Telinga Bian yang tajam saat mendengar nama Mentari disebutkan membuat pria itu langsung beranjak dan berlari keluar ruang kerja Genta. Bian memasuki kamar Mentari, sudah ada Hasna di dalam sana sambil menepuk pelan pipi wanita itu.
"Mentari kenapa?" Bian bertanya dengan nada khawatir serta panik.
Hasna menggeleng sebagai jawaban. Dia tidak tahu apa yang terjadi sehingga wanita itu tak sadarkan diri seperti ini. Hasna hanya mendengar jeritan Senja saja memanggilnya.
"Telpon dokter, Bian, cepat!" seru Hasna.
Bian merogoh saku celananya untuk meraih ponsel, lalu langsung menelpon dokter keluarga mereka. Sial. Bian tidak mau wanita itu kenapa-napa. Belum sehari bertemu, tapi Mentari sudah tak sadarkan diri seperti ini.
"Batalkan acaranya, Bian, batalkan. Ibu gak ada tenaga lagi buat ngerayain apa pun saat ini," lirih Hasna dengan mata yang kembali berkaca-kaca. Mentari dan Senja sudah seperti putrinya. Jelas saja wanita itu juga merasakan sakit yang saat ini dirasakan Mentari.
"Iya, Bu," Bian hanya mampu menurut. Dengan keadaan Mentari yang seperti ini, jelas saja mereka tidak akan bisa melanjutkan acara makan malam perayaan ulang tahun Hasna.
"Pelan-pelan, Sayang," tegur Genta saat Senja memasuki kembali kamar Mentari dengan tergesa.
"Anak-anak mana?" tanya Genta.
"Aku suruh ke kamar ditemani sama Daisy," jawab Senja. Genta mengangguk.
"Bawa ke rumah sakit aja, Bu," saran Genta.
"Dokter udah di jalan, tunggu aja," tolak Bian.
Sekitar sepuluh menit menunggu, seorang dokter pria memasuki kamar Mentari. Dokter kepercayaan keluarga mereka yang jarak rumahnya tidak terlalu jauh.
"Apa yang terjadi?" tanya sang dokter.
"Gak tahu, Dok, tiba-tiba pingsan," ujar Senja sambil menyeka air matanya.
Sang dokter memeriksa keadaan Mentari dengan teliti dan serius, lalu helaan napas pelan membuatnya tersenyum menatap Hasna yang ada di sebelah Mentari.
"Gak apa-apa. Hanya kelelahan, ditambah lagi kayaknya banyak pikiran. Ini habis nangis?" Sang dokter menoleh pada Senja. Istri Genta itu mengangguk.
"Mungkin faktor emosi yang campur aduk, dan dari kantong mata serta wajah pucatnya bisa saya ambil kesimpulan kalau pasien kurang istirahat. Saya infus saja atau bagaimana?"
"Infus, Dok, sekalian kasih vitamin atau apa buat bikin dia bisa istirahat dengan baik," pinta Bian dengan tergesa.
Senja dan Hasna saling pandang. Mereka memikirkan hal yang sama, Bian sangat aneh. Sementara Genta hanya mengangguk saja.
"Baik, sebentar, ya," Dokter berlalu keluar dari kamar Mentari.
"Kamu ke kamar aja, Sayang, Mas gak mau kamu kenapa-napa. Pikirin bayinya," bisik Genta.
"Tapi, Mas..."
"Ada Ibu sama Bian yang jagain Mentari. Gak usah khawatir. Ayo," ajak Genta. Dia tidak mau istrinya malah ikut kelelahan karena kepikiran kondisi Mentari.
"Bu, aku bawa Senja ke kamar dulu," pamit Genta. Hasna mengangguk. Genta juga melirik Bian, adiknya itu tampak tidak tenang. Entah kenapa, hal itu membuat Genta terkekeh di dalam hati.
'Karma berlaku,' batinnya.
Di samping Mentari, Hasna selalu memberikan pancingan aroma minyak kayu putih ke dekat hidung wanita itu. Hasna juga memijit kening Mentari, lalu mengusap rambutnya dengan sayang.
"Ibu harap setelah ini, kamu gak ganggu Mentari lagi. Biarkan Mentari bahagia dengan hidupnya. Kamu gak usah ganggu dan bikin dia sakit lagi. Ibu akan benar-benar membenci kamu, Bian," ancam Hasna pada putranya.
"Bu, aku..."
"Permisi," Dokter kembali dan langsung memasang infus di tangan Mentari. "Ini vitaminnya," lanjutnya memberikan sebotol obat pada Hasna.
***
Karena acara makan malam untuk ulang tahun Hasna dibatalkan, lalu Bian juga diusir oleh Hasna dari rumah Genta dan Senja, alhasil pria itu kembali ke apartemen yang ia beli sebagai investasi.
Bian menjambak rambutnya. Masalah Mentari belum menemukan titik terang, sekarang Bian malah mendapatkan masalah baru. Kepalanya benar-benar mau pecah.
"Sialan! Bangsat!"
Bian membanting barang-barang yang terjangkau oleh tangannya. Kenapa jalan hidupnya serumit ini? Apakah ini salah satu balasan atas kebejatannya di masa lalu?
Suara ponsel yang berdering membuat Bian memejamkan mata sebelum meraih benda pipih itu. Rahangnya mengeras seketika saat nama yang terpampang di layar ponsel adalah orang yang membawa masalah baru di hidupnya.
"Hm?"
"Kamu kapan balik ke Jakarta, Bi? Aku butuh kamu! Aku benar-benar kalut, Bian! Aku takut!"
"Kania, stop! Jangan ganggu aku dulu! Kepalaku mau pecah, tahu gak! Ini semua salah kamu. Kamu yang ngerayu aku malam itu. Kamu yang masukin obat sialan itu ke minumanku!" teriak Bian penuh amarah.
"Aku minta maaf, Bi, tapi ini gimana? Aku gak mau gugurin janin gak bersalah ini, Bi."
"Kamu punya suami, Kania! Apa yang kamu takuti?!" Bian menjambak kasar rambutnya.
"Tapi dokter udah vonis suamiku mandul, Bi, dia gak akan percaya!"
Bian mematikan sambungan telepon saat mendengar isak tangis dari si penelpon. Persetan dengan Kania. Bian tidak yakin kalau itu hasil perbuatannya. Bisa jadi, kan, kalau wanita itu tidur dengan banyak pria selain dirinya.
"Mentari..."
Bian menggumamkan nama Mentari berulang kali. Otaknya sudah buntu. Tidak tahu lagi apa yang harus ia lakukan untuk memperbaiki keadaan mereka. Mungkin memang begini cara Tuhan mempertemukan mereka kembali. Tidak untuk saling melepas rindu, tapi untuk membuat luka baru.
"Apa aku harus ngelepas kamu gitu aja?" Bian menggelengkan kepala. "Aku gak bisa, Mentari. Udah cukup satu tahun kamu nyiksa aku tanpa ampun. Dan sekarang, aku gak mau lagi kehilangan kamu."
'Tapi lu bikin bunting bini orang!'
Bian melempar ponsel yang tak bersalah ke dinding hingga memelanting ke lantai saat bisikan-bisikan batinnya bersuara. Entah ponsel itu menghilang ke mana, Bian tidak peduli.
"SIALAN!" teriaknya.
'Nama tengah lu!' batinnya lagi.
Bian rasanya ingin gila saja. Andai saja dulu ia tidak mementingkan rapat perusahaannya, mungkin keadaan tidak akan seperti ini.
'Iya, tapi lu bangkrut!'
"Diem anjing!" kesal Bian.
Bian terlalu lelah. Pria itu memebaringkan tubuhnya dan tak berselang lama matanya terpejam. Deru napasnya berubah teratur. Bian tertidur.
Bahkan, di dalam mimpi pun, dia bertemu Mentari. Wanita itu tetap saja membencinya. Tatapan dingin yang Mentari berikan membuat Bian kecewa luar biasa.
"Mentari... Aku mencintai kamu..." Racauan pria itu sangat menyedihkan.
Dalam pejam yang menyiksa, Bian tersenyum. Mentari menjauh, lalu bertemu dengan seorang anak laki-laki yang sangat tampan. Wanita itu menggendongnya dan menciuminya. Senyum Bian langsung luntur begitu saja saat anak laki-laki itu menatapnya.
Sama dengan Mentari. Pandangannya sangat dingin dan menusuk.
"Papa membunuhku! Papa membunuhku!"
Tangan Bian terkepal. Apalagi saat Mentari ikut menoleh ke arahnya dan tersenyum tipis. "Kamu yang membunuhnya," ujar wanita itu sebelum berlalu hilang bersama anak laki-laki di gendongannya.
Tidak! Bian tidak mau mereka pergi. Bian tidak mau mereka meninggalkannya seorang diri. Bian tidak mau kehilangan lagi.
Mentari terbangun dengan ringisan kecil keluar dari bibirnya. Hasna yang saat itu sedang meletakkan nampan di atas nakas seketika menoleh dan membantu Mentari untuk duduk bersandar di kepala ranjang."Pusing?" tanyanya.Mentari perlahan membuka mata dan dahinya berkerut memperhatikan sekeliling. "Iya. Aku kenapa, Bu?"
Sore harinya di kediaman Senja dan Genta, sebuah mobil mewah berhenti di depan perkarang rumah tersebut. Setelah memperlihatkan identitas si pengemudi, barulah gerbang yang menjulang tinggi itu dibuka, lalu mobil dipersilakan masuk.Mentari yang duduk di taman depan rumah menemani kedua keponakannya bermain seketika menoleh. Mentari tidak asing dengan mobil yang baru saja berhenti di depan rumah kembarannya.
Ketika tiba di Jakarta, Bian mendapat telepon dari sekretarisnya, Daisy. Wanita itu berkata kalau klien yang ingin menjalin kerja sama dengan perusahaan mereka menginginkan bertemu besok di lokasi yang menjadi target proyek.Bian mengusap kasar wajahnya. Selalu saja ada hambatan jika ini menyangkut Mentari. Sepertinya Tuhan tidak ingin Bian bertemu dengan wanita itu dalam waktu dekat."Baik, siapkan keperlua
Bian menatap wajah lelap Mentari dengan pandangan lembut. Wanita itu sangat tenang dalam tidurnya. Wajahnya yang cantik tidak bisa ditutupi meski dihiasi kulit pucat."Maafin aku," Bian menggenggam tangan Mentari yang bebas dari jarum infus. Wanita itu memang sudah dipindahkan ke ruang perawatan VVIP sesuai dengan yang Bian minta.Ponsel Bian berdering, membuat pria itu segera beranjak untuk mengangkat pangg
Pagi menjelang, Bian terbangun lebih dulu karena getaran sebuah benda di atas meja di sebelah ranjang pasien. Dengan sebelah lengan yang masih dijadikan bantal oleh kepala Mentari, Bian bergerak pelan untuk meraih ponselnya.Bian menggigit bibir saat Mentari sedikit bergerak karena mungkin merasakan gerakan tubuhnya. Setelah melihat wanita itu kembali tenang, Bian menatap layar ponsel miliknya."Sial," decak
Mentari mengernyit bingung ketika pintu ruang inapnya terbuka dan yang kembali hanya ayahnya saja. Bian tidak ada bersama pria itu. "Bian mana, Pa?" Ikhsan tersenyum pada Mentari lalu berjalan ke arah sofa. Pria itu menghembuskan napas panjang sebelum menjawab pertanyaan putrinya.
"Bu, tenang," Genta mengusap punggung Hasna sambil tersenyum lembut."Gimana Ibu bisa tenang kalau adikmu itu mendadak gini nyuruh ke Jakarta. Bawa-bawa orangtua Mentari pula. Bikin masalah apa lagi dia, Genta... Ya, Tuhan," keluh Hasna.Genta menghela napas. Ibunya tidak pernah berpikir positif lagi kepada Bian sejak adiknya itu melukai wanita yang disayangi ibu mereka seperti putrinya sendiri.
"Bian,"Lucas mengangguk dan tersenyum menatap Bian yang menyebutkan namanya sebagai perkenalan mereka. Keduanya lama bertatapan. Bian mengernyit, tatapan Lucas padanya mempunyai makna lain.Apa..."Saya sedikit minder jika ini calon suami Mentari," celetuk Lucas tiba-tiba.Kedua orangtua Mentari tertawa pelan mendengarnya. "Jodoh gak bisa diatur, Luc, kalau dulu kamu tidak mempunyai istri, mungkin bisa jadi Mentari istrimu sekarang," balas Ikhsan.Bian berdeham pelan membuat Ikhsa menyuruh mereka untuk duduk dan berbincang bersama. Perasaan Bian mendadak tidak tenang. Bagaimana bisa calon mertuanya mempunyai hubungan bisnis sedekat ini dengan Lucas? Apa Kania juga pernah datang kemari?"Kapan kamu bakal bawa istrimu ke sini, Luc? Ini sudah lama sekali. Kami juga penasaran sama nyonya Lucas," ujar ibu Mentari.Bian tidak berhenti menatap setiap pergerakan Lucas. Pria itu sedikit mencurigai maksud kedatangan Lucas ke sini.
"Good morning,My Sunshine," Bian memberikan kecupan-kecupan ringan di pipi Mentari yang baru saja membuka mata. Mentari tersenyum secerah sinar matahari pagi ini. "Nyenyak banget," gumamnya dengan perasaan bahagia. Ini tidur pertama yang sangat Mentari nikmati setelah enam bulan menikah dengan Bian. Mentari merasa benar-benar menjadi wanita utuh kali ini. Bian sudah menanam sahamnya dan itu membuat Mentari bisa bernapas lega.
"Bi," Bian menatap Mentari dengan pandangan bertanya. Pria itu mengusap pipi istrinya dengan lembut. Posisi mereka saat ini sama-sama berbaring menyamping. Menatap kebahagiaan dari wajah masing-masing. "Udah enam bulan. Aku udah sembuh. Kamu..." Bian tersenyum lembut dan mendekatkan wajahnya untuk bisa menyentuh ujung hidung Mentari dengan ujung
Enam bulan berlalu. "Ya... Ya..." Mentari menunduk dan tersenyum. Seorang bayi gembul berusia 5 bulan sedang menatap pada seorang pria dengan mata bulatnya yang jernih. "Dadah Ayah..." Mentari melambaikan tangan si bocah pada pria di depan mereka.
“Ay, maaf, ya. Aku belum bisa ajak kamu honeymoon atau ke mana pun dalam keadaan kayak gini,”bisik Bian dengan nada bersalah kepada wanita yang kini sudah resmi menjadi istrinya. “Gak apa-apa. Aku bareng sama kamu kayak gini aja udah senang, Bi, aku gak butuh yang lain untuk saat ini,”balas Mentari. Hari sudah malam. Acara akad diselenggarakan pada pagi menjelang siang tadi. Kini anggota keluarga yang lain sudah pergi dan meninggalkan Bian serta Mentari berduaan. “Siapa?” Pintu ruangan yang diketuk, lalu terbuka membuat Bian serta Mentari menoleh bersamaan. Saat Bian bertanya, tidak ada suara. Ternyata… “Mama,” Mentari mengurai pelukannya pada tubuh sang suami. Wanita itu menegakkan tubuhnya saat orang yang ia panggil ‘mama’itu mendekat. Raut wajahnya pias dan penuh penyesalan. “Ay, selamat,”ujarnya. Mentari berdiri dan menerima uluran tangan ibunya. Mentari menyayangi kedua orangtua angkatnya seperti orangtua kandung.
Hitungan jam menuju hari yang ditunggu oleh Mentari dan Bian. Meski keadaan Bian masih dalam tahap pemulihan, tapi hal tersebut tidak menyurutkan niat dan semangatnya untuk mempersunting wanita pujaannya. “Kenapa?”tanya Bian saat Mentari mendongak. Wanita itu tengah berbaring di sofa dengan paha Bian sebagai alasnya. “Aku… mau ikut konsultasi. Aku… mau sembuh, Bi.” Bian tahu ke mana arah pembicaraan mereka kali ini. Senyum lembut yang Bian berikan membuat Mentari sedikit tenang. Elusan telapak tangan Bian di rambutnya bisa Mentari rasakan penuh dengan perasaan sayang. “Apa pun keputusan kamu, aku akan selalu dukung. Apalagi itu untuk kebaikan kamu, Ay,”balas Bian. Mentari menarik napas sebelum membuangnya secara perlahan. Mentari berharap traumanya akan benar-benar sembuh total dan ia bisa hidup dengan tenang Bersama Bian tanpa dibayang-bayang masalalu menakutkan. “Kapan mau mulai konsultasi?”tanya Bian. Ibu jarinya mengusap kening Men
Kini urusan Kania dan Bian sudah selesai. Tidak ada yang perlu mereka khawatirkan lagi. Kania tidak menginginkan Bian lagi. Kania sadar, tidak ada hal baik yang akan terjadi jika ia memaksakan keinginan konyolnya.Kania berbalik dan melangkah menuju pintu di mana Mentari masih terdiam bisu. Kania berhenti sejenak dan tersenyum sambil mengangguk kecil pada Mentari sebelum benar-benar pergi dari sana."Sini,"
Bian tengah menunggu Mentari yang katanya ingin membeli camilan di supermarket sebelah rumah sakit. Sementara Hasna, Genta dan Nisa sudah kembali ke Bali untuk menjemput Senja. Kembaran Mentari itu bersikeras ingin hadir di pernikahan Bian dan Mentari, padahal ia tengah hamil besar saat ini.Pintu kamar inap yang terbuka membuat senyum Bian mengembang. Namun, saat bukan Mentari yang masuk, senyumnya langsung hilang begitu saja. Apalagi sosok di depannya sana bukan lah orang yang ingin ia lihat.
Hasna memeluk Mentari dengan erat. Tangisnya kembali pecah ketika wanita itu bertanya ke mana saja calon menantunya tersebut selama seminggu ini. Hasna tidak menyangka kalau orangtua Mentari menghukum Bian seperti ini.Menjauhkan Bian dari Mentari sama saja membunuh putranya itu secara perlahan dengan pasti."Maafin aku, Bu," bisik Mentari dengan suara parau.Hasna menggeleng. Keduanya mengurai pelukan dan jemari tua Hasna mengelus pipi basah Mentari."Jangan pergi lagi, ya, Nak. Jangan tinggalin Bian," mohonnya.Mentari semakin terisak. Kepalanya menggeleng dengan kuat. "Aku gak akan ninggalin Bian, Bu, aku gak mau kehilangan Bian lagi," balasnya.Hasna mengangguk, "kalian berhak bahagia. Ibu selalu mendoakan yang terbaik untuk kalian."Mentari mengusap punggung tangan Hasna dengan ibu jarinya. Pandangan wanita itu sedikit menunduk. Ada keinginan yang harus dia sampaikan. Tapi Mentari ragu, apakah ini waktu yang tepat atau tidak?
Mentari mengusap air matanya yang tidak mau berhenti sejak tadi. Tangannya dengan cepat memasukkan beberapa barang yang menurutnya cukup penting ke dalam tas kecil miliknya. Ponsel yang Ikhsan berikan juga ia bawa. Jaga-jaga kalau ia membutuhkan sesuatu dengan benda itu.Mentari menatap pintu kamar. Orangtuanya pasti sudah terlelap saat ini. Mentari akan pergi. Dia tidak bisa berdiam diri di sini. Mentari harus bertemu Bian. Rasa rindunya semakin menyiksa. Apalagi Mentari tidak tahu bagaimana Bian saat ini. Apakah pria itu mencarinya? Semua akses yang bisa Mentari gunakan untuk berkomunikasi dengan Bian