Di tengah kerumunan para siswa SMA Tunas Bangsa, tampak seorang gadis saling berimpitan. Tubuh mungilnya menyelinap begitu saja, berusaha mencari tahu apa yang ada di depan sana, seperti siswa lainnya. Tak peduli aroma tak sedap yang dihirup, rasa penasarannya jauh mengalahkan semua itu.
Wajahnya berbinar, ketika mendapatkan sebuah nama tertulis di kertas yang terpajang. Senyum manis terus saja mengambang di bibir berwarna merah muda itu.
“La, kita lulus!” sorak temannya kegirangan.
Gadis itu mengangguk antusias, sama seperti siswa lainnya.
“Hebat kamu, La, ada di posisi pertama lagi,” ucap salah satu siswa yang ada di sana.
Nala Anindita, atau orang biasa memanggilnya Nala. Gadis berusia 18 tahun yang terkenal pendiam, adalah siswi yang tak bisa dianggap remeh. Otaknya yang di atas rata-rata tak perlu diragukan lagi. Selain itu, paras wajahnya yang hampir sempurna menjadikan Lala primadona para remaja laki-laki SMA Tunas Bangsa.
Setelah selesai dengan drama saling berdesakan, kini Nala dan Nita memutuskan untuk langsung pulang. Nita adalah teman satu-satunya, yang dimiliki Nala. Di saat yang lain berteman dengan tujuan memanfaatkan kepintarannya, berbeda dengan Nita. Gadis itu tulus berteman dengan Nala, meski telah mengetahui tentang latar belakang keluarga Nala.
“Setelah lulus kamu lanjut kuliah di mana, La?” tanya Nita sembari memasukkan keripik kentang ke dalam mulutnya. “Pak antar kita ke mall dulu ya!” perintah Nita lagi kepada sopir pribadinya.
Nala menggeleng melihat tingkah temannya itu. Nala dan Nita mempunyai kehidupan yang jauh berbeda. Nita yang memiliki hidup mewah, membuat gadis itu bisa mendapatkan apa pun yang diinginkan, dan itu berbanding terbalik dengan kehidupan Nala. Hanya satu persamaan mereka, menjadi anak yatim piatu.
“Kamu lanjut kuliah di mana, Nit?” tanya Nala setelah lama bungkam.
Nita menoleh, “Ditanya kok malah balik tanya,” cebik Nita. Gadis itu kembali melanjutkan memakan keripik kentang miliknya. Sementara Nala, hanya terdiam sembari tersenyum kecil.
Kuliah adalah hal yang diimpikannya sejak dulu. Mengenyam pendidikan setinggi mungkin, adalah keinginan semua orang, termasuk Nala. Hanya satu yang masih membuatnya ragu. Beasiswa yang diajukannya belum juga mendapat balasan. Hidup dalam keterbatasan ekonomi, membuat Nala sedikit merasa terhambat dalam hal pendidikan, tetapi hal itu tidak serta merta membuat dia menyerah. Nala akan berusaha sebisa mungkin agar bisa menggapai mimpinya.
“Ayo turun!” ajak Nita yang sukses membuyarkan lamunannya.
Nala tersenyum, kakinya mengikuti sang empu mobil untuk turun. Kini dia dan Nita berjalan memasuki salah satu mal terbesar di Kota Bandung. Andai saja Nala tidak memiliki teman seperti Nita, mungkin dia akan berpikir seribu kali untuk datang ke tempat seperti ini. Sebelumnya, mereka sudah berganti pakaian, ketika mobil Nita mampir untuk mengisi bahan bakar.
“Kamu mau cari apa, Nit?” tanya Nala. Dia belum mengetahui maksud gadis itu datang kemari.
“Tentu saja belanja, La ... apalagi? Minggu depan pesta kelulusan kita, dan aku belum memiliki pakaian untuk pesta nanti,” jelasnya panjang lebar.
Nala hanya mengangguk. Bibirnya membulat membentuk huruf O.
“Jangan bilang kamu lupa?” Nita langsung berbalik, menghadap ke belakang untuk melihat temannya itu. Matanya menyipit, disertai dengan jari telunjuk yang menunjuk wajah cantik Nala.
Gadis itu hanya tersenyum lebar menanggapinya.
Nita menepuk dahi, sementara gadis di depannya itu terkekeh pelan. “Aku sudah menduganya. Pasti kamu lupa,” cibirnya lagi.
“Nggak lupa, Nit … hanya tidak ingat,” kekeh Nala.
Pada dasarnya Nala tidak terlalu memikirkan tentang pesta perpisahan itu. Bisa lulus dengan nilai yang bagus saja sudah membuatnya merasa sangat senang dan terus bersyukur.
“Ck kebiasaan. Kamu nggak ada niat buat nggak datan, kan, La?” tanya Nita dengan tatapan menyelidik.
Nita tahu benar sifat temannya. Tidak suka keramaian, itu selalu menjadi alasan Nala jika diajak menghadiri pesta-pesta yang diadakan teman sekolah mereka.
“Pokoknya kali ini kamu harus datang, La. Aku tidak menerima penolakan.” Nita langsung menarik tangan Nala, membawanya masuk ke dalam salah satu stan yang menjual pakaian.
Nala hanya bisa pasrah ketika Nita menariknya. Menolak, itu percuma saja. Nita adalah seseorang yang tidak bisa dibantah, mungkin sudah menjadi kebiasaan gadis itu di rumah.
Nita menyuruh Nala untuk mengambil pakaian yang akan dipakai untuk acara pesta nanti. Tak peduli gadis itu berusaha keras untuk menolak, Nita tetap memaksa gadis itu. Uang? Nita tidak terlalu memikirkan hal itu. Baginya, untuk Nala dia rela merogoh saku cukup dalam.
Setelah melewati perdebatan yang cukup panjang. Akhirnya pilihan mereka jatuh pada gaun selutut dengan model off shoulder. Nala memandangi dirinya di depan cermin di kamar pas, bahu mulusnya tampak terekspos nyata.
“Apa ini tidak terlalu terbuka?” tanya Nala dengan wajah polos. Ini pertama kalinya dia mengenakan gaun.
Nita menggeleng. “Cocok sama kamu,” ujar Nita sembari memutar-mutar tubuhnya di depan cermin. “Lihatlah warna merah sangat cocok denganku, kan?” tanya Nita sembari memandang Nala dari depan cermin.
Setelah yakin dengan pilihan masing-masing, kedua gadis itu segera naik ke lantai atas, menuju foodcourt untuk mengisi kembali energi mereka. Nala dan Nita membeli gaun yang sama hanya berbeda warna saja. Jika Nita lebih menyukai warna cerah seperti merah, maka Nala lebih menyukai warna gelap seperti hitam.
“Aku ke toilet sebentar,” pamit Nala ketika mereka sudah duduk di sebuah meja. “Aku ikut pesanan kamu saja,” ujarnya sebelum berlalu.
Gadis itu berjalan dengan sedikit tergesa. Panggilan alam yang datang tiba-tiba membuatnya berjalan tanpa memperhatikan sekitar. Setelah memastikan toilet kosong gadis itu segera berlari masuk. Menuntaskan panggilan alam yang terasa mengganggu.
.
.
.
.
.
Nala terlihat membasuh wajah di wastafel. Berusaha menghilangkan bercak darah di hidung mancungnya. Saat di dalam toilet tadi, tiba-tiba saja gadis itu mengeluarkan darah dari dalam hidung.
Gadis itu tampak menggeleng berkali-kali, mengusir rasa sakit yang menyerang kepala. Tangannya mencengkeram kuat pinggiran wastafel. Merasa sudah tidak tahan lagi, Nala segera menyambar tas miliknya lalu berjalan keluar.
Rasa sakit di kepalanya semakin menjadi. Napasnya terdengar memburu, disertai dengan dada yang bergerak naik turun. Nala berusaha sekeras mungkin untuk tetap mempertahankan kesadarannya. Nihil, tubuh mungil itu akhirnya limbung.
“Anda baik-baik saja?” tanya seorang pria yang tanpa sengaja melihat dan menangkap tubuh mungil Nala. Gadis itu berusaha membuka matanya untuk melihat wajah itu, tetapi hal itu tidak berpihak kepadanya. Tubuh Nala jatuh dalam pelukan pria itu.
“Oh Shit! Kini aku harus terjebak dengan seorang gadis asing!” umpat pria itu.
Namun, naluri kemanusiaannya masih bekerja. Pria itu segera membopong tubuh gadis muda di hadapannya. Membawanya keluar, untuk segera ke rumah sakit.
Seorang gadis tampak mengerjapkan matanya berkali-kali. Pantulan sinar matahari yang menerobos masuk lewat jendela, membuat gadis itu memaksa membuka mata, meski kepalanya masih terasa sangat sakit. “Kenapa kepalaku sakit sekali?” gumamnya. Tangannya tampak memijit kepala berkali-kali. Mencoba mengingat apa yang sebenarnya terjadi. Matanya terbuka sempurna ketika melihat isi kamar yang ditempatinya. Kamar yang didominasi warna putih. “Aku di mana?” tanyanya dengan sedikit terkejut. Tempat ini benar-benar terasa begitu asing bagi dirinya. “Anda baik-baik saja?” tanya seorang pria berjas hitam. Pria yang tiba-tiba saja membuka pintu, dan membuat gadis yang tengah berbaring itu, terlonjak kaget. Wajah pria itu terlihat dingin, tidak ada jejak senyum sama sekali di sana. Nala merasa takut melihat pria yang baru saja muncul dari balik pintu. Dari penampilannya saja, dia tahu bahwa pria itu adalah seorang pria dewasa. “Anda s
Semburat senja sudah mulai terlihat di ufuk barat. Angin semilir menyapu wajah dan rambut seorang gadis, yang masih berdiam diri di bangku taman. Tubuhnya bersender di bangku taman, seolah sedang mencari ketenangan diri. Wajah ayunya menengadah, menatap langit kuning kemerahan. Ada sesuatu yang membuatnya ingin duduk dan menghabiskan waktu yang lebih lama di sini. “Ibu ... aku rindu ibu,” gumamnya diiringi dengan helaan napas. Lama dia duduk terdiam berpangku tangan, sampai langit perlahan berubah menjadi gelap. Merasa jengah, dia berdiri bermaksud meninggalkan tempat tersebut. *** Irama dari berbagai alat musik tampak menggema di aula sekolah. Para siswa-siswi tampak sibuk dengan kegiatan mereka masing-masing. Setelah acara inti selesai, kini tinggallah acara hiburan semata, sebelum mereka pergi meninggalkan sekolah untuk selamanya. Nala duduk di sudut ruangan, dengan gaun hitam yang membuat penampilannya terlihat sangat berbeda malam
Cinta adalah misteri. Entah di mana dan kapan cinta itu datang, tidak ada yang dapat mengetahuinya. Kepada siapa cinta kita berlabuh, bahkan kita juga tidak mampu untuk mengendalikannya. David duduk berpangku tangan di tepi pantai. Deburan ombak terasa menenangkan jiwa. Senja di ufuk barat juga sudah mulai terlihat. Sejak kejadian beberapa hari lalu, perasaannya kian tak menentu. Ada keinginan untuk bisa bertemu dengan gadis itu lagi. Namun, ada satu sisi dalam dirinya yang mengatakan untuk pergi menjauh dari gadis itu. Setelah memastikan bahwa dia tidak mungkin salah orang. “Bukankah dunia ini terlalu sempit?” ucap pria itu diiringi dengan napas yang berat. “Bagaimana kalau dia tahu atau mengingat kejadian yang sebenarnya?” Angannya melayang jauh, menerawang kejadian di masa silam. Kesalahan yang dia lakukan di masa silam, yang membuat hidupnya terasa begitu menyedihkan hingga saat ini. “Ah, bahkan aku belum mengetahui namanya sampai sekarang
Seorang wanita paru baya terlihat duduk dengan secangkir teh, yang masih memperlihatkan asap mengepul. Bibirnya bergerak, meniup asap yang mengudara. “Ma!” sapa seorang pria paru baya, yang datang berjalan menghampirinya. “Eh, Papa. Sudah pulang?” tanyanya. Wanita itu segera berdiri. Kemudian meraih tangan pria paru baya yang kini sudah berada di hadapannya. “Aku sangat lelah. Ada David juga di kantor.” Wanita itu mengangguk perlahan. Tangannya membantu melepaskan jas, dan juga dasi pria paru baya yang berstatus sebagai suaminya. Adrian Mahardika, pemilik utama perusahaan MA Grup. Perusahaan milik keluarga Mahardika. Perusahaan yang bergerak di bidang jasa konstruksi. Perusahaan yang dibangun atas kerja kerasnya sendiri. Pria paru baya berusia 60 tahun itu, masih tetap saja memaksa pergi ke kantor. Dengan berbagai alasan, dia tetap memaksa agar bisa menghabiskan harinya di balik meja kerja, yang sudah hampir 30 tahun menjadi tempat ter
Prang!Bunyi piring-piring yang berhamburan di atas lantai dapur kecil, sebuah rumah.Terlihat dua orang dewasa yang sedang berdebat. Sampai mereka tidak menyadari jika ada seorang anak yang selalu mengintip pertengkaran mereka.“Apa kau tidak bisa sehari saja tidak membuat masalah?” teriak Liana. Wanita berusia 39 tahun, yang terlihat sedang menahan amarahnya.“Aku tidak pernah membuat masalah apa pun. Kau yang selalu membuat masalah, dan menjadi biang masalah dalam hidupku.” Pria di hadapan Liana tersenyum sinis, seolah tidak memiliki dosa apa pun.“Damar!”PlakPria bernama Damar itu menampar Liana. “Kau sudah berani memanggil namaku?” Tangannya mencengkeram kuat dagu wanita yang sekarang meringis kesakitan.“Bajingan! Aku menyesal menikah denganmu!” umpat Liana.Muak. Dia sangat muak dengan semua yang terjadi di kehidupan rumah tangganya.Menikahi seo
Ibu dan anak itu tertidur dengan posisi saling memeluk. Setelah tidak mendapatkan jawaban apa pun dari ibunya, Nala memutuskan untuk menemani ibunya sampai tertidur.Gadis kecil itu tidak benar-benar terlelap. Dia masih bisa mendengar isakan sang ibu. Terbangun ketika ibunya menangis di dalam mimpi. Bahkan dia bisa mendengar jelas ibunya berteriak ketakutan.Nala melihat jam yang menempel di dinding. Sudah jam dua dini hari, tetapi ayahnya belum pulang juga.Sebenarnya apa yang sudah terjadi? Apa ibu dan ayahnya bertengkar lagi karena dirinya?***Nala bangun di pagi hari. Dia hanya tertidur beberapa jam saja karena ibunya terus saja berteriak ketakutan sepanjang malam.Tubuh gadis kecil itu sedikit lesu. Kepalanya juga terasa sangat sakit, karena kurang tidur. Dilihatnya sang ibu yang masih meringkuk di atas kasur lusuhnya.“Ibu hari ini aku tidak sekolah. Aku akan mencari ayah,” ujar Nala kepada ibunya yang masih setenga
Nala memasukkan buku-buku miliknya ke dalam tas. Jam kuliah hari ini sudah selesai. Hari ini dia juga libur bekerja karena merasa sedikit tidak enak badan. “La, kamu kerja hari ini?” tanya Nita karena gadis itu memang tidak tahu bahwa Nala berencana meliburkan diri. Nala menggeleng. Wajah gadis itu terlihat sedikit pucat dari biasanya. “Kamu sakit?” Nita menghampiri Nala yang duduk di bangku sisi kirinya. Memerhatikan wajah Nala yang terlihat sedikit pucat. “Aku hanya kelelahan.” Nala tersenyum kecil. Jika bukan karena tubuhnya yang tiba-tiba merasa lemas, sudah dipastikan Nala pasti tetap akan bekerja. “Kamu jangan terlalu banyak pikiran.” Nita menyentuh bahu Nala. Dia paham dengan isi pikiran gadis itu. Bahkan, Nita selalu ingat jika Nala tidak pernah tertidur nyenyak di malam hari. “Thanks, Nit,” ujar Nala. Dia merasa senang karena masih ada orang yang peduli akan keadaannya. “Yuk, pulang bareng!” ajak Nita. Kapan lagi merek
Di lorong sebuah rumah sakit di Kota Bandung, tampak seorang gadis berusia 14 tahun duduk terdiam di depan ruang gawat darurat. Netranya memancarkan amarah yang mendalam. Bibirnya bergetar menahan tangis yang sudah mencapai kerongkongan. Pikirannya berkelana entah ke mana. Dia mendongak ketika melihat dokter yang ditunggu keluar dari ruangan itu. “Bagaimana keadaan ibu saya, Dok?” tanyanya dengan suara bergetar. Dia terlihat sangat ketakutan. Dokter itu menatap sendu sang gadis. “Maaf kami telah berusaha semaksimal mungkin.” Tubuhnya luruh setelah mendengar pernyataan dari sang dokter. Air mata yang sedari tadi ditahan, pecah. Raungannya terdengar di lorong rumah sakit. Suara pilu nan menyayat hati itu membuat siapa pun yang mendengarnya merasa iba. “Ibu!” teriaknya. Dia beranjak, masuk ke dalam ruangan itu. Ditatapnya tubuh penuh darah dengan wajah pucat pasi milik wanita ringkih di hadapannya. Direngkuhnya tubuh ringkih itu ke dalam pelukan.