Mobil mewah yang membawa Sean dan Stella telah memasuki halaman parkir rumah mereka. Sesaat Sean menoleh pada Stella yang tengah tertidur dalam dekapannya—dia mengembuskan napas panjang melihat sang istri yang tampak begitu pulas. Tentu saja Sean tidak mungkin membangunkan istrinya itu. Ketika sopir sudah membukakan pintu mobil—Sean turun dari mobil seraya membopong tubuh sang istri gaya bridal, menuju kamar mereka.Saat Sean melangkah memasuki kamar, tatapannya menatap Stella yang meringkuk layaknya anak kecil dalam pelukannya. Istrinya itu memang tidak mudah terbangun. Ditambah kehamilan Stella, membuat istrinya itu lebih sering tertidur begitu lelap.Kini Sean membaringkan tubuh Stella di atas ranjang. Lalu dia membantu sang istri melepaskan flatshoes yang masih dikenakan oleh istrinya itu. Ya, sejak hamil Sean memang tak pernah mengizinkan Stella memakai sepatu hak tinggi. Meski berkali-kali Stella membujuk Sean, mengatakan tak akan terjadi sesuatu tetap saja—Sean tidak memberikan
Pelupuk mata Stella bergerak kala merasakan silau matahari menyentuh wajahnya. Perlahan Stella mengerjapkan matanya. Menggeliat dan menguap. Ya, senyuman manis di wajah Stella terlukis kala pagi telah menyapa. Seketika ingatan Stella berputar mengingat kejadian tadi malam. Sudah tiga bulan Sean harus berpuasa. Tentu itu karena sang dokter sebelumnya masih tidak mengizinkan Sean dan Stella melakukan hubungan suami istri. Kandungan Stella yang sebelumnya lemah membuat kecemasan sendiri akan terjadi sesuatu. Dan tadi malam adalah moment yang sangat indah. Stella tak menyangka bisa menggoda suaminya itu. Entah sudah berapa kali percintaan panasnya dengan Sean. Stella pun tak menghitungnya. Pasalnya Sean terus menginginkannya lagi dan lagi. Yang Stella ingat tadi malam—dia sampai tidur jam tiga pagi. Well… Tentu saja itu semua karena ulah sang suami.“Apa yang kau pikirkan, hm?” Sean berdiri di ambang pintu, membawakan segelas cokelat hangat. Sejak tadi dia memang sudah berdiri di amnang p
“Sean, apa malam ini kau akan pulang terlambat?” tanya Stella kala mobil yang dilajukan oleh Sean telah memasuki lobby kampusnya.“Kemungkinan iya. Ada beberapa pekerjaan Kelvin yang tidak bisa sepenuhnya diberikan oleh Ken atau direktur perwakilan. Jadi aku harus menanganinya,” jawab Sean sembari membelai lembut pipi Stella.Stella mengangguk. “Baiklah, kau hati-hati, ya. Jangan lupa untuk minum vitaminmu dan juga jangan lupa makan.”“Iya, sayang. Kau juga jangan kelelahan. Nanti sore sopir akan menjemputmu. Jika aku pulang larut malam, jangan menungguku. Tidurlah lebih dulu,” kata Sean sembari memberikan kecupan di bibir sang istri.Stella kembali mengangguk. Kemudian, Sean menekan tombol membuka pintu mobil. Kini Stella turun dari mobilnya, lalu melangkah masuk ke dalam lobby kampus. Tepat di saat Stella sudah masuk; mobil Sean pun mulai meninggalkan lobby.“Stella…” Seorang wanita cantik bertubuh mungil melangkah menghampiri Stella dengan tergesa-gesa.Kening Stella berkerut melih
“Kau mau ke mana, Chery?”Suara Ken berseru dengan keras dan tegas membuat Chery begitu terkejut. Bahkan koper yang ada di tangan Chery sampai terjatuh kala mendengar suara Ken. Tubuh wanita itu mematung. Matanya memanas melihat keberadaan Ken yang ada di hadapannya. Chery menggelengkan kepalanya kala melihat keberadaan Ken.“K-Ken—” Hati Chery begitu hancur kala menyebutkan nama “Ken” Nama yang telah telah dia lupakan. Nama yang tak dia sumpah tidak akan lagi menyebutnya. Namun, setelah bertahun-tahun kenapa harus pria itu kembali muncul di hadapannya? Chery membenci ini. Dia membenci semesta yang kembali mempertemukannya dengan pria yang mati-matian telah dia lupakan.“Kau ingin melarikan diri, Chery?” Ken melangkahkan kakinya mendekat pada Chery. Reflek Chery langsung melangkah mundur. Menjauh dari Ken.“Nona Chery.” Dua orang security hendak menahan Ken, namun tatapan tajam Ken memperingati security itu membuat Chery mau tak mau meminta dua security untuk tidak ikut campur.“K-Ken
Ken mematung mentap Chery yang menceritakan semuanya padanya. Wajah pria itu sulit terbaca. Raut wajah datar dan dingin serta tatapan yang terus menghunus pada Chery yang sejak tadi tidak henti menangis. Diam Ken menunjukan pria itu percaya dan tidak percaya. Pasalnya rasanya tidak mungkin Amara, kekasihnya melakukan itu. Akan tetapi, wajah Chery menunjukan tak berbohong sedikit pun. Ya, Ken sangat yakin akan hal itu. Pancaran mata Chery menunjukan kekecewaan yang mendalam.“Sekarang aku sudah memberitahumu. Terserah kau percaya atau tidak. Setelah ini aku harap kau tidak pernah lagi mengganggu hidupku. Aku sudah tenang menjalani kehidupanku. Mohon kau tidak perlu mengusiku lagi.” Chery menyeka air matanya. Lalu dia hendak meninggalkan Ken. Namun, lagi dan lagi Ken menahan lengan Chery. Pria itu tak membiarkan Chery pergi begitu saja. Padahal sebelumnya Ken tak mengucapkan sepatah kata pun. Lantas apa lagi yang diinginkan pria itu? Bukankah hidup Chery telah dihancurkannya?“Kau tidak
Malam kian larut. Stella tengah duduk di balkon kamar menatap bulan dan bintang yang menghiasi langit begitu indah. Sesaat Stella memejamkan matanya, menikmati embusan angin menyentuh kulitnya. Stella tengah duduk di balkon kamar dengan memakai cardigan rajut hangat menutupi tubunya. Dia sengaja sedikit bersantai karena belum mengantuk. Ditambah Sean pun belum pulang. Padahal sebelumnya Sean sudah berpesan untuk tidur lebih dulu. Akan tetapi, sepulang Stella dari mengantar Ken ke rumah Chery—dia tidak bisa tidur. Dalam benak Stella selalu memikirkan apa yang sebenarnya terjadi di antar Ken dan Chery. Selama ini Chery begitu tertutup. Temannya itu tidak pernah sedikit pun menceritakan kehidupan pribadi padanya atau pun Alika.Ya, jujur saja Stella mencemaskan Chery. Tidak mungkin Chery berlari meninggalkan pesta pertunangan Kelvin dan Alika begitu saja tanpa adanya alasan yang pasti kala bertemu Ken pertama kali. Pasti ada sesuatu hal di antara mereka. Tidak hanya itu, tapi beberapa Ch
Ken menghempaskan tubuhnya duduk di kursi kebesarannya. Lalu dia mengambil wine di hadapannya dan menegaknya kasar. Tampak wajah pria itu begitu kacau. Berkali-kali Ken mengumpat. Ya, dia membenci ini. Dia membenci dirinya tak tahu harus melakukan apa. Di sisi lain, Ken percaya pada Amara. Namun, di sisi lainnnya Ken tidak bisa mengkesampingkan ucapan Chery—di mana wanita itu terlihat sangat jujur dan tidak berpura-pura.“Shit!” Ken mengusap wajahnya kasar. Pikirannya kini memikirkan tentang kesalahannya pada Chery. Lepas semua tentang Amara yang belum dia selidiki, Ken menyadari bahwa dirinya melakukan sebuah kesalahan besar. Chery, wanita itu adalah korban. Jika saja dirinya mampu mengendalikan diri kala mabuk, maka ini tidak akan pernah terjadi.Suara ketukan pintu terdengar, membuat Ken langsung mengalihkan pandangannya ke arah pintu—dengan raut wajah begitu dingin dan tampak kesal, Ken menginterupsi untuk masuk.“Tuan Ken.” Walden, asisten Ken melangkah mendekat pada Ken.Ken men
Stella melangkahkan kakinya memasuki rumah. Tampak wajah Stella terlihat muram. Ya, dia baru saja kembali dari rumah Chery. Tujuan Stella ke sana bukan ingin memaksa Chery untuk bercerita. Melainkan untuk membujuk Chery untuk masuk kuliah kembali. Namun, kini Stella mengetahui semuanya. Dia tahu tentang masalah Ken dan Chery. Bahkan mendengar semua cerita Chery saja membuat Stella sangat sakit. Bagaimana bisa Chery mencintai dalam dia dengan cukup lama? Hingga detik ini saja Chery mengatakan masih mencintai Ken. Walau tak dipungkiri cinta itu tak lagi sama. Kebencian telah berhasil menyelimuti rasa cinta Chery pada Ken.“Nyonya Stella.” Sang pelayan menyapa Stella sontak membuat Stella sedikit terkejut.“Nyonya, maaf saya membuat anda terkejut,” ucap sang pelayan lagi langsung menundukan.Stella menghela napas dalam. “Ini bukan salahmu. Tadi aku melamun, itu kenapa saat kau menyapaku aku terkejut.”Sang pelayan tersenyum sopan. “Nyonya, saya ingin memberitahu Tuan Sean sudah di kamar