Semburat senja sudah mulai terlihat di ufuk barat. Angin semilir menyapu wajah dan rambut seorang gadis, yang masih berdiam diri di bangku taman. Tubuhnya bersender di bangku taman, seolah sedang mencari ketenangan diri.
Wajah ayunya menengadah, menatap langit kuning kemerahan. Ada sesuatu yang membuatnya ingin duduk dan menghabiskan waktu yang lebih lama di sini.
“Ibu ... aku rindu ibu,” gumamnya diiringi dengan helaan napas.
Lama dia duduk terdiam berpangku tangan, sampai langit perlahan berubah menjadi gelap. Merasa jengah, dia berdiri bermaksud meninggalkan tempat tersebut.
***
Irama dari berbagai alat musik tampak menggema di aula sekolah. Para siswa-siswi tampak sibuk dengan kegiatan mereka masing-masing. Setelah acara inti selesai, kini tinggallah acara hiburan semata, sebelum mereka pergi meninggalkan sekolah untuk selamanya.
Nala duduk di sudut ruangan, dengan gaun hitam yang membuat penampilannya terlihat sangat berbeda malam ini. Anggun dan elegan, adalah gambaran yang tepat untuk penampilan gadis berusia 18 tahun itu. Dia tidak suka keramaian, sehingga memutuskan untuk duduk sendiri di sudut aula.
Nita, gadis itu sedang sibuk ke sana-sini, memberikan kenang-kenangan kepada teman-teman sekolah yang lain.
Nala terus menatap jam di dinding yang bergerak semakin larut. Tadinya dia akan pulang bersama Nita, tetapi sampai sekarang gadis itu masih sibuk dengan kegiatannya.
“Nit, aku pulang dulu ya!” ucap Nala setelah berjalan menghampiri sahabatnya.
“Tunggu sebentar lagi, La. Kita pulang bersama,” bujuk Nita.
“Aku bisa pulang sendiri, Nit. Kamu lanjut saja, aku nggak masalah.” Nala tersenyum manis kepada sahabatnya.
“Yakin?”
Nala mengangguk.
“Oke, Hati-hati di jalan ya.”
Gadis itu berjalan keluar dari aula setelah mendapat persetujuan dari Nita. Melangkahkan kaki menuju jalan di depan sana, untuk bisa mendapatkan ojek.
Di zaman yang serba canggih ini, mungkin hanya Nala, gadis yang tidak memiliki ponsel canggih. Gadis itu hanya memiliki ponsel keluaran lama, untuk bisa berkomunikasi dengan Nita atau teman-teman yang lain.
Terbiasa hidup mandiri sejak kecil, membuat gadis itu tidak mau merepotkan orang lain, baik itu Nita sekalipun. Dia akan berusaha melakukan apa pun sendiri, selagi bisa.
Seperti sekarang ini, gadis itu tampak kebingungan di pangkalan ojek. Ternyata tidak ada satu orang punya di sana, mungkin karena sudah terlalu larut. Ingin rasanya menghubungi Nita dan meminta tolong, tetapi Nala merasa sungkan jika harus kembali merepotkan sahabatnya itu.
“Kalau tau seperti ini, lebih baik aku pulang dengan Nita saja,” gumam Nala.
Lama gadis itu berpikir, menimbang, memutuskan untuk menghubungi Nita atau tidak. Setelah cukup lama, pilihannya jatuh untuk pulang sendiri. Tidak mau merepotkan orang lain, itulah prinsip di dalam hidupnya, dan kebetulan jarak rumah dari sekolah tidak terlalu jauh.
Langkah kecil Nala terus melangkah di keheningan malam. Dinginnya angin malam membuat tubuh kecil Nala menggigil. Giginya bergemeletuk karena rasa dingin yang luar biasa, dan sialnya dia lupa membawa jaket.
Di tengah perjalanan Nala melihat dua orang pria yang sedang berjalan menghampiri dirinya. Gadis itu tampak menunduk, mencoba untuk menghiraukan para pria itu.
“Neng, kok sendirian sih?” tanya salah seorang dari mereka.
“Abang temenin ya, Neng,” sahut yang satunya lagi.
Nala mulai merasa risi dengan hal tersebut, tetapi sebisa mungkin dia menutupi rasa itu. Dia tidak mau sampai para pria yang sedang menggodanya, tahu bahwa dia sedikit ketakutan. Tidak dipungkiri kini tubuhnya bergetar karena rasa takut. Benci dan takut yang menjadi satu di dalam darahnya.
‘Semua pria memang brengsek!’
“Ayo sini!” Salah satu dari mereka memegang tangan Nala.
“Lepas!” teriak Nala. Gadis itu mengempaskan tangan yang menyentuhnya secara kasar.
“Wah, galak juga ya!”
Nala sama sekali tidak memedulikan hal itu. Dia semakin mempercepat langkah kaki, tanpa diketahui kedua pria itu masih mengikuti dengan tertawa mengejek di belakang.
“Ayo, Neng. Jangan malu-malu!” Lagi, salah satu dari mereka menarik pundak gadis itu, menyebabkan tubuh Nala sedikit terhuyung ke belakang. Tubuh mungil itu semakin terekspos nyata, membuat kedua pria asing yang sedang menggoda semakin menginginkan Nala.
“Apakah kalian tidak punya sopan santun?” tanya Nala geram.
Kedua pria itu hanya tertawa dengan seringai yang terlihat mengerikan. Perlahan tetapi pasti, keduanya berjalan mendekati Nala. Gadis itu mundur perlahan, berusaha menjauh dan mencoba untuk lari.
“Lepas!” teriak Nala saat pria itu kembali memegang tangannya.
Kedua pria itu tampak mengacuhkan teriakan Nala. Memandang Nala dengan senyum penuh arti, lantas segera menarik tangan kecil Nala agar mengikuti mereka, dengan sangat kasar.
“Tolong!” teriak Nala lagi. Kali ini ketakutan benar-benar menyelimuti dirinya. Dia berdoa agar Tuhan mengirimkan seseorang untuk datang menolong.
“Huusst ... diam!” bentak pria yang mencengkeram erat tangan Nala.
Peluh sudah membasahi tubuh gadis itu. Air mata ketakutan jatuh bebas begitu saja, setelah sekian lama mengering. Pikirannya melayang jauh. Apa yang akan terjadi setelah ini? Apakah ini awal kehancuran hidupnya?
“Lepaskan tangannya!” Bariton berat itu menghentikan langkah kaki mereka.
Nala menoleh, melihat sosok pria yang tidak jelas wajahnya, berdiri di belakang.
“Cih, jangan sok jadi pahlawan. Kami tidak punya urusan denganmu,” decak salah satu dari mereka.
Tidak peduli, kedua pria itu kembali menarik tangan Nala yang semakin meronta meminta untuk dilepaskan.
“Bajingan!” umpat pria yang sempat menghentikan langkah mereka tadi.
Kedua pria itu menghentikan langkah kaki mereka, saling memandang satu sama lain dengan penuh arti. Selanjutnya, salah seorang dari mereka maju ke depan, berniat untuk menghabisi pria yang menghentikan mereka.
“Kau ingin gadis itu? Maka lewati dulu kami berdua!”
Pria itu tersenyum sinis, tangannya menggulung lengan kemeja hingga ke siku. Tanpa aba-aba dia langsung mendaratkan satu pukulan di tubuh pria yang menantangnya. Tak hanya itu, pukulan bertubi-tubi kembali dia layangkan. Dia benci. Dia benci pria yang berniat melecehkan seorang gadis.
“Dasar payah!” ejeknya. Dilepaskannya kerah baju yang sedari tadi dicengkeram, membuat pria itu jatuh tersungkur tidak berdaya.
Salah satu dari kedua pria itu terlihat ketakutan, melihat temannya terkapar tidak berdaya.
“Lepaskan gadis itu, dan bawa temanmu ini pergi dari hadapanku!”
Tanpa berkata apa pun lagi, pria itu langsung melepas tangan Nala, lantas berlari tanpa peduli dengan keadaan temannya.
“Anda baik-baik saja?” Pria itu berjalan menghampiri gadis yang masih tampak sangat ketakutan.
Nala mendongak, melihat wajah pria yang sudah menolongnya. Apakah ini malaikat yang dikirim Tuhan untuk membantunya? Perlahan wajah tampan itu terlihat jelas di kegelapan malam. Wajah yang sama dengan pria yang pernah membantunya beberapa hari lalu.
“Anda baik-baik saja?” tanyanya lagi setelah tidak mendapat jawaban apa pun dari gadis yang berada di hadapannya.
Nala menggeleng lemah. Punggung tangannya terlihat menyusut air mata yang masih mengalir dari kedua kelopak mata. Ketakutan yang telah lama dia simpan, kini berhasil datang kembali.
“Mari ikut saya!” Tangan besar itu menyentuh tangan mungil milik Nala, lantas membawanya pergi keluar dari jalan yang sangat gelap itu.
Debaran tak menentu kini terjadi di hati keduanya. Sentuhan ini terasa sangat berbeda. Sangat hangat. Membuat mereka tanpa sadar saling menggenggam satu sama lain. Ada desiran-desiran aneh yang mengalir di dalam darah mereka.
“Sial, ada apa dengan jantungku? Setelah ini aku harus segera ke rumah sakit!”
Cinta adalah misteri. Entah di mana dan kapan cinta itu datang, tidak ada yang dapat mengetahuinya. Kepada siapa cinta kita berlabuh, bahkan kita juga tidak mampu untuk mengendalikannya. David duduk berpangku tangan di tepi pantai. Deburan ombak terasa menenangkan jiwa. Senja di ufuk barat juga sudah mulai terlihat. Sejak kejadian beberapa hari lalu, perasaannya kian tak menentu. Ada keinginan untuk bisa bertemu dengan gadis itu lagi. Namun, ada satu sisi dalam dirinya yang mengatakan untuk pergi menjauh dari gadis itu. Setelah memastikan bahwa dia tidak mungkin salah orang. “Bukankah dunia ini terlalu sempit?” ucap pria itu diiringi dengan napas yang berat. “Bagaimana kalau dia tahu atau mengingat kejadian yang sebenarnya?” Angannya melayang jauh, menerawang kejadian di masa silam. Kesalahan yang dia lakukan di masa silam, yang membuat hidupnya terasa begitu menyedihkan hingga saat ini. “Ah, bahkan aku belum mengetahui namanya sampai sekarang
Seorang wanita paru baya terlihat duduk dengan secangkir teh, yang masih memperlihatkan asap mengepul. Bibirnya bergerak, meniup asap yang mengudara. “Ma!” sapa seorang pria paru baya, yang datang berjalan menghampirinya. “Eh, Papa. Sudah pulang?” tanyanya. Wanita itu segera berdiri. Kemudian meraih tangan pria paru baya yang kini sudah berada di hadapannya. “Aku sangat lelah. Ada David juga di kantor.” Wanita itu mengangguk perlahan. Tangannya membantu melepaskan jas, dan juga dasi pria paru baya yang berstatus sebagai suaminya. Adrian Mahardika, pemilik utama perusahaan MA Grup. Perusahaan milik keluarga Mahardika. Perusahaan yang bergerak di bidang jasa konstruksi. Perusahaan yang dibangun atas kerja kerasnya sendiri. Pria paru baya berusia 60 tahun itu, masih tetap saja memaksa pergi ke kantor. Dengan berbagai alasan, dia tetap memaksa agar bisa menghabiskan harinya di balik meja kerja, yang sudah hampir 30 tahun menjadi tempat ter
Prang!Bunyi piring-piring yang berhamburan di atas lantai dapur kecil, sebuah rumah.Terlihat dua orang dewasa yang sedang berdebat. Sampai mereka tidak menyadari jika ada seorang anak yang selalu mengintip pertengkaran mereka.“Apa kau tidak bisa sehari saja tidak membuat masalah?” teriak Liana. Wanita berusia 39 tahun, yang terlihat sedang menahan amarahnya.“Aku tidak pernah membuat masalah apa pun. Kau yang selalu membuat masalah, dan menjadi biang masalah dalam hidupku.” Pria di hadapan Liana tersenyum sinis, seolah tidak memiliki dosa apa pun.“Damar!”PlakPria bernama Damar itu menampar Liana. “Kau sudah berani memanggil namaku?” Tangannya mencengkeram kuat dagu wanita yang sekarang meringis kesakitan.“Bajingan! Aku menyesal menikah denganmu!” umpat Liana.Muak. Dia sangat muak dengan semua yang terjadi di kehidupan rumah tangganya.Menikahi seo
Ibu dan anak itu tertidur dengan posisi saling memeluk. Setelah tidak mendapatkan jawaban apa pun dari ibunya, Nala memutuskan untuk menemani ibunya sampai tertidur.Gadis kecil itu tidak benar-benar terlelap. Dia masih bisa mendengar isakan sang ibu. Terbangun ketika ibunya menangis di dalam mimpi. Bahkan dia bisa mendengar jelas ibunya berteriak ketakutan.Nala melihat jam yang menempel di dinding. Sudah jam dua dini hari, tetapi ayahnya belum pulang juga.Sebenarnya apa yang sudah terjadi? Apa ibu dan ayahnya bertengkar lagi karena dirinya?***Nala bangun di pagi hari. Dia hanya tertidur beberapa jam saja karena ibunya terus saja berteriak ketakutan sepanjang malam.Tubuh gadis kecil itu sedikit lesu. Kepalanya juga terasa sangat sakit, karena kurang tidur. Dilihatnya sang ibu yang masih meringkuk di atas kasur lusuhnya.“Ibu hari ini aku tidak sekolah. Aku akan mencari ayah,” ujar Nala kepada ibunya yang masih setenga
Nala memasukkan buku-buku miliknya ke dalam tas. Jam kuliah hari ini sudah selesai. Hari ini dia juga libur bekerja karena merasa sedikit tidak enak badan. “La, kamu kerja hari ini?” tanya Nita karena gadis itu memang tidak tahu bahwa Nala berencana meliburkan diri. Nala menggeleng. Wajah gadis itu terlihat sedikit pucat dari biasanya. “Kamu sakit?” Nita menghampiri Nala yang duduk di bangku sisi kirinya. Memerhatikan wajah Nala yang terlihat sedikit pucat. “Aku hanya kelelahan.” Nala tersenyum kecil. Jika bukan karena tubuhnya yang tiba-tiba merasa lemas, sudah dipastikan Nala pasti tetap akan bekerja. “Kamu jangan terlalu banyak pikiran.” Nita menyentuh bahu Nala. Dia paham dengan isi pikiran gadis itu. Bahkan, Nita selalu ingat jika Nala tidak pernah tertidur nyenyak di malam hari. “Thanks, Nit,” ujar Nala. Dia merasa senang karena masih ada orang yang peduli akan keadaannya. “Yuk, pulang bareng!” ajak Nita. Kapan lagi merek
Di lorong sebuah rumah sakit di Kota Bandung, tampak seorang gadis berusia 14 tahun duduk terdiam di depan ruang gawat darurat. Netranya memancarkan amarah yang mendalam. Bibirnya bergetar menahan tangis yang sudah mencapai kerongkongan. Pikirannya berkelana entah ke mana. Dia mendongak ketika melihat dokter yang ditunggu keluar dari ruangan itu. “Bagaimana keadaan ibu saya, Dok?” tanyanya dengan suara bergetar. Dia terlihat sangat ketakutan. Dokter itu menatap sendu sang gadis. “Maaf kami telah berusaha semaksimal mungkin.” Tubuhnya luruh setelah mendengar pernyataan dari sang dokter. Air mata yang sedari tadi ditahan, pecah. Raungannya terdengar di lorong rumah sakit. Suara pilu nan menyayat hati itu membuat siapa pun yang mendengarnya merasa iba. “Ibu!” teriaknya. Dia beranjak, masuk ke dalam ruangan itu. Ditatapnya tubuh penuh darah dengan wajah pucat pasi milik wanita ringkih di hadapannya. Direngkuhnya tubuh ringkih itu ke dalam pelukan.
Di tengah kerumunan para siswa SMA Tunas Bangsa, tampak seorang gadis saling berimpitan. Tubuh mungilnya menyelinap begitu saja, berusaha mencari tahu apa yang ada di depan sana, seperti siswa lainnya. Tak peduli aroma tak sedap yang dihirup, rasa penasarannya jauh mengalahkan semua itu. Wajahnya berbinar, ketika mendapatkan sebuah nama tertulis di kertas yang terpajang. Senyum manis terus saja mengambang di bibir berwarna merah muda itu. “La, kita lulus!” sorak temannya kegirangan. Gadis itu mengangguk antusias, sama seperti siswa lainnya. “Hebat kamu, La, ada di posisi pertama lagi,” ucap salah satu siswa yang ada di sana. Nala Anindita, atau orang biasa memanggilnya Nala. Gadis berusia 18 tahun yang terkenal pendiam, adalah siswi yang tak bisa dianggap remeh. Otaknya yang di atas rata-rata tak perlu diragukan lagi. Selain itu, paras wajahnya yang hampir sempurna menjadikan Lala primadona para remaja laki-laki SMA Tunas Bangsa. Setel
Seorang gadis tampak mengerjapkan matanya berkali-kali. Pantulan sinar matahari yang menerobos masuk lewat jendela, membuat gadis itu memaksa membuka mata, meski kepalanya masih terasa sangat sakit. “Kenapa kepalaku sakit sekali?” gumamnya. Tangannya tampak memijit kepala berkali-kali. Mencoba mengingat apa yang sebenarnya terjadi. Matanya terbuka sempurna ketika melihat isi kamar yang ditempatinya. Kamar yang didominasi warna putih. “Aku di mana?” tanyanya dengan sedikit terkejut. Tempat ini benar-benar terasa begitu asing bagi dirinya. “Anda baik-baik saja?” tanya seorang pria berjas hitam. Pria yang tiba-tiba saja membuka pintu, dan membuat gadis yang tengah berbaring itu, terlonjak kaget. Wajah pria itu terlihat dingin, tidak ada jejak senyum sama sekali di sana. Nala merasa takut melihat pria yang baru saja muncul dari balik pintu. Dari penampilannya saja, dia tahu bahwa pria itu adalah seorang pria dewasa. “Anda s