Share

3. Pesta Kelulusan Sekolah

Semburat senja sudah mulai terlihat di ufuk barat. Angin semilir menyapu wajah dan rambut seorang gadis, yang masih berdiam diri di bangku taman. Tubuhnya bersender di bangku taman, seolah sedang mencari ketenangan diri.

Wajah ayunya menengadah, menatap langit kuning kemerahan. Ada sesuatu yang membuatnya ingin duduk dan menghabiskan waktu yang lebih lama di sini.

“Ibu ... aku rindu ibu,” gumamnya diiringi dengan helaan napas.

Lama dia duduk terdiam berpangku tangan, sampai langit perlahan berubah menjadi gelap. Merasa jengah, dia berdiri bermaksud meninggalkan tempat tersebut.

***

Irama dari berbagai alat musik tampak menggema di aula sekolah. Para siswa-siswi tampak sibuk dengan kegiatan mereka masing-masing. Setelah acara inti selesai, kini tinggallah acara hiburan semata, sebelum mereka pergi meninggalkan sekolah untuk selamanya.

Nala duduk di sudut ruangan, dengan gaun hitam yang membuat penampilannya terlihat sangat berbeda malam ini. Anggun dan elegan, adalah gambaran yang tepat untuk penampilan gadis berusia 18 tahun itu. Dia tidak suka keramaian, sehingga memutuskan untuk duduk sendiri di sudut aula.

Nita, gadis itu sedang sibuk ke sana-sini, memberikan kenang-kenangan kepada teman-teman sekolah yang lain.

Nala terus menatap jam di dinding yang bergerak semakin larut. Tadinya dia akan pulang bersama Nita, tetapi sampai sekarang gadis itu masih sibuk dengan kegiatannya.

“Nit, aku pulang dulu ya!” ucap Nala setelah berjalan menghampiri sahabatnya.

“Tunggu sebentar lagi, La. Kita pulang bersama,” bujuk Nita.

“Aku bisa pulang sendiri, Nit. Kamu lanjut saja, aku nggak masalah.” Nala tersenyum manis kepada sahabatnya.

“Yakin?”

Nala mengangguk.

“Oke, Hati-hati di jalan ya.”

Gadis itu berjalan keluar dari aula setelah mendapat persetujuan dari Nita. Melangkahkan kaki menuju jalan di depan sana, untuk bisa mendapatkan ojek.

Di zaman yang serba canggih ini, mungkin hanya Nala, gadis yang tidak memiliki ponsel canggih. Gadis itu hanya memiliki ponsel keluaran lama, untuk bisa berkomunikasi dengan Nita atau teman-teman yang lain.

Terbiasa hidup mandiri sejak kecil, membuat gadis itu tidak mau merepotkan orang lain, baik itu Nita sekalipun. Dia akan berusaha melakukan apa pun sendiri, selagi bisa.

Seperti sekarang ini, gadis itu tampak kebingungan di pangkalan ojek. Ternyata tidak ada satu orang punya di sana, mungkin karena sudah terlalu larut. Ingin rasanya menghubungi Nita dan meminta tolong, tetapi Nala merasa sungkan jika harus kembali merepotkan sahabatnya itu.

“Kalau tau seperti ini, lebih baik aku pulang dengan Nita saja,” gumam Nala.

Lama gadis itu berpikir, menimbang, memutuskan untuk menghubungi Nita atau tidak. Setelah cukup lama, pilihannya jatuh untuk pulang sendiri. Tidak mau merepotkan orang lain, itulah prinsip di dalam hidupnya, dan kebetulan jarak rumah dari sekolah tidak terlalu jauh.

Langkah kecil Nala terus melangkah di keheningan malam. Dinginnya angin malam membuat tubuh kecil Nala menggigil. Giginya bergemeletuk karena rasa dingin yang luar biasa, dan sialnya dia lupa membawa jaket.

Di tengah perjalanan Nala melihat dua orang pria yang sedang berjalan menghampiri dirinya. Gadis itu tampak menunduk, mencoba untuk menghiraukan para pria itu.

“Neng, kok sendirian sih?” tanya salah seorang dari mereka.

“Abang temenin ya, Neng,” sahut yang satunya lagi.

Nala mulai merasa risi dengan hal tersebut, tetapi sebisa mungkin dia menutupi rasa itu. Dia tidak mau sampai para pria yang sedang menggodanya, tahu bahwa dia sedikit ketakutan. Tidak dipungkiri kini tubuhnya bergetar karena rasa takut. Benci dan takut yang menjadi satu di dalam darahnya.

‘Semua pria memang brengsek!’

“Ayo sini!” Salah satu dari mereka memegang tangan Nala.

“Lepas!” teriak Nala. Gadis itu mengempaskan tangan yang menyentuhnya secara kasar.

“Wah, galak juga ya!”

Nala sama sekali tidak memedulikan hal itu. Dia semakin mempercepat langkah kaki, tanpa diketahui kedua pria itu masih mengikuti dengan tertawa mengejek di belakang.

“Ayo, Neng. Jangan malu-malu!” Lagi, salah satu dari mereka menarik pundak gadis itu, menyebabkan tubuh Nala sedikit terhuyung ke belakang. Tubuh mungil itu semakin terekspos nyata, membuat kedua pria asing yang sedang menggoda semakin menginginkan Nala.

“Apakah kalian tidak punya sopan santun?” tanya Nala geram.

Kedua pria itu hanya tertawa dengan seringai yang terlihat mengerikan. Perlahan tetapi pasti, keduanya berjalan mendekati Nala. Gadis itu mundur perlahan, berusaha menjauh dan mencoba untuk lari.

“Lepas!” teriak Nala saat pria itu kembali memegang tangannya.

Kedua pria itu tampak mengacuhkan teriakan Nala. Memandang Nala dengan senyum penuh arti, lantas segera menarik tangan kecil Nala agar mengikuti mereka, dengan sangat kasar.

“Tolong!” teriak Nala lagi. Kali ini ketakutan benar-benar menyelimuti dirinya. Dia berdoa agar Tuhan mengirimkan seseorang untuk datang menolong.

“Huusst ... diam!” bentak pria yang mencengkeram erat tangan Nala.

Peluh sudah membasahi tubuh gadis itu. Air mata ketakutan jatuh bebas begitu saja, setelah sekian lama mengering. Pikirannya melayang jauh. Apa yang akan terjadi setelah ini? Apakah ini awal kehancuran hidupnya?

“Lepaskan tangannya!” Bariton berat itu menghentikan langkah kaki mereka.

Nala menoleh, melihat sosok pria yang tidak jelas wajahnya, berdiri di belakang.

“Cih, jangan sok jadi pahlawan. Kami tidak punya urusan denganmu,” decak salah satu dari mereka.

Tidak peduli, kedua pria itu kembali menarik tangan Nala yang semakin meronta meminta untuk dilepaskan.

“Bajingan!” umpat pria yang sempat menghentikan langkah mereka tadi.

Kedua pria itu menghentikan langkah kaki mereka, saling memandang satu sama lain dengan penuh arti. Selanjutnya, salah seorang dari mereka maju ke depan, berniat untuk menghabisi pria yang menghentikan mereka.

“Kau ingin gadis itu? Maka lewati dulu kami berdua!”

Pria itu tersenyum sinis, tangannya menggulung lengan kemeja hingga ke siku. Tanpa aba-aba dia langsung mendaratkan satu pukulan di tubuh pria yang menantangnya. Tak hanya itu, pukulan bertubi-tubi kembali dia layangkan. Dia benci. Dia benci pria yang berniat melecehkan seorang gadis.

“Dasar payah!” ejeknya. Dilepaskannya kerah baju yang sedari tadi dicengkeram, membuat pria itu jatuh tersungkur tidak berdaya.

Salah satu dari kedua pria itu terlihat ketakutan, melihat temannya terkapar tidak berdaya.

“Lepaskan gadis itu, dan bawa temanmu ini pergi dari hadapanku!”

Tanpa berkata apa pun lagi, pria itu langsung melepas tangan Nala, lantas berlari tanpa peduli dengan keadaan temannya.

“Anda baik-baik saja?” Pria itu berjalan menghampiri gadis yang masih tampak sangat ketakutan.

Nala mendongak, melihat wajah pria yang sudah menolongnya. Apakah ini malaikat yang dikirim Tuhan untuk membantunya? Perlahan wajah tampan itu terlihat jelas di kegelapan malam. Wajah yang sama dengan pria yang pernah membantunya beberapa hari lalu.

“Anda baik-baik saja?” tanyanya lagi setelah tidak mendapat jawaban apa pun dari gadis yang berada di hadapannya.

Nala menggeleng lemah. Punggung tangannya terlihat menyusut air mata yang masih mengalir dari kedua kelopak mata. Ketakutan yang telah lama dia simpan, kini berhasil datang kembali.

“Mari ikut saya!” Tangan besar itu menyentuh tangan mungil milik Nala, lantas membawanya pergi keluar dari jalan yang sangat gelap itu.

Debaran tak menentu kini terjadi di hati keduanya. Sentuhan ini terasa sangat berbeda. Sangat hangat. Membuat mereka tanpa sadar saling menggenggam satu sama lain. Ada desiran-desiran aneh yang mengalir di dalam darah mereka.

“Sial, ada apa dengan jantungku? Setelah ini aku harus segera ke rumah sakit!”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status