Ken mematung mentap Chery yang menceritakan semuanya padanya. Wajah pria itu sulit terbaca. Raut wajah datar dan dingin serta tatapan yang terus menghunus pada Chery yang sejak tadi tidak henti menangis. Diam Ken menunjukan pria itu percaya dan tidak percaya. Pasalnya rasanya tidak mungkin Amara, kekasihnya melakukan itu. Akan tetapi, wajah Chery menunjukan tak berbohong sedikit pun. Ya, Ken sangat yakin akan hal itu. Pancaran mata Chery menunjukan kekecewaan yang mendalam.“Sekarang aku sudah memberitahumu. Terserah kau percaya atau tidak. Setelah ini aku harap kau tidak pernah lagi mengganggu hidupku. Aku sudah tenang menjalani kehidupanku. Mohon kau tidak perlu mengusiku lagi.” Chery menyeka air matanya. Lalu dia hendak meninggalkan Ken. Namun, lagi dan lagi Ken menahan lengan Chery. Pria itu tak membiarkan Chery pergi begitu saja. Padahal sebelumnya Ken tak mengucapkan sepatah kata pun. Lantas apa lagi yang diinginkan pria itu? Bukankah hidup Chery telah dihancurkannya?“Kau tidak
Malam kian larut. Stella tengah duduk di balkon kamar menatap bulan dan bintang yang menghiasi langit begitu indah. Sesaat Stella memejamkan matanya, menikmati embusan angin menyentuh kulitnya. Stella tengah duduk di balkon kamar dengan memakai cardigan rajut hangat menutupi tubunya. Dia sengaja sedikit bersantai karena belum mengantuk. Ditambah Sean pun belum pulang. Padahal sebelumnya Sean sudah berpesan untuk tidur lebih dulu. Akan tetapi, sepulang Stella dari mengantar Ken ke rumah Chery—dia tidak bisa tidur. Dalam benak Stella selalu memikirkan apa yang sebenarnya terjadi di antar Ken dan Chery. Selama ini Chery begitu tertutup. Temannya itu tidak pernah sedikit pun menceritakan kehidupan pribadi padanya atau pun Alika.Ya, jujur saja Stella mencemaskan Chery. Tidak mungkin Chery berlari meninggalkan pesta pertunangan Kelvin dan Alika begitu saja tanpa adanya alasan yang pasti kala bertemu Ken pertama kali. Pasti ada sesuatu hal di antara mereka. Tidak hanya itu, tapi beberapa Ch
Ken menghempaskan tubuhnya duduk di kursi kebesarannya. Lalu dia mengambil wine di hadapannya dan menegaknya kasar. Tampak wajah pria itu begitu kacau. Berkali-kali Ken mengumpat. Ya, dia membenci ini. Dia membenci dirinya tak tahu harus melakukan apa. Di sisi lain, Ken percaya pada Amara. Namun, di sisi lainnnya Ken tidak bisa mengkesampingkan ucapan Chery—di mana wanita itu terlihat sangat jujur dan tidak berpura-pura.“Shit!” Ken mengusap wajahnya kasar. Pikirannya kini memikirkan tentang kesalahannya pada Chery. Lepas semua tentang Amara yang belum dia selidiki, Ken menyadari bahwa dirinya melakukan sebuah kesalahan besar. Chery, wanita itu adalah korban. Jika saja dirinya mampu mengendalikan diri kala mabuk, maka ini tidak akan pernah terjadi.Suara ketukan pintu terdengar, membuat Ken langsung mengalihkan pandangannya ke arah pintu—dengan raut wajah begitu dingin dan tampak kesal, Ken menginterupsi untuk masuk.“Tuan Ken.” Walden, asisten Ken melangkah mendekat pada Ken.Ken men
Stella melangkahkan kakinya memasuki rumah. Tampak wajah Stella terlihat muram. Ya, dia baru saja kembali dari rumah Chery. Tujuan Stella ke sana bukan ingin memaksa Chery untuk bercerita. Melainkan untuk membujuk Chery untuk masuk kuliah kembali. Namun, kini Stella mengetahui semuanya. Dia tahu tentang masalah Ken dan Chery. Bahkan mendengar semua cerita Chery saja membuat Stella sangat sakit. Bagaimana bisa Chery mencintai dalam dia dengan cukup lama? Hingga detik ini saja Chery mengatakan masih mencintai Ken. Walau tak dipungkiri cinta itu tak lagi sama. Kebencian telah berhasil menyelimuti rasa cinta Chery pada Ken.“Nyonya Stella.” Sang pelayan menyapa Stella sontak membuat Stella sedikit terkejut.“Nyonya, maaf saya membuat anda terkejut,” ucap sang pelayan lagi langsung menundukan.Stella menghela napas dalam. “Ini bukan salahmu. Tadi aku melamun, itu kenapa saat kau menyapaku aku terkejut.”Sang pelayan tersenyum sopan. “Nyonya, saya ingin memberitahu Tuan Sean sudah di kamar
Suara dering ponsel berbunyi membuat Stella yang tengah tertidur pulas langsung membuka matanya. Stella mengerjap beberapa kali. Kini Stella mengalihkan pandangannya pada ponsel yang terus berdering itu—dia mengambil dan menatap ke layar. Seketika senyum di bibir Stella terukir kala melihat nomor Marsha, ibu mertuanya yang tengah menghubunginya. Tanpa menunggu, Stella langsung menggeser tombol hijau. Sebelum kemudian meletakan ke telinganya.“Hallo, Mom?” jawab Stella hangat kala panggilannya terhubung.“Sayang, maaf mengganggu. Ah, Mommy lupa di Jakarta ini masih pagi. Pasti kau terganggu, ya?” ujar Marsha dengan nada yang merasa tidak enak.Stella mengulas senyuman hangat di wajahnya. “Mom, jangan merasa tidak enak. Ini memang sudah waktunya aku bangun pagi, Mom. Mommy apa kabar? Daddy dan Mommy baik-baik saja, kan?”“Iya, sayang. Mommy dan Daddy baik-baik saja. Kau sendiri bagaimana? Kandunganmu baik-baik saja, kan?”“Baik, Mom. Jangan khawatir. Sekarang aku sudah makan banyak. Aku
“Sean, kapan Kelvin kembali ke Jakarta?” Ken duduk di depan kursi Sean. Lalu dia mengambil whisky di hadapannya dan disesapnya perlahan. Tampak wajah Ken yang masih terlihat begitu kacau. Ya, terlalu banyak hal yang membebani pikiran Ken.Sean terdiam sejenak melihat keadaan Ken. Pagi ini dia memiliki meeting. Foto-foto yang dia dapatkan kemarin dari Tomy sebagai bukti perselingkuhan Amara masih disimpan dan belum diberikannya. Alasannya karena Sean ingin menunggu sebentar tindakan Ken. Walau tak dipungkiri, ingin segera melemparkan foto itu tepat di depan muka sepupunya itu. Namun, itu tidak akan dilakukannya saat ini. Sean menunggu. Di waktu yang tepat.“Harusnya Kelvin pulang minggu depan. Tapi aku tidak tahu. Dia sering sesukanya jika sudah berlibur.” Sean menjawab sambil menyesap wine di tangannya.Ken mengangguk singkat. “Aku ingin mengurus masalahku tapi aku tidak bisa tenang dengan pekerjaan yang dilimpahkan Kelvin padaku.”“Direktur perwakilan di perusahaan akan membantumu. K
“Kau ini bodoh atau apa, Tomy! Kenapa kau hanya diam ketika istriku direndahkan!” teriak Sean begitu menggelagar. Ya, amarah Sean memuncak kala dia melihat dengan jelas Tomy hanya diam kala Amara menghina Stella.“M-Maaf, Tuan…” Tomy tidak melakukan pembelaaan. Dia hanya menundukan kepalanya tidak berani menatap Sean. Sejak dulu Tomy sangat mengenal Sean, jika dirinya melakukan pembelaan maka itu hanya semakin membuat Tuannya itu semakin marah besar. Itu kenapa Tomy memilih diam.Stella menghela napas dalam melihat kemarahan Sean. Kini Stella memeluk erat sang suami. “Sayang, jangan memarahi, Tomy. Dia tidak bersalah. Aku yang sengaja meminta Tomy untuk diam. Sebelumnya Tomy sudah membelaku, Sayang. Jangan marah, ya,” ucapnya sambil mengecup bibir Sean. Kemudian, Stella mengalihkan pandangannya pada Tomy. “Tomy, kau boleh pergi sekarang. Bia raku yang menenangkan suamiku,” lanjutnya lagi.“Baik, Nyonya. Kalau begitu saya permisi, Tuan, Nyonya.” Tomy menundukan kepalanya, lalu pamit un
“Ken… Akhirnya kau datang. Aku sejak tadi sudah menunggumu, Sayang.” Amara menghamburkan pelukan pada Ken yang baru saja tiba di apartemennya. Ya, tadi setelah masalah dengan Stella, Amara memang diminta Ken untuk lebih dulu pulang. Selama Amara tinggal di Jakarta tentu, dia tidak perlu dipusingkan dengan tempat tinggalnya. Karena Ken, kekasihnya itu sudah pernah membelikan apartemen untuknya di Jakarta.Ken mengembuskan napas kasar. Dia melepaskan tangan Amara yang memeluknya. Lalu dengan raut wajah dingin dan sorot mata kesal, Ken memilih duduk seraya menyandarkan punggungnya. Tepat di saat Ken berlalu begitu saja, Amara langsung menyusul kekasihnya itu. Wanita itu duduk di samping Ken dan memeluk erat sang kekasih.“Ken, kau seperti masih kesal denganku,” ucap Amara dengan bibir yang tertekuk. “Aku, sudah minta maaf dan tidak lagi mengulanginya, Ken,” lanjutnya lagi yang kembali meminta maaf.“Kenapa kau memintaku datang, Amara? Kau tahu aku masih sibuk dengan pekerjaanku,” ucap Ke