Usai makan malam, yang mana masih saja memberikan bekas goresan luka di hati Mentari, wanita itu tetap terlihat baik-baik saja di depan Bian. Bahkan, ketika Bian bilang ingin mampir sebentar ke apartemennya untuk mengecek beberapa pekerjaannya sebelum besok ada rapat penting dengan dewan direksi luar negeri, Mentari menurut saja.
Keduanya masuk ke unit apartemen mewah milik Bian. Bian berlalu ke dalam kamar dan keluar setelah tiga puluh menit berakhir. Pria itu berjalan ke arah ruang tamu di mana tadi ia meninggalkan Mentari.
"Tidur?" Bian mendekat, matanya menatap wajah cantik Mentari yang terlelap.
"Bisa-bisanya kamu tidur kayak gini padahal lagi berdua aja sama pria dewasa," decak Bian saat melihat betapa kacaunya keadaan wanita itu.
Bian menepuk pelan pipi Mentari untuk membangunkannya. Wanita itu mengigau. Kening Bian langsung berkerut dalam saat hidungnya mencium aroma alkohol. Dengan langkah kaki lebar, Bian menuju dapur. Pria itu mengumpat kasar saat melihat isi dua botol alkohol yang memang dia letakkan di atas meja sudah hampir habis.
Memejamkan mata, Bian memijit pelipisnya. Kepalanya mendadak pusing. Mentari kenapa? Wanita itu benar-benar membuatnya tak habis pikir. Dua botol minuman alkohol bahkan Bian habisnya untuk satu bulan bila ia teringat kembali mimpi bertemu istri dan anaknya saja. Lalu Mentari ingin menghabiskannya dalam satu malam? Gila.
"Mentari, ayo bangun, aku akan antar kamu pulang," Bian masih berusaha untuk membangunkan wanita tak sadarkan diri itu.
Bian berkacak pinggang, sepertinya dia tidak akan berhasil mengingat kesadaran Mentari yang sudah terkikis habis oleh alkohol.
Dengan pelan, Bian menggendong Mentari dan membawanya ke dalam kamar. Mengantarkan wanita itu pulang dalam keadaan seperti ini hanya akan membuat nama Bian tercoreng. Apalagi kedua orangtua angkat Mentari sangat menyayangi wanita itu.
"Bian... Aku sayang sama kamu... Aku cinta sama kamu..."
Bian yang hendak meninggalkan kamar langsung terhenti kala racauan Mentari sangat jelas terdengar oleh telinganya.
Bian tercenung, dia bahkan sampai melupakan ungkapan perasaan wanita itu saat makan malam tadi. Mengusap kasar wajahnya, Bian kembali mendekat dan duduk di tepian kasur. Matanya menatap sudut mata Mentari yang meneteskan air. Apa wanita itu menangis dalam tidurnya?
"Kenapa semua orang gak suka sama aku? Kenapa? Bahkan.... Setelah dicampakkan oleh tunanganku karena aku gak mau tidur dengannya, aku selalu menyalahkan diri sendiri. Harusnya aku tidak terlalu memikirkan keperawanan sialan ini!"
Bian tertegun. Mentari masih perawan? Karena yang Bian tahu, wanita itu lama tinggal di luar negeri. Jadi, untuk hal tabu seperti itu rasanya sangat mustahil masih dipertahankan.
"Gerah!" Mentari menarik-narik ujung dresnya sehingga terangkat ke atas memperlihatkan pangkal paha dan sedikit celana dalamnya.
Bian menahan napas. Pria itu jelas normal. Apalagi dia sudah lama tidak memanjakan adik kecilnya. Kini napasnya memberat seiring gerakan kaki Mentari yang melebar.
"Bian... Ambil aja. Atau... Kamu gak tertarik sama aku karena aku bukan dokter cantik itu? Hahaha... Aku benar-benar gak diinginkan," Mentari menggumam pelan disela tawa dan air matanya yang semakin deras.
Bian memejamkan mata dan mengusap kasar wajahnya. Godaan malam ini sungguh menyiksa. Dengan langkah lebar, Bian memasuki kamar mandi dan mengguyur kepalanya yang ingin meledak karena pikiran kotor akan seksinya tubuh Mentari.
Bian harus tetap sadar dan waras meski Mentari sudah tidak lagi berpikir normal. Wanita itu terlalu dikuasai oleh minuman laknat miliknya.
***
Bian keluar dari kamar mandi dengan handuk yang menggantung rendah di pinggulnya. Langkahnya seketika berhenti dan matanya melotot lebar saat melihat tubuh Mentari di atas ranjangnya sudah tak terbalut apa pun lagi. Wanita itu benar-benar membuat Bian kalang kabut.
Bahkan, adik kecil yang tadi dia tenangkan kembali memberontak. Bian sakit kepala. Pundaknya terasa berat jika tidak bisa dituntaskan lagi.
Sialan!
Dengan langkah tergesa, Bian mendekati pintu kamar dan menguncinya. Bian menarik dan membuang asal handuk yang tadi melindungi asetnya. Kini pria itu sama dengan Mentari, polos.
"Aku harap kamu gak menyesal setelah ini Mentari, kamu yang mulai," desis Bian.
Bian memposisikan diri di antara kedua kaki Mentari. Dibukanya kedua paha wanita itu dengan lebar sehingga hal yang selalu tertutupi kain segitiga tipis itu terpampang di depan wajahnya.
Napas Bian memburu. Kepalanya perlahan turun hingga napasnya menerpa bibir tembam di bawah sana. Mentari tanpa sadar melenguh dan melengkungkan tubuhnya saat merasakan intinya ditiup. Mentari bermimpi sedang bercinta dengan Bian. Bibirnya tersungging senyum manis. Dia rela kalau Bian yang mengambil mahkota berharganya.
Lidah Bian menyentuh inti Mentari yang sangat sensitif. Mentari mendesah dan itu membuat Bian semakin menginginkan lebih. Pria itu kalap, diraupnya dengan rakus bibir bawah Mentari yang perlahan mulai basah karena terpancing gairah.
Entah berapa lama Bian bermain menggunakan lidah dan bibirnya. Mencecap, mengobrak-abrik liang sempit itu, dan menghisap bersih cairannya.
"Kamu cantik, Mentari, sangat," puji Bian sambil menindih tubuh Mentari.
Bibir Bian kini bermain di kedua payudara padat Mentari. Menghisap, menggigit dan meninggalkan banyak bekas kepemilikannya di sana. Mentari, miliknya mulai malam ini.
"Aahh... Bian..."
Bian semakin menekan juniornya dengan pasti agar tenggelam di liang sempit dan hangat milik Mentari. Desahan tanpa sadar yang Mentari berikan membuat Bian semakin mabuk akan nikmatnya jepitan kuat di bawah sana. Kening Bian berkeringat dan urat-urat lehernya menonjol karena menahan erangan kuat.
Sial. Bian tidak pernah merasakan penyiksaan yang kejam seperti ini. Dia sangat sulit bergerak karena sempitnya liang Mentari. Saat Bian menoleh ke bawah, senyuman di bibirnya tersungging lebar. Darah.
"Aku juga cinta kamu, Mentari," balas Bian untuk perasaan wanita itu. Walaupun Mentari tidak akan tahu, tapi Bian tidak peduli, besok, semuanya akan berubah, Mentari tidak akan bisa lepas darinya.
"Aarghh...." Bian mengerang saat mulai bergerak menikmati percintaan sebelah pihak malam ini. Mentari jelas tidak tahu apa pun. Mungkin, saat bangun pagi esok, Mentari akan memakinya. Bian akan terima.
Kedua tangan Bian meremas gundukan padat milik Mentari, walaupun tidak sebesar milikwa wanita-wanita yang pernah tidur dengannya, tapi punya Mentari sangat pas di telapak tangannya. Bian sangat menyukainya.
Melihat bekas bibirnya di dada Mentari, Bian kembali tersenyum. Apakah kurang? Leher, perut, paha, belum. Bian akan membuatnya. Kalau bisa sampai ke telapak kaki wanita itu.
Bian seperti pria gila yang terobsesi dengan tubuh indah dan seksi milik Mentari. Malam panas dan malam yang penuh kenikmatan untuk Bian. Bian tidak akan pernah melupakan malam spesial ini.
Entah berapa kali pria itu mendapatkan pelepasan dan entah berapa banyak cairannya yang sudah masuk memenuhi rahim Mentari. Yang jelas, Bian seakan mati rasa akan kepuasannya malam ini. Pria itu ingin lagi dan lagi.
"Cuma sampai di situ aku berhasil mengingatnya saat sadar. Aku gak mimpi, Senja. Malam itu, nyata." Mentari menggertakkan giginya. Terlalu mabuk sampai tidak sadar sedang bercinta secara nyata dengan pria yang ia mimpikan di saat yang bersamaan."Dan aku udah gak pernah lihat Bian lagi setelah bangun di pagi itu. Dia pergi. Ninggalin aku. Jauhin aku," isak Mentari menyudahi caritanya kepada Senja.Senja meme
Telinga Bian yang tajam saat mendengar nama Mentari disebutkan membuat pria itu langsung beranjak dan berlari keluar ruang kerja Genta. Bian memasuki kamar Mentari, sudah ada Hasna di dalam sana sambil menepuk pelan pipi wanita itu."Mentari kenapa?" Bian bertanya dengan nada khawatir serta panik.Hasna menggeleng sebagai jawaban. Dia tidak tahu apa yang terjadi sehingga wanita itu tak sadarkan diri seperti
Mentari terbangun dengan ringisan kecil keluar dari bibirnya. Hasna yang saat itu sedang meletakkan nampan di atas nakas seketika menoleh dan membantu Mentari untuk duduk bersandar di kepala ranjang."Pusing?" tanyanya.Mentari perlahan membuka mata dan dahinya berkerut memperhatikan sekeliling. "Iya. Aku kenapa, Bu?"
Sore harinya di kediaman Senja dan Genta, sebuah mobil mewah berhenti di depan perkarang rumah tersebut. Setelah memperlihatkan identitas si pengemudi, barulah gerbang yang menjulang tinggi itu dibuka, lalu mobil dipersilakan masuk.Mentari yang duduk di taman depan rumah menemani kedua keponakannya bermain seketika menoleh. Mentari tidak asing dengan mobil yang baru saja berhenti di depan rumah kembarannya.
Ketika tiba di Jakarta, Bian mendapat telepon dari sekretarisnya, Daisy. Wanita itu berkata kalau klien yang ingin menjalin kerja sama dengan perusahaan mereka menginginkan bertemu besok di lokasi yang menjadi target proyek.Bian mengusap kasar wajahnya. Selalu saja ada hambatan jika ini menyangkut Mentari. Sepertinya Tuhan tidak ingin Bian bertemu dengan wanita itu dalam waktu dekat."Baik, siapkan keperlua
Bian menatap wajah lelap Mentari dengan pandangan lembut. Wanita itu sangat tenang dalam tidurnya. Wajahnya yang cantik tidak bisa ditutupi meski dihiasi kulit pucat."Maafin aku," Bian menggenggam tangan Mentari yang bebas dari jarum infus. Wanita itu memang sudah dipindahkan ke ruang perawatan VVIP sesuai dengan yang Bian minta.Ponsel Bian berdering, membuat pria itu segera beranjak untuk mengangkat pangg
Pagi menjelang, Bian terbangun lebih dulu karena getaran sebuah benda di atas meja di sebelah ranjang pasien. Dengan sebelah lengan yang masih dijadikan bantal oleh kepala Mentari, Bian bergerak pelan untuk meraih ponselnya.Bian menggigit bibir saat Mentari sedikit bergerak karena mungkin merasakan gerakan tubuhnya. Setelah melihat wanita itu kembali tenang, Bian menatap layar ponsel miliknya."Sial," decak
Mentari mengernyit bingung ketika pintu ruang inapnya terbuka dan yang kembali hanya ayahnya saja. Bian tidak ada bersama pria itu. "Bian mana, Pa?" Ikhsan tersenyum pada Mentari lalu berjalan ke arah sofa. Pria itu menghembuskan napas panjang sebelum menjawab pertanyaan putrinya.
"Good morning,My Sunshine," Bian memberikan kecupan-kecupan ringan di pipi Mentari yang baru saja membuka mata. Mentari tersenyum secerah sinar matahari pagi ini. "Nyenyak banget," gumamnya dengan perasaan bahagia. Ini tidur pertama yang sangat Mentari nikmati setelah enam bulan menikah dengan Bian. Mentari merasa benar-benar menjadi wanita utuh kali ini. Bian sudah menanam sahamnya dan itu membuat Mentari bisa bernapas lega.
"Bi," Bian menatap Mentari dengan pandangan bertanya. Pria itu mengusap pipi istrinya dengan lembut. Posisi mereka saat ini sama-sama berbaring menyamping. Menatap kebahagiaan dari wajah masing-masing. "Udah enam bulan. Aku udah sembuh. Kamu..." Bian tersenyum lembut dan mendekatkan wajahnya untuk bisa menyentuh ujung hidung Mentari dengan ujung
Enam bulan berlalu. "Ya... Ya..." Mentari menunduk dan tersenyum. Seorang bayi gembul berusia 5 bulan sedang menatap pada seorang pria dengan mata bulatnya yang jernih. "Dadah Ayah..." Mentari melambaikan tangan si bocah pada pria di depan mereka.
“Ay, maaf, ya. Aku belum bisa ajak kamu honeymoon atau ke mana pun dalam keadaan kayak gini,”bisik Bian dengan nada bersalah kepada wanita yang kini sudah resmi menjadi istrinya. “Gak apa-apa. Aku bareng sama kamu kayak gini aja udah senang, Bi, aku gak butuh yang lain untuk saat ini,”balas Mentari. Hari sudah malam. Acara akad diselenggarakan pada pagi menjelang siang tadi. Kini anggota keluarga yang lain sudah pergi dan meninggalkan Bian serta Mentari berduaan. “Siapa?” Pintu ruangan yang diketuk, lalu terbuka membuat Bian serta Mentari menoleh bersamaan. Saat Bian bertanya, tidak ada suara. Ternyata… “Mama,” Mentari mengurai pelukannya pada tubuh sang suami. Wanita itu menegakkan tubuhnya saat orang yang ia panggil ‘mama’itu mendekat. Raut wajahnya pias dan penuh penyesalan. “Ay, selamat,”ujarnya. Mentari berdiri dan menerima uluran tangan ibunya. Mentari menyayangi kedua orangtua angkatnya seperti orangtua kandung.
Hitungan jam menuju hari yang ditunggu oleh Mentari dan Bian. Meski keadaan Bian masih dalam tahap pemulihan, tapi hal tersebut tidak menyurutkan niat dan semangatnya untuk mempersunting wanita pujaannya. “Kenapa?”tanya Bian saat Mentari mendongak. Wanita itu tengah berbaring di sofa dengan paha Bian sebagai alasnya. “Aku… mau ikut konsultasi. Aku… mau sembuh, Bi.” Bian tahu ke mana arah pembicaraan mereka kali ini. Senyum lembut yang Bian berikan membuat Mentari sedikit tenang. Elusan telapak tangan Bian di rambutnya bisa Mentari rasakan penuh dengan perasaan sayang. “Apa pun keputusan kamu, aku akan selalu dukung. Apalagi itu untuk kebaikan kamu, Ay,”balas Bian. Mentari menarik napas sebelum membuangnya secara perlahan. Mentari berharap traumanya akan benar-benar sembuh total dan ia bisa hidup dengan tenang Bersama Bian tanpa dibayang-bayang masalalu menakutkan. “Kapan mau mulai konsultasi?”tanya Bian. Ibu jarinya mengusap kening Men
Kini urusan Kania dan Bian sudah selesai. Tidak ada yang perlu mereka khawatirkan lagi. Kania tidak menginginkan Bian lagi. Kania sadar, tidak ada hal baik yang akan terjadi jika ia memaksakan keinginan konyolnya.Kania berbalik dan melangkah menuju pintu di mana Mentari masih terdiam bisu. Kania berhenti sejenak dan tersenyum sambil mengangguk kecil pada Mentari sebelum benar-benar pergi dari sana."Sini,"
Bian tengah menunggu Mentari yang katanya ingin membeli camilan di supermarket sebelah rumah sakit. Sementara Hasna, Genta dan Nisa sudah kembali ke Bali untuk menjemput Senja. Kembaran Mentari itu bersikeras ingin hadir di pernikahan Bian dan Mentari, padahal ia tengah hamil besar saat ini.Pintu kamar inap yang terbuka membuat senyum Bian mengembang. Namun, saat bukan Mentari yang masuk, senyumnya langsung hilang begitu saja. Apalagi sosok di depannya sana bukan lah orang yang ingin ia lihat.
Hasna memeluk Mentari dengan erat. Tangisnya kembali pecah ketika wanita itu bertanya ke mana saja calon menantunya tersebut selama seminggu ini. Hasna tidak menyangka kalau orangtua Mentari menghukum Bian seperti ini.Menjauhkan Bian dari Mentari sama saja membunuh putranya itu secara perlahan dengan pasti."Maafin aku, Bu," bisik Mentari dengan suara parau.Hasna menggeleng. Keduanya mengurai pelukan dan jemari tua Hasna mengelus pipi basah Mentari."Jangan pergi lagi, ya, Nak. Jangan tinggalin Bian," mohonnya.Mentari semakin terisak. Kepalanya menggeleng dengan kuat. "Aku gak akan ninggalin Bian, Bu, aku gak mau kehilangan Bian lagi," balasnya.Hasna mengangguk, "kalian berhak bahagia. Ibu selalu mendoakan yang terbaik untuk kalian."Mentari mengusap punggung tangan Hasna dengan ibu jarinya. Pandangan wanita itu sedikit menunduk. Ada keinginan yang harus dia sampaikan. Tapi Mentari ragu, apakah ini waktu yang tepat atau tidak?
Mentari mengusap air matanya yang tidak mau berhenti sejak tadi. Tangannya dengan cepat memasukkan beberapa barang yang menurutnya cukup penting ke dalam tas kecil miliknya. Ponsel yang Ikhsan berikan juga ia bawa. Jaga-jaga kalau ia membutuhkan sesuatu dengan benda itu.Mentari menatap pintu kamar. Orangtuanya pasti sudah terlelap saat ini. Mentari akan pergi. Dia tidak bisa berdiam diri di sini. Mentari harus bertemu Bian. Rasa rindunya semakin menyiksa. Apalagi Mentari tidak tahu bagaimana Bian saat ini. Apakah pria itu mencarinya? Semua akses yang bisa Mentari gunakan untuk berkomunikasi dengan Bian