Bian membeku mendengar ucapan Mentari. Tidak. Wanita itu pasti membual. Mentari tidak mungkin...
"Aku membunuhnya. A-aku..." Mentari tidak dapat melanjutkan kata-katanya ketika dia ingat bahwa dulu, dia pernah melakukan kesalahan sehingga janin kecil tak berdosa itu pergi.
"Kamu... Bohong," Bian tidak percaya.
"Di mana anak itu, Mentari?! Di mana anakku?!"
Mentari terisak. Kedua tangannya menutup wajahnya yang basah karena air mata. Tidak. Dia tidak berbohong. Janin tak bersalah itu sudah tidak ada.
"Jawab aku, Mentari!" teriak Bian penuh amarah.
Bian tidak pernah lepas kendali seperti ini. Pria itu selalu bisa mengatur emosinya. Tapi dengan Mentari, entah kenapa hal yang biasanya bisa Bian kendalikan, malah lepas bebas begitu saja.
Mentari gagal menjaga janin di rahimnya. Bahkan, wanita itu sangsi kalau dirinya akan bisa hamil lagi setelah insiden mengerikan yang menimpanya.
Dengan kesal, Bian beranjak dari atas tubuh Mentari. Pria itu berlalu begitu saja keluar dari kamar meninggalkan Mentari yang kini terisak.
Di luar kamar, Bian memejamkan mata saat pukulan keras mengenai wajahnya. Hasna berdiri dengan tangan gemetar. Wajah wanita tua itu sudah merah padam. Di belakangnya ada Senja yang terisak di pelukan Genta.
Semua orang sudah mendengarnya.
"Kamu bajingan, Bian! Kamu biadab!" seru Hasna dengan suara gemetar. Tubuh wanita itu hampir saja limbung kalau Bian tidak memegangnya dengan cepat.
"Bu," Bian mendekat dan mendekap Hasna.
Hasna memberontak. Dia kecewa pada Bian. Hasna tidak pernah berpikir kalau Bian akan sejahat itu menyakiti Mentari.
"Ibu terima kalau kamu gak mencintai Mentari. Ibu masih terima saat kamu bilang ada wanita lain yang sudah membuat kamu jatuh hati. Tapi ini apa, Bian?" Hasna berkaca-kaca.
"Kamu menyakiti Mentari! Kamu..."
Pintu kamar yang terbuka membuat semua orang menoleh. Mentari menarik kopernya keluar dan berhenti tak jauh dari Hasna.
"Aku... Pergi aja. Tempatku bukan di sini," ujarnya dengan mata basah.
Senja yang lebih dulu mendekat. Wanita itu menggeleng dengan wajah memohon pada kembarannya.
"Kita bisa selesaikan ini baik-baik, Mentari. Ada aku. Kamu bisa berbagi sama aku. Kita saudara, kan?" Senja memegang lengan Mentari.
Mentari menatap Senja dan air matanya kembali mengalir. "Maaf, Senja. Maaf. Aku mengacaukan segalanya," gumam Mentari.
Senja menggeleng. "Masuk, ya, bicara sama aku. Aku butuh penjelasan lengkap dari kamu. Aku mohon," pinta Senja.
Untungnya, Mentari cepat luluh jika itu bersangkutan dengan Senja. Dengan langkah berat, wanita itu kembali membalikkan badannya mengikuti Senja kembali ke dalam kamar. Sedangkan Bian menghela napas lega entah karena apa.
"Ke ruang kerjaku sekarang," suruh Genta tanpa menatap adiknya.
Bian memejamkan mata. Pria itu kembali menatap Hasna tak lama kemudian. "Apa gak cukup kamu menolak Mentari, lalu kamu juga menghancurkan masa depannya, Bian?"
"Bu," Bian mengusap pipi basah Hasna. Pandangannya jelas sangat bersalah.
"Aku ke ruang Mas Genta dulu, nanti aku jelasin semuanya ke Ibu. Ini gak kayak yang Ibu pikirkan," bujuk Bian.
Hasna menggeleng. Kepalanya mendadak pusing. Dengan menepis pelan tangan Bian, Hasna berjalan meninggalkan pria itu. Hasna kembali ke halaman belakang di mana kedua cucunya berada di sana bersama Daisy.
Bian menghela napas dan memijit pelipisnya. Sial. Satu tahun tidak bertemu dan berkomunikasi dengan Mentari, membuat Bian tidak mengenali sikap wanita itu lagi.
***
"Kamu punya aku buat berbagi, kenapa menanggung semuanya sendiri?" tanya Senja dengan sedih.
Mentari menyandarkan kepalanya di pundak Senja. Kedua tangan mereka saling menggenggam. Senja memberikan kehangatan seorang kakak yang Mentari impikan.
"Aku gak mau bikin kamu kepikiran. Dan aku rasa, memendamnya sendiri, lalu pergi, adalah jalan terbaik," jawab Mentari.
Senja menghela napas. Mentari persis dirinya dulu. Semua hal dipendam sendiri. Tapi sekarang, karena ada Genta dan keluarga kecilnya, Senja jadi terbiasa berbagi.
"Coba cerita, aku mau tahu hubungan kamu sama Mas Bian itu gimana. Dan alasan kamu pergi selain ditolak Mas Bian, aku mau tahu juga," bujuk Senja.
Mentari menarik napas, lalu dihembuskannya secara perlahan sebelum memulai ceritanya. Ingatannya jatuh pada setahun yang lalu. Saat ia dan Bian memutuskan untuk makan malam berdua. Entah apa yang saat itu ada dibenak Mentari, sehingga ia berniat untuk menggoda Bian dan menyerahkan harta berharga yang dia miliki.
Satu tahun yang lalu,
Mentari tersenyum kala Bian tersenyum padanya. Tatapan yang Bian berikan sedikit membuat Mentari salah tingkah. Pria itu seolah memiliki perasaan yang sama dengannya. Tapi Mentari tidak tahu isi hati pria tersebut karena Bian, tidak pernah mengutarakan apa pun mengenai perasaan.
"Kenapa ngajak makan malam mendadak?" tanya Mentari menatap sekeliling mereka. Resto yang Bian pilih terkenal mahal dan jelas hanya bisa dimasuki oleh orang-orang berduit.
"Gak papa. Bosan makan di rumah mulu," jawab Bian asal.
"Aku aduin Ibu, loh, kamu secara gak langsung bilang bosan sama masakan Ibu dan Senja," celetuk Mentari.
Bian tertawa. Sejak mengenal wanita ini lebih kurang dua bulan, Bian tahu, hatinya milik siapa. Jatuh cinta pada pandangan pertama bukanlah hal tabu. Bian akui, awalnya dia melihat fisik Mentari yang sempurna di matanya. Lalu, sikap dan sifat wanita itu juga membuatnya jatuh hati.
"Aku mau jujur," Mentari meremas ujung dres yang ia kenakan malam ini.
Mereka sudah selesai makan malam. Tapi Bian tidak ada niatan untuk segera beranjak. Jadi, Mentari simpulkan, kalau pria itu masih ingin menghabiskan waktu lebih lama lagi dengannya.
"Apa?"
"Sebenarnya.... Aku suka sama kamu, Bi," ujar Mentari.
Bian terdiam. Mata pria itu menatap lurus pada wajah cantik Mentari yang dihiasi make up tipis. Ada rasa hangat yang menjalar di hatinya mendengar ungkapan blak-blakan Mentari.
"Aku..."
"Bian?"
Bian menoleh, begitupun dengan Mentari. Ada seorang wanita yang berjalan ke arah meja mereka. "Benar. Aku kira bukan," ujar wanita berstatus dokter tersebut.
"Kamu sendiri?" tanya Bian. Wanita yang berdiri di sebelah meja mereka itu mengangguk.
"Lagi pengin sendiri. Kamu..." Matanya melirik Mentari yang hanya diam saja memperhatikan mereka.
"Oh, ini, kembarannya Senja," ujar Bian.
"Loh? Senja punya kembaran? Aku gak tahu," Kania, nama dokter tersebut.
"Iya. Ceritanya panjang. Gak mau gabung?" ajak Bian.
Kania tertawa. "Gak, ah, nanti ganggu, lagi ngedate kayaknya," godanya mengerling pada Bian.
"Bukan. Cuma makan malam biasa," sanggah Bian.
Entah kenapa, Mentari merasa Bian malu untuk berhubungan dengannya. Apa dia setidak pantas itu bersama Bian?
"Boleh kenalan dong," Kania mengulurkan tangan pada Mentari.
"Hai," sapanya.
Mentari tersenyum sambil membalas uluran tangan Kania. "Mentari," ujarnya.
"Kania. Mantan kekasih Bian," kekeh Kania.
Bian berdecak dan Kania tertawa. Pria itu jadi ikut tertawa juga. Ya, mantan kekasih gelap lebih tepatnya. Hubungan mereka jelas terlarang. Kania sudah bersuami. Tapi mereka tetap main gila.
Satu hal yang Bian syukuri, mereka mengakhirinya dengan keadaan baik-baik saja tanpa beban apa pun sehingga ketika bertemu seperti ini pun, tidak ada rasa canggung.
'Wajar Bian gak tertarik padaku. Seleranya sekelas dokter cantik ini,' batin Mentari sedih.
Usai makan malam, yang mana masih saja memberikan bekas goresan luka di hati Mentari, wanita itu tetap terlihat baik-baik saja di depan Bian. Bahkan, ketika Bian bilang ingin mampir sebentar ke apartemennya untuk mengecek beberapa pekerjaannya sebelum besok ada rapat penting dengan dewan direksi luar negeri, Mentari menurut saja.Keduanya masuk ke unit apartemen mewah milik Bian. Bian berlalu ke dalam kamar dan keluar setelah tiga puluh menit berakhir. Pria itu berjalan ke arah ruang tamu di mana tadi ia meninggalkan Mentari.
"Cuma sampai di situ aku berhasil mengingatnya saat sadar. Aku gak mimpi, Senja. Malam itu, nyata." Mentari menggertakkan giginya. Terlalu mabuk sampai tidak sadar sedang bercinta secara nyata dengan pria yang ia mimpikan di saat yang bersamaan."Dan aku udah gak pernah lihat Bian lagi setelah bangun di pagi itu. Dia pergi. Ninggalin aku. Jauhin aku," isak Mentari menyudahi caritanya kepada Senja.Senja meme
Telinga Bian yang tajam saat mendengar nama Mentari disebutkan membuat pria itu langsung beranjak dan berlari keluar ruang kerja Genta. Bian memasuki kamar Mentari, sudah ada Hasna di dalam sana sambil menepuk pelan pipi wanita itu."Mentari kenapa?" Bian bertanya dengan nada khawatir serta panik.Hasna menggeleng sebagai jawaban. Dia tidak tahu apa yang terjadi sehingga wanita itu tak sadarkan diri seperti
Mentari terbangun dengan ringisan kecil keluar dari bibirnya. Hasna yang saat itu sedang meletakkan nampan di atas nakas seketika menoleh dan membantu Mentari untuk duduk bersandar di kepala ranjang."Pusing?" tanyanya.Mentari perlahan membuka mata dan dahinya berkerut memperhatikan sekeliling. "Iya. Aku kenapa, Bu?"
Sore harinya di kediaman Senja dan Genta, sebuah mobil mewah berhenti di depan perkarang rumah tersebut. Setelah memperlihatkan identitas si pengemudi, barulah gerbang yang menjulang tinggi itu dibuka, lalu mobil dipersilakan masuk.Mentari yang duduk di taman depan rumah menemani kedua keponakannya bermain seketika menoleh. Mentari tidak asing dengan mobil yang baru saja berhenti di depan rumah kembarannya.
Ketika tiba di Jakarta, Bian mendapat telepon dari sekretarisnya, Daisy. Wanita itu berkata kalau klien yang ingin menjalin kerja sama dengan perusahaan mereka menginginkan bertemu besok di lokasi yang menjadi target proyek.Bian mengusap kasar wajahnya. Selalu saja ada hambatan jika ini menyangkut Mentari. Sepertinya Tuhan tidak ingin Bian bertemu dengan wanita itu dalam waktu dekat."Baik, siapkan keperlua
Bian menatap wajah lelap Mentari dengan pandangan lembut. Wanita itu sangat tenang dalam tidurnya. Wajahnya yang cantik tidak bisa ditutupi meski dihiasi kulit pucat."Maafin aku," Bian menggenggam tangan Mentari yang bebas dari jarum infus. Wanita itu memang sudah dipindahkan ke ruang perawatan VVIP sesuai dengan yang Bian minta.Ponsel Bian berdering, membuat pria itu segera beranjak untuk mengangkat pangg
Pagi menjelang, Bian terbangun lebih dulu karena getaran sebuah benda di atas meja di sebelah ranjang pasien. Dengan sebelah lengan yang masih dijadikan bantal oleh kepala Mentari, Bian bergerak pelan untuk meraih ponselnya.Bian menggigit bibir saat Mentari sedikit bergerak karena mungkin merasakan gerakan tubuhnya. Setelah melihat wanita itu kembali tenang, Bian menatap layar ponsel miliknya."Sial," decak
"Good morning,My Sunshine," Bian memberikan kecupan-kecupan ringan di pipi Mentari yang baru saja membuka mata. Mentari tersenyum secerah sinar matahari pagi ini. "Nyenyak banget," gumamnya dengan perasaan bahagia. Ini tidur pertama yang sangat Mentari nikmati setelah enam bulan menikah dengan Bian. Mentari merasa benar-benar menjadi wanita utuh kali ini. Bian sudah menanam sahamnya dan itu membuat Mentari bisa bernapas lega.
"Bi," Bian menatap Mentari dengan pandangan bertanya. Pria itu mengusap pipi istrinya dengan lembut. Posisi mereka saat ini sama-sama berbaring menyamping. Menatap kebahagiaan dari wajah masing-masing. "Udah enam bulan. Aku udah sembuh. Kamu..." Bian tersenyum lembut dan mendekatkan wajahnya untuk bisa menyentuh ujung hidung Mentari dengan ujung
Enam bulan berlalu. "Ya... Ya..." Mentari menunduk dan tersenyum. Seorang bayi gembul berusia 5 bulan sedang menatap pada seorang pria dengan mata bulatnya yang jernih. "Dadah Ayah..." Mentari melambaikan tangan si bocah pada pria di depan mereka.
“Ay, maaf, ya. Aku belum bisa ajak kamu honeymoon atau ke mana pun dalam keadaan kayak gini,”bisik Bian dengan nada bersalah kepada wanita yang kini sudah resmi menjadi istrinya. “Gak apa-apa. Aku bareng sama kamu kayak gini aja udah senang, Bi, aku gak butuh yang lain untuk saat ini,”balas Mentari. Hari sudah malam. Acara akad diselenggarakan pada pagi menjelang siang tadi. Kini anggota keluarga yang lain sudah pergi dan meninggalkan Bian serta Mentari berduaan. “Siapa?” Pintu ruangan yang diketuk, lalu terbuka membuat Bian serta Mentari menoleh bersamaan. Saat Bian bertanya, tidak ada suara. Ternyata… “Mama,” Mentari mengurai pelukannya pada tubuh sang suami. Wanita itu menegakkan tubuhnya saat orang yang ia panggil ‘mama’itu mendekat. Raut wajahnya pias dan penuh penyesalan. “Ay, selamat,”ujarnya. Mentari berdiri dan menerima uluran tangan ibunya. Mentari menyayangi kedua orangtua angkatnya seperti orangtua kandung.
Hitungan jam menuju hari yang ditunggu oleh Mentari dan Bian. Meski keadaan Bian masih dalam tahap pemulihan, tapi hal tersebut tidak menyurutkan niat dan semangatnya untuk mempersunting wanita pujaannya. “Kenapa?”tanya Bian saat Mentari mendongak. Wanita itu tengah berbaring di sofa dengan paha Bian sebagai alasnya. “Aku… mau ikut konsultasi. Aku… mau sembuh, Bi.” Bian tahu ke mana arah pembicaraan mereka kali ini. Senyum lembut yang Bian berikan membuat Mentari sedikit tenang. Elusan telapak tangan Bian di rambutnya bisa Mentari rasakan penuh dengan perasaan sayang. “Apa pun keputusan kamu, aku akan selalu dukung. Apalagi itu untuk kebaikan kamu, Ay,”balas Bian. Mentari menarik napas sebelum membuangnya secara perlahan. Mentari berharap traumanya akan benar-benar sembuh total dan ia bisa hidup dengan tenang Bersama Bian tanpa dibayang-bayang masalalu menakutkan. “Kapan mau mulai konsultasi?”tanya Bian. Ibu jarinya mengusap kening Men
Kini urusan Kania dan Bian sudah selesai. Tidak ada yang perlu mereka khawatirkan lagi. Kania tidak menginginkan Bian lagi. Kania sadar, tidak ada hal baik yang akan terjadi jika ia memaksakan keinginan konyolnya.Kania berbalik dan melangkah menuju pintu di mana Mentari masih terdiam bisu. Kania berhenti sejenak dan tersenyum sambil mengangguk kecil pada Mentari sebelum benar-benar pergi dari sana."Sini,"
Bian tengah menunggu Mentari yang katanya ingin membeli camilan di supermarket sebelah rumah sakit. Sementara Hasna, Genta dan Nisa sudah kembali ke Bali untuk menjemput Senja. Kembaran Mentari itu bersikeras ingin hadir di pernikahan Bian dan Mentari, padahal ia tengah hamil besar saat ini.Pintu kamar inap yang terbuka membuat senyum Bian mengembang. Namun, saat bukan Mentari yang masuk, senyumnya langsung hilang begitu saja. Apalagi sosok di depannya sana bukan lah orang yang ingin ia lihat.
Hasna memeluk Mentari dengan erat. Tangisnya kembali pecah ketika wanita itu bertanya ke mana saja calon menantunya tersebut selama seminggu ini. Hasna tidak menyangka kalau orangtua Mentari menghukum Bian seperti ini.Menjauhkan Bian dari Mentari sama saja membunuh putranya itu secara perlahan dengan pasti."Maafin aku, Bu," bisik Mentari dengan suara parau.Hasna menggeleng. Keduanya mengurai pelukan dan jemari tua Hasna mengelus pipi basah Mentari."Jangan pergi lagi, ya, Nak. Jangan tinggalin Bian," mohonnya.Mentari semakin terisak. Kepalanya menggeleng dengan kuat. "Aku gak akan ninggalin Bian, Bu, aku gak mau kehilangan Bian lagi," balasnya.Hasna mengangguk, "kalian berhak bahagia. Ibu selalu mendoakan yang terbaik untuk kalian."Mentari mengusap punggung tangan Hasna dengan ibu jarinya. Pandangan wanita itu sedikit menunduk. Ada keinginan yang harus dia sampaikan. Tapi Mentari ragu, apakah ini waktu yang tepat atau tidak?
Mentari mengusap air matanya yang tidak mau berhenti sejak tadi. Tangannya dengan cepat memasukkan beberapa barang yang menurutnya cukup penting ke dalam tas kecil miliknya. Ponsel yang Ikhsan berikan juga ia bawa. Jaga-jaga kalau ia membutuhkan sesuatu dengan benda itu.Mentari menatap pintu kamar. Orangtuanya pasti sudah terlelap saat ini. Mentari akan pergi. Dia tidak bisa berdiam diri di sini. Mentari harus bertemu Bian. Rasa rindunya semakin menyiksa. Apalagi Mentari tidak tahu bagaimana Bian saat ini. Apakah pria itu mencarinya? Semua akses yang bisa Mentari gunakan untuk berkomunikasi dengan Bian