"Sean gak macem-macem Ma, kami akan menikah karena Vina hamil."What?Kini bukan hanya kedua orangtua Sean dan Kimmy yang terkejut tapi juga Vina yang rasanya seperti terkena serangan jantung mendadak.Hamil?Sean sudah gila! Kenapa dia tidak kompromi dulu si? Sungguh pembohongan publik. Bagaimana Vina akan menghadapi kemurkaan mama Sean?Ya Tuhan, tolong hamba. Disaat seperti ini Vina berharap memiliki jurus menghilang seperti Naruto agar bisa lari dari kenyataan."Hamil?" Revina menaikkan sebelah alisnya, menatap Sean dan Vina bergantian dengan tatapan membunuh.Mungkin jika mata Revina bisa mengeluarkan peluru, maka sekali tatap saja Vina akan terkapar dengan rongga dada yang bolong. Jantungnya seolah mati mendadak saat Revina berjalan mendekat, tubuhnya seakan menggigil. Vina terus meremas sepuluh jarinya, menyalurkan rasa gugup, takut, dan kesal yang bercampur satu jadi seperti es campur.Huft! Ngomongin es campur, tenggorokan Vina jadi meronta-ronta minta asupan air. Ia menelan
"Lo mau balikan sama gue?" Sean berbalik, menatap sendu Vina. "Will you marry me?"Hah? Vina melongo. Sean gak banget deh, masa ngelamar di dalam lift."Dasar magadir!" gerutu Vina."Hah?" Sean mengernyitkan dahinya, bingung dengan jawaban Vina. Magadir? Magadir apaan coba? "Yes or yes?"Vina mendesis, pertanyaan macam apa itu? Vina terus merutuki lift yang entah kenapa berjalan lambat, membuatnya harus terjebak lebih lama bersama Sean."Vin, jawab." Sean meraih tangan Vina tapi langsung ditepis olehnya."No!" tukas Vina, memalingkan wajahnya ke arah lain.No?Mata Sean berkedut, tak menyangka akan mendapat penolakan dari Vina. Padahal Sean sudah yakin kalau Vina pasti akan menerimanya, mengingat waktu makan malam tadi Vina begitu romantis."Why? Perasaan tadi lo so sweet banget, bukannya lo juga masih ada rasa sama gue?"Vina memutar bola matanya, kenapa mahluk bernama Sean ini tingkat kepedeannya sangat tinggi."Tadi kan akting gimana si lo?" Vina berdecak, rasanya ia ingin cepat ke
Tidak seperti pagi biasanya, kali ini Vina tidak datang ke apartemen Sean. Ia langsung berangkat ke kantor tanpa mau peduli bagaimana keadaan pria itu."Gak papa kok sekali saja, lagian gue bukan babby sitter dia ini." Vina turun dari busway, ia terus bergumam meyakinkan diri kalau tindakannya benar."Tapi ... apa gak apa-apa ya?" Vina berhenti melangkah kembali kepikiran dengan bosnya. "Aish, dia bisa beli sarapan di luar. Kenapa gue jadi pusing mikirin dia si?" Vina mengibaskan tangannya, berusaha menghempas kekhawatirannya.Saat Vina melangkahkan kaki di kantor, atmosfirnya jadi berubah seperti di dalam tungku api. Panas dan bikin gerah!Vina berusaha mengabaikan tatapan sinis yang mencemooh dirinya, menulikan pendengaran dari mereka yang selalu bergibah tentang dirinya.Vina menghela napas panjang, semenjak ia jadi sekretaris Sean. Orang-orang di kantor jadi berubah sikap padanya, mereka kini memandang rendah Vina. Terlebih setelah skandal di dalam lift. Rasanya Vina mau operasi p
Bunyi ponsel berdering nyaring mengusik Kimmy yang tengah terlelap. Kimmy menggerakkan badannya yang terasa pegal, tangannya meraba-raba sekitar mencari keberadaan ponselnya dengan mata masih terpejam.Saat menemukannya, Kimmy langsung mendekatkan ke telinga. "Halo."Tante Revina!Mata Kimmy terbuka lebar, ia seketika terbangun sementara tangannya masih memegangi ponsel di telinga."Eh, i—ya tante." Kimmy gelagapan ketika suara tante Revina menyentaknya dari lamunan. "Sean di rumah sakit?"Kening Kimmy berkerut, merasakan denyutan di kepala yang cukup menyiksa. Ditambah suara tante Revina yang terdengar panik, membuat kepala Kimmy serasa dibor."Lo udah bangun?"Kimmy terkesiap saat suara bass itu masuk ke gendang telinganya, ia menoleh dan mendapati seorang pria berdiri di dekatnya.Pria?Siapa?Kepala Kimmy semakin berdenyut kencang. Matanya menatap ke sekeliling dan ia baru menyadari jika dirinya terdampar di tempat asing.Astaga! Dimana ini?Mata Kimmy kembali mengerjap lalu beral
Atmosfir di ruangan begitu terasa panas, meski AC dinyalakan. Aura gelap menyelimuti, membuat suasana jadi sangat mencekam.Vina duduk di hadapan kedua orangtua Sean yang sedari tadi menatapnya dengan instens. Ia menundukkan kepala, meremas ke sepuluh jarinya menyalurkan kegugupan dan rasa takut yang menyergap.Rasanya Vina seperti maling yang baru saja terciduk mencuri dan siap untuk dihakimi. Entah hukuman apa yang akan ia terima, melihat tatapan mama Sean yang tak bersahabat----membuat nyali Vina menciut."Ma." Suara Sean menggema di tengah keheningan yang masih mencekam. "Mama ngapain ke sini? Sean baik-baik saja kok."Revina mendengus, tapi sorot matanya masih menatap tajam tersangka di depannya. Yang jelas ia harus memberi pelajaran pada wanita itu. Berani-beraninya menodai anaknya yang masih polos."Jadi, sudah berapa kali?"Vina mendongak, matanya mengerjap berulang kali saat bersitatap dengan mata Revina.Pertanyaan macam apa itu? Apanya yang berapa kali? Vina tak paham maksu
Vina merutuki tindakan Sean barusan, kini ia tidak bisa mengelak lagi ketika tatapan mama Sean begitu menusuk sampai ke relung jiwa terdalam. Mata Revina terus menatapnya tajam, membuat Vina tak bisa bergerak dengan leluasa."Sean!" pekik Vina ketika Sean merebut mangkuk sop yang akan ia bawa."Gue bantuin," kata Sean mengedipkan sebelah matanya.Astaga! Mata Sean kenapa si?Vina geleng-geleng kepala, kelakuan Sean makin membingungkan. Apa sehebat itu cinta merubah sifat seseorang?Vina tampak gusar, ia duduk berhadapan dengan Revina. Rasanya seperti duduk di kursi pesakitan siap menerima vonis hukuman gantung."Biar saya ambilin Tante," ucap Vina bersiap mengambil centong nasi, namun dengan cepat Revina menepis tangan Vina sedikit kasar."Gak usah!" ketus Revina.Vina menghela napas panjang, ia kembali duduk. Padahal niatnya kan baik, tapi sikap mama Sean sungguh keterlaluan. Dalam hati Vina terus menggerutu.Apa tidak bisa menghargai orang lain?"Gak papa, Mama emang suka gitu," bis
Akibat insiden semalam, aura di rumah ini begitu mencekam. Vina yang baru turun hanya mendapati dua PRT yang sedang menyiapkan sarapan. Padahal biasanya ada mama Sean yang bawel menberikan interuksi pada keduanya."Pagi Bi," sapa Vina."Pagi Non," balas kedua PRT itu bebarengan."Yang lain belum pada turun ya Bi?" tanya Vina."Belum Non," jawab salah seorang yang lebih tua.Vina hanya mengangguk, ia duduk termenung memandangi meja makan yang sudah penuh dengan makanan. Pikiran Vina berkecamuk, memikirkan kejadian semalam.Apa ini semua karena kehadiran dirinya?Hal itu sangat mengganggu dalam benaknya. Jika iya, sebaiknya Vina mundur saja."Pagi Cinta."Vina tersentak saat merasakan kecupan di pipinya. Ia langsung menoleh dan mendapati wajah Sean yang menyebalkan."Sean!" pekik Vina, memukul pelan bahu pria itu.Sean terkekeh, menertawakan wajah Vina yang begitu lucu dan menggemaskan. Apalagi rona merah di pipinya, mirip Jeng Kelin."Papa sama Mama lo mana?" tanya Vina."Kamu," ralat
"Will you marry me."Kata-kata Davin terus berputar di otak Vina yang tiba-tiba tumpul sesaat. Terlalu mengejutkan hingga Vina tak tahu harus bereaksi seperti apa.Will you marry me?Mungkin jika itu Sean dengan senang hati tanpa ragu lagi, Vina akan bilang 'yes, i will'. Tapi ini Davin! Orang yang tak pernah Vina bayangkan. Meskipun sang ayah sempat ingin menjodohkannya, tetap saja itu hal yang sangat tidak mungkin.Vina masih melongo, bibirnya terlalu kelu untuk berucap, bahkan telinga Vina serasa berdengung tak mampu mendengarkan apa pun kecuali kalimat tadi.Ini lebih horor dari putusan pengadilan soal kawin gantung. Emang ada ya?Oh, shit!Apa otaknya sudah tidak bisa berfungsi dengan benar. Semuanya jadi tidak masuk akal. Seandainya Vina bisa membelah lantai kafe, maka ia akan dengan senang hati menenggelamkan diri saat ini juga."Berengsek!"Vina tersentak, ketika suara lantang berbaur pekikan orang-orang di sekitarnya menginterupsi. Hal pertama yang Vina lihat, Davin sudah ter
Setalah cuti kerja hampir dua minggu paska acarapernikahan dan honeymoon. Kini Sean kembali ke rutinitas, bekerja di perusahaan orangtuanya. Meski rasanya berat harus berpisah dengan istrinya, mengingat Vina sudah tidak diperbolehkan lagi jadi sekretarisnya oleh sang mama, dengan alasan agar Vina tidak kecapekan dan bisa segera memberi beliau cucu.Itu kenapa Sean terlihat nggak semangat di hari pertama kerja setelah cuti. Ia terlihat ogah-ogahan bangun dari tempat tidur, berjalan keluar kamar saat tak menemukan keberadaan istrinya. Aroma lezat masakan, menggiring langkah Sean menuju dapur. Seperti yang Sean duga, istrinya sudah menyibukkan diri di dapur.Sean terdiam di dekat bar kitchen, memandangi siluet tubuh istrinya yang tampak sibuk di depan kompor. Sean menelan ludah, bohong kalau ia tidak tergoda melihat penampilan Vina saat ini.Rambut panjang yang dicepol tinggi, memperlihatkan leher mulus yang mengundang Sean untuk menciumnya. Bahu yang terbuka, karena Vina hanya memakai t
"Maaf ya, Sean. Aku kayaknya nggak bisa sama kamu lagi.""Hah?""Maksud kamu apa, Vin? Nggak usah aneh-aneh deh!""Ternyata aku nggak benar-benar cinta sama kamu.""Nggak cinta?" Sean mengernyit, nggak habis pikir Vina yang baru seminggu jadi istrinya justru bilang seperti itu. "Vin, beneran nggak lucu ya. Kita baru seminggu loh nikah, terus kita lagi honeymoon. Bisa-bisanya kamu bilang begini? Kamu ngerusak suasana!""Maaf." Vina meminta maaf, tapi raut wajahnya yang datar sama sekali tak menunjukkan rasa bersalah sedikit pun. "Tapi aku tetep pengen pisah dari kamu.""Vin, seriously?" Sean meremas selimut yang menutupi setengah tubuhnya ke bawah. "Padahal kita baru saja—""Justru karena itu aku pengen pisah sama kamu," potong Vina, beranjak dari ranjang membiarkan selimut yang menutupi separuh tubuhnya merosot. Ia berdiri di dekat ranjang dengan hanya memakai pakaian dalam, menatap Sean dan kembali berkata, "aku merasa di-prank sama kamu. Kirain gede, tahunya mini-mini."What the hel
Alarm terus berbunyi, memenuhi ruangan. Suaranya yang nyaring memekakkan telinga, sangat mengganggu.Sean melenguh, tangannya terulur mematikan alarm. Ia perlahan membuka mata saat merasakan pergerakan di dadanya. Sean tersenyum tipis melihat siapa pelakunya.Sean bergerak hendak bangun, tapi tangan mungil itu melingkar di perutnya. Memeluknya semakin erat, bahkan sesekali mengerang dengan mata masih terpejam."Do not leave me alone," gumamnya."Baby I want to go to the toilet." Sean menangkup pipi Vina yang begitu menggemaskan.Vina menggeleng, menyembunyikan wajahnya di dada telanjang Sean. "Stay with me."Sean mendengus geli karena tingkah Vina yang seperti anak kecil, ia menyentil kening Vina sampai perempuan itu memekik."Oppa!! Sakit," rengek Vina mengusap keningnya, bibirnya mengerucut ke depan."Makanya jangan nonton drakor mulu, halu kan." Sean terkekeh geli. "Ayo bangun katanya mau lihat sunrise."Sunrise?"Ya ampun, jam berapa sekarang?" Vina mencari-cari keberadaan ponseln
Selepas acara akad nikah di Bandung, keesokan harinya dilanjutkan acara resepsi di Jakarta. Orangtua Sean menggelar acara resepsi pernikahan di ballroom hotel bintang lima di Jakarta.Davin memasuki ruangan, berjalan tertatih dengan bantuan tongkat dan teman-temannya."Hati-hati," kata Devan."Gue gak papa," tukas Davin yang enggan dibantu."Dasar keras kepala!" gerutu Andra, dibalas dengusan Davin.Mereka bertiga berjalan menghampiri sang mempelai pengantin yang ada di singgasananya. Senyum lebar menghiasi wajah Sean saat menyambut ketiga sahabatnya."Akhirnya Sean nikah, gak jadi karatan," seru Devan dengan kekehannya yang terdengar garing."Sial, lo kira gue besi tua," gerutu Sean."Emang, lo kan jomblo tua," balas Devan. "Tapi, selamat Bro. Gue ikut seneng akhirnya lo bisa menyelesaikan cinta lama lo yang belum kelar," ucap Devan sembari memeluk hangat Sean."Thank's Bro. Jadi kapan lo nyusul, gak baik nyebar benih di kloset." Sean terkekeh geli karena Devan langsung melepas peluk
Kimmy menggerutu sepanjang jalan, jika bukan karena Reyvan yang menyuruhnya ke butik maka ia tak akan mengalami kejadian naas seperti tadi.Arrggghhh!!!Bahkan Kimmy semakin kesal saat bayangan itu terus melintas, berseliweran di otaknya yang tiba-tiba dungu."Udahan?"Kimmy masuk ke kafe dan mengabaikan pertanyaan sang pemilik kafe. Ia langsung menuju sofa paling ujung, merebahkan diri di sana. Kimmy tak peduli jika keadaan kafe sedang ramai, mengingat ini jam makan siang."Arggg!! Sial!" erang Kimmy tiba-tiba. Ia sudah muak dengan bayang-bayang yang mengotori matanya, membuat hatinya terus merongrong untuk mengamuk.Waras Kimmy! Waras!Kimmy terus meneriaki dirinya sendiri."Move on, move on, move on." Kimmy terus merapalkan kata-kata sakral itu sampai tak sadar seseorang duduk di hadapannya."Mochachino?"Kimmy membuka matanya dan mendapati Reyvan sudah duduk di hadapannya. Pria itu menunjuk gelas besar di atas meja dengan dagunya."Cuacanya emang panas, cocok buat dinginin pikiran
Sean pikir acara lamarannya akan berakhir berantakan karena kedatangan Davin. Bahkan ia sudah sangat cemas melihat pria itu nekad melamar Vina. Tapi jawaban Vina memupuskan kegusaran Sean."Maaf Davin, aku tidak bisa. Aku sudah menentukan pilihanku dan pilihanku itu Sean."Jawaban Vina bagai pukulan telak untuk Davin. Kata-kata Vina seperti belati yang menusuk hati, menorehkan luka menganga di dalam sana."Tapi Vin ...," lirih Davin. "Apa tidak ada sedikit pun kesempatan untuk aku?" Davin melihat Vina dengan tatapan sayu, seakan memohon.Sean sudah muak melihat drama tengik buatan Davin, ia sudah akan menerjang Davin. Beruntung sang mama menahan dirinya, membuat Sean urung melakukan tindakan gilanya. Sean hanya bisa mengepalkan kedua tangan, menyalurkan kekesalannya pada manusia tidak tahu diri macam Davin."Gak." Vina menggeleng dengan cepat. "Dari dulu cuma Sean yang aku cinta. Kamu tahu itu."Terdengar helaan napas berat Davin, ia mengusap wajahnya dengan kasar. Haruskah ia berhent
Vina berkali-kali menelan ludah, rasa gugup dan takut mendominasi. Langkah kakinya semakin berat, genggaman tangan Sean pun kian erat. Meski ragu keduanya tetap melangkah menuju kamar mama Sean.Walaupun sudah larut malam, Sean tetap nekad ingin menemui mamanya. Sean tak bisa jika harus menunggu sampai besok, apa pun yang terjadi Sean sudah mantap dengan pilihannya."Sean." Vina berhenti melangkah, membuat Sean otomatis berbalik menghadapnya. "Besok saja ya. Aku takut," cicit Vina, nyaris tak terdengar."Gak. Pokoknya kita harus ketemu mama sekarang. Apa pun yang terjadi, aku harus dapetin restu mama malam ini." Sean meraih kedua tangan Vina, mengusapnya dengan ibu jari. "Kamu percaya sama aku 'kan?"Vina mengangguk, ia sangat percaya dengan Sean. Tapi ... keraguannya juga sama besar. Vina ragu mama Sean akan merestuinya, mengingat sikap mama Sean yang selalu sinis padanya."Ayo." Suara Sean menginterupsi, genggaman di tangan menariknya kembali melangkah menuju kamar mamanya.Vina ter
"Will you marry me."Kata-kata Davin terus berputar di otak Vina yang tiba-tiba tumpul sesaat. Terlalu mengejutkan hingga Vina tak tahu harus bereaksi seperti apa.Will you marry me?Mungkin jika itu Sean dengan senang hati tanpa ragu lagi, Vina akan bilang 'yes, i will'. Tapi ini Davin! Orang yang tak pernah Vina bayangkan. Meskipun sang ayah sempat ingin menjodohkannya, tetap saja itu hal yang sangat tidak mungkin.Vina masih melongo, bibirnya terlalu kelu untuk berucap, bahkan telinga Vina serasa berdengung tak mampu mendengarkan apa pun kecuali kalimat tadi.Ini lebih horor dari putusan pengadilan soal kawin gantung. Emang ada ya?Oh, shit!Apa otaknya sudah tidak bisa berfungsi dengan benar. Semuanya jadi tidak masuk akal. Seandainya Vina bisa membelah lantai kafe, maka ia akan dengan senang hati menenggelamkan diri saat ini juga."Berengsek!"Vina tersentak, ketika suara lantang berbaur pekikan orang-orang di sekitarnya menginterupsi. Hal pertama yang Vina lihat, Davin sudah ter
Akibat insiden semalam, aura di rumah ini begitu mencekam. Vina yang baru turun hanya mendapati dua PRT yang sedang menyiapkan sarapan. Padahal biasanya ada mama Sean yang bawel menberikan interuksi pada keduanya."Pagi Bi," sapa Vina."Pagi Non," balas kedua PRT itu bebarengan."Yang lain belum pada turun ya Bi?" tanya Vina."Belum Non," jawab salah seorang yang lebih tua.Vina hanya mengangguk, ia duduk termenung memandangi meja makan yang sudah penuh dengan makanan. Pikiran Vina berkecamuk, memikirkan kejadian semalam.Apa ini semua karena kehadiran dirinya?Hal itu sangat mengganggu dalam benaknya. Jika iya, sebaiknya Vina mundur saja."Pagi Cinta."Vina tersentak saat merasakan kecupan di pipinya. Ia langsung menoleh dan mendapati wajah Sean yang menyebalkan."Sean!" pekik Vina, memukul pelan bahu pria itu.Sean terkekeh, menertawakan wajah Vina yang begitu lucu dan menggemaskan. Apalagi rona merah di pipinya, mirip Jeng Kelin."Papa sama Mama lo mana?" tanya Vina."Kamu," ralat