"Good morning, My Sunshine," Bian memberikan kecupan-kecupan ringan di pipi Mentari yang baru saja membuka mata.
Mentari tersenyum secerah sinar matahari pagi ini. "Nyenyak banget," gumamnya dengan perasaan bahagia.
Ini tidur pertama yang sangat Mentari nikmati setelah enam bulan menikah dengan Bian. Mentari merasa benar-benar menjadi wanita utuh kali ini. Bian sudah menanam sahamnya dan itu membuat Mentari bisa bernapas lega.
Mentari melamun, tatapannya lurus ke hamparan ombak laut di depan sana. Entah sudah berapa lama wanita itu duduk diam menikmati angina yang menerpa tubuhnya. Mentari hanya menikmati apa yang dia rasakan saat ini. Tenang, damai dan menyedihkan.Mentari menatap beberapa orang yang bermain di tepi pantai. Semuanya tampak senang dan tertawa lepas. Semuanya tampak menikmati waktu yang terus bergulir tanpa memikirkan senja yang sebentar lagi tiba. Mentari iri. Mentari juga ingin seperti mereka. Bersama, tertawa, saling menggoda dan tentunya saling melindungi.Helaan napas yang terasa berat, bisa menjadi tanda betapa Mentari tersiksa. Hanya saja, wanita itu pintar menyembunyikannya. Mentari lebih suka bersedih sendiri. Untuk apa mengatakan perasaannya pada orang yang bahkan belum tentu mau mengerti apa yang ia rasakan.Tatapan mata Mentari menyisir area pantai. Kenangan itu, kenapa begitu menyakitkan? Cinta memang tidak ada yang abadi. Kecuali cinta Sang Pencipta kepad
Langkah kaki Mentari terasa begitu berat memasuki rumah besar dan mewah yang dulu ia tinggalkan. Banyak kisah di sini. Banyak kenangan juga. Dan, sumber luka Mentari juga berasal dari sini. Tidak ada yang berubah secara signifikan. Semuanya masih sama. Terawat."Mami!"Mentari menoleh cepat. Matanya menatap gadis yang semalam menyadarkannya betapa pentingnya arti sebuah keluarga. Mentari juga menyadari betap
Mentari duduk bersandar di kepala ranjang. Kakinya ia tekuk dan ia peluk. Ketukan di pintu kamarnya membuat Mentari menenggelamkan kepala di antara lututnya. Dia tidak ingin bertemu dengan Bian untuk saat ini. Lagipula, kenapa Bian ada di sini? Senja bilang pria itu masih ada pekerjaan di Malaysia dan akan kembali Minggu depan."Apa aku pergi sekarang aja?" Mentari menggumam pelan.Rencananya memang akan tetap tinggal di sini selama Bian belum kembali. Lalu nanti, Mentari akan mencari rumah untuknya sendiri, at
Bian membeku mendengar ucapan Mentari. Tidak. Wanita itu pasti membual. Mentari tidak mungkin..."Aku membunuhnya. A-aku..." Mentari tidak dapat melanjutkan kata-katanya ketika dia ingat bahwa dulu, dia pernah melakukan kesalahan sehingga janin kecil tak berdosa itu pergi."Kamu... Bohong," Bian tidak percaya."Di mana anak itu, Mentari?! Di mana an
Usai makan malam, yang mana masih saja memberikan bekas goresan luka di hati Mentari, wanita itu tetap terlihat baik-baik saja di depan Bian. Bahkan, ketika Bian bilang ingin mampir sebentar ke apartemennya untuk mengecek beberapa pekerjaannya sebelum besok ada rapat penting dengan dewan direksi luar negeri, Mentari menurut saja.Keduanya masuk ke unit apartemen mewah milik Bian. Bian berlalu ke dalam kamar dan keluar setelah tiga puluh menit berakhir. Pria itu berjalan ke arah ruang tamu di mana tadi ia meninggalkan Mentari.
"Cuma sampai di situ aku berhasil mengingatnya saat sadar. Aku gak mimpi, Senja. Malam itu, nyata." Mentari menggertakkan giginya. Terlalu mabuk sampai tidak sadar sedang bercinta secara nyata dengan pria yang ia mimpikan di saat yang bersamaan."Dan aku udah gak pernah lihat Bian lagi setelah bangun di pagi itu. Dia pergi. Ninggalin aku. Jauhin aku," isak Mentari menyudahi caritanya kepada Senja.Senja meme
Telinga Bian yang tajam saat mendengar nama Mentari disebutkan membuat pria itu langsung beranjak dan berlari keluar ruang kerja Genta. Bian memasuki kamar Mentari, sudah ada Hasna di dalam sana sambil menepuk pelan pipi wanita itu."Mentari kenapa?" Bian bertanya dengan nada khawatir serta panik.Hasna menggeleng sebagai jawaban. Dia tidak tahu apa yang terjadi sehingga wanita itu tak sadarkan diri seperti
Mentari terbangun dengan ringisan kecil keluar dari bibirnya. Hasna yang saat itu sedang meletakkan nampan di atas nakas seketika menoleh dan membantu Mentari untuk duduk bersandar di kepala ranjang."Pusing?" tanyanya.Mentari perlahan membuka mata dan dahinya berkerut memperhatikan sekeliling. "Iya. Aku kenapa, Bu?"
"Good morning,My Sunshine," Bian memberikan kecupan-kecupan ringan di pipi Mentari yang baru saja membuka mata. Mentari tersenyum secerah sinar matahari pagi ini. "Nyenyak banget," gumamnya dengan perasaan bahagia. Ini tidur pertama yang sangat Mentari nikmati setelah enam bulan menikah dengan Bian. Mentari merasa benar-benar menjadi wanita utuh kali ini. Bian sudah menanam sahamnya dan itu membuat Mentari bisa bernapas lega.
"Bi," Bian menatap Mentari dengan pandangan bertanya. Pria itu mengusap pipi istrinya dengan lembut. Posisi mereka saat ini sama-sama berbaring menyamping. Menatap kebahagiaan dari wajah masing-masing. "Udah enam bulan. Aku udah sembuh. Kamu..." Bian tersenyum lembut dan mendekatkan wajahnya untuk bisa menyentuh ujung hidung Mentari dengan ujung
Enam bulan berlalu. "Ya... Ya..." Mentari menunduk dan tersenyum. Seorang bayi gembul berusia 5 bulan sedang menatap pada seorang pria dengan mata bulatnya yang jernih. "Dadah Ayah..." Mentari melambaikan tangan si bocah pada pria di depan mereka.
“Ay, maaf, ya. Aku belum bisa ajak kamu honeymoon atau ke mana pun dalam keadaan kayak gini,”bisik Bian dengan nada bersalah kepada wanita yang kini sudah resmi menjadi istrinya. “Gak apa-apa. Aku bareng sama kamu kayak gini aja udah senang, Bi, aku gak butuh yang lain untuk saat ini,”balas Mentari. Hari sudah malam. Acara akad diselenggarakan pada pagi menjelang siang tadi. Kini anggota keluarga yang lain sudah pergi dan meninggalkan Bian serta Mentari berduaan. “Siapa?” Pintu ruangan yang diketuk, lalu terbuka membuat Bian serta Mentari menoleh bersamaan. Saat Bian bertanya, tidak ada suara. Ternyata… “Mama,” Mentari mengurai pelukannya pada tubuh sang suami. Wanita itu menegakkan tubuhnya saat orang yang ia panggil ‘mama’itu mendekat. Raut wajahnya pias dan penuh penyesalan. “Ay, selamat,”ujarnya. Mentari berdiri dan menerima uluran tangan ibunya. Mentari menyayangi kedua orangtua angkatnya seperti orangtua kandung.
Hitungan jam menuju hari yang ditunggu oleh Mentari dan Bian. Meski keadaan Bian masih dalam tahap pemulihan, tapi hal tersebut tidak menyurutkan niat dan semangatnya untuk mempersunting wanita pujaannya. “Kenapa?”tanya Bian saat Mentari mendongak. Wanita itu tengah berbaring di sofa dengan paha Bian sebagai alasnya. “Aku… mau ikut konsultasi. Aku… mau sembuh, Bi.” Bian tahu ke mana arah pembicaraan mereka kali ini. Senyum lembut yang Bian berikan membuat Mentari sedikit tenang. Elusan telapak tangan Bian di rambutnya bisa Mentari rasakan penuh dengan perasaan sayang. “Apa pun keputusan kamu, aku akan selalu dukung. Apalagi itu untuk kebaikan kamu, Ay,”balas Bian. Mentari menarik napas sebelum membuangnya secara perlahan. Mentari berharap traumanya akan benar-benar sembuh total dan ia bisa hidup dengan tenang Bersama Bian tanpa dibayang-bayang masalalu menakutkan. “Kapan mau mulai konsultasi?”tanya Bian. Ibu jarinya mengusap kening Men
Kini urusan Kania dan Bian sudah selesai. Tidak ada yang perlu mereka khawatirkan lagi. Kania tidak menginginkan Bian lagi. Kania sadar, tidak ada hal baik yang akan terjadi jika ia memaksakan keinginan konyolnya.Kania berbalik dan melangkah menuju pintu di mana Mentari masih terdiam bisu. Kania berhenti sejenak dan tersenyum sambil mengangguk kecil pada Mentari sebelum benar-benar pergi dari sana."Sini,"
Bian tengah menunggu Mentari yang katanya ingin membeli camilan di supermarket sebelah rumah sakit. Sementara Hasna, Genta dan Nisa sudah kembali ke Bali untuk menjemput Senja. Kembaran Mentari itu bersikeras ingin hadir di pernikahan Bian dan Mentari, padahal ia tengah hamil besar saat ini.Pintu kamar inap yang terbuka membuat senyum Bian mengembang. Namun, saat bukan Mentari yang masuk, senyumnya langsung hilang begitu saja. Apalagi sosok di depannya sana bukan lah orang yang ingin ia lihat.
Hasna memeluk Mentari dengan erat. Tangisnya kembali pecah ketika wanita itu bertanya ke mana saja calon menantunya tersebut selama seminggu ini. Hasna tidak menyangka kalau orangtua Mentari menghukum Bian seperti ini.Menjauhkan Bian dari Mentari sama saja membunuh putranya itu secara perlahan dengan pasti."Maafin aku, Bu," bisik Mentari dengan suara parau.Hasna menggeleng. Keduanya mengurai pelukan dan jemari tua Hasna mengelus pipi basah Mentari."Jangan pergi lagi, ya, Nak. Jangan tinggalin Bian," mohonnya.Mentari semakin terisak. Kepalanya menggeleng dengan kuat. "Aku gak akan ninggalin Bian, Bu, aku gak mau kehilangan Bian lagi," balasnya.Hasna mengangguk, "kalian berhak bahagia. Ibu selalu mendoakan yang terbaik untuk kalian."Mentari mengusap punggung tangan Hasna dengan ibu jarinya. Pandangan wanita itu sedikit menunduk. Ada keinginan yang harus dia sampaikan. Tapi Mentari ragu, apakah ini waktu yang tepat atau tidak?
Mentari mengusap air matanya yang tidak mau berhenti sejak tadi. Tangannya dengan cepat memasukkan beberapa barang yang menurutnya cukup penting ke dalam tas kecil miliknya. Ponsel yang Ikhsan berikan juga ia bawa. Jaga-jaga kalau ia membutuhkan sesuatu dengan benda itu.Mentari menatap pintu kamar. Orangtuanya pasti sudah terlelap saat ini. Mentari akan pergi. Dia tidak bisa berdiam diri di sini. Mentari harus bertemu Bian. Rasa rindunya semakin menyiksa. Apalagi Mentari tidak tahu bagaimana Bian saat ini. Apakah pria itu mencarinya? Semua akses yang bisa Mentari gunakan untuk berkomunikasi dengan Bian