Di lorong sebuah rumah sakit di Kota Bandung, tampak seorang gadis berusia 14 tahun duduk terdiam di depan ruang gawat darurat. Netranya memancarkan amarah yang mendalam. Bibirnya bergetar menahan tangis yang sudah mencapai kerongkongan. Pikirannya berkelana entah ke mana.
Dia mendongak ketika melihat dokter yang ditunggu keluar dari ruangan itu. “Bagaimana keadaan ibu saya, Dok?” tanyanya dengan suara bergetar. Dia terlihat sangat ketakutan.
Dokter itu menatap sendu sang gadis. “Maaf kami telah berusaha semaksimal mungkin.”
Tubuhnya luruh setelah mendengar pernyataan dari sang dokter. Air mata yang sedari tadi ditahan, pecah. Raungannya terdengar di lorong rumah sakit. Suara pilu nan menyayat hati itu membuat siapa pun yang mendengarnya merasa iba.
“Ibu!” teriaknya. Dia beranjak, masuk ke dalam ruangan itu.
Ditatapnya tubuh penuh darah dengan wajah pucat pasi milik wanita ringkih di hadapannya. Direngkuhnya tubuh ringkih itu ke dalam pelukan.
“Ibu jangan tinggalkan aku,” ucapnya dengan suara tercekat.
“Ibu kumohon jangan tinggalkan aku sendiri. Aku tidak punya siapa pun lagi.”
Langit berubah gelap. Terdengar gemuruh di atas sana, diiringi dengan kilat yang saling menyambar. Tak lama setelah itu, terdengar suara rintik hujan, seakan menggambarkan suasana hati seorang gadis kecil yang masih terus meratapi nasib malangnya.
“Ibu jangan tinggalkan aku sendiri. Aku tidak sanggup,” ujarnya dengan suara pilu.
Setelah puas menumpahkan seluruh kesedihan di atas tubuh sang ibu, gadis kecil itu terdiam. Tangannya menyusut air mata yang masih terus memaksa untuk keluar. Netranya menatap nyalang ke depan. Kejadian tadi kembali terlintas dalam benaknya.
“Aku tidak akan menerima ini semua.” Tangannya mengepal kuat. Napasnya memburu, menahan gejolak yang ada dalam diri. Rasa sakit akan kehilangan, membuat sesuatu yang baru bangkit dalam dirinya.
Jiwa yang selama ini tenang, seolah terusik dengan kehadiran perasaan yang tidak bisa dijabarkan. Dendam? Entahlah, dia tidak mampu menjabarkan rasa itu. Terlalu sakit untuk menjelaskan kesakitan yang dirasakan.
“Ibu bolehkah aku menaruh dendam?” tanyanya dengan tatapan kosong. Ada setitik air mata yang kembali turun dari kelopak mata gadis kecil itu, menggambarkan betapa malang kehidupan yang dijalani.
***
Tanah cokelat itu masih terasa basah, akibat air hujan yang terus turun seharian. Sementara di atasnya, masih ada seorang gadis yang tertidur di atas gundukan tanah. Seolah memeluk erat tubuh orang yang panggil ibu, beberapa saat yang lalu.
Tidak peduli dengan air hujan yang terus turun membasahi bumi. Tidak peduli dengan tubuhnya yang sudah basah, dia hanya ingin memeluk sang ibu, meski kini orang tersebut sudah tiada.
Tidak ada orang lain yang menemani. Dia hanya sendiri. Bukankah dia memang sudah biasa sendiri? Sejak dua tahun terakhir hidupnya hancur. Kini sandaran hidupnya telah pergi meninggalkan dia seorang diri.
“Bu, aku sendiri sekarang. Aku tidak memiliki siapa pun lagi,” ujar gadis tersebut dengan bibir bergetar menahan dinginnya air hujan.
“Bu, bolehkan aku menyusul ibu?” ucapnya sebelum kedua kelopak mata indah itu tertutup rapat. Tubuh mungil itu menggigil kedinginan, di tengah derasnya air hujan.
Tidak ada seorang pun yang datang dengan membawakan payung. Tidak ada seorang pun yang datang, untuk membawanya pulang. Tidak ada, karena dia hanya sendiri sekarang. Sebatang kara.
Di tengah kerumunan para siswa SMA Tunas Bangsa, tampak seorang gadis saling berimpitan. Tubuh mungilnya menyelinap begitu saja, berusaha mencari tahu apa yang ada di depan sana, seperti siswa lainnya. Tak peduli aroma tak sedap yang dihirup, rasa penasarannya jauh mengalahkan semua itu. Wajahnya berbinar, ketika mendapatkan sebuah nama tertulis di kertas yang terpajang. Senyum manis terus saja mengambang di bibir berwarna merah muda itu. “La, kita lulus!” sorak temannya kegirangan. Gadis itu mengangguk antusias, sama seperti siswa lainnya. “Hebat kamu, La, ada di posisi pertama lagi,” ucap salah satu siswa yang ada di sana. Nala Anindita, atau orang biasa memanggilnya Nala. Gadis berusia 18 tahun yang terkenal pendiam, adalah siswi yang tak bisa dianggap remeh. Otaknya yang di atas rata-rata tak perlu diragukan lagi. Selain itu, paras wajahnya yang hampir sempurna menjadikan Lala primadona para remaja laki-laki SMA Tunas Bangsa. Setel
Seorang gadis tampak mengerjapkan matanya berkali-kali. Pantulan sinar matahari yang menerobos masuk lewat jendela, membuat gadis itu memaksa membuka mata, meski kepalanya masih terasa sangat sakit. “Kenapa kepalaku sakit sekali?” gumamnya. Tangannya tampak memijit kepala berkali-kali. Mencoba mengingat apa yang sebenarnya terjadi. Matanya terbuka sempurna ketika melihat isi kamar yang ditempatinya. Kamar yang didominasi warna putih. “Aku di mana?” tanyanya dengan sedikit terkejut. Tempat ini benar-benar terasa begitu asing bagi dirinya. “Anda baik-baik saja?” tanya seorang pria berjas hitam. Pria yang tiba-tiba saja membuka pintu, dan membuat gadis yang tengah berbaring itu, terlonjak kaget. Wajah pria itu terlihat dingin, tidak ada jejak senyum sama sekali di sana. Nala merasa takut melihat pria yang baru saja muncul dari balik pintu. Dari penampilannya saja, dia tahu bahwa pria itu adalah seorang pria dewasa. “Anda s
Semburat senja sudah mulai terlihat di ufuk barat. Angin semilir menyapu wajah dan rambut seorang gadis, yang masih berdiam diri di bangku taman. Tubuhnya bersender di bangku taman, seolah sedang mencari ketenangan diri. Wajah ayunya menengadah, menatap langit kuning kemerahan. Ada sesuatu yang membuatnya ingin duduk dan menghabiskan waktu yang lebih lama di sini. “Ibu ... aku rindu ibu,” gumamnya diiringi dengan helaan napas. Lama dia duduk terdiam berpangku tangan, sampai langit perlahan berubah menjadi gelap. Merasa jengah, dia berdiri bermaksud meninggalkan tempat tersebut. *** Irama dari berbagai alat musik tampak menggema di aula sekolah. Para siswa-siswi tampak sibuk dengan kegiatan mereka masing-masing. Setelah acara inti selesai, kini tinggallah acara hiburan semata, sebelum mereka pergi meninggalkan sekolah untuk selamanya. Nala duduk di sudut ruangan, dengan gaun hitam yang membuat penampilannya terlihat sangat berbeda malam
Cinta adalah misteri. Entah di mana dan kapan cinta itu datang, tidak ada yang dapat mengetahuinya. Kepada siapa cinta kita berlabuh, bahkan kita juga tidak mampu untuk mengendalikannya. David duduk berpangku tangan di tepi pantai. Deburan ombak terasa menenangkan jiwa. Senja di ufuk barat juga sudah mulai terlihat. Sejak kejadian beberapa hari lalu, perasaannya kian tak menentu. Ada keinginan untuk bisa bertemu dengan gadis itu lagi. Namun, ada satu sisi dalam dirinya yang mengatakan untuk pergi menjauh dari gadis itu. Setelah memastikan bahwa dia tidak mungkin salah orang. “Bukankah dunia ini terlalu sempit?” ucap pria itu diiringi dengan napas yang berat. “Bagaimana kalau dia tahu atau mengingat kejadian yang sebenarnya?” Angannya melayang jauh, menerawang kejadian di masa silam. Kesalahan yang dia lakukan di masa silam, yang membuat hidupnya terasa begitu menyedihkan hingga saat ini. “Ah, bahkan aku belum mengetahui namanya sampai sekarang
Seorang wanita paru baya terlihat duduk dengan secangkir teh, yang masih memperlihatkan asap mengepul. Bibirnya bergerak, meniup asap yang mengudara. “Ma!” sapa seorang pria paru baya, yang datang berjalan menghampirinya. “Eh, Papa. Sudah pulang?” tanyanya. Wanita itu segera berdiri. Kemudian meraih tangan pria paru baya yang kini sudah berada di hadapannya. “Aku sangat lelah. Ada David juga di kantor.” Wanita itu mengangguk perlahan. Tangannya membantu melepaskan jas, dan juga dasi pria paru baya yang berstatus sebagai suaminya. Adrian Mahardika, pemilik utama perusahaan MA Grup. Perusahaan milik keluarga Mahardika. Perusahaan yang bergerak di bidang jasa konstruksi. Perusahaan yang dibangun atas kerja kerasnya sendiri. Pria paru baya berusia 60 tahun itu, masih tetap saja memaksa pergi ke kantor. Dengan berbagai alasan, dia tetap memaksa agar bisa menghabiskan harinya di balik meja kerja, yang sudah hampir 30 tahun menjadi tempat ter
Prang!Bunyi piring-piring yang berhamburan di atas lantai dapur kecil, sebuah rumah.Terlihat dua orang dewasa yang sedang berdebat. Sampai mereka tidak menyadari jika ada seorang anak yang selalu mengintip pertengkaran mereka.“Apa kau tidak bisa sehari saja tidak membuat masalah?” teriak Liana. Wanita berusia 39 tahun, yang terlihat sedang menahan amarahnya.“Aku tidak pernah membuat masalah apa pun. Kau yang selalu membuat masalah, dan menjadi biang masalah dalam hidupku.” Pria di hadapan Liana tersenyum sinis, seolah tidak memiliki dosa apa pun.“Damar!”PlakPria bernama Damar itu menampar Liana. “Kau sudah berani memanggil namaku?” Tangannya mencengkeram kuat dagu wanita yang sekarang meringis kesakitan.“Bajingan! Aku menyesal menikah denganmu!” umpat Liana.Muak. Dia sangat muak dengan semua yang terjadi di kehidupan rumah tangganya.Menikahi seo
Ibu dan anak itu tertidur dengan posisi saling memeluk. Setelah tidak mendapatkan jawaban apa pun dari ibunya, Nala memutuskan untuk menemani ibunya sampai tertidur.Gadis kecil itu tidak benar-benar terlelap. Dia masih bisa mendengar isakan sang ibu. Terbangun ketika ibunya menangis di dalam mimpi. Bahkan dia bisa mendengar jelas ibunya berteriak ketakutan.Nala melihat jam yang menempel di dinding. Sudah jam dua dini hari, tetapi ayahnya belum pulang juga.Sebenarnya apa yang sudah terjadi? Apa ibu dan ayahnya bertengkar lagi karena dirinya?***Nala bangun di pagi hari. Dia hanya tertidur beberapa jam saja karena ibunya terus saja berteriak ketakutan sepanjang malam.Tubuh gadis kecil itu sedikit lesu. Kepalanya juga terasa sangat sakit, karena kurang tidur. Dilihatnya sang ibu yang masih meringkuk di atas kasur lusuhnya.“Ibu hari ini aku tidak sekolah. Aku akan mencari ayah,” ujar Nala kepada ibunya yang masih setenga
Nala memasukkan buku-buku miliknya ke dalam tas. Jam kuliah hari ini sudah selesai. Hari ini dia juga libur bekerja karena merasa sedikit tidak enak badan. “La, kamu kerja hari ini?” tanya Nita karena gadis itu memang tidak tahu bahwa Nala berencana meliburkan diri. Nala menggeleng. Wajah gadis itu terlihat sedikit pucat dari biasanya. “Kamu sakit?” Nita menghampiri Nala yang duduk di bangku sisi kirinya. Memerhatikan wajah Nala yang terlihat sedikit pucat. “Aku hanya kelelahan.” Nala tersenyum kecil. Jika bukan karena tubuhnya yang tiba-tiba merasa lemas, sudah dipastikan Nala pasti tetap akan bekerja. “Kamu jangan terlalu banyak pikiran.” Nita menyentuh bahu Nala. Dia paham dengan isi pikiran gadis itu. Bahkan, Nita selalu ingat jika Nala tidak pernah tertidur nyenyak di malam hari. “Thanks, Nit,” ujar Nala. Dia merasa senang karena masih ada orang yang peduli akan keadaannya. “Yuk, pulang bareng!” ajak Nita. Kapan lagi merek
Nala memasukkan buku-buku miliknya ke dalam tas. Jam kuliah hari ini sudah selesai. Hari ini dia juga libur bekerja karena merasa sedikit tidak enak badan. “La, kamu kerja hari ini?” tanya Nita karena gadis itu memang tidak tahu bahwa Nala berencana meliburkan diri. Nala menggeleng. Wajah gadis itu terlihat sedikit pucat dari biasanya. “Kamu sakit?” Nita menghampiri Nala yang duduk di bangku sisi kirinya. Memerhatikan wajah Nala yang terlihat sedikit pucat. “Aku hanya kelelahan.” Nala tersenyum kecil. Jika bukan karena tubuhnya yang tiba-tiba merasa lemas, sudah dipastikan Nala pasti tetap akan bekerja. “Kamu jangan terlalu banyak pikiran.” Nita menyentuh bahu Nala. Dia paham dengan isi pikiran gadis itu. Bahkan, Nita selalu ingat jika Nala tidak pernah tertidur nyenyak di malam hari. “Thanks, Nit,” ujar Nala. Dia merasa senang karena masih ada orang yang peduli akan keadaannya. “Yuk, pulang bareng!” ajak Nita. Kapan lagi merek
Ibu dan anak itu tertidur dengan posisi saling memeluk. Setelah tidak mendapatkan jawaban apa pun dari ibunya, Nala memutuskan untuk menemani ibunya sampai tertidur.Gadis kecil itu tidak benar-benar terlelap. Dia masih bisa mendengar isakan sang ibu. Terbangun ketika ibunya menangis di dalam mimpi. Bahkan dia bisa mendengar jelas ibunya berteriak ketakutan.Nala melihat jam yang menempel di dinding. Sudah jam dua dini hari, tetapi ayahnya belum pulang juga.Sebenarnya apa yang sudah terjadi? Apa ibu dan ayahnya bertengkar lagi karena dirinya?***Nala bangun di pagi hari. Dia hanya tertidur beberapa jam saja karena ibunya terus saja berteriak ketakutan sepanjang malam.Tubuh gadis kecil itu sedikit lesu. Kepalanya juga terasa sangat sakit, karena kurang tidur. Dilihatnya sang ibu yang masih meringkuk di atas kasur lusuhnya.“Ibu hari ini aku tidak sekolah. Aku akan mencari ayah,” ujar Nala kepada ibunya yang masih setenga
Prang!Bunyi piring-piring yang berhamburan di atas lantai dapur kecil, sebuah rumah.Terlihat dua orang dewasa yang sedang berdebat. Sampai mereka tidak menyadari jika ada seorang anak yang selalu mengintip pertengkaran mereka.“Apa kau tidak bisa sehari saja tidak membuat masalah?” teriak Liana. Wanita berusia 39 tahun, yang terlihat sedang menahan amarahnya.“Aku tidak pernah membuat masalah apa pun. Kau yang selalu membuat masalah, dan menjadi biang masalah dalam hidupku.” Pria di hadapan Liana tersenyum sinis, seolah tidak memiliki dosa apa pun.“Damar!”PlakPria bernama Damar itu menampar Liana. “Kau sudah berani memanggil namaku?” Tangannya mencengkeram kuat dagu wanita yang sekarang meringis kesakitan.“Bajingan! Aku menyesal menikah denganmu!” umpat Liana.Muak. Dia sangat muak dengan semua yang terjadi di kehidupan rumah tangganya.Menikahi seo
Seorang wanita paru baya terlihat duduk dengan secangkir teh, yang masih memperlihatkan asap mengepul. Bibirnya bergerak, meniup asap yang mengudara. “Ma!” sapa seorang pria paru baya, yang datang berjalan menghampirinya. “Eh, Papa. Sudah pulang?” tanyanya. Wanita itu segera berdiri. Kemudian meraih tangan pria paru baya yang kini sudah berada di hadapannya. “Aku sangat lelah. Ada David juga di kantor.” Wanita itu mengangguk perlahan. Tangannya membantu melepaskan jas, dan juga dasi pria paru baya yang berstatus sebagai suaminya. Adrian Mahardika, pemilik utama perusahaan MA Grup. Perusahaan milik keluarga Mahardika. Perusahaan yang bergerak di bidang jasa konstruksi. Perusahaan yang dibangun atas kerja kerasnya sendiri. Pria paru baya berusia 60 tahun itu, masih tetap saja memaksa pergi ke kantor. Dengan berbagai alasan, dia tetap memaksa agar bisa menghabiskan harinya di balik meja kerja, yang sudah hampir 30 tahun menjadi tempat ter
Cinta adalah misteri. Entah di mana dan kapan cinta itu datang, tidak ada yang dapat mengetahuinya. Kepada siapa cinta kita berlabuh, bahkan kita juga tidak mampu untuk mengendalikannya. David duduk berpangku tangan di tepi pantai. Deburan ombak terasa menenangkan jiwa. Senja di ufuk barat juga sudah mulai terlihat. Sejak kejadian beberapa hari lalu, perasaannya kian tak menentu. Ada keinginan untuk bisa bertemu dengan gadis itu lagi. Namun, ada satu sisi dalam dirinya yang mengatakan untuk pergi menjauh dari gadis itu. Setelah memastikan bahwa dia tidak mungkin salah orang. “Bukankah dunia ini terlalu sempit?” ucap pria itu diiringi dengan napas yang berat. “Bagaimana kalau dia tahu atau mengingat kejadian yang sebenarnya?” Angannya melayang jauh, menerawang kejadian di masa silam. Kesalahan yang dia lakukan di masa silam, yang membuat hidupnya terasa begitu menyedihkan hingga saat ini. “Ah, bahkan aku belum mengetahui namanya sampai sekarang
Semburat senja sudah mulai terlihat di ufuk barat. Angin semilir menyapu wajah dan rambut seorang gadis, yang masih berdiam diri di bangku taman. Tubuhnya bersender di bangku taman, seolah sedang mencari ketenangan diri. Wajah ayunya menengadah, menatap langit kuning kemerahan. Ada sesuatu yang membuatnya ingin duduk dan menghabiskan waktu yang lebih lama di sini. “Ibu ... aku rindu ibu,” gumamnya diiringi dengan helaan napas. Lama dia duduk terdiam berpangku tangan, sampai langit perlahan berubah menjadi gelap. Merasa jengah, dia berdiri bermaksud meninggalkan tempat tersebut. *** Irama dari berbagai alat musik tampak menggema di aula sekolah. Para siswa-siswi tampak sibuk dengan kegiatan mereka masing-masing. Setelah acara inti selesai, kini tinggallah acara hiburan semata, sebelum mereka pergi meninggalkan sekolah untuk selamanya. Nala duduk di sudut ruangan, dengan gaun hitam yang membuat penampilannya terlihat sangat berbeda malam
Seorang gadis tampak mengerjapkan matanya berkali-kali. Pantulan sinar matahari yang menerobos masuk lewat jendela, membuat gadis itu memaksa membuka mata, meski kepalanya masih terasa sangat sakit. “Kenapa kepalaku sakit sekali?” gumamnya. Tangannya tampak memijit kepala berkali-kali. Mencoba mengingat apa yang sebenarnya terjadi. Matanya terbuka sempurna ketika melihat isi kamar yang ditempatinya. Kamar yang didominasi warna putih. “Aku di mana?” tanyanya dengan sedikit terkejut. Tempat ini benar-benar terasa begitu asing bagi dirinya. “Anda baik-baik saja?” tanya seorang pria berjas hitam. Pria yang tiba-tiba saja membuka pintu, dan membuat gadis yang tengah berbaring itu, terlonjak kaget. Wajah pria itu terlihat dingin, tidak ada jejak senyum sama sekali di sana. Nala merasa takut melihat pria yang baru saja muncul dari balik pintu. Dari penampilannya saja, dia tahu bahwa pria itu adalah seorang pria dewasa. “Anda s
Di tengah kerumunan para siswa SMA Tunas Bangsa, tampak seorang gadis saling berimpitan. Tubuh mungilnya menyelinap begitu saja, berusaha mencari tahu apa yang ada di depan sana, seperti siswa lainnya. Tak peduli aroma tak sedap yang dihirup, rasa penasarannya jauh mengalahkan semua itu. Wajahnya berbinar, ketika mendapatkan sebuah nama tertulis di kertas yang terpajang. Senyum manis terus saja mengambang di bibir berwarna merah muda itu. “La, kita lulus!” sorak temannya kegirangan. Gadis itu mengangguk antusias, sama seperti siswa lainnya. “Hebat kamu, La, ada di posisi pertama lagi,” ucap salah satu siswa yang ada di sana. Nala Anindita, atau orang biasa memanggilnya Nala. Gadis berusia 18 tahun yang terkenal pendiam, adalah siswi yang tak bisa dianggap remeh. Otaknya yang di atas rata-rata tak perlu diragukan lagi. Selain itu, paras wajahnya yang hampir sempurna menjadikan Lala primadona para remaja laki-laki SMA Tunas Bangsa. Setel
Di lorong sebuah rumah sakit di Kota Bandung, tampak seorang gadis berusia 14 tahun duduk terdiam di depan ruang gawat darurat. Netranya memancarkan amarah yang mendalam. Bibirnya bergetar menahan tangis yang sudah mencapai kerongkongan. Pikirannya berkelana entah ke mana. Dia mendongak ketika melihat dokter yang ditunggu keluar dari ruangan itu. “Bagaimana keadaan ibu saya, Dok?” tanyanya dengan suara bergetar. Dia terlihat sangat ketakutan. Dokter itu menatap sendu sang gadis. “Maaf kami telah berusaha semaksimal mungkin.” Tubuhnya luruh setelah mendengar pernyataan dari sang dokter. Air mata yang sedari tadi ditahan, pecah. Raungannya terdengar di lorong rumah sakit. Suara pilu nan menyayat hati itu membuat siapa pun yang mendengarnya merasa iba. “Ibu!” teriaknya. Dia beranjak, masuk ke dalam ruangan itu. Ditatapnya tubuh penuh darah dengan wajah pucat pasi milik wanita ringkih di hadapannya. Direngkuhnya tubuh ringkih itu ke dalam pelukan.