Share

Dear Nala
Dear Nala
Author: Amy_Asya

Prolog

Di lorong sebuah rumah sakit di Kota Bandung, tampak seorang gadis berusia 14 tahun duduk terdiam di depan ruang gawat darurat. Netranya memancarkan amarah yang mendalam. Bibirnya bergetar menahan tangis yang sudah mencapai kerongkongan. Pikirannya berkelana entah ke mana.

Dia mendongak ketika melihat dokter yang ditunggu keluar dari ruangan itu. “Bagaimana keadaan ibu saya, Dok?” tanyanya dengan suara bergetar. Dia terlihat sangat ketakutan.

Dokter itu menatap sendu sang gadis. “Maaf kami telah berusaha semaksimal mungkin.”

Tubuhnya luruh setelah mendengar pernyataan dari sang dokter. Air mata yang sedari tadi ditahan, pecah. Raungannya terdengar di lorong rumah sakit. Suara pilu nan menyayat hati itu membuat siapa pun yang mendengarnya merasa iba.

“Ibu!” teriaknya. Dia beranjak, masuk ke dalam ruangan itu.

Ditatapnya tubuh penuh darah dengan wajah pucat pasi milik wanita ringkih di hadapannya. Direngkuhnya tubuh ringkih itu ke dalam pelukan.

“Ibu jangan tinggalkan aku,” ucapnya dengan suara tercekat.

“Ibu kumohon jangan tinggalkan aku sendiri. Aku tidak punya siapa pun lagi.”

Langit berubah gelap. Terdengar gemuruh di atas sana, diiringi dengan kilat yang saling menyambar. Tak lama setelah itu, terdengar suara rintik hujan, seakan menggambarkan suasana hati seorang gadis kecil yang masih terus meratapi nasib malangnya.

“Ibu jangan tinggalkan aku sendiri. Aku tidak sanggup,” ujarnya dengan suara pilu.

Setelah puas menumpahkan seluruh kesedihan di atas tubuh sang ibu, gadis kecil itu terdiam. Tangannya menyusut air mata yang masih terus memaksa untuk keluar. Netranya menatap nyalang ke depan. Kejadian tadi kembali terlintas dalam benaknya.

“Aku tidak akan menerima ini semua.” Tangannya mengepal kuat. Napasnya memburu, menahan gejolak yang ada dalam diri. Rasa sakit akan kehilangan, membuat sesuatu yang baru bangkit dalam dirinya.

Jiwa yang selama ini tenang, seolah terusik dengan kehadiran perasaan yang tidak bisa dijabarkan. Dendam? Entahlah, dia tidak mampu menjabarkan rasa itu. Terlalu sakit untuk menjelaskan kesakitan yang dirasakan.

“Ibu bolehkah aku menaruh dendam?” tanyanya dengan tatapan kosong. Ada setitik air mata yang kembali turun dari kelopak mata gadis kecil itu, menggambarkan betapa malang kehidupan yang dijalani.

***

Tanah cokelat itu masih terasa basah, akibat air hujan yang terus turun seharian. Sementara di atasnya, masih ada seorang gadis yang tertidur di atas gundukan tanah. Seolah memeluk erat tubuh orang yang panggil ibu, beberapa saat yang lalu.

Tidak peduli dengan air hujan yang terus turun membasahi bumi. Tidak peduli dengan tubuhnya yang sudah basah, dia hanya ingin memeluk sang ibu, meski kini orang tersebut sudah tiada.

Tidak ada orang lain yang menemani. Dia hanya sendiri. Bukankah dia memang sudah biasa sendiri? Sejak dua tahun terakhir hidupnya hancur. Kini sandaran hidupnya telah pergi meninggalkan dia seorang diri.

“Bu, aku sendiri sekarang. Aku tidak memiliki siapa pun lagi,” ujar gadis tersebut dengan bibir bergetar menahan dinginnya air hujan.

“Bu, bolehkan aku menyusul ibu?” ucapnya sebelum kedua kelopak mata indah itu tertutup rapat. Tubuh mungil itu menggigil kedinginan, di tengah derasnya air hujan.

Tidak ada seorang pun yang datang dengan membawakan payung. Tidak ada seorang pun yang datang, untuk membawanya pulang. Tidak ada, karena dia hanya sendiri sekarang. Sebatang kara.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status