Apakah kapten benar-benar telah mati?
Seorang dokter wanita tengah memeriksa luka di kamar baru Alisya. Setelah kedatangan raja, Alisya dipindahkan dari benteng bawah tanah ke dalam kastil. Sebuah kamar yang luas dengan ranjang empuk yang nyaman menjadi tempat beristirahat sementara sang putri. Dua hari berlalu sejak kakinya terluka karena Efim, Alisya belum bercakap-cakap lagi dengan pria berkulit pucat yang telah diangkat raja sebagai pengawal pribadi ratu. Selain karena Efim telah menyingkirkan Efatta, bayangan Efim menembus perut Gianira masih terbayang jelas. Hal itu membuat Alisya merasa takut membayangkan pria itu akan terus berada di sekelilingnya. "Sebaiknya Putri tidak turun dari tempat tidur terlebih dahulu, untuk mempercepat penyembuhan." Dokter wanita berkata dengan ramah membuyarkan lamunan Alisya. "Terima kasih." Putri dari kerajaan Crysozh menjawab dengan pasrah. Ingatan Alisya saat memanjat dinding benteng terulang kembali. Rasa di hati sang putri lebih sakit dari pada luka di kakinya yang dibalut perb
Tangan Alisya bergetar seraya melepaskan pedang dalam genggaman. Seketika itu juga tubuh sang putri terasa lemas dan berkeringat dingin karena telah melukai seseorang dengan sengaja. Sikap Alisya tidak ubahnya seperti putri malu yang mengatup ketika disentuh. "Kamu tidak apa-apa, Alisya?" raja mencengkeram kedua lengan Alisya, sementara Alisya membuang muka. Perasaan sang putri campur aduk. "Alisya ...." Raja berucap dengan nada lembut. Alisya menggeleng pelan, memberikan isyarat dengan tangan agar raja menjauh. Hati Alisya menjadi semakin bimbang. Sang putri tidak menyangka, raja akan begitu mudah percaya dengan kebohongan yang dia ciptakan. Padahal, jelas-jelas Alisya menusuk Efim dengan pedang pria itu. Bahkan sarung pedangnya juga berada di atas ranjang Alisya. Jika tidak karena Efim berikan, tidak mungkin sarung pedang itu bisa berada di atas ranjang sang putri. Selanjutnya Efim, pria itu juga tidak membantah hukuman dari raja dan lebih memilih menjalani hukuman karena fitnah
Menghirup napas dalam, udara istana memenuhi paru-paru Alisya. Meski sama-sama udara, tetapi rasa udara di istana seakan berbeda dari tempat-tempat lain. Tidak bisa dipungkiri, istana merupakan tempat yang sangat seksi untuk meraup kekayaan, kekuasaan, dan popularitas. Semua mata seakan sekilas tertuju kepada Alisya tetapi buru-buru menunduk untuk memberikan penghormatan kepada raja. "Hormat kepada Paduka Raja Dafandra, semoga panjang umur." Para menteri menyambut kedatangan raja. Dafandra menanggapi sambutan para menteri dengan anggukan kepala kemudian menuju ke singgasana. "Rasanya bahagia sekali hari ini, aku bisa kembali menginjakkan kaki di istana. Aku tidak akan berlama-lama memberikan pidato kali ini karena aku sangat lelah. Singkat saja, aku akan mengumumkan pernikahan keduaku dengan Putri Alisya." Suasana alula kerajaan menjadi hening. Para menteri terdiam tetapi saling memandang, seolah berkomunikasi satu sama lain. Padahal beberapa bulan terakhir kerajaan disibukkan den
Suasana pesta tampak meriah, para tamu undangan telah berdatangan memenuhi aula kerajaan. Pesta pernikahan raja yang terkesan terburu-buru hanya dihadiri oleh keluarga kerajaan, para menteri dan bangsawan. Meski begitu nuansa kemeriahannya masih hangat terasa. Menikmati musik dan pertunjukan seni, Alisya dan Dafandra saling diam seakan baru pertama kali bertemu. "Aku tidak menyangka akan menemui hari ini ...." Raja memulai percakapan berharap mencairkan suasana. Tidak tahu harus menjawab apa, sang putri hanya menelan ludahnya sendiri, menandakan rasa gelisah karena jantungnya berdegup kencang. "Apakah kamu masih berdebar-debar?" tanya raja ramah. Matanya tidak bisa terlepas dari wanita berambut merah dengan gaun hitam bertabur emas di sisinya. Tiara yang terbuat dari emas juga menghiasi kepala Alisya, sedangkan rambutnya digulung di belakang. "Benar, Yang Mulia." Alisya berusaha tetap tersenyum di hari pernikahannya. Dalam suasana hati yang gelisah, Alisya berharap pesta pernikah
"Sayang ... bangun!" bisik raja di telinga Alisya. Membuka mata perlahan, Alisya menatap waja pria berambut pirang yang semalam bersamanya. "Ada apa, Yang Mulia? Apakah kita akan bermain lagi?" jawab Alisya dengan malas. "Kamu kelelahan, Alisya? Itu seperti bukan kamu ... semalam kamu begitu gila ...." Raja tersenyum menggoda. "Apa aku tidak boleh beristirahat, Yang Mulia?" wajah Alisya cemberut. "Tentu saja kamu boleh beristirahat, tetapi sayangnya waktu istirahatmu telah habis!" Dafandra tersenyum menunjukkan deretan gigi putih yang rapi. Raja menyibak selimut Alisya, membuat wanita itu terkejut dan kembali meraih selimut untuk menutup tubu polosnya. "Bangunlah, Pemalas! Sebentar lagi para dayang akan datang untuk membantumu membersihkan diri! Bergegaslah, aku akan menunjukkan sesuatu kepadamu. Aku rasa kamu akan sangat tertatik dengan apa yang akan aku tunjukkan kepadamu." Raja bangkit dari ranjang sembari meraih sebuah baju untuk menutup tubuh berototnya. "Apa yang akan raj
"Yang Mulia seseorang mengirimkan sebuah surat rahasia kepadamu." Efim menyerahkan sebuah surat kepada Alisya. "Apa kamu tahu siapa pengirim surat ini?" tanya Alisya keheranan. "Hamba tidak tahu, yang hamba tahu surat ini untuk Yang Mulia." Raut wajah Efim juga keheranan memandang surat di tangannya. "Berikan kepadaku!" Efim menyerahkan sebuah amplop berwarna hijau tua dengan sebuah segel lilin yang sepertinya Alisya kenal. "Surat ini berasal dari kerajaan Crysozh. Akan tetapi, segel lilin ini bukan milik kakakku. Lalu siapa yang mengirim surat kepadaku?" Bola mata Alisya berputar ke atas seperti sedang memikirkan sesuatu. "Kenapa tidak Yang Mulia buka saja amplopnya?" Efim mengangkat kedua alisnya bersamaan. "Ha ... benar juga!" Alisya terkekeh seraya membuka segel amplop. Terdiam membaca surat, raut wajah Alisya berubah suram. "Ada apa Yang Mulai?" "Budak Selir Neelam mengabarkan kepadaku, jika wanita itu telah mati." Tangan Alisya meremas surat hingga lusuh. "Bukankah sel
Berdiri di paviliun menatap danu kerajaan, raut wajah Alisya terlihat gelisah. Meski raja telah memberikan izin untuk berkunjung ke kerajaan Crysozh, nyatanya waktu satu pekan terasa begitu lama. "Yang Mulia ...." sapa Efim. "Ada apa, Efim?" jawab Alisya dengan balik bertanya. "Maaf Yang Mulia ... hamba hanya penasaran, apakah raja menyetuju rencana putri untuk berkunjung ke kerajaan Crysozh?" Pria berkulit pucat yang kini menjadi pengawal pribadi Alisya bertanya dengan kepala menunduk. "Setuju. Raja telah menyetujuinya. Hanya saja ... raja masih akan menahanku di sini selama satu pekan." Kedua alis Alisya melengkung ke atas, sementara Efim mengangguk-anggukkan kepala. "Menurut hamba, sebaiknya Yang Mulia mempergunakan waktu itu untuk bersantai." Meski masih dengan menundukkan kepala, Alisya menyadari pria berbaju serha hitam tengah tersenyum. "Apa katamu? Bersantai? Tidak ada waktu bagiku untuk bersantai? Dadaku selalu bergemuruh setiap waktu!" Alisya keheranan mendengar ucapan
"Guru ...." sapa Alisya kepada seorang pria tua berambut dan berjenggot putih. Setelah dua hari beristirahat, akhirnya Alisya bertemu dengan kepala dokter kerajaan Crysozh. Memasuki ruang kerja Iason membuat Alisya merasa nyaman. "Putri Alisya ...." Mata tua pria yang disebut guru berbinar cerah menyaksikan kehadiran murid kesayangannya. "Akhirnya kamu datang kemari ... Duduklah! Aku senang melihat kedatanganmu!" Pria tua mempersilahkan Alisya duduk di kursi yang ada di depannya. "Hormat kepada Kepala Dokter Kerajaan Iason!" Sebelum duduk, Alisya memberikan penghormatan kepada sang guru. Jarak antara Alisya dan Iason hanya terhalang sebuah meja kerja. Di atas meja hanya ada beberapa tumpukan dokumen, tempat tinta dan pena bulu angsa. "Aku sempat tidak percaya dengan kabar yang tersebar mengenai kedatanganmu kemari. Apa lagi ditambah dengan berita pengembalian pula Lionysozh, itu terdengar seperti mimpi!" Iason tersenyum lebar memperjelas kerutan di wajah. "Benar, Guru. Aku juga me