Bunyi ponsel berdering nyaring mengusik Kimmy yang tengah terlelap. Kimmy menggerakkan badannya yang terasa pegal, tangannya meraba-raba sekitar mencari keberadaan ponselnya dengan mata masih terpejam.Saat menemukannya, Kimmy langsung mendekatkan ke telinga. "Halo."Tante Revina!Mata Kimmy terbuka lebar, ia seketika terbangun sementara tangannya masih memegangi ponsel di telinga."Eh, i—ya tante." Kimmy gelagapan ketika suara tante Revina menyentaknya dari lamunan. "Sean di rumah sakit?"Kening Kimmy berkerut, merasakan denyutan di kepala yang cukup menyiksa. Ditambah suara tante Revina yang terdengar panik, membuat kepala Kimmy serasa dibor."Lo udah bangun?"Kimmy terkesiap saat suara bass itu masuk ke gendang telinganya, ia menoleh dan mendapati seorang pria berdiri di dekatnya.Pria?Siapa?Kepala Kimmy semakin berdenyut kencang. Matanya menatap ke sekeliling dan ia baru menyadari jika dirinya terdampar di tempat asing.Astaga! Dimana ini?Mata Kimmy kembali mengerjap lalu beral
Atmosfir di ruangan begitu terasa panas, meski AC dinyalakan. Aura gelap menyelimuti, membuat suasana jadi sangat mencekam.Vina duduk di hadapan kedua orangtua Sean yang sedari tadi menatapnya dengan instens. Ia menundukkan kepala, meremas ke sepuluh jarinya menyalurkan kegugupan dan rasa takut yang menyergap.Rasanya Vina seperti maling yang baru saja terciduk mencuri dan siap untuk dihakimi. Entah hukuman apa yang akan ia terima, melihat tatapan mama Sean yang tak bersahabat----membuat nyali Vina menciut."Ma." Suara Sean menggema di tengah keheningan yang masih mencekam. "Mama ngapain ke sini? Sean baik-baik saja kok."Revina mendengus, tapi sorot matanya masih menatap tajam tersangka di depannya. Yang jelas ia harus memberi pelajaran pada wanita itu. Berani-beraninya menodai anaknya yang masih polos."Jadi, sudah berapa kali?"Vina mendongak, matanya mengerjap berulang kali saat bersitatap dengan mata Revina.Pertanyaan macam apa itu? Apanya yang berapa kali? Vina tak paham maksu
Vina merutuki tindakan Sean barusan, kini ia tidak bisa mengelak lagi ketika tatapan mama Sean begitu menusuk sampai ke relung jiwa terdalam. Mata Revina terus menatapnya tajam, membuat Vina tak bisa bergerak dengan leluasa."Sean!" pekik Vina ketika Sean merebut mangkuk sop yang akan ia bawa."Gue bantuin," kata Sean mengedipkan sebelah matanya.Astaga! Mata Sean kenapa si?Vina geleng-geleng kepala, kelakuan Sean makin membingungkan. Apa sehebat itu cinta merubah sifat seseorang?Vina tampak gusar, ia duduk berhadapan dengan Revina. Rasanya seperti duduk di kursi pesakitan siap menerima vonis hukuman gantung."Biar saya ambilin Tante," ucap Vina bersiap mengambil centong nasi, namun dengan cepat Revina menepis tangan Vina sedikit kasar."Gak usah!" ketus Revina.Vina menghela napas panjang, ia kembali duduk. Padahal niatnya kan baik, tapi sikap mama Sean sungguh keterlaluan. Dalam hati Vina terus menggerutu.Apa tidak bisa menghargai orang lain?"Gak papa, Mama emang suka gitu," bis
Akibat insiden semalam, aura di rumah ini begitu mencekam. Vina yang baru turun hanya mendapati dua PRT yang sedang menyiapkan sarapan. Padahal biasanya ada mama Sean yang bawel menberikan interuksi pada keduanya."Pagi Bi," sapa Vina."Pagi Non," balas kedua PRT itu bebarengan."Yang lain belum pada turun ya Bi?" tanya Vina."Belum Non," jawab salah seorang yang lebih tua.Vina hanya mengangguk, ia duduk termenung memandangi meja makan yang sudah penuh dengan makanan. Pikiran Vina berkecamuk, memikirkan kejadian semalam.Apa ini semua karena kehadiran dirinya?Hal itu sangat mengganggu dalam benaknya. Jika iya, sebaiknya Vina mundur saja."Pagi Cinta."Vina tersentak saat merasakan kecupan di pipinya. Ia langsung menoleh dan mendapati wajah Sean yang menyebalkan."Sean!" pekik Vina, memukul pelan bahu pria itu.Sean terkekeh, menertawakan wajah Vina yang begitu lucu dan menggemaskan. Apalagi rona merah di pipinya, mirip Jeng Kelin."Papa sama Mama lo mana?" tanya Vina."Kamu," ralat
"Will you marry me."Kata-kata Davin terus berputar di otak Vina yang tiba-tiba tumpul sesaat. Terlalu mengejutkan hingga Vina tak tahu harus bereaksi seperti apa.Will you marry me?Mungkin jika itu Sean dengan senang hati tanpa ragu lagi, Vina akan bilang 'yes, i will'. Tapi ini Davin! Orang yang tak pernah Vina bayangkan. Meskipun sang ayah sempat ingin menjodohkannya, tetap saja itu hal yang sangat tidak mungkin.Vina masih melongo, bibirnya terlalu kelu untuk berucap, bahkan telinga Vina serasa berdengung tak mampu mendengarkan apa pun kecuali kalimat tadi.Ini lebih horor dari putusan pengadilan soal kawin gantung. Emang ada ya?Oh, shit!Apa otaknya sudah tidak bisa berfungsi dengan benar. Semuanya jadi tidak masuk akal. Seandainya Vina bisa membelah lantai kafe, maka ia akan dengan senang hati menenggelamkan diri saat ini juga."Berengsek!"Vina tersentak, ketika suara lantang berbaur pekikan orang-orang di sekitarnya menginterupsi. Hal pertama yang Vina lihat, Davin sudah ter
Vina berkali-kali menelan ludah, rasa gugup dan takut mendominasi. Langkah kakinya semakin berat, genggaman tangan Sean pun kian erat. Meski ragu keduanya tetap melangkah menuju kamar mama Sean.Walaupun sudah larut malam, Sean tetap nekad ingin menemui mamanya. Sean tak bisa jika harus menunggu sampai besok, apa pun yang terjadi Sean sudah mantap dengan pilihannya."Sean." Vina berhenti melangkah, membuat Sean otomatis berbalik menghadapnya. "Besok saja ya. Aku takut," cicit Vina, nyaris tak terdengar."Gak. Pokoknya kita harus ketemu mama sekarang. Apa pun yang terjadi, aku harus dapetin restu mama malam ini." Sean meraih kedua tangan Vina, mengusapnya dengan ibu jari. "Kamu percaya sama aku 'kan?"Vina mengangguk, ia sangat percaya dengan Sean. Tapi ... keraguannya juga sama besar. Vina ragu mama Sean akan merestuinya, mengingat sikap mama Sean yang selalu sinis padanya."Ayo." Suara Sean menginterupsi, genggaman di tangan menariknya kembali melangkah menuju kamar mamanya.Vina ter
Sean pikir acara lamarannya akan berakhir berantakan karena kedatangan Davin. Bahkan ia sudah sangat cemas melihat pria itu nekad melamar Vina. Tapi jawaban Vina memupuskan kegusaran Sean."Maaf Davin, aku tidak bisa. Aku sudah menentukan pilihanku dan pilihanku itu Sean."Jawaban Vina bagai pukulan telak untuk Davin. Kata-kata Vina seperti belati yang menusuk hati, menorehkan luka menganga di dalam sana."Tapi Vin ...," lirih Davin. "Apa tidak ada sedikit pun kesempatan untuk aku?" Davin melihat Vina dengan tatapan sayu, seakan memohon.Sean sudah muak melihat drama tengik buatan Davin, ia sudah akan menerjang Davin. Beruntung sang mama menahan dirinya, membuat Sean urung melakukan tindakan gilanya. Sean hanya bisa mengepalkan kedua tangan, menyalurkan kekesalannya pada manusia tidak tahu diri macam Davin."Gak." Vina menggeleng dengan cepat. "Dari dulu cuma Sean yang aku cinta. Kamu tahu itu."Terdengar helaan napas berat Davin, ia mengusap wajahnya dengan kasar. Haruskah ia berhent
Kimmy menggerutu sepanjang jalan, jika bukan karena Reyvan yang menyuruhnya ke butik maka ia tak akan mengalami kejadian naas seperti tadi.Arrggghhh!!!Bahkan Kimmy semakin kesal saat bayangan itu terus melintas, berseliweran di otaknya yang tiba-tiba dungu."Udahan?"Kimmy masuk ke kafe dan mengabaikan pertanyaan sang pemilik kafe. Ia langsung menuju sofa paling ujung, merebahkan diri di sana. Kimmy tak peduli jika keadaan kafe sedang ramai, mengingat ini jam makan siang."Arggg!! Sial!" erang Kimmy tiba-tiba. Ia sudah muak dengan bayang-bayang yang mengotori matanya, membuat hatinya terus merongrong untuk mengamuk.Waras Kimmy! Waras!Kimmy terus meneriaki dirinya sendiri."Move on, move on, move on." Kimmy terus merapalkan kata-kata sakral itu sampai tak sadar seseorang duduk di hadapannya."Mochachino?"Kimmy membuka matanya dan mendapati Reyvan sudah duduk di hadapannya. Pria itu menunjuk gelas besar di atas meja dengan dagunya."Cuacanya emang panas, cocok buat dinginin pikiran