorang pria yang sangat menginginkan wanitanya. Akan tetapi kenapa setelah menikah semua terasa hambar? Kemana Haiden yang manis? "Seingatku-- kau sangat ingin m
"Putriku. Di-dimana putriku?" Haiden dan yang lainnya datang ke sana. Ebrahim yang memberitahu supaya daddynya datang ke tempat ini. Awalnya Ebrahim dan Ethan sepakat ingin menutup-nutupi masalah ini dari Haiden dan Lea. Akan tetapi, daddynya terus menghubunginya–menyuruh Ebrahim untuk mencari Alana ada di mana. Pada akhirnya Ebrahim mengatakan yang sejujurnya. "Daddy …." Alana langsung berdiri, menangis sembari menatap ke arah daddynya. Haiden merentangkan tangan supaya putrinya datang dan memeluknya. Alana langsung berlari dan …-Bug' Memeluk sosok perempuan di sebelah daddynya–mommynya. Haiden yang masih merentangkan tangan–berharap dipeluk oleh putrinya, terlihat memasang muka kaku dan dengan mata berkedut-kedut. Hell! Dia hanya mendapat angin untuk dipeluk. Semua orang yang melihat itu, berusaha menahan tawa. Lucu akan tetapi salah waktu saja. "Su-sudah, Den. Tak ada yang ingin memelukmu," ucap Reigha, menurunkan tangan Haiden yang masih direntangkan. "Nanti kita berpel
"Sudah?" tanya Ethan, melirik sekilas pada Alana yang masih berendam dalam bath up. Sebenarnya Ethan ingin sekali melirik Alana lebih dari satu detik, tetapi … damn! Dia takut dia mencelakai gadis ini. Alana menekuk kaki lalu memeluk diri sendiri. Dia sudah sadar dan tubuhnya tidak lagi merasa terbakar. "Sudah, Kak," jawabnya pelan, malu karena keadaannya hampir telanjang. "Humm." Ethan berdehem singkat, meraih handuk lalu memberikannya pada Alana. "Aku keluar," ucapnya setelah itu."Kak Ethan, bajuku basah dan aku tidak punya baju lagi," cicit Alana ketika Ethan berniat keluar dari kamar mandi. "Humm." Ethan hanya berdehem, dia keluar dari kamar mandi lalu menghubungi seseorang untuk mengantar pakaian pada Alana. Orang yang dia hubungi adalah Zana, perempuan itu dekat dengan Alana dan tentunya tahu selera berpakaian Alana. Satu lagi. Zana sepupunya dan mereka lumayan dekat. Tak lama Zana datang dengan Ebrahim, di mana raut muka Ebrahim sangat tak bersahabat–khawatir dan marah
Alana menjauhkan pandangan, meraih handphonenya dan pura-pura sibuk dengan ponsel. Jantung Alana berdebar kencang, padahal dia hanya bersitatap dengan Ethan tetapi kenapa dia gugup? Ada getaran yang tak ia pahami di dalam hati. Di sisi lain, Ethan menghela napas, Alana tidak suka padanya dan dia tidak ingin memaksa. Acara berlanjut dan begitu meriah. Di depan sana, orangtuanya membanggakan Ethan, granddad dan grandma-nya juga memuji Ethan. Di tempatnya Alana ikut senang melihatnya. Dia masih ingat waktu Ethan termenung di ruangannya karena masalah yang iklan. Masih teringat jelas wajah murung Ethan ketika kakaknya menyalahkannya di depan banyak orang, karena masalah tersebut. Namun, di sini Ethan terlihat bersinar. Dia bisa membuktikan dirinya sendiri dan akhirnya dia diakui. Tanpa sadar Alana tersenyum dan bertepuk tangan kecil. Akan tetapi senyumannya langsung lenyap ketika Ethan menatapnya. Lagi-lagi jantungnya berdebar kencang dan Alana tidak nyaman dengan tatapan Ethan. Semua
"Dia memang Azam, tetapi dia berdiri diatas kakinya sendiri. Dia tidak pernah mengandalkan nama belakangnya. Dan Kakak perhatikan Kak Ethan sangat memperhatikanmu, kau sangat beruntung jika mendapatkannya. Karena Kak Ethan tidak peduli pada sekitarnya, dan kau satu-satunya yang akan dia perhatikan.""Kak! Tolong jangan paksa aku. Aku nggak suka Kak Ethan," pekik Alana. Ebrahim menghela napas, berdiri dari sebelah adiknya lalu mengusap pucuk kepala Alana. "Terserah. Tapi-- gengsinya jangan lama-lama. Yang suka pada Kak Ethan itu bukan hanya kau.""Ih apaan sih?!" ketus Alana, langsung menutup pintu dengan kasar–setelah Ebrahim keluar dari kamarnya. Semua orang gila! Sudah Alana bilang kalau dia tidak suka pada Ethan, tetapi orang-orang terus keukeuh menganggap Alana suka pada Ethan. Hell! Bukan hanya Ethan laki-laki di dunia ini, dan … big no untuk pria Azam. Sekalipun Ebrahim sudah menasehati, itu tak mempan pada Alana. Tidak tetap tidak suka! Tok tok tok'Alana membuka pintu deng
Alana kembali mengurung diri di dalam kamar karena tidak tahan di goda oleh para sepupunya. Dia bahkan bahkan berniat menghubungi daddynya supaya menjemputnya pulang, saking tidak tahannya dia dicie-ciekan dengan Ethan. Namun, dia takut itu akan mendatangkan masalah sehingga Alana memilih mengurungkan diri. Lagi pulang hanya satu hati lagi, setelah itu mereka akan pulang dari pulau ini. Hah, Ethan. Alih-alih suka, Alana malah semakin tak Sudi menikah dengan pria itu. Dia benar-benar tidak suka dicie-ciekan. Dia sangat benci!Ceklek'Alana menoleh ke arah pintu, mendapati kakaknya di sana. Ebrahim masuk ke dalam kamar dan berjalan mendekat ke arah adiknya yang duduk di sofa. "Kenapa kau terus mengurung diri, Alana?" tanya Ebrahim, duduk di sebelah adiknya. Alana menatap sejenak pada Ebrahim kemudian lanjut membaca novel di tangan, "aku tidak nyaman dengan kalian. Dikit dikit cie cie cie. Aku tidak suka Kak Ethan dan aku tidak punya hubungan dengan Kak Ethan. Kalian begitu, aku ma
Alana langsung menarik tangannya, meringsut ke lemari kabinet bawah sembari menatap Ethan dengan muka konyol–malu bercampur panik secara bersamaan. Ethan bangkit, melayangkan tatapan dingin ke arah Alana. Setelah itu, dia beranjak dari sana–tanpa mengatakan apa-apa pada Alana. "Eih." Kanza menatap Ethan dengan tampang muka bingung. Pria itu pergi begitu saja dengan muka dingin dan terlihat seperti marah. Mengingat sesuatu, Kanza buru-buru melangkah ke dapur, bersama dengan Anne. "Kamu kenapa, Al?" tanya Kanza dengan nada perhatian, mendekati Alana lalu membantu perempuan itu untuk berdiri. "I-itu … kecoa," jawab Alana, terpaksa berbohong karena dia tak mungkin jujur kalau dia habis …-Haisss! Tangannya! "Trus Kak Ethan …-" Anne bertanya tetapi cukup ragu karena melihat wajah adik iparnya yang terlihat kaku–seperti sedang marah. Sebenarnya Ethan dan Anne seumuran, akan tetapi karena dia berbicara dengan Alana, dia menyebut Ethan dengan embel-embel kakak. Alasannya karena Ethan ja
Akhirnya produk terbaru dari Healthy'Food telah diluncurkan, bersama dengan iklan yang mengguncang dunia cinematic da perfilm-an. Iklan yang setara dengan film berkelas tesebut berhasil mencuri perhatian banyak orang. Pemasaran berhasil, produk dikenal lebih jauh dan menjadi incaran masyarakat–viral karena iklan yang spektakuler. Mereka juga berbohong-bondong membeli, demi mendapatkan foto card para model iklan. Incaran mereka adalah foto Alana dan si kecil berambut putih, tak lain adalah Abizar. Naman Ethan juga semakin dikenal, lewat proyek ini. Samuel mengakui kehebatan adiknya dan sangat bangga atas keberhasilan sang adik. Dia meminta maaf karena terlalu menekan Ethan, sedangkan Ethan menerima dengan ikhlas. Dia mengganggap tekanan yang diberikan oleh Samuel adalah salah satu dorongan untuk keberhasilan Ethan sekarang. Untuk merayakan keberhasilannya, kakak dan sepupunya yang lain mengajak Ethan berlibur ke Pulau pribadi milik keluarga Azam. Alana sebenarnya tak ingin ikut; sep
"Aku tidak apa-apa, Kak Ethan," jawab Alana cukup kikuk, menoleh ke arah Ebrahim dan berniat menghampiri kakaknya. Akan tetapi, tangannya dicekal oleh Ethan–pria itu tak membiarkan Alana beranjak dan dekat dengan Ebrahim. Ebrahim mengamati hal tersebut secara lekat dan teliti, dia menatap ke arah genggaman tangan Ethan di tangan adiknya kemudian memperhatikan Alana dan Ethan secara bergantian. "Kalian …-" Ebrahim bersedekap dingin, menatap curiga pada adiknya dan Ethan. Namun, ucapannya berhenti saat melihat Luisa berniat kabur. Ebrahim dengan sigap mengulurkan kaki, sehingga Luisa tersandung oleh kakinya dan berakhir jatuh secara kasar di lantai. "Siapa perempuan ini? Terlihat kampungan dan rendahan," ucap Ebrahim, bertanya pada Ethan dan Alana. Alana langsung melepas genggaman tangan Ethan dan menghampiri kakaknya. "Kak, dia ini model yang dekat dengan Kak Ethan. Dia selalu menggangguku dan bahkan suka merendahkan keluarga kita," ucap Alana, mengadukan kelakuan Luisa pada k
"Uncle, aku mencintai putrimu dan aku berniat memperistrinya," ucap Ethan dengan nada serius, menatap penuh harap pada Haiden. Saat ini dia di rumah orangtua Alana untuk menyampaikan niatannya memperistri perempuan itu pada orangtua Alana. Seharusnya dia ke kantor, akan tetapi Ethan lebih dulu ke sini karena … bukankah niatan baik harus disampaikan lebih awal? Haiden mengangguk-angguk kepala, tersenyum tipis pada Ethan. "Uncle suka yang terus terang seperti ini. Bawa orangtuamu dan lamar putri Uncle dengan baik. Tapi … keputusan tetap ada pada Alana." "Ah, baik, Uncle." Ethan tersenyum senang, begitu lega dan bahagia karena Haiden menyambut niatannya dengan baik, "aku akan melamar Alana setelah proyek yang kupegang selesai. Hanya tinggal sedikit lagi, Uncle. Untuk itu, kuharap Uncle tidak menerima lamaran dari pria lain pada Alana," lanjut Ethan, berkata ragu pada akhirnya kalimat. Bisa dikatakan Ethan tergesa-gesa ingin menikahi Alana. Namun, proyek yang dipegang olehnya sedik