Malam kian larut. Stella tengah duduk di balkon kamar menatap bulan dan bintang yang menghiasi langit begitu indah. Sesaat Stella memejamkan matanya, menikmati embusan angin menyentuh kulitnya. Stella tengah duduk di balkon kamar dengan memakai cardigan rajut hangat menutupi tubunya. Dia sengaja sedikit bersantai karena belum mengantuk. Ditambah Sean pun belum pulang. Padahal sebelumnya Sean sudah berpesan untuk tidur lebih dulu. Akan tetapi, sepulang Stella dari mengantar Ken ke rumah Chery—dia tidak bisa tidur. Dalam benak Stella selalu memikirkan apa yang sebenarnya terjadi di antar Ken dan Chery. Selama ini Chery begitu tertutup. Temannya itu tidak pernah sedikit pun menceritakan kehidupan pribadi padanya atau pun Alika.Ya, jujur saja Stella mencemaskan Chery. Tidak mungkin Chery berlari meninggalkan pesta pertunangan Kelvin dan Alika begitu saja tanpa adanya alasan yang pasti kala bertemu Ken pertama kali. Pasti ada sesuatu hal di antara mereka. Tidak hanya itu, tapi beberapa Ch
Ken menghempaskan tubuhnya duduk di kursi kebesarannya. Lalu dia mengambil wine di hadapannya dan menegaknya kasar. Tampak wajah pria itu begitu kacau. Berkali-kali Ken mengumpat. Ya, dia membenci ini. Dia membenci dirinya tak tahu harus melakukan apa. Di sisi lain, Ken percaya pada Amara. Namun, di sisi lainnnya Ken tidak bisa mengkesampingkan ucapan Chery—di mana wanita itu terlihat sangat jujur dan tidak berpura-pura.“Shit!” Ken mengusap wajahnya kasar. Pikirannya kini memikirkan tentang kesalahannya pada Chery. Lepas semua tentang Amara yang belum dia selidiki, Ken menyadari bahwa dirinya melakukan sebuah kesalahan besar. Chery, wanita itu adalah korban. Jika saja dirinya mampu mengendalikan diri kala mabuk, maka ini tidak akan pernah terjadi.Suara ketukan pintu terdengar, membuat Ken langsung mengalihkan pandangannya ke arah pintu—dengan raut wajah begitu dingin dan tampak kesal, Ken menginterupsi untuk masuk.“Tuan Ken.” Walden, asisten Ken melangkah mendekat pada Ken.Ken men
Stella melangkahkan kakinya memasuki rumah. Tampak wajah Stella terlihat muram. Ya, dia baru saja kembali dari rumah Chery. Tujuan Stella ke sana bukan ingin memaksa Chery untuk bercerita. Melainkan untuk membujuk Chery untuk masuk kuliah kembali. Namun, kini Stella mengetahui semuanya. Dia tahu tentang masalah Ken dan Chery. Bahkan mendengar semua cerita Chery saja membuat Stella sangat sakit. Bagaimana bisa Chery mencintai dalam dia dengan cukup lama? Hingga detik ini saja Chery mengatakan masih mencintai Ken. Walau tak dipungkiri cinta itu tak lagi sama. Kebencian telah berhasil menyelimuti rasa cinta Chery pada Ken.“Nyonya Stella.” Sang pelayan menyapa Stella sontak membuat Stella sedikit terkejut.“Nyonya, maaf saya membuat anda terkejut,” ucap sang pelayan lagi langsung menundukan.Stella menghela napas dalam. “Ini bukan salahmu. Tadi aku melamun, itu kenapa saat kau menyapaku aku terkejut.”Sang pelayan tersenyum sopan. “Nyonya, saya ingin memberitahu Tuan Sean sudah di kamar
Suara dering ponsel berbunyi membuat Stella yang tengah tertidur pulas langsung membuka matanya. Stella mengerjap beberapa kali. Kini Stella mengalihkan pandangannya pada ponsel yang terus berdering itu—dia mengambil dan menatap ke layar. Seketika senyum di bibir Stella terukir kala melihat nomor Marsha, ibu mertuanya yang tengah menghubunginya. Tanpa menunggu, Stella langsung menggeser tombol hijau. Sebelum kemudian meletakan ke telinganya.“Hallo, Mom?” jawab Stella hangat kala panggilannya terhubung.“Sayang, maaf mengganggu. Ah, Mommy lupa di Jakarta ini masih pagi. Pasti kau terganggu, ya?” ujar Marsha dengan nada yang merasa tidak enak.Stella mengulas senyuman hangat di wajahnya. “Mom, jangan merasa tidak enak. Ini memang sudah waktunya aku bangun pagi, Mom. Mommy apa kabar? Daddy dan Mommy baik-baik saja, kan?”“Iya, sayang. Mommy dan Daddy baik-baik saja. Kau sendiri bagaimana? Kandunganmu baik-baik saja, kan?”“Baik, Mom. Jangan khawatir. Sekarang aku sudah makan banyak. Aku
“Sean, kapan Kelvin kembali ke Jakarta?” Ken duduk di depan kursi Sean. Lalu dia mengambil whisky di hadapannya dan disesapnya perlahan. Tampak wajah Ken yang masih terlihat begitu kacau. Ya, terlalu banyak hal yang membebani pikiran Ken.Sean terdiam sejenak melihat keadaan Ken. Pagi ini dia memiliki meeting. Foto-foto yang dia dapatkan kemarin dari Tomy sebagai bukti perselingkuhan Amara masih disimpan dan belum diberikannya. Alasannya karena Sean ingin menunggu sebentar tindakan Ken. Walau tak dipungkiri, ingin segera melemparkan foto itu tepat di depan muka sepupunya itu. Namun, itu tidak akan dilakukannya saat ini. Sean menunggu. Di waktu yang tepat.“Harusnya Kelvin pulang minggu depan. Tapi aku tidak tahu. Dia sering sesukanya jika sudah berlibur.” Sean menjawab sambil menyesap wine di tangannya.Ken mengangguk singkat. “Aku ingin mengurus masalahku tapi aku tidak bisa tenang dengan pekerjaan yang dilimpahkan Kelvin padaku.”“Direktur perwakilan di perusahaan akan membantumu. K
“Kau ini bodoh atau apa, Tomy! Kenapa kau hanya diam ketika istriku direndahkan!” teriak Sean begitu menggelagar. Ya, amarah Sean memuncak kala dia melihat dengan jelas Tomy hanya diam kala Amara menghina Stella.“M-Maaf, Tuan…” Tomy tidak melakukan pembelaaan. Dia hanya menundukan kepalanya tidak berani menatap Sean. Sejak dulu Tomy sangat mengenal Sean, jika dirinya melakukan pembelaan maka itu hanya semakin membuat Tuannya itu semakin marah besar. Itu kenapa Tomy memilih diam.Stella menghela napas dalam melihat kemarahan Sean. Kini Stella memeluk erat sang suami. “Sayang, jangan memarahi, Tomy. Dia tidak bersalah. Aku yang sengaja meminta Tomy untuk diam. Sebelumnya Tomy sudah membelaku, Sayang. Jangan marah, ya,” ucapnya sambil mengecup bibir Sean. Kemudian, Stella mengalihkan pandangannya pada Tomy. “Tomy, kau boleh pergi sekarang. Bia raku yang menenangkan suamiku,” lanjutnya lagi.“Baik, Nyonya. Kalau begitu saya permisi, Tuan, Nyonya.” Tomy menundukan kepalanya, lalu pamit un
“Ken… Akhirnya kau datang. Aku sejak tadi sudah menunggumu, Sayang.” Amara menghamburkan pelukan pada Ken yang baru saja tiba di apartemennya. Ya, tadi setelah masalah dengan Stella, Amara memang diminta Ken untuk lebih dulu pulang. Selama Amara tinggal di Jakarta tentu, dia tidak perlu dipusingkan dengan tempat tinggalnya. Karena Ken, kekasihnya itu sudah pernah membelikan apartemen untuknya di Jakarta.Ken mengembuskan napas kasar. Dia melepaskan tangan Amara yang memeluknya. Lalu dengan raut wajah dingin dan sorot mata kesal, Ken memilih duduk seraya menyandarkan punggungnya. Tepat di saat Ken berlalu begitu saja, Amara langsung menyusul kekasihnya itu. Wanita itu duduk di samping Ken dan memeluk erat sang kekasih.“Ken, kau seperti masih kesal denganku,” ucap Amara dengan bibir yang tertekuk. “Aku, sudah minta maaf dan tidak lagi mengulanginya, Ken,” lanjutnya lagi yang kembali meminta maaf.“Kenapa kau memintaku datang, Amara? Kau tahu aku masih sibuk dengan pekerjaanku,” ucap Ke
“Chery…”Ken bergumam memanggil nama Chery pelan. Wanita itu sangat cantik. Ya, penampilan Chery terlihat berbeda dari biasanya. Jika Amara memiliki kulit sedikit cokelat eksotis berbeda dengan Chery yang memiliki kulit yang sangat putih. Penampilan Chery hari ini membuat darah Ken mendidih. Seksi tapi tetap sopan dan elegan. Chery tidak menggunakan pakaian yang mengekspos seluruh bentuk tubuhnya. Wanita itu memakai dress yang pas di tubuhnya. Membuat lekuk tubuhnya terlihat indah. Sial… Ken tak henti menatap Chery. Pun sama halnya dengan Chery yang tidak henti menatap Ken.“Kau di sini, Chery?” Amara menegur Chery. Dia semakin memeluk lenagan Ken dengan begitu kuat. Mendongakan wajahnya angkuh. Seolah Ken hanyalah miliknya.Manik mata Chery memang menunjukan kesedihan. Namun, Chery mati-matian berusaha untuk tetap tersenyum kala berhadapan dengan Ken dan Amara. Sesak. Perih. Terluka. Melebur menjadi satu.“Aku bosan makan di rumah. Itu kenapa aku memilih makan di luar,” jaawab Chery
Beberapa bulan kemudian …Venice, Italia.Stella menatap hangat Shawn, Stanley, dan Steve yang tengah bermain saling mengejar sambil memakan ice cream di tangan mereka. Ya, tentu Stella tak perlu cemas karena Sean menyiapkan enam pengasuh khusus untuk ketiga anak kembar mereka dan sepuluh pengawal yang selalu berjaga-jaga mengawasi Shawn, Stanley, dan Steve. Terutama ketika mereka berlibur seperti ini maka penjagaan Sean sangat ketat.Kini tatapan Stella mulai teralih pada Savannah yang tertidur pulas dalam pelukannya. Putri kecilnya itu sangat cantik dan menggemaskan. Tangan Savannah peris seperti gulungan roti gemuk. Pipi bulat seperti bakpau. Bayi perempuannya memang sangat cantik dan menggemaskan.“Stella, apa kau masih ingin tinggal di New York? Atau kau ingin kita segera kembali ke Jakarta?” tanya Sean sembari menatap sang istri.Stella tersenyum hangat. “Biarkan saja kita di sini dulu, Sean. Anak-anak kita memiliki banyak teman di sini. Aku tidak tega memisahkan mereka dengan t
Suara tangis bayi memecahkan kesunyian ruang persalinan. Stella meneteskan air matanya kala mendengar suara tangis bayi itu. Tak hanya Stella yang menteskan air mata tapi Sean yang selalu ada di sisinya pun sampai menteskan air mata. Setelah sekian lama akhirnya mereka kembali memiliki seorang anak lagi. Berawal dari rasa putus asa Stella nyatanya memiliki akhir yang indah. Tentu semua karena Sean yang memberikan dukungan luar biasa untuk Stella.“Tuan Sean … Nyonya Stella … selamat bayi Anda perempuan.” Sang dokter berucap langsung membuat Sean dan Stella tak henti meneteskan air mata mereka. Ya, Tuhan begitu baik pada mereka. Harapan mereka memiliki anak perempuan terwujud.“Sean … anak kita perempuan,” isak Stella.“Iya … anak kita perempuan. Terima kasih, Sayang.” Sean memberikan kecupan di bibir istrinya. Derai air mata mereka tak henti berlinang.“Nyonya Stella, silahkan lakukan proses IMD.” Dokter menyerahkan bayi mungkin itu ke dalam gendongan Stella. Sesaat Sean menatap Stell
“Nyonya, apa hari ini kita memasak menu Indonesian Food?”Suara pelayan bertanya pada Stella yang tengah sibuk di dapur. Ya, hari ini Stella akan kedatangan tamu special yaitu Jenniver—sepupunya. Jenniver tengah berlibur bersama Theo ke New York. Dan karena Jenniver akan datang, Stella mengundang Kelvin, Alika, Ken, dan Chery untuk datang. Hal itu yang membuat Stella sibuk di dapur. Stella memang memiliki chef khusus dan pelayan tetapi tetap saja dalam hal memasak, Stella tetap turun tangan sendiri. Namun kali ini porsinya berbeda. Stella tidak banyak melakukan apa pun. Dia hanya mengontrol saja. Mengingat kandungannya sudah membesar.“Masak saja, Mbak. Masak Indonesian Food juga. Jenniver dan Theo suka sekali dengan menu rawon dan ayam sayur. Tolong masak menu itu. Ah, satu lagi jangan lupa sambal goreng kentang.” Stela berujar memberi perintah pada sang pelayan dengan nada lembut.“Baik, Nyonya.” Sang pelayan menundukan kepalanya, lalu kembali memulai memasak membantu pelayan lainn
Stella mengembuskan napas panjang kala mengingat laporan dari pengawal sang suami tentang kejadian di Central Park. Kejadian di mana Stanley membuat seorang gadis kecil menangis karena membuang permen pemberian gadis itu. Sungguh, Stella sangat sedih karena putranya bertindak demikian. Meski mertuanya sudah memberikan nasehat pada ketiga putranya tapi tetap saja Stella merasa gagal mendidik ketiga putranya.“Apa kalian hanya ingin diam saja? Tidak mau bilang apa-apa pada, Mommy?”Suara Stella menegur ketiga putranya yang tengah duduk di hadapannya itu. Ya, kini Stella berada di kamar Shawn. Kamar Shawn, Stanley, dan Steve memang terpisah. Tetapi karena Stella ingin berbicara dengan ketiga putranya maka tanley dan Steve mendatangi kamar Shawn. Tampak ketiga bocah laki-laki kembar itu menunduk. Tentu mereka tahu mereka akan mendapatkan teguran dari ibu mereka.“Mommy ini salahku. Maafkan aku, Mommy,” ucap Stanley dengan suara polosnya.Stella menarik napas dalam-dalam, dan mengembuskan
Saat pagi menyapa Shawn, Stanley, dan Steve sudah begitu tampan dengan setelan celana pendek dan kaus berwarna hitam dengan logo Gucci di tengah baju ketiga bocah itu. Ya, Shawn, Stanley, dan Steve tampak begitu bersemangat karena hari ini mereka akan pergi bersaam dengan kakek dan nenek mereka. Sejak tadi malam memang ketiga bocah itu sangat bersemangat.“Anak Mommy tampan sekali.” Suara Stella dengan lembut berucap sambil menatap ketiga putra kembarnya. Stella mendekat pada Shawn, Stanley, dan Steve bersama dengan Sean yang ada di sisinya.“Daddy … Mommy …” Shawn, Stanley, dan Steve menghamburkan tubuh mereka pada Sean dan Stella yang mengampiri mereka.“Kalian mirip sekali seperti Daddy,” ucap Stella sembari mengurai pelukan ketiga putranya itu. Sean yang ada di samping Stella sejak tadi melukiskan senyuman hangat pada Shawn, Stanley, dan Steve.“Tentu saja, Mommy. Nanti saat kami dewasa kami akan seperti Daddy. Kami akan hebat.” Shawn, Stanley, dan Steve berucap serempak dan penuh
“Mommy … akhirnya Mommy pulang. Kami merindukan, Mommy.”Stanley dan Steve menghamburkan tubuh mereka kala melihat Stella pulang bersama dengan Shawn. Sudah sejak tadi Stanley dan Steve menunggu ibu mereka pulang. Ya, Stella memang sengaja meminta Stanley dan Steve pulang lebih dulu bersama sopir kala tadi Stella harus menyelesaikan masalah Shawn yang memukul Felix. Tentu Stella tak membiarkan Stanley dan Steve menunggu di ruang guru. Pasalnya Stella tak ingin Stanley dan Steve membuat masalah. Sungguh, ketiga anak kembarnya itu sangatlah kompak. Sudah cukup masalah Shawn membuat Stella sakit kepala. Stella tidak ingin sampai Stanley dan Steve juga ikut membuat masalah.Stella membalas pelukan Stanley dan Steve sembari memberikan kecupan di puncak kepala kedua putranya itu. “Mommy juga merindukan kalian. Apa kalian sudah makan?”“Sudah, Mommy. Kami sudah makan.” Stanley dan Steve menjawab dengan kompak. Lalu mereka melihat ke atah Shawn yang sejak tadi hanya diam. “Kak, kami tadi mau
“Shawn, Mommy tidak mau kau menggunakan kekerasan lagi. Tidak bagus, Nak. Kalau pun temanmu salah, kau bisa menegurnya tanpa harus memukul. Kalau kau menggunakan kekerasan sama saja kau main hakim sendiri, Shawn. Mommy tidak pernah mengajarkanmu untuk seperti itu.”Suara Stella menegur putra pertamanya itu. Nada bicaranya tegas tapi tetap lembut. Ya, Stella dan Shawn baru saja keluar dari ruang guru. Jika Stanley, dan Steve sudah lebih dulu pulang lain halnya dengan Shawn yang tadi ditahan di ruang guru. Itu kenapa Stella datang ke sekolah karena ulah putra pertamanya yang memukul teman sekolahnya. Tentu saja Shawn memukul bukan tanpa alasan. Bocah laki-laki kecil itu memukul temannya karena teman sekolahnya itu berani mencium pipi Katharina—putri bungsu Ken dan Chery. Dan hari ini Stella ke sekolah mendatangi guru tidak bersama dengan Sean. Kesibukan Sean yang membuat suaminya itu tidak bisa hadir. Pun Stella tidak memaksa untuk Sean menemaninya. Mengingat belakangan ini Sean terlalu
Suara tangis bocah kecil perempuan memasuki mansion, membuat Chery yang tengah membaca laporan perkembangan butik miliknya langsung terkejut. Tampak Chery segera meletakan laporan di tangannya ke atas meja. Wanita itu terburu-buru menghampiri suara tangis itu. Tentu Chery tahu itu adalah suara tangis putri kecilnya.“Katharina … kau kenapa, Nak? Kenapa menangis, Sayang?” Chery bersimpuh di depan Katharina—putri kecilnya yang tak kunjung berhenti menangis.“Nyonya, tadi di sekolah ada sedikit masalah.” Sang pengasuh menundukan kepalanya di depan Chery. “Masalah?” Chery bangkit berdiri. Lalu dia menatap Clovis—putra sulungnya yang sejak tadi hanya diam. “Clovis, ada apa, Nak? Kenapa adikmu menangis seperti ini? Apa kau tidak menjaga adikmu? Kan Mommy sudah bilang, kau harus menjaga adikmu dengan baik.” Chery menegur putranya dengan nada yang pelan, namun tersirat sedikit marah.Clovis Kendrick Jefferson adalah anak laki-laki pertama dari Ken dan Chery. Saat ini Clovis berusia empat tah
PranggggSebuah guci mahal pecah begitu saja akibat tendangan seorang bocah perempuan kecil. Pecahan beling itu memenuhi lantai. Beruntung pecahan beling tak mengenai bocah perempuan cantik itu. Tidak hanya sendirian tapi bocah laki-laki yang merupakan saudara kembarnya juga ada di hadapannya. Mereka terlalu asik bermain sampai-sampai memecahkan guci di ruang keluarga. Ya, kini kedua bocah laki-laki dan perempuan itu begitu panik kala melihat guci pecah. Wajah mereka tampak ketakutan. Baru saja mereka melarikan diri dari pengasuh yang menjaga mereka. Tapi malah mereka mendapatkan masalah.“Tuan Muda … Nona Muda …” Seorang pengasuh terlihat sangat panik melihat pecahan guci itu.“Kami tidak sengaja.” Luke dan Lydia memasang wajah merengut agar tak disalahkan.“Astaagaaa Luke … Lydia … ada apa ini?” Suara Alika berseru seraya melangkah memasuki ruang keluarga. Seketika raut wajah Alika berubah melihat guci kesayangannya dengan harga fantastis itu pecah. Kini sepasang iris mata hitam Al