Seorang gadis tampak mengerjapkan matanya berkali-kali. Pantulan sinar matahari yang menerobos masuk lewat jendela, membuat gadis itu memaksa membuka mata, meski kepalanya masih terasa sangat sakit.
“Kenapa kepalaku sakit sekali?” gumamnya.
Tangannya tampak memijit kepala berkali-kali. Mencoba mengingat apa yang sebenarnya terjadi.
Matanya terbuka sempurna ketika melihat isi kamar yang ditempatinya. Kamar yang didominasi warna putih. “Aku di mana?” tanyanya dengan sedikit terkejut. Tempat ini benar-benar terasa begitu asing bagi dirinya.
“Anda baik-baik saja?” tanya seorang pria berjas hitam.
Pria yang tiba-tiba saja membuka pintu, dan membuat gadis yang tengah berbaring itu, terlonjak kaget.
Wajah pria itu terlihat dingin, tidak ada jejak senyum sama sekali di sana.
Nala merasa takut melihat pria yang baru saja muncul dari balik pintu. Dari penampilannya saja, dia tahu bahwa pria itu adalah seorang pria dewasa.
“Anda siapa?” tanya Nala dengan suara bergetar. Gadis itu memiliki alasan tersendiri, akan rasa takutnya yang datang tiba-tiba.
Pria itu tampak menarik napas dalam, seraya membuang wajah ke samping. Lalu kembali menatap remaja yang berada di hadapannya. “Tidak perlu takut. Saya yang menolong Anda,” ujarnya dengan suara dingin. Seolah tahu bahwa gadis remaja itu sedang ketakutan.
Suara berat yang terdengar sangat mengerikan di telinga Nala. Gadis itu tampak memerhatikan wajah pria di depannya. Mencoba untuk mengingat apa yang sebenarnya terjadi, seraya menimbang apakah perkataan pria itu benar.
“Anda pingsan di toilet mall tadi. Kebetulan saya lewat,” jelas pria asing itu lagi seolah tahu isi pikiran Nala.
“Te-Terima kasih,” ucap Nala setelah memberanikan diri dan meyakinkan bahwa pria di depannya itu adalah orang baik.
Pria itu hanya mengendikan bahunya, tidak peduli sama sekali. “Jika sudah lebih baik mari saya antar pulang!”
“Tidak perlu!” jawab Nala cepat. Tubuhnya kembali bergetar diiringi dengan bulir keringat yang mengalir di dahi. Sekelebat bayangan tentang hari itu kembali menghantui.
Pria di hadapan Nala itu terus saja memerhatikan, sebenarnya apa yang sedang terjadi dengan gadis remaja yang ada di hadapannya. Tak lupa tatapan dingin dan tajam, seolah mengintimidasi lawan bicaranya.
Nala tampak menggelengkan kepala berkali-kali. Mengusir rasa tidak nyaman dan juga takut yang datang secara bersamaan. Setelah sekian lama rasa takut itu menghilang, kini kembali lagi.
“Anda baik-baik saja?” tanya pria itu dengan berjalan mendekati Nala.
Ada sedikit gurat kekhawatiran di wajah tampan itu. Dia takut terjadi sesuatu yang serius dengan gadis remaja itu. Tangannya terulur hendak menyentuh bahu Nala, tetapi Nala menjauh, menolaknya.
“Aku ingin pulang sekarang!” ucap Nala. Matanya tampak melihat ke sana-sini mencari keberadaan tas miliknya. Nala ingin segera menghubungi Nita. Dia yakin bahwa sekarang Nita pasti sedang panik mencarinya karena hilang tiba-tiba.
***
David Mahardika. Pria matang berusia 30 tahun yang membuat kaum hawa tergila-gila karena parasnya. Kulit berwarna cokelat eksotis ditambah tubuh kekar dan berotot membuat dia terlihat seksi di mata para wanita. Serta, pewaris tunggal kerajaan bisnis milik keluarga Mahardika.
David menjatuhkan tubuh kekar itu di atas tempat tidur kesayangannya. Sepatu dan jas masih melekat di tubuh pria itu. Menandakan berapa melelahkannya hari ini.
Pertemuannya dengan seorang gadis kecil tadi, menghadirkan sesuatu yang berbeda. Ada perasaan yang muncul tiba-tiba, yang selama ini tidak pernah dipahami oleh David sendiri. Jantungnya berdegup kencang, ketika pertama kali melihat paras ayu milik gadis remaja tadi.
Pria itu kembali menarik napas dalam-dalam.
Wajah manis dan ayu itu, kembali membayangi benaknya. “Kenapa ada kebetulan seperti ini?” David menggeleng pelan, mencoba mengusir perasaan gundah yang tiba-tiba hadir.
David terdiam di atas tempat tidur, mengulang dan menyelami kisah masa lalu, sampai pada akhirnya pria itu memejamkan mata karena kelelahan.
.
.
.
.
.
Keringat deras tampak membasahi tubuh David yang sedang terlelap di alam mimpi. Dadanya terlihat naik turun diiringi dengan napas yang memburu. “Maaf ... maafkan aku. Jangan hukum aku.”
Citra, ibu David tampak beberapa kali mengguncang keras tubuh anaknya. Setelah masuk dan mendapati sang putra bermimpi buruk lagi.
“David!” panggil Citra dengan mengguncang kuat tubuh David. Ada gurat khawatir di wajah tua itu. Ternyata kejadian empat tahun lalu masih membekas di ingatan sang putra.
“David!” panggilnya sekali lagi.
David membuka matanya dengan napas terengah-engah. Mimpi buruk itu kembali datang menghantui.
Tangannya tampak mencengkeram kuat pinggiran tempat tidur. Dia benci. Benci ketika mimpi itu hadir dan membuatnya ketakutan.
“Ini minumlah dulu!” Citra menyodorkan segelas air kepada anaknya. Wanita itu menatap David dengan penuh kecemasan.
Sudah banyak usaha dia lakukan untuk keberlangsungan hidup David. Termasuk membawa anaknya ke dokter ahli untuk melupakan tentang kejadian hari itu.
“Kamu baik-baik saja, Dav?” tanya Citra masih dengan kekhawatiran di wajahnya.
David mengangguk pelan. “Aku mau mandi.” Pria itu kemudian berdiri lalu melangkahkan kakinya menuju kamar mandi.
Sesampainya di dalam kamar mandi, David langsung mengguyur tubuhnya di bawah shower. Tak peduli betapa dinginnya air yang terasa menusuk kulit. David hanya ingin melupakan kejadian hari itu dan wajah gadis yang ditemuinya tadi.
“Ini semua hanya kebetulan,” gumamnya di bawah guyuran air.
Di balik sifat dinginnya, tersembunyi ketakutan yang selalu dia sembunyikan. Ketakutan akan mimpi buruk yang selalu menghantuinya selama ini. David bisa berusaha menyembunyikan ketakutan itu jika berada di hadapan orang banyak. Namun, hal itu berbeda ketika dia seorang diri. Tubuhnya akan menggigil ketakutan.
David sengaja memendam semua itu karena tidak ingin ada orang lain yang memanfaatkan kekurangan yang ada di dalam dirinya itu.
Sejak kecil dia sudah ditempa untuk menjadi pribadi yang kuat dan pemberani. Maka dari itu, David tidak pernah menunjukkan sisi lain dari dalam dirinya.
Di tempat lain. Nala tampak berjalan pelan masuk ke dalam rumahnya. Rumah sederhana peninggalan kedua orang tuanya. Ah tidak ... lebih tepatnya peninggalan sang ibu.
Setelah memaksa untuk bisa pulang sendiri, Nala langsung pergi menemui Nita di rumahnya. Awalnya Nita marah karena gadis itu pergi tanpa kabar, tetapi setelah Nala menceritakan segalanya, Nita justru meminta maaf atas kesalahpahaman yang sempat terjadi.
Nala tampak duduk di ruang tamu, matanya melihat ke arah dapur. Tempat di mana semua kenyataan pahit dalam hidupnya bermula. Tempat di mana semua kemalangan itu bermula.
Pria? Semuanya sama saja hanya bisa menyakiti.
Lala menatap sekeliling isi rumah yang tidak pernah berubah sama sekali. Di satu sisi ada rasa rindu dan sakit yang datang bersamaan. Benci dan dendam yang masih menyelimuti hati dan pikirannya.
“Aku benci keadaan ini!” ucapnya dengan rahang mengeras.
Bukan takut kepada seorang pria, Nala hanya berusaha menutupi kebenciannya saja. Ketakutan yang dulu pernah hadir, perlahan berubah menjadi sebuah kebencian. Baginya, seorang pria hanya makhluk tidak tahu diri. Makhluk yang hanya bisa menyakiti.
Semua yang terjadi di dalam hidupnya adalah palsu. Semuanya hanya kepalsuan.
Lama terdiam, Nala kembali teringat wajah pria yang menolongnya tadi. “Aku seperti pernah melihatnya tapi di mana?” batin Lala.
Namun, gadis itu memilih untuk mengacuhkannya. Lagi pula, pria tadi hanyalah orang asing yang tidak sengaja menolongnya.
“Aku tidak peduli siapa pun dia. Jika dia orangnya mungkin aku akan peduli,” ujar Nala sebelum menutup rapat kelopak mata indahnya.
Semburat senja sudah mulai terlihat di ufuk barat. Angin semilir menyapu wajah dan rambut seorang gadis, yang masih berdiam diri di bangku taman. Tubuhnya bersender di bangku taman, seolah sedang mencari ketenangan diri. Wajah ayunya menengadah, menatap langit kuning kemerahan. Ada sesuatu yang membuatnya ingin duduk dan menghabiskan waktu yang lebih lama di sini. “Ibu ... aku rindu ibu,” gumamnya diiringi dengan helaan napas. Lama dia duduk terdiam berpangku tangan, sampai langit perlahan berubah menjadi gelap. Merasa jengah, dia berdiri bermaksud meninggalkan tempat tersebut. *** Irama dari berbagai alat musik tampak menggema di aula sekolah. Para siswa-siswi tampak sibuk dengan kegiatan mereka masing-masing. Setelah acara inti selesai, kini tinggallah acara hiburan semata, sebelum mereka pergi meninggalkan sekolah untuk selamanya. Nala duduk di sudut ruangan, dengan gaun hitam yang membuat penampilannya terlihat sangat berbeda malam
Cinta adalah misteri. Entah di mana dan kapan cinta itu datang, tidak ada yang dapat mengetahuinya. Kepada siapa cinta kita berlabuh, bahkan kita juga tidak mampu untuk mengendalikannya. David duduk berpangku tangan di tepi pantai. Deburan ombak terasa menenangkan jiwa. Senja di ufuk barat juga sudah mulai terlihat. Sejak kejadian beberapa hari lalu, perasaannya kian tak menentu. Ada keinginan untuk bisa bertemu dengan gadis itu lagi. Namun, ada satu sisi dalam dirinya yang mengatakan untuk pergi menjauh dari gadis itu. Setelah memastikan bahwa dia tidak mungkin salah orang. “Bukankah dunia ini terlalu sempit?” ucap pria itu diiringi dengan napas yang berat. “Bagaimana kalau dia tahu atau mengingat kejadian yang sebenarnya?” Angannya melayang jauh, menerawang kejadian di masa silam. Kesalahan yang dia lakukan di masa silam, yang membuat hidupnya terasa begitu menyedihkan hingga saat ini. “Ah, bahkan aku belum mengetahui namanya sampai sekarang
Seorang wanita paru baya terlihat duduk dengan secangkir teh, yang masih memperlihatkan asap mengepul. Bibirnya bergerak, meniup asap yang mengudara. “Ma!” sapa seorang pria paru baya, yang datang berjalan menghampirinya. “Eh, Papa. Sudah pulang?” tanyanya. Wanita itu segera berdiri. Kemudian meraih tangan pria paru baya yang kini sudah berada di hadapannya. “Aku sangat lelah. Ada David juga di kantor.” Wanita itu mengangguk perlahan. Tangannya membantu melepaskan jas, dan juga dasi pria paru baya yang berstatus sebagai suaminya. Adrian Mahardika, pemilik utama perusahaan MA Grup. Perusahaan milik keluarga Mahardika. Perusahaan yang bergerak di bidang jasa konstruksi. Perusahaan yang dibangun atas kerja kerasnya sendiri. Pria paru baya berusia 60 tahun itu, masih tetap saja memaksa pergi ke kantor. Dengan berbagai alasan, dia tetap memaksa agar bisa menghabiskan harinya di balik meja kerja, yang sudah hampir 30 tahun menjadi tempat ter
Prang!Bunyi piring-piring yang berhamburan di atas lantai dapur kecil, sebuah rumah.Terlihat dua orang dewasa yang sedang berdebat. Sampai mereka tidak menyadari jika ada seorang anak yang selalu mengintip pertengkaran mereka.“Apa kau tidak bisa sehari saja tidak membuat masalah?” teriak Liana. Wanita berusia 39 tahun, yang terlihat sedang menahan amarahnya.“Aku tidak pernah membuat masalah apa pun. Kau yang selalu membuat masalah, dan menjadi biang masalah dalam hidupku.” Pria di hadapan Liana tersenyum sinis, seolah tidak memiliki dosa apa pun.“Damar!”PlakPria bernama Damar itu menampar Liana. “Kau sudah berani memanggil namaku?” Tangannya mencengkeram kuat dagu wanita yang sekarang meringis kesakitan.“Bajingan! Aku menyesal menikah denganmu!” umpat Liana.Muak. Dia sangat muak dengan semua yang terjadi di kehidupan rumah tangganya.Menikahi seo
Ibu dan anak itu tertidur dengan posisi saling memeluk. Setelah tidak mendapatkan jawaban apa pun dari ibunya, Nala memutuskan untuk menemani ibunya sampai tertidur.Gadis kecil itu tidak benar-benar terlelap. Dia masih bisa mendengar isakan sang ibu. Terbangun ketika ibunya menangis di dalam mimpi. Bahkan dia bisa mendengar jelas ibunya berteriak ketakutan.Nala melihat jam yang menempel di dinding. Sudah jam dua dini hari, tetapi ayahnya belum pulang juga.Sebenarnya apa yang sudah terjadi? Apa ibu dan ayahnya bertengkar lagi karena dirinya?***Nala bangun di pagi hari. Dia hanya tertidur beberapa jam saja karena ibunya terus saja berteriak ketakutan sepanjang malam.Tubuh gadis kecil itu sedikit lesu. Kepalanya juga terasa sangat sakit, karena kurang tidur. Dilihatnya sang ibu yang masih meringkuk di atas kasur lusuhnya.“Ibu hari ini aku tidak sekolah. Aku akan mencari ayah,” ujar Nala kepada ibunya yang masih setenga
Nala memasukkan buku-buku miliknya ke dalam tas. Jam kuliah hari ini sudah selesai. Hari ini dia juga libur bekerja karena merasa sedikit tidak enak badan. “La, kamu kerja hari ini?” tanya Nita karena gadis itu memang tidak tahu bahwa Nala berencana meliburkan diri. Nala menggeleng. Wajah gadis itu terlihat sedikit pucat dari biasanya. “Kamu sakit?” Nita menghampiri Nala yang duduk di bangku sisi kirinya. Memerhatikan wajah Nala yang terlihat sedikit pucat. “Aku hanya kelelahan.” Nala tersenyum kecil. Jika bukan karena tubuhnya yang tiba-tiba merasa lemas, sudah dipastikan Nala pasti tetap akan bekerja. “Kamu jangan terlalu banyak pikiran.” Nita menyentuh bahu Nala. Dia paham dengan isi pikiran gadis itu. Bahkan, Nita selalu ingat jika Nala tidak pernah tertidur nyenyak di malam hari. “Thanks, Nit,” ujar Nala. Dia merasa senang karena masih ada orang yang peduli akan keadaannya. “Yuk, pulang bareng!” ajak Nita. Kapan lagi merek
Di lorong sebuah rumah sakit di Kota Bandung, tampak seorang gadis berusia 14 tahun duduk terdiam di depan ruang gawat darurat. Netranya memancarkan amarah yang mendalam. Bibirnya bergetar menahan tangis yang sudah mencapai kerongkongan. Pikirannya berkelana entah ke mana. Dia mendongak ketika melihat dokter yang ditunggu keluar dari ruangan itu. “Bagaimana keadaan ibu saya, Dok?” tanyanya dengan suara bergetar. Dia terlihat sangat ketakutan. Dokter itu menatap sendu sang gadis. “Maaf kami telah berusaha semaksimal mungkin.” Tubuhnya luruh setelah mendengar pernyataan dari sang dokter. Air mata yang sedari tadi ditahan, pecah. Raungannya terdengar di lorong rumah sakit. Suara pilu nan menyayat hati itu membuat siapa pun yang mendengarnya merasa iba. “Ibu!” teriaknya. Dia beranjak, masuk ke dalam ruangan itu. Ditatapnya tubuh penuh darah dengan wajah pucat pasi milik wanita ringkih di hadapannya. Direngkuhnya tubuh ringkih itu ke dalam pelukan.
Di tengah kerumunan para siswa SMA Tunas Bangsa, tampak seorang gadis saling berimpitan. Tubuh mungilnya menyelinap begitu saja, berusaha mencari tahu apa yang ada di depan sana, seperti siswa lainnya. Tak peduli aroma tak sedap yang dihirup, rasa penasarannya jauh mengalahkan semua itu. Wajahnya berbinar, ketika mendapatkan sebuah nama tertulis di kertas yang terpajang. Senyum manis terus saja mengambang di bibir berwarna merah muda itu. “La, kita lulus!” sorak temannya kegirangan. Gadis itu mengangguk antusias, sama seperti siswa lainnya. “Hebat kamu, La, ada di posisi pertama lagi,” ucap salah satu siswa yang ada di sana. Nala Anindita, atau orang biasa memanggilnya Nala. Gadis berusia 18 tahun yang terkenal pendiam, adalah siswi yang tak bisa dianggap remeh. Otaknya yang di atas rata-rata tak perlu diragukan lagi. Selain itu, paras wajahnya yang hampir sempurna menjadikan Lala primadona para remaja laki-laki SMA Tunas Bangsa. Setel