Saya ucapkan 'terima kasih' sebesar-besarnya kepada para pembaca setia yang telah merelakan waktu untuk membaca buku ini. Juga, merelakan uangnya untuk beli koin buku ini, menulis komentar, review, memberikan gem/vote, mengajak orang-orang untuk membaca buku ini.😍😍😍 Thanks, I ❤️ U. Dukungan kalian sangat berarti buat author Sunny 😍
"Efim, apa kamu tidak apa-apa?" Alisya berjalan mendekati Efim yang menghapus darah di sudut bibir. Meski lukanya tidak serius, tetapi raut wajah kesal itu tidak dapat disembunyikan. "Hamba tidak apa-apa, Putri. Jangan khawatir!" ujar Efim datar sembari mengatur napas. "Syukurlah jika kamu tidak apa-apa." Alisya tersenyum simpul. "Putri, mohon maaf sebelumnya ..." Pria berambut putih itu menjeda kata-katanya. "Ada apa? Katakan saja!" "Bukannya hamba bermaksud ikut campur. Akan tetapi, hamba hanya ingin memperingatkan, hubungan Putri dengan Efatta tidak akan berhasil!" Raut wajah Efim berubah serius seketika. "Apa maksudmu?" Dengan menyipitka mata, Alisya menatap Efim keheranan. "Apa Putri sudah lupa dengan kemarahan Pangeran Dafandra diawal pengangkatannya menjadi raja? Hamba rasa tangisan keluarga korban perang dan pekerja tambang yang dibantai habis oleh raja belum mengering." Sekilas Efim menatap raut wajah gusar sang putri. "Sekarang Putri telah kembali berada di tangan raj
Berjalan seorang diri menyusuri taman yang bermandikan caha bulan, hati Efim menjadi semakin tidak tenang. Setelah berhari-hari dalam kegelisahan, dengan mata kepalanya sendiri, Efim menyaksikan Efatta mulai mencari kebenaran tentang hubungannya dengan Putri dari kerajaan Crysozh. Kekhawatiran Efim bukan tanpa alasan. Kalaupun Alisya diam, pria liar itu pasti tidak akan menyerah begitu saja. Jika terus dibiarkan, bukan tidak mungkin Efatta akan menyusun rencana untuk membawa Putri Alisya lari dari benteng bawah tanah. Memandang pilar-pilar kokoh penyangga kastil, Efim terus berjalan memasuki kastil yang selalu sunyi sejak bertahun-tahun lamanya. Suara langkah menggema mengiringi pria berbaju serba hitam di antara dinding berhiaskan lukisan keluarga penyihir dari generasi ke generasi. Langkah Efim terhenti, dipandangnya sesosok wanita berambut hitam mematung di depan sebuah lukisan yang diterangi cahaya rembulan. "Gianira ...." Sapa Efim, tanpa jawaban dari sang pemilik nama. Kemba
"Apa ini yang kamu maksud, tidak lama lagi akan bertemu dengan raja?" tanya Alisya pada seorang pria berambut putih yang baru saja muncul dari balik pintu. Tidak langsung menjawab, pria berpakaian serba hitam memberikan hormat terlebih dahulu seperti biasa. "Sepertinya Yang Mulia sudah tidak sabar untuk bertemu dengan raja." Efim tersenyum simpul. "Hentikan omong kosongmu! Aku hanya merasa heran. Sudah hampir dua bulan aku berada di tempat ini, tetapi tidak ada satu pun utusan kerejaan menampakkan batang hidungnya. Jangan-jangan, sebenarnya kamu hanya memperalatku untuk memeras raja?" ucap Alisya kesal. "Memperalat? Apakah Paduka raja akan tertarik untuk menebus Putri?" gurau Efim. "Jika tidak, memangnya apa yang telah dia perbuat saat ini? Mengerahkan mata-mata di berbagai tempat, bahkan di tempat-tempat terpencil! Yang lebih aneh lagi, membuat sayembara bajak laut dengan hadiah sertifikat izin membajak. Apakah itu tidak disebut gila?" Efim mengangguk-angguk mendengar sanggahan
"Ee ... Efatta ... apa kamu sedang mempermainkanku?" ucap Alisya terbata-bata. Janji Efatta selanjutnya jelas lebih tidak masuk akal. "Tidak, Alisya. Kamu bisa memegang ucapanku!" Efatta mengangguk dengan mantab. Alisya tidak bisa menyembunyikan air matanya karena merasa terpojok dan bimbang. Saat ini dia tidak punya pilihan selain mengikuti kehendak Efatta. Karena menolaknya juga tidak mungkin. "Sekarang apa yang harus kita lakukan?" tanya Alisya seraya menghapus air mata. "Mempersiapkan bekal secukupnya untuk perjalanan dan membawa senjata."Efatta memasukkan beberapa buah di meja kendalam kantong, kemudian menyerahkannya kepada Alisya. "Meski cuma pisau buah, ini sangat tajam. Tidak perlu cemas, dalam sebuah pertarungan yang paling penting adalah keahlian baru kemudian senjata." Efatta memandang dua pisau buah di tangan bergantian. Raut wajah Alisya masih terlihat ragu-ragu. Sang putri menarik mantel hitam yang menutupi tubuh Efatta. "Tidak usah cemas! Dalam kondisi terdesak
Begitu menyadari Gianira telah menyelamatkan Efatta, semu orang di tempat itu membisu. Mencabut tangannya yang berlumuran darah, Efim memandang wajah pucat Gianira dengan penuh penyesalan. Tangan pria berkulit pucat menutup luka di perut Gianira seraya merapal mantra, tapi tangan Gianira mencegahnya. "Tidak perlu, aku tidak menyesal mati karena melindunginya," ucap Gianira pelan. Gerakan naik-turun di dada Gianira menghilang, sedangkan matanya terbuka memandang langit malam yang gelap, seolah menatap kepergian roh dari jasad. Saat itu juga tangisan Efim pecah seraya memeluk tubuh Gianira yang tidak bernyawa. Bahkan Alisya seolah tidak berkedip menyaksikan kematian Gianira yang begitu cepat untuk melindungi lelaki yang memilih kabur bersamanya. Sungguh ironis. Setelah menangis beberapa saat, pria berkulit pucat kembali bangkit. Dengan tangan mengepal erat Efim menerjang Efatta yang juga baru saja berdiri. Kemarahan membuat energi sihir Efim muncul berkali-kali lipat hingga Efatta
Peristiwa tragis dan pembunuhan selalu menyisakan trauma di hati siapa pun yang melihatnya. Begitu juga dengan kematian Gianira dan perkelahian Efim dan Efatta. Meski sang putri sudah tidak punya keinginan untuk kembali membina rumah tangga dengan Efatta, faktanya Alisya telah banyak berhutang nyawa dengan Efatta. Kejadian tragis yang menimpa Efatta tidak bisa tidak membuat Alisya bersedih. Walaupun larut dalam kesedihan, entah kenapa hati kecil Alisya masih berkeyakinan Efatta belum mati. Setitik hati itu seolah bersikeras tidak akan mempercayai tuduhan kematian Efatta sampai sang putri melihat dengan mata kepalanya sendiri jasad Efatta. Malam itu sudah beberapa kali pelayan yang datang menghampiri Alisya untuk memintanya makan malam bersama raja. Akan tetapi, berkali-kali pula Alisya menolak. Selain karena nafsu makannya menghilang, yang Alisya inginkan saat ini hanya waktu untuk menyendiri. Tiba-tiba kembali terdengar suara ketukan pintu. Harusnya peringatan sebelumnya sudah cu
Seorang dokter wanita tengah memeriksa luka di kamar baru Alisya. Setelah kedatangan raja, Alisya dipindahkan dari benteng bawah tanah ke dalam kastil. Sebuah kamar yang luas dengan ranjang empuk yang nyaman menjadi tempat beristirahat sementara sang putri. Dua hari berlalu sejak kakinya terluka karena Efim, Alisya belum bercakap-cakap lagi dengan pria berkulit pucat yang telah diangkat raja sebagai pengawal pribadi ratu. Selain karena Efim telah menyingkirkan Efatta, bayangan Efim menembus perut Gianira masih terbayang jelas. Hal itu membuat Alisya merasa takut membayangkan pria itu akan terus berada di sekelilingnya. "Sebaiknya Putri tidak turun dari tempat tidur terlebih dahulu, untuk mempercepat penyembuhan." Dokter wanita berkata dengan ramah membuyarkan lamunan Alisya. "Terima kasih." Putri dari kerajaan Crysozh menjawab dengan pasrah. Ingatan Alisya saat memanjat dinding benteng terulang kembali. Rasa di hati sang putri lebih sakit dari pada luka di kakinya yang dibalut perb
Tangan Alisya bergetar seraya melepaskan pedang dalam genggaman. Seketika itu juga tubuh sang putri terasa lemas dan berkeringat dingin karena telah melukai seseorang dengan sengaja. Sikap Alisya tidak ubahnya seperti putri malu yang mengatup ketika disentuh. "Kamu tidak apa-apa, Alisya?" raja mencengkeram kedua lengan Alisya, sementara Alisya membuang muka. Perasaan sang putri campur aduk. "Alisya ...." Raja berucap dengan nada lembut. Alisya menggeleng pelan, memberikan isyarat dengan tangan agar raja menjauh. Hati Alisya menjadi semakin bimbang. Sang putri tidak menyangka, raja akan begitu mudah percaya dengan kebohongan yang dia ciptakan. Padahal, jelas-jelas Alisya menusuk Efim dengan pedang pria itu. Bahkan sarung pedangnya juga berada di atas ranjang Alisya. Jika tidak karena Efim berikan, tidak mungkin sarung pedang itu bisa berada di atas ranjang sang putri. Selanjutnya Efim, pria itu juga tidak membantah hukuman dari raja dan lebih memilih menjalani hukuman karena fitnah
Saat makan malam tiba. Dalam satu meja makan terdapat Dafandra, Alisya dan ibu suri. Suasana di meja makan sangat hening, sampai ibu suri angkat bicara. "Aku dengar kamu telah mengalami perdarahan. Apakah ketubanmu telah pecah?" "Belum, Ibu Suri." Alisya menjawab sopan. "Makanlah yang banyak agar tubuhmu lebih kuat menghadapi persalinan! Mungkin nanti malam atau besok pagi anakmu akan lahir. Semoga persalinanmu berjalan lancar." Ibu suri menatap Alisya yang terlihat sedikit malas menyendok makanan. "Terima kasih atas perhatiannya, Ibu Suri." Alisya membalas ucapan ibu mertuanya dengan senyuman. Sepertinya ibu raja juga turut bahagia karena akan menyambut cucu pertamanya. Setelah acara makan malam usai ibu suri meninggalkan ruang makan. Di ruang makan Alisya masih terduduk di kursinya. Sang ratu kembali menahan sakit dengan tangan mengelus perut yang menegang. Pada saat yang sama janin Alisya juga bergerak seakan mengabarkan dirinya tidak sabar untuk segera terlahir. "Ayo, Alisya!
"Benarkah?" Alisya bangkit untuk melihat secara langsung darah yang Dafandra maksud. Sang raja menelan ludahnya sendiri. Alisya bukan lagi gadis perawan. Kenapa kewanitaannya mengeluarkan darah? Seketika wajah pria nomor satu di Kosmimazh berubah pucat. Sang raja tidak habis pikir jika perbuatannya dapat mengakibatkan sang istri mengalami perdarahan. "Aku akan segera memanggil dokter!" tangan raja segera meraih baju di sisi ranjang. "Yang Mulia!" Alisya menahan lengan kekar Dafandra. "Darah ini pertanda aku akan segera melahirkan, Yang Mulia." Alisya tersenyum lebar. "Benarkah?" Alis raja melengkung ke atas seakan tidak percaya dengan ucapan yang baru saja dia dengar. Entah karena Hujaman raja yang terlalu keras atau karena efek peleasan hormon cinta di tubuh ratu, yang jelas usia kehamilan Alisya sudah lebih dari cukup untuk melahirkan bayi. "Jika kontraksinya bagus, mungkin nanti sore atau malam, bayimu akan lahir." Senyuman di bibir merah delima Alisya merekah indah, membuat
Malam yang dingin menyelimuti kota Asteryzh. Ibu kota kerajaan Kosmimazh. Dingin yang seakan menusuk tulang membuat siapa pun ingin meringkuk di bawah selimut tebal. Akan tetapi, malam ini Alisya menyibak selimut dengan rasa gusar. Bintik-bintik keringat menghiasi dahi wanita nomor satu di Kosmimazh. "Ada apa?" Gerkaan kasar ratu membuat raja terbangun dari mimpi. "Aku hanya merasa gelisah, Yang Mulia." Alisya Menjawab segera pertanyaan suaminya seraya duduk di ranjang. Merapatkan tubuh pada wanita berambut merah, Dafandra berbisik di telinga putri Crysozh. "Kenapa?" Tangan raja mengelus perut bulat wanita dalam dekapan. "Seharusnya, bayi ini sudah lahir. Tetapi, aku belum merasakan tanda-tanda akan melahirkan." Alisya menundukkan wajah sehingga wajah tertutup rambut merah bagaikan tirai. Raja berpindah posisi tepat di hadapan ratu. Tangan menyibak rambut, Dafandra memegang kedua sisi wajah sang putri Crysozh. Pria nomor satu di Kosmimazh sangat mengerti kegundahan hati istrinya.
Terima kasih kepada segenap pembaca yang telah mengikuti kisah Alisya sampai akhir. Bagi saya, Alisya adalah cinta pertama saya dalam dunia novel, karena dia dalah original character pertama buatan saya. Dengan kata lain, novel ini adalah novel pertama saya. Mohon maaf jika karya ini masih jauh dari kata sempurna. Maaf juga jika ada yang kurang puas dengan akhir dari jovel ini. Yang jelas, saya berusaha menulis novel ini dengan sepenuh hati. Sudah tidak terhitung banyaknya waktu dan revisi yang saya lakukan untuk novel ini. Semua itu saya lakukan untuk mencoba memberikan yang terbaik bagi pembaca. Ikuti juga novel-novel author Sunny Zylven selanjutnya, Ya! Salam sayang, Sunny Zylven ❤️❤️❤️
Memasuki kamar Raja Rifian, Alisya tidak menyangka akan bertemu ibu suri. Meski canggung, adik kandung penguasa Crysozh tetap berusaha tenang dan tersenyum. "Hormat kepada Ibu Suri," ucap Alisya, selanjutnya memberikan hormat kepada raja yang masih terbaring di ranjang. "Syukurlah, akhirnya kakak sadar juga!" Seulas senyuman terlukis di bibir sang putri Crysozh. Setelah dokter menemukan penyebab utama raja tidak kunjung sadar, perawatan ekstra diberikan kepada pria normor satu di kerajaan Crysozh. Kesehatan Raja Rifian memang belum pulih sempurna. Wajah kakak Alisya juga masih terlihat pucat. Akan tetapi, itu masih lebih baik dari pada terus terpejam tidak sadarkan diri. "Ya, semua ini berkat suamimu," balas Rifian. "Suamiku?" Alis sang ratu Kosmimazh melompat bersamaan. "Tentu saja, jika tidak karena pertolongannya, baik aku, kamu, ibu, dan rakyat tidak berdaya pasti sudah mati di tangan Paman Ega. Aku sangat berterima kasih kepadanya. Kamu sangat beruntung Alisya, mempunyai seo
"Bagaimana keadaannya, Dokter?" tanya Dafandra kepada pria berambut putih. Dengan wajah cerah Iason berkata, "Yang Mulia tenang saja, kondisi janin Ratu Alisya baik-baik saja." Setelah sekian lama di Crysozh, baru kali ini Alisya mendapatkan pemeriksaan medis oleh dokter kerajaan Crysozh. Keadaan sebelumnya yang memaksa sang ratu Kosmimazh untuk menyembunyikan kehamilan. Spontan senyuman di bibir pria nomor satu Kosmimazh melebar, "Terima kasih, Dokter." "Sebaiknya Yang Mulia beristirahat terlebih dahulu di Crysozh, jangan buru-buru kemabli ke Kosmimazh. Biarkan Ratu Alisya beristirahat setelah hari-hari yang buruk menimpanya." Kepala dokter kerajaan memandang Alisya dan Dafandra bergantian. "Tentu, Dokter! Aku akan memberikan waktu istirahat yang banyak untuk ratuku," jawab Dafandra segera. "Guru, ngomong-ngomong bagaimana keadaan kakakku?" tanya Alisya dengan kedua alis melengkung ke atas. Rasa di hati putri Crysozh belum lega jika sang kakak belum pulih kembali. "Yang Mulia b
Layang-layang di angkasa terlihat berpencar. Lysias dan beberapa penyihir lain menembakan sihir ke langit. Saat fokus para penyihir tertuju pada puluhan layang-layang dan terjadi ledakan berkali-kali di ketinggian, sekumpulan pria entah dari mana menggiring pengunjung alun-alun menjauhi pusat keributan melalui jalan yang sepertinya telah disiapkan. Pertempuran di darat dan udara pun pecah. Setelah semua penduduk di pesta berhasil dievakuasi, ratusan panah api turun dari langit bagaikan hujan deras. Prajurit sihir yang kehilangan kemampuan sihir karena tangan dan mulut tidak bisa digerakkan lari kocar-kacir. Tidak membutuhkan waktu lama kobaran api membakar beberapa sisi alun-alun yang terbuat dari kayu. "Mungkinkah mereka pasukan Yang Mulia ..?" gumam sang ratu Kosmimazh. Para gadis di dalam sangkar mulai panik, mereka berteriak dan menangis. Melirik ke sisi kiri, Alisya mendapati ibu kandungnya menatap keributan dengan santai. Begitu juga dengan Gelsi, si Mentri pertahanan. Keduan
"Apa ada di antara kalian yang ingin mengikuti jejak Gelsi? aku akan menerimanya dengan senang hati" tanya Ega dengan salah satu alis terangkat. Semua orang di dalam aula kerajaan terdiam. Para menteri yang tamak tentu saja akan lebih memilih nyawa mereka masing-masing. *** "Yang Mulia, tiga hari lagi kerajaan akan mengadakan upacara pengangkatan raja. Pada malam pengangkatan raja, akan diadakan upacara pengorbanan lima puluh gadis perawan dan tiga orang bangsawan." Arys memberikan laporan kepada pria berambut pirang yang tengah duduk termenung memandang peta ibu kota Stemmazh. "Apa? Pengorbanan lima puluh gadis perawan dan tiga bangsawan? Apa maksudnya?" tanya Dafandra dengan kedua alis melompat bersamaan. Pria nomor satu di Kosmimazh tidak dapat menyembunyikan keterkejutan. "Mereka akan menggelar ritual sihir!" jelas Arys. "Sial!" umpat pria nomor satu di Kosmimazh sambil mengepalkan tangan di atas meja. "Menurut informasi dari intelejen, Pangeran Ega akan mengorbankan para pe
"Kasihan sekali raja baru kita, belum lama menjabat kini harus merelakan diri turun dari tahta," ucap seorang wanita bergaun biru di salah satu gang ibu kota. "Benar sekali. Akan tetapi, aku rasa itu yang terbaik demi kemajuan kerajaan. Kita tidak bisa terus-terusan menunggu orang yang tertidur untuk bangun, sedangkan rakyat setiap hari bangun pagi untuk mencari sepotong roti," saut wanita bergaun cokelat. "Setuju! Apalagi yang akan menjadi raja selanjutnya adalah Pangeran Ega. Bukankah dia pejabat yang bijaksana?" Wanita bergaun ungu turut angkat bicara. "Benar ... Benar sekali!" Jawab wanita bergaun biru dan cokelat serempak. Suasana di ibu kota benar-benar kondusif untuk segera melengserkan Raja Crysozh yang berkuasa. Segala lini kehidupan telah memberikan dukungan kepada calon raja baru. Bahkan, pada lapisan masyarakat paling bawah. Penduduk kota telah menyambut pengangkatan raja baru dengan mendekorasi kota sedemikian rupa. Siapa sangka, di saat yang sama pasukan penyihir yan