Prang!
Bunyi piring-piring yang berhamburan di atas lantai dapur kecil, sebuah rumah.
Terlihat dua orang dewasa yang sedang berdebat. Sampai mereka tidak menyadari jika ada seorang anak yang selalu mengintip pertengkaran mereka.
“Apa kau tidak bisa sehari saja tidak membuat masalah?” teriak Liana. Wanita berusia 39 tahun, yang terlihat sedang menahan amarahnya.
“Aku tidak pernah membuat masalah apa pun. Kau yang selalu membuat masalah, dan menjadi biang masalah dalam hidupku.” Pria di hadapan Liana tersenyum sinis, seolah tidak memiliki dosa apa pun.
“Damar!”
Plak
Pria bernama Damar itu menampar Liana. “Kau sudah berani memanggil namaku?” Tangannya mencengkeram kuat dagu wanita yang sekarang meringis kesakitan.
“Bajingan! Aku menyesal menikah denganmu!” umpat Liana.
Muak. Dia sangat muak dengan semua yang terjadi di kehidupan rumah tangganya.
Menikahi seorang pecandu alkohol dan narkoba. Pulang dalam keadaan mabuk. Bahkan, tak jarang dia mendapati tubuh Damar penuh dengan tanda keunguan dari wanita lain.
“Apa? Kau menyesal?” Damar semakin kuat mencengkeram dagu Liana. Tidak peduli dengan desis kesakitan yang keluar dari bibir wanita itu. “Seharusnya aku yang mengatakan hal itu. Dasar jalang!”
“Damar!” teriak Liana tidak terima.
Selama ini dia berusaha menerima ketika mendapati Damar tidur dengan wanita lain. Dengan jalang yang sesungguhnya, tetapi dia tidak terima jika julukan itu ditujukan kepada dirinya.
Atas dasar apa?
“Kau tidak terima jika aku memanggilmu seperti itu? Apa perlu aku ingatkan lagi!” Kini tangan besar Damar sudah turun ke leher Liana. Mencekik wanita yang sudah membuatnya hancur. Membuat pernikahan mereka hancur, sejak lama.
Liana berusaha meraih tangan besar Damar. Napasnya sudah tersengal-sengal. Dia tidak boleh berakhir seperti ini.
“Ibu, Ayah!” panggil seorang gadis kecil berusia 12 tahun, yang sedang berdiri di dekat pintu. Mengamati pertengkaran mereka. Kegiatan yang selalu dilihatnya setiap hari.
Damar menoleh sekilas. Tangannya terlepas begitu saja dari leher Liana. Pria itu terdengar menghela napas. Berusaha meredam amarahnya. Lantas beranjak dari sana, tanpa peduli dengan tatapan dari anaknya.
Liana terjatuh. Lemas. Sedetik saja anaknya terlambat, mungkin dia sudah berada di alam lain.
Nala masih mematung di ambang pintu. Pemandangan ini sudah menjadi makanannya sehari-hari. Bahkan dia selalu berpikir, sebenarnya seperti apa sosok seorang ayah itu?
Mengapa dia tidak memiliki sosok ayah seperti yang teman-teman ceritakan di sekolah?
“Kemari!” Liana merentangkan tangannya. Meminta Nala untuk mendekat.
Perlahan gadis kecil itu mendekat. Melihat ibunya tersenyum, dia juga memaksakan untuk tersenyum.
“Maafkan Ibu.” Liana memeluk erat tubuh kecil anaknya. Seorang anak yang membuat kesalahpahaman bermula, di dalam keluarga kecil mereka.
“Ibu, maafkan Nala.” Nala mendekap kuat tubuh ringkih ibunya. Dia tidak tega terus menerus melihat penderitaan ibunya.
Setiap hati bertengkar. Setiap hari dia melihat luka baru di setiap bagian tubuh Liana. Apa yang sebenarnya terjadi?
Nala tidak mengerti dengan semua permasalahan yang ada. Dia hanya sering mendengar ibunya mengatakan menyesal telah menikah dengan ayahnya. Namun, dia tidak pernah tahu alasan dari semua penyesalan itu.
“Nala tidak salah apa pun. Ini hanya perdebatan kecil saja. Wajar terjadi di dalam rumah tangga.”
‘Perdebatan kecil?’ batinnya bertanya.
.
.
.
.
.
Liana mengerjapkan mata ketika mendengar suara bising di ruang tamu. Dilihatnya jam yang menempel di dinding, yang sudah menunjukkan jam setengah satu dini hari.
Dengan sedikit malas wanita itu melangkahkan kakinya untuk keluar. Melihat apa yang sebenarnya terjadi, meski dia sudah bisa menduga bahwa Damar adalah sumber dari semua kebisingan itu.
Benar saja, dia mendapati pria itu pulang dalam kondisi mabuk. Seperti hari-hari sebelumnya.
Liana menghela napas panjang.
Wanita itu berjongkok. Melepas sepatu dan kaus kaki Damar. Aroma alkohol yang menyeruak sedikit mengganggu.
“Dasar pria payah!” Meski bibirnya selalu mengumpat, tetapi tangannya dengan sigap membantu melepaskan sepatu dan pakaian pria itu.
Bukankah dulu mereka pernah saling mencintai?
***
Liana tersentak ketika Damar menarik tangannya dengan kasar. Wanita yang sedang memasak di dapur itu, memberontak dengan sekuat tenaga.
“Lepaskan tanganku brengsek!” makinya lagi.
Damar tidak melepaskannya. Pria itu justru menyeringai. Ini adalah kesempatan besar baginya, karena Nala belum pulang sekolah.
“Ikut aku!” Damar menarik Liana keluar rumah.
“Mau ke mana? Aku tidak sudi ikut denganmu!” Wanita itu masih berusaha memberontak.
“Diam, dan ikuti aku, atau kau ingin terjadi sesuatu dengan anakmu?" Pria itu menyeringai iblis.
Wanita itu sudah sedikit tenang, ketika mendengar Damar menyebut nama anaknya. “Nala itu anakmu juga,” tukas Liana tidak terima.
“Aku tidak peduli.”
.
.
.
.
.
Liana memberontak tidak karuan, ketika Damar membawanya ke sebuah rumah besar. Rumah yang sama sekali tidak pernah dia kunjungi.
Melihat begitu banyaknya penjaga, membuat wanita itu yakin bahwa sang empu rumah, bukanlah orang sembarangan.
Sebenarnya apa yang akan dilakukan Damar kepadanya?
Damar mendorong kuat tubuh Liana. Membuat wanita itu jatuh terjerembap ke hadapan seorang pria tua. Pria yang berkumis tebal, dengan senyum yang terlihat seperti senyum seorang iblis.
“Dia istriku ... tolong hanya untuk hari ini saja.” Damar menatap dingin pria tua di hadapannya.
“Cukup menarik.” Pria tua itu tersenyum penuh arti, memandang Liana.
Meski di usianya yang hampir menginjak kepala empat, Liana masih terlihat cantik. Bentuk tubuhnya juga terlihat sempurna.
Liana berusaha berdiri. Dia tidak mengerti dengan perkataan Damar. “Kau bicara apa?” Tangannya meraih tangan Damar.
“Ikuti saja perintahnya ....” Belum selesai Damar menyelesaikan perkataan yang, pria tua itu sudah memotongnya dengan sebuah perintah.
“Bawa dia!”
Beberapa penjaga di sana segera menaik tangan Liana dengan sedikit kasar.
“Damar!”
“Lepaskan aku!”
“Bajingan!”
Liana terus saja memberontak, dia tidak mau mengikuti apa perintah pria tua itu. Firasatnya mengatakan ada hal yang tidak beres.
Damar menatap tubuh Liana yang menghilang di balik pintu, dengan tatapan sendu. Dia terpaksa melakukan ini. Dia harus merelakan Liana, meski batinnya menjerit, menahan gejolak amarah.
***
Liana duduk bersimpuh di dekat kasur lusuh miliknya. Wanita itu terus saja berteriak, meraung, meluapkan segala rasa sakit di hatinya.
“Bajingan kau, Damar!” Tangannya mengusap kasar setiap bagian tubuhnya.
Tubuh yang selama ini dia jaga sepenuh hati. Tubuh yang selama ini, hanya dia berikan kepada sang suami. Namun, dengan begitu keji Damar menjualnya. Menukarkan tubuhnya dengan sejumlah uang, kepada pria tua itu.
“Damar, aku membencimu!”
Entah sudah berapa banyak umpatan yang keluar. Entah sudah berapa banyak air mata, dan penyesalan yang timbul. Bahkan sekarang dia begitu benci dengan dirinya sendiri.
Damar, pria itu tidaklah pantas disebut sebagai seorang pria apalagi seorang suami. Mana ada suami yang tega menjual istrinya sendiri. Mana ada suami yang hanya diam, ketika melihat istrinya digauli orang lain.
Bukan hanya sekali, pria tua itu berkali-kali menggaulinya. Memukul dan menghajar dengan sangat keras sehingga menimbulkan bekas. Pria tua itu tidak peduli hal itu, dia berdalih bahwa dia sudah membayar mahal semuanya.
Damar?
Pria itu pergi begitu saja setelah membawa pulang istrinya. Tanpa sepatah kata pun, bahkan tidak peduli dengan umpatan Liana.
.
.
.
.
.
Nala berlari ke kamar ibunya, setelah mendengar suara tangis dan teriakan dari dalam sana.
Masih lengkap dengan seragam putih biru, gadis kecil itu terpaku di ambang pintu. Melihat tubuh ibunya yang penuh luka memar.
“Ibu!” Nala berlari masuk ke dalam kamar.
Ditatapnya Liana yang sedang menangis dengan tubuh bergetar. Wajah dan bagian tubuh yang lain, sudah penuh dengan bekas luka yang masih terlihat baru.
“Apa ayah yang melakukan ini semua, Bu?” Nala meraih tangan Liana. Meneliti bekas merah di sana.
Sakit. Hatinya begitu sakit ketika dia melihat hal ini. Mengapa ada pria yang setega itu?
“Bu, apa ayah yang melakukan semua ini?” tanya Nala sekali lagi. Dadanya bergemuruh hebat. Dia murka, sangat murka melihat semua ini.
Liana hanya diam. Bibirnya terasa begitu kelu, tidak bisa menjawab satu pun pertanyaan dari anaknya.
Apa yang harus dia katakan? Haruskah dia mengatakan bahwa Damar menjualnya? Haruskah dia mengatakan bahwa dia sudah ditiduri orang lain?
“Ibu jawab Nala, Bu.” Nala menatap sendu sang ibu. Dia bukan anak kecil lagi bukan? Dia berhak tahu apa yang sebenarnya sudah terjadi.
‘Ayah, mengapa kau menjadi seperti monster? Ayah mengapa kau memupuk kebencian di hatiku? Ayah mengapa kau membuat aku tidak percaya denganmu?’
To be continue
Ibu dan anak itu tertidur dengan posisi saling memeluk. Setelah tidak mendapatkan jawaban apa pun dari ibunya, Nala memutuskan untuk menemani ibunya sampai tertidur.Gadis kecil itu tidak benar-benar terlelap. Dia masih bisa mendengar isakan sang ibu. Terbangun ketika ibunya menangis di dalam mimpi. Bahkan dia bisa mendengar jelas ibunya berteriak ketakutan.Nala melihat jam yang menempel di dinding. Sudah jam dua dini hari, tetapi ayahnya belum pulang juga.Sebenarnya apa yang sudah terjadi? Apa ibu dan ayahnya bertengkar lagi karena dirinya?***Nala bangun di pagi hari. Dia hanya tertidur beberapa jam saja karena ibunya terus saja berteriak ketakutan sepanjang malam.Tubuh gadis kecil itu sedikit lesu. Kepalanya juga terasa sangat sakit, karena kurang tidur. Dilihatnya sang ibu yang masih meringkuk di atas kasur lusuhnya.“Ibu hari ini aku tidak sekolah. Aku akan mencari ayah,” ujar Nala kepada ibunya yang masih setenga
Nala memasukkan buku-buku miliknya ke dalam tas. Jam kuliah hari ini sudah selesai. Hari ini dia juga libur bekerja karena merasa sedikit tidak enak badan. “La, kamu kerja hari ini?” tanya Nita karena gadis itu memang tidak tahu bahwa Nala berencana meliburkan diri. Nala menggeleng. Wajah gadis itu terlihat sedikit pucat dari biasanya. “Kamu sakit?” Nita menghampiri Nala yang duduk di bangku sisi kirinya. Memerhatikan wajah Nala yang terlihat sedikit pucat. “Aku hanya kelelahan.” Nala tersenyum kecil. Jika bukan karena tubuhnya yang tiba-tiba merasa lemas, sudah dipastikan Nala pasti tetap akan bekerja. “Kamu jangan terlalu banyak pikiran.” Nita menyentuh bahu Nala. Dia paham dengan isi pikiran gadis itu. Bahkan, Nita selalu ingat jika Nala tidak pernah tertidur nyenyak di malam hari. “Thanks, Nit,” ujar Nala. Dia merasa senang karena masih ada orang yang peduli akan keadaannya. “Yuk, pulang bareng!” ajak Nita. Kapan lagi merek
Di lorong sebuah rumah sakit di Kota Bandung, tampak seorang gadis berusia 14 tahun duduk terdiam di depan ruang gawat darurat. Netranya memancarkan amarah yang mendalam. Bibirnya bergetar menahan tangis yang sudah mencapai kerongkongan. Pikirannya berkelana entah ke mana. Dia mendongak ketika melihat dokter yang ditunggu keluar dari ruangan itu. “Bagaimana keadaan ibu saya, Dok?” tanyanya dengan suara bergetar. Dia terlihat sangat ketakutan. Dokter itu menatap sendu sang gadis. “Maaf kami telah berusaha semaksimal mungkin.” Tubuhnya luruh setelah mendengar pernyataan dari sang dokter. Air mata yang sedari tadi ditahan, pecah. Raungannya terdengar di lorong rumah sakit. Suara pilu nan menyayat hati itu membuat siapa pun yang mendengarnya merasa iba. “Ibu!” teriaknya. Dia beranjak, masuk ke dalam ruangan itu. Ditatapnya tubuh penuh darah dengan wajah pucat pasi milik wanita ringkih di hadapannya. Direngkuhnya tubuh ringkih itu ke dalam pelukan.
Di tengah kerumunan para siswa SMA Tunas Bangsa, tampak seorang gadis saling berimpitan. Tubuh mungilnya menyelinap begitu saja, berusaha mencari tahu apa yang ada di depan sana, seperti siswa lainnya. Tak peduli aroma tak sedap yang dihirup, rasa penasarannya jauh mengalahkan semua itu. Wajahnya berbinar, ketika mendapatkan sebuah nama tertulis di kertas yang terpajang. Senyum manis terus saja mengambang di bibir berwarna merah muda itu. “La, kita lulus!” sorak temannya kegirangan. Gadis itu mengangguk antusias, sama seperti siswa lainnya. “Hebat kamu, La, ada di posisi pertama lagi,” ucap salah satu siswa yang ada di sana. Nala Anindita, atau orang biasa memanggilnya Nala. Gadis berusia 18 tahun yang terkenal pendiam, adalah siswi yang tak bisa dianggap remeh. Otaknya yang di atas rata-rata tak perlu diragukan lagi. Selain itu, paras wajahnya yang hampir sempurna menjadikan Lala primadona para remaja laki-laki SMA Tunas Bangsa. Setel
Seorang gadis tampak mengerjapkan matanya berkali-kali. Pantulan sinar matahari yang menerobos masuk lewat jendela, membuat gadis itu memaksa membuka mata, meski kepalanya masih terasa sangat sakit. “Kenapa kepalaku sakit sekali?” gumamnya. Tangannya tampak memijit kepala berkali-kali. Mencoba mengingat apa yang sebenarnya terjadi. Matanya terbuka sempurna ketika melihat isi kamar yang ditempatinya. Kamar yang didominasi warna putih. “Aku di mana?” tanyanya dengan sedikit terkejut. Tempat ini benar-benar terasa begitu asing bagi dirinya. “Anda baik-baik saja?” tanya seorang pria berjas hitam. Pria yang tiba-tiba saja membuka pintu, dan membuat gadis yang tengah berbaring itu, terlonjak kaget. Wajah pria itu terlihat dingin, tidak ada jejak senyum sama sekali di sana. Nala merasa takut melihat pria yang baru saja muncul dari balik pintu. Dari penampilannya saja, dia tahu bahwa pria itu adalah seorang pria dewasa. “Anda s
Semburat senja sudah mulai terlihat di ufuk barat. Angin semilir menyapu wajah dan rambut seorang gadis, yang masih berdiam diri di bangku taman. Tubuhnya bersender di bangku taman, seolah sedang mencari ketenangan diri. Wajah ayunya menengadah, menatap langit kuning kemerahan. Ada sesuatu yang membuatnya ingin duduk dan menghabiskan waktu yang lebih lama di sini. “Ibu ... aku rindu ibu,” gumamnya diiringi dengan helaan napas. Lama dia duduk terdiam berpangku tangan, sampai langit perlahan berubah menjadi gelap. Merasa jengah, dia berdiri bermaksud meninggalkan tempat tersebut. *** Irama dari berbagai alat musik tampak menggema di aula sekolah. Para siswa-siswi tampak sibuk dengan kegiatan mereka masing-masing. Setelah acara inti selesai, kini tinggallah acara hiburan semata, sebelum mereka pergi meninggalkan sekolah untuk selamanya. Nala duduk di sudut ruangan, dengan gaun hitam yang membuat penampilannya terlihat sangat berbeda malam
Cinta adalah misteri. Entah di mana dan kapan cinta itu datang, tidak ada yang dapat mengetahuinya. Kepada siapa cinta kita berlabuh, bahkan kita juga tidak mampu untuk mengendalikannya. David duduk berpangku tangan di tepi pantai. Deburan ombak terasa menenangkan jiwa. Senja di ufuk barat juga sudah mulai terlihat. Sejak kejadian beberapa hari lalu, perasaannya kian tak menentu. Ada keinginan untuk bisa bertemu dengan gadis itu lagi. Namun, ada satu sisi dalam dirinya yang mengatakan untuk pergi menjauh dari gadis itu. Setelah memastikan bahwa dia tidak mungkin salah orang. “Bukankah dunia ini terlalu sempit?” ucap pria itu diiringi dengan napas yang berat. “Bagaimana kalau dia tahu atau mengingat kejadian yang sebenarnya?” Angannya melayang jauh, menerawang kejadian di masa silam. Kesalahan yang dia lakukan di masa silam, yang membuat hidupnya terasa begitu menyedihkan hingga saat ini. “Ah, bahkan aku belum mengetahui namanya sampai sekarang
Seorang wanita paru baya terlihat duduk dengan secangkir teh, yang masih memperlihatkan asap mengepul. Bibirnya bergerak, meniup asap yang mengudara. “Ma!” sapa seorang pria paru baya, yang datang berjalan menghampirinya. “Eh, Papa. Sudah pulang?” tanyanya. Wanita itu segera berdiri. Kemudian meraih tangan pria paru baya yang kini sudah berada di hadapannya. “Aku sangat lelah. Ada David juga di kantor.” Wanita itu mengangguk perlahan. Tangannya membantu melepaskan jas, dan juga dasi pria paru baya yang berstatus sebagai suaminya. Adrian Mahardika, pemilik utama perusahaan MA Grup. Perusahaan milik keluarga Mahardika. Perusahaan yang bergerak di bidang jasa konstruksi. Perusahaan yang dibangun atas kerja kerasnya sendiri. Pria paru baya berusia 60 tahun itu, masih tetap saja memaksa pergi ke kantor. Dengan berbagai alasan, dia tetap memaksa agar bisa menghabiskan harinya di balik meja kerja, yang sudah hampir 30 tahun menjadi tempat ter