Cinta adalah misteri. Entah di mana dan kapan cinta itu datang, tidak ada yang dapat mengetahuinya. Kepada siapa cinta kita berlabuh, bahkan kita juga tidak mampu untuk mengendalikannya.
David duduk berpangku tangan di tepi pantai. Deburan ombak terasa menenangkan jiwa. Senja di ufuk barat juga sudah mulai terlihat. Sejak kejadian beberapa hari lalu, perasaannya kian tak menentu.
Ada keinginan untuk bisa bertemu dengan gadis itu lagi. Namun, ada satu sisi dalam dirinya yang mengatakan untuk pergi menjauh dari gadis itu. Setelah memastikan bahwa dia tidak mungkin salah orang.
“Bukankah dunia ini terlalu sempit?” ucap pria itu diiringi dengan napas yang berat. “Bagaimana kalau dia tahu atau mengingat kejadian yang sebenarnya?”
Angannya melayang jauh, menerawang kejadian di masa silam. Kesalahan yang dia lakukan di masa silam, yang membuat hidupnya terasa begitu menyedihkan hingga saat ini.
“Ah, bahkan aku belum mengetahui namanya sampai sekarang,” desah pria itu lagi, frustrasi.
***
Hari berlalu begitu cepat bagi Nala. Gadis itu sudah mulai masuk kuliah. Ah ya, beasiswanya diterima, dan dia bisa kembali melanjutkan kuliah. Yang paling beruntung, dia masih satu kampus dengan Nita, sahabatnya.
Sudah tiga bulan mereka menjadi seorang mahasiswi di kampus. Mengambil jurusan yang sama membuat mereka bisa selalu bersama. Terdengar sangat menyenangkan, bukan?
“La, ikut pulang ke rumah aku ya?” ajak Nita.
“Ada acara?” tanya Nala. Dia sudah hafal kebiasaan gadis itu, selalu mengajaknya pulang jika ada acara di rumahnya.
Nita mengangguk. “Kak Nathan ulang tahun hari ini. Rencananya aku mau kasih dia kejutan.”
Bukankah hidup Nita jauh lebih beruntung daripada Nala? Meski dia yatim piatu, tetapi dia masih memiliki satu orang kakak laki-laki yang akan selalu ada untuk dirinya. Yang selalu menjadi garda terdepan untuk membela adiknya.
Sedangkan Nala, gadis itu hanya sebatang kara. Tiada ada ayah, ibu, atau saudara yang menemani. Ada kalanya rasa iri menghampiri hati.
Nala mengangguk antusias.
Nathan adalah sosok yang baik selama ini. Pria yang berhasil membuat Nala sedikit percaya, bahwa tidak semua pria sama seperti yang ada dalam pikirannya.
***
Rumah yang biasa sepi itu kini terlihat lebih ramai, walau hanya kedatangan keluarga dari almarhumah ibunya Nita saja.
Gadis itu dari tadi terlihat begitu antusias, mempersiapkan semua keperluan pesta kejutan.
“Nit, pesta kejutan ini terlihat seperti pesta untuk anak remaja,” ucap Nala disertai dengan gelengan kecil.
“Sengaja. Aku mau lihat ekspresi kak Nathan kalau melihat ini.” Nita terkekeh geli ketika membayangkan wajah kesal Nathan.
Bukan ungkapan terima kasih atau yang lainnya yang ingin didapatkan Nita, melainkan wajah kesal milik sang kakak yang menurut Nita terlihat sangat menggemaskan.
“Wah, sepertinya ini terlihat seperti pesta remaja laki-laki.” Suara wanita paru baya membuat kedua gadis itu menoleh ke belakang, melihat siapa yang datang.
“Tante!” seru Nita. Gadis itu berlari, menghambur ke pelukan wanita paru baya yang masih terlihat cantik.
Nala mengangguk dengan senyum hangat, ketika wanita paru baya itu tersenyum kepadanya.
“Ini siapa?” tanya wanita itu.
“Nala, Tan. Dia sahabat Nita,” jawab Nita masih diiringi dengan senyum cerah.
Wanita itu terlihat menganggukkan kepalanya berkali-kali. “Tante pikir kamu pacarnya Nathan,” serunya dengan gelak tawa.
Gadis itu tersenyum simpul mendengarnya. Bagaimana bisa dia memiliki kekasih? Di saat hatinya masih sangat membenci seorang pria, dan menganggap semua pria itu sama saja. Seorang pembawa kehancuran.
Setelah mengobrol sebentar, Nita kembali melanjutkan kegiatan yang sempat tertunda tadi.
Pesta remaja? Bagaimana Nala tidak mengatakan bahwa pesta ini sangat mirip dengan pesta untuk seorang anak remaja, dibanding pesta untuk pria matang seperti Nathan.
Ruang tamu di dekor sedemikian rupa. Warna biru laut menjadi tema kali ini. Terlalu mencolok bagi pria seperti Nathan.
***
Nita duduk harap-harap cemas menanti kedatangan sang kakak. Biasanya di jam-jam seperti ini kakaknya sudah pulang dari kantor.
“Kak Dav nggak ke sini, Tan?” tanya Nita.
Wanita itu melihat jam di pergelangan tangan kiri. “Mungkin sebentar lagi. Dia pasti datang.”
Cukup lama mereka menunggu, sampai terdengar deru mobil yang memasuki halaman rumah besar itu.
Nita dan Nala juga sudah siap. Nala memakai pakaian sederhana miliknya. Menolak ketika Nita menawarkan untuk meminjamkan pakaian. Baginya tidak masalah, lagi pula pesta ini hanya dihadiri oleh mereka saja, tidak ada orang lain.
Pintu terbuka lebar. Nita segera berlari menghampiri kakaknya. Menghamburkan diri ke dalam pelukan sang kakak.
“Happy birthday, Kak,” ucapnya dengan tulus.
Nathan termangu. Pria itu begitu terkejut dengan kelakuan sang adik. Tangannya menyentuh rambut adiknya, mengelus penuh kasih sayang.
“Terima kasih,” sahutnya. Pria itu masih belum menyadari apa yang terjadi di ruangan itu.
Nala terpaku di tempatnya. Ternyata Nathan tidak datang sendiri. Dia datang bersama sosok laki-laki, yang selalu datang untuk menolongnya.
“Kak David!” seru Nita. Gadis itu kini beralih memeluk David, kakak sepupunya.
Sama seperti Nala, David diam terpaku di tempat dia berdiri. Memandang sosok gadis yang berdiri tidak jauh darinya. Gadis yang selalu menghantui otak dan hatinya beberapa waktu belakangan ini.
.
.
.
.
.
Setelah acara tiup lilin dan potong kue. Nathan terlihat kesal ketika menyadari dekorasi ruangan yang terlalu meriah.
“Nita, kau menghias rumah seperti ingin mengadakan parade.” Pria itu menggeleng pelan.
Nita tertawa keras melihatnya.
Jam dinding terus bergerak cepat. Mereka melakukan makan malam bersama. Sedari tadi Nala dan David sama-sama terdiam. Menyelami pikiran masing-masing.
“Nit, aku pulang sekarang ya. Sudah terlalu malam.” Nala berdiri dari duduk setelah menyelesaikan makan malam.
“Kak, Tante, aku pamit dulu.” Gadis itu menunduk, lalu berlalu. Akan tetapi, suara wanita paru baya yang tidak lain adalah Citra, terdengar menghentikannya.
“Nak, biarkan David mengantarmu pulang.”
Nala berbalik. “Tidak usah, Tan,” tolaknya halus.
Citra tersenyum, lalu memandang putranya penuh arti. David terdengar menghela napas. Tak urung dia juga berdiri.
“Mari saya antar.”
Nala ingin menolak tetapi dia merasa sungkan ketika melihat wajah dingin pria tersebut. Terlihat Nathan dan Nita tersenyum penuh arti melihat hal tersebut.
***
Di dalam mobil kedua sejoli itu hanya berdiam diri. Tidak saling menyapa atau sekadar berkenalan. Mobil yang dikemudikan oleh David terus meluncur, sesuai petunjuk yang diberikan oleh Nala.
Bukan tanpa alasan dia mau mengantar gadis itu pulang. Pria itu hanya ingin memastikan sesuatu. Memastikan tentang banyak hal, yang masih terus mengganjal di hati dan pikirannya.
David tertegun ketika mobilnya mulai memasuki perkampungan padat penduduk. Rumah-rumah di sana terlihat saling berimpitan.
“Di sini.”
David menghentikan mobilnya di depan rumah yang sudah terlihat sangat renta. Tidak layak huni.
“Terima kasih,” ucap Nala sebelum turun.
“Tunggu!”
“Ya,” gadis itu menoleh.
“Biarkan saya turun dan menjelaskan kepada orang tua Anda, kenapa Anda bisa pulang malam,” tawar pria itu.
Nala tersenyum mendengarnya. “Tidak perlu. Saya hidup sendiri.”
Tubuh David menegang mendengarnya. Seolah ada kilat yang menyambar tubuh itu. Tangannya gemetar, mencengkeram kuat kemudi mobil. Apakah semua dugaannya benar?
“Sekali lagi terima kasih.” Nala benar-benar turun dari mobil dan masuk ke dalam rumah itu.
Tubuh pria itu masih bergetar hebat di dalam mobil. Jantungnya berpacu cepat. Apa ini? Apa ini fakta yang sebenarnya? Apa ini arti mimpinya selama ini?
Melihat rumah gadis itu membuat rasa bersalah kian menyarang di dalam hati. Apa gadis itu hidup susah seperti ini karenanya?
‘Pecundang Dav, kau seorang pecundang!’
To be continue
Seorang wanita paru baya terlihat duduk dengan secangkir teh, yang masih memperlihatkan asap mengepul. Bibirnya bergerak, meniup asap yang mengudara. “Ma!” sapa seorang pria paru baya, yang datang berjalan menghampirinya. “Eh, Papa. Sudah pulang?” tanyanya. Wanita itu segera berdiri. Kemudian meraih tangan pria paru baya yang kini sudah berada di hadapannya. “Aku sangat lelah. Ada David juga di kantor.” Wanita itu mengangguk perlahan. Tangannya membantu melepaskan jas, dan juga dasi pria paru baya yang berstatus sebagai suaminya. Adrian Mahardika, pemilik utama perusahaan MA Grup. Perusahaan milik keluarga Mahardika. Perusahaan yang bergerak di bidang jasa konstruksi. Perusahaan yang dibangun atas kerja kerasnya sendiri. Pria paru baya berusia 60 tahun itu, masih tetap saja memaksa pergi ke kantor. Dengan berbagai alasan, dia tetap memaksa agar bisa menghabiskan harinya di balik meja kerja, yang sudah hampir 30 tahun menjadi tempat ter
Prang!Bunyi piring-piring yang berhamburan di atas lantai dapur kecil, sebuah rumah.Terlihat dua orang dewasa yang sedang berdebat. Sampai mereka tidak menyadari jika ada seorang anak yang selalu mengintip pertengkaran mereka.“Apa kau tidak bisa sehari saja tidak membuat masalah?” teriak Liana. Wanita berusia 39 tahun, yang terlihat sedang menahan amarahnya.“Aku tidak pernah membuat masalah apa pun. Kau yang selalu membuat masalah, dan menjadi biang masalah dalam hidupku.” Pria di hadapan Liana tersenyum sinis, seolah tidak memiliki dosa apa pun.“Damar!”PlakPria bernama Damar itu menampar Liana. “Kau sudah berani memanggil namaku?” Tangannya mencengkeram kuat dagu wanita yang sekarang meringis kesakitan.“Bajingan! Aku menyesal menikah denganmu!” umpat Liana.Muak. Dia sangat muak dengan semua yang terjadi di kehidupan rumah tangganya.Menikahi seo
Ibu dan anak itu tertidur dengan posisi saling memeluk. Setelah tidak mendapatkan jawaban apa pun dari ibunya, Nala memutuskan untuk menemani ibunya sampai tertidur.Gadis kecil itu tidak benar-benar terlelap. Dia masih bisa mendengar isakan sang ibu. Terbangun ketika ibunya menangis di dalam mimpi. Bahkan dia bisa mendengar jelas ibunya berteriak ketakutan.Nala melihat jam yang menempel di dinding. Sudah jam dua dini hari, tetapi ayahnya belum pulang juga.Sebenarnya apa yang sudah terjadi? Apa ibu dan ayahnya bertengkar lagi karena dirinya?***Nala bangun di pagi hari. Dia hanya tertidur beberapa jam saja karena ibunya terus saja berteriak ketakutan sepanjang malam.Tubuh gadis kecil itu sedikit lesu. Kepalanya juga terasa sangat sakit, karena kurang tidur. Dilihatnya sang ibu yang masih meringkuk di atas kasur lusuhnya.“Ibu hari ini aku tidak sekolah. Aku akan mencari ayah,” ujar Nala kepada ibunya yang masih setenga
Nala memasukkan buku-buku miliknya ke dalam tas. Jam kuliah hari ini sudah selesai. Hari ini dia juga libur bekerja karena merasa sedikit tidak enak badan. “La, kamu kerja hari ini?” tanya Nita karena gadis itu memang tidak tahu bahwa Nala berencana meliburkan diri. Nala menggeleng. Wajah gadis itu terlihat sedikit pucat dari biasanya. “Kamu sakit?” Nita menghampiri Nala yang duduk di bangku sisi kirinya. Memerhatikan wajah Nala yang terlihat sedikit pucat. “Aku hanya kelelahan.” Nala tersenyum kecil. Jika bukan karena tubuhnya yang tiba-tiba merasa lemas, sudah dipastikan Nala pasti tetap akan bekerja. “Kamu jangan terlalu banyak pikiran.” Nita menyentuh bahu Nala. Dia paham dengan isi pikiran gadis itu. Bahkan, Nita selalu ingat jika Nala tidak pernah tertidur nyenyak di malam hari. “Thanks, Nit,” ujar Nala. Dia merasa senang karena masih ada orang yang peduli akan keadaannya. “Yuk, pulang bareng!” ajak Nita. Kapan lagi merek
Di lorong sebuah rumah sakit di Kota Bandung, tampak seorang gadis berusia 14 tahun duduk terdiam di depan ruang gawat darurat. Netranya memancarkan amarah yang mendalam. Bibirnya bergetar menahan tangis yang sudah mencapai kerongkongan. Pikirannya berkelana entah ke mana. Dia mendongak ketika melihat dokter yang ditunggu keluar dari ruangan itu. “Bagaimana keadaan ibu saya, Dok?” tanyanya dengan suara bergetar. Dia terlihat sangat ketakutan. Dokter itu menatap sendu sang gadis. “Maaf kami telah berusaha semaksimal mungkin.” Tubuhnya luruh setelah mendengar pernyataan dari sang dokter. Air mata yang sedari tadi ditahan, pecah. Raungannya terdengar di lorong rumah sakit. Suara pilu nan menyayat hati itu membuat siapa pun yang mendengarnya merasa iba. “Ibu!” teriaknya. Dia beranjak, masuk ke dalam ruangan itu. Ditatapnya tubuh penuh darah dengan wajah pucat pasi milik wanita ringkih di hadapannya. Direngkuhnya tubuh ringkih itu ke dalam pelukan.
Di tengah kerumunan para siswa SMA Tunas Bangsa, tampak seorang gadis saling berimpitan. Tubuh mungilnya menyelinap begitu saja, berusaha mencari tahu apa yang ada di depan sana, seperti siswa lainnya. Tak peduli aroma tak sedap yang dihirup, rasa penasarannya jauh mengalahkan semua itu. Wajahnya berbinar, ketika mendapatkan sebuah nama tertulis di kertas yang terpajang. Senyum manis terus saja mengambang di bibir berwarna merah muda itu. “La, kita lulus!” sorak temannya kegirangan. Gadis itu mengangguk antusias, sama seperti siswa lainnya. “Hebat kamu, La, ada di posisi pertama lagi,” ucap salah satu siswa yang ada di sana. Nala Anindita, atau orang biasa memanggilnya Nala. Gadis berusia 18 tahun yang terkenal pendiam, adalah siswi yang tak bisa dianggap remeh. Otaknya yang di atas rata-rata tak perlu diragukan lagi. Selain itu, paras wajahnya yang hampir sempurna menjadikan Lala primadona para remaja laki-laki SMA Tunas Bangsa. Setel
Seorang gadis tampak mengerjapkan matanya berkali-kali. Pantulan sinar matahari yang menerobos masuk lewat jendela, membuat gadis itu memaksa membuka mata, meski kepalanya masih terasa sangat sakit. “Kenapa kepalaku sakit sekali?” gumamnya. Tangannya tampak memijit kepala berkali-kali. Mencoba mengingat apa yang sebenarnya terjadi. Matanya terbuka sempurna ketika melihat isi kamar yang ditempatinya. Kamar yang didominasi warna putih. “Aku di mana?” tanyanya dengan sedikit terkejut. Tempat ini benar-benar terasa begitu asing bagi dirinya. “Anda baik-baik saja?” tanya seorang pria berjas hitam. Pria yang tiba-tiba saja membuka pintu, dan membuat gadis yang tengah berbaring itu, terlonjak kaget. Wajah pria itu terlihat dingin, tidak ada jejak senyum sama sekali di sana. Nala merasa takut melihat pria yang baru saja muncul dari balik pintu. Dari penampilannya saja, dia tahu bahwa pria itu adalah seorang pria dewasa. “Anda s
Semburat senja sudah mulai terlihat di ufuk barat. Angin semilir menyapu wajah dan rambut seorang gadis, yang masih berdiam diri di bangku taman. Tubuhnya bersender di bangku taman, seolah sedang mencari ketenangan diri. Wajah ayunya menengadah, menatap langit kuning kemerahan. Ada sesuatu yang membuatnya ingin duduk dan menghabiskan waktu yang lebih lama di sini. “Ibu ... aku rindu ibu,” gumamnya diiringi dengan helaan napas. Lama dia duduk terdiam berpangku tangan, sampai langit perlahan berubah menjadi gelap. Merasa jengah, dia berdiri bermaksud meninggalkan tempat tersebut. *** Irama dari berbagai alat musik tampak menggema di aula sekolah. Para siswa-siswi tampak sibuk dengan kegiatan mereka masing-masing. Setelah acara inti selesai, kini tinggallah acara hiburan semata, sebelum mereka pergi meninggalkan sekolah untuk selamanya. Nala duduk di sudut ruangan, dengan gaun hitam yang membuat penampilannya terlihat sangat berbeda malam