"Huh?"
Apa yang terjadi? Semuanya tampak seperti mimpi saat beberapa pria berbadan besar, mengenakan setelan hitam, mengelilingi mejanya. Keira mematung, terkejut, berusaha menekan perasaan bingung dan cemas, tetap bersikap tenang. Siapa mereka? Seharusnya ayahnya yang datang, memenuhi janji makan malam sejak beberapa hari yang lalu. Bukan malah mereka, yang membuat pikiran Keira dipenuhi oleh berbagai macam pertanyaan. "Siapa kalian?" tanyanya dengan suara tegas. "Kami datang untuk menjemput anda, Nona Hale," ujar salah satu dari mereka. Tubuhnya menegang. Keira menatap waspada, tangannya mencengkram pinggiran meja dengan kuat. Apa sebenarnya inginkan? Keira belum sempat mengatakan apa pun ketika tubuhnya ditarik begitu kasar, kursi yang dia duduki terjatuh, menciptakan bunyi debam. Lengannya sakit saat disentak begitu kuat yang membuatnya terhuyung berdiri. Setidaknya dibutuhkan dua pria untuk memegang lengannya agar tidak bisa memberontak. "Lepaskan aku! Lepaskan," meski begitu, Keira tetap melawan. Dia tidak ingin dibawa begitu saja. "Diamlah. Kami hanya bertugas mengantar anda ke kediaman bos kami. Berhenti memberontak atau kami melukai anda," pria itu mengancam dari balik kacamata hitamnya. Keduanya lalu menyeret Keira setelah melempar kode kepada delapan orang yang tersisa. Keira merasa marah, bingung, panik dalam satu waktu. Dia memberontak, menahan diri meski percuma saja karena kekuatan kedua pria itu lebih kuat dibandingkan dirinya. "Kubilang lepaskan! Beraninya orang seperti kalian menyentuhku!" Keira berujar kesal menendang salah satu kaki mereka begitu kuat. "Aduh!" Pria itu berdesis kecil, tendangannya tidak main-main. Melihat itu sebagai kesempatan. Keira lalu menginjak kaki yang lainnya dengan heels tajamnya. Namun itu bukan kesempatan untuk kabur. "Sialan perempuan ini! Apakah bos memberi perintah kalau kita tidak boleh menyakitinya?" tanya pria yang baru saja menerima injakan heels yang menyebabkan sepatu kulitnya sobek. "Kurasa tidak," sahut temannya yang masih meringis kesakitan, "jika tidak ada perintah maka kita bisa menyakitinya karena terlalu banyak melawan." Keira melotot mendengar percakapan mereka, memberontak terhadap cengkraman mereka di pergelangan tangannya yang semakin mengencang. "Lepaskan aku bajingan!" Satu ucapan menerima tamparan keras di wajahnya. Kepalanya tertoleh ke samping saking kerasnya pria itu memberikan tamparan. Keira tertegun. Tidak percaya bahwa pria rendahan seperti mereka mampu melayangkan tangan kepadanya. Dia adalah putri tunggal keluarga Hale yang terpandang. Meski sepertinya itu tidak berlaku lagi sekarang. "Ikut dengan kami tanpa perlu melawan. Memberontak sekali lagi salah satu lenganmu akan patah." Keira terdiam kaku diseret oleh mereka sekali lagi. Matanya mengerjap cepat membayangkan apa yang akan terjadi ke depannya? Situasi sial apa yang sedang menimpa dirinya? "Siapa? Siapa bos kalian?" Keira bertanya kesal. Dahinya berkerut-kerut samar. Sama sekali tidak terima dengan penghinaan ini. "Tidak perlu bertanya. Sebentar lagi kau akan bertemu dengannya." Mereka mendorongnya masuk ke dalam mobil hitam ketika mereka keluar dari restoran. Keira tidak sempat memberontak karena saat tubuhnya terhuyung masuk ke dalam mobil, seseorang menutup mulutnya dari belakang dengan kain yang memiliki bau begitu menyengat. Rasa pusing dan mual menyatu. Perlahan-lahan Keira kehilangan kesadaran, napasnya tertahan, dan matanya tertutup. Dia kemudian jatuh pingsan saat mobil melaju dalam kecepatan tinggi. Entah berapa lama Keira tidak sadarkan diri. Waktu berlalu begitu cepat. Kesadarannya kembali. Napasnya perlahan teratur, kelopak matanya mengerjap-ngerjap kecil pada pencahayaan remang di dalam ruangan. Kepalanya masih sedikit pusing dan Keira merasa ingin segera pulang ke rumahnya istirahat. Pulang? Dia tersentak. Kesadarannya perlahan pulih. Menatap ruangan asing yang hanya menggunakan lampu kecil di tengah ruangan sebagai penerangan. Di mana ini? Matanya menatap sekeliling ruangan dengan waspada, kemudian pandangannya terjatuh kepada seseorang yang duduk tidak terlalu jauh darinya. Kursi itu berputar menghadap ke arahnya. Seorang pria membalas tatapannya intens penuh perhitungan dan seolah menembus ke jiwa Keira yang tertegun secara tidak sadar. Dia kemudian mengamati fiturnya secara seksama. Sorot matanya tajam sangat sesuai dengan tekukan alis tebal pada dahi. Tidak bisa dipungkiri bahwa pria ini mempunyai wajah tampan dengan pesona maskulin yang kuat. Tulang pipi tinggi, rahang tegas, sangat sesuai dengan gaya rambut hitam yang disisir ke belakang rapi dengan beberapa helai terjatuh di dahinya. Mengamatinya begitu lama Keira lalu tersentak. Mengerjap pelan saat pria asing itu bersuara. "Keira Hale," suaranya menyeruak rendah begitu dalam, bibirnya menyunggikan senyum sinis, "akhirnya bisa melihatmu berlutut seperti ini." Matanya membelalak. Keira belum sepenuhnya mengumpukan kesadaran untuk menyadari bahwa dirinya sedang berlutut. Kedua tangan di bawah ke belakang dan diborgol pada tiang setinggi 15 cm yang berada tepat di tengah ruangan. Dia sedikit menggoyangkan tangan membuat borgol berbenturan di tiang. "Sialan siapa kau?" Dahinya berkerut, matanya memandang tajam. Pria itu tertawa sinis seolah mengejeknya. "Mari kita mulai secara pelan-pelan. Kau pasti bingung dibawa seperti ini tanpa penjelasan. Ayah sialanmu pasti sama sekali tidak pernah menjelaskan kepadamu." "Jangan pernah menyebut—" "Aku tidak menyuruhmu berbicara. Tutup mulutmu selama aku menjelaskan semuanya," pria itu memotong cepat, ekspresinya serius seakan-akan ingin membunuhnya. Keira otomatis terdiam. "Aku Cullen Grant. Putra sulung dari keluarga yang ayahmu hancurkan dua puluh dua tahun yang lalu," pria itu berbicara santai sembari memberi perintah kepada bawahan yang muncul dari sisi ruangan yang gelap. Bawahan itu membawa sebatang rokok, menyerahkan kepadanya, dan menyalakannya. Cullen menghisap rokok kuat-kuat lalu menghembuskan asap yang membumbung ke udara. "Tentunya ayahmu tidak pernah menceritakannya, kan? Itu dosa masa lalunya yang tidak termaafkan. Pria sialan itu pasti berpikir telah menang tanpa menyadari bahwa pembalasan akan datang dan menghancurkan dirinya," matanya berkilat penuh kesenangan, "juga kehidupan putri kesayangannya." Dahi Keira berkerut samar. Tidak suka mendengar suara yang terasa menggema di telinganya atau menerima tatapan yang seolah menusuk jiwanya. "Lantas kenapa kau harus menyeretku juga ke dalam masalah yang tidak berhubungan denganku?" "Kau bodoh atau bodoh sekali? Tentunya aku akan menghancurkan segala yang berhubungan dengan Alan sialan. Kau pun termasuk. Apalagi darah sialan itu mengalir di dalam tubuhmu." "Itu tidak adil—" "Sama tidak adilnya dengan kami," Cullen memotong ucapannya lagi, kali ini suaranya menyentak kasar. Ah, ini membuat Keira pusing. Siapa juga yang akan menerima perlakuan menghina hanya karena dosa masa lalu sang ayah yang bahkan tidak dia ketahui. Ayahnya memang orang keras yang memiliki banyak musuh sepanjang hidupnya. Tetapi Keira tidak pernah mengira terkena imbas seperti ini. Kehidupannya juga tidak terlalu baik dulunya, ayahnya jarang bersikap baik kepadanya, dia pun menerima kekejaman dari sosoknya. Keira menatap nyalang kepadanya, percaya dirinya sangat tinggi. Dia begitu percaya kepada ayahnya. "Kau bisa mendiskusikan mengenai dosa masa lalunya kepadanya, karena ayahku tidak akan diam begitu saja, dia sekarang pasti sedang mencariku." Alis Cullen terangkat, tatapan matanya seolah merendakan. "Ayahku akan datang menemuimu, dia tidak akan terima putrinya diperlakukan seperti ini. Aku adalah Keira Hale yang terpandang, orang sepertimu tidak akan bisa melakukan apa pun. "Jaga ucapanmu! Kau tidak tahu apa pun," sinis Cullen, "seharusnya ayahmu takut sekarang, berharap dia tidak serangan jantung mendengar kabar tentangmu, dan Hale yang kau banggakan itu sebentar lagi hancur." "Kau terlalu percaya diri," ujar Keira merendahkan. "Memang," sentak Cullen keras, dia mendorong kursinya ke belakang dan berjalan lurus ke arahnya. Tubuhnya menjulang tinggi di depannya. "Karena kenyataannya memang seperti itu," lanjutnya. Kepala Keira mendongkak untuk memandangnya. Sungguh posisi yang yang sangat merendahkan. Matanya tak berhenti memandang tajam, dia kemudian mengalihkan pandangan. Di tengah keheningan yang singkat, dering ponsel berbunyi nyaring. Keira terkejut, sangat mengenal dering tersebut. "Bawa kemari," perintah Cullen. Salah satu bawahan yang membawa tasnya, berjalan mendekat, di tangan terdapat ponsel yang Keira sangat kenal. Itu ponselnya. "Siapa?" "Ayahnya bos," ucap bawahan tersebut, "saya akan mematikannya–" "Jangan," suara Cullen memotonh tegas, senyum sinis kembali menghiasi wajahnya, "angkat dan besarkan volumenya." Mengikuti perintah, bawahan tersebut segera menekan tombol hijau, sambungan terhubung. "Keira???" Keira yang sejak tadi terdiam, tersenyum puas. Lihat, ayahnya pasti mencarinya. Dia baru ingin berteriak tetapi bawahan tersebut menjulurkan ponsel ke depan wajahnya. "Ayah, ayah tolong!!" seru Keira. "Keira, kau di mana?? cepat katakan." "Aku diculik oleh seseorang yang mengaku sebagai musuh ayah, dia berasal dari keluarga yang bernama Grant." "Apa??" Suara ayahnya terdengar melengking. "Tenang saja Keira, tenang. Jangan melawan, oke? Ayah pasti akan menyelamatkanmu bagaimana pun caranya." Cullen kemudian menyentak ponsel tersebut, menyalakan loudspeaker. "Sudahi sandiwaramu, Alan. Sampai kapan kau akan meyembunyikan rahasia busukmu?" Suara Cullen menyeruak sinis. "Tunggu–" "Sudah lama sekali, kan? Kau pikir kami akan melupakan kejadian itu? Kau sudah banyak menerima peringatan tapi mengabaikannya, sudah wakfunya kami bertindak." "Tunggu, saya mohon..." Suara Alan terdengar parau, "Keira, Keira, tenang saja, ayah minta maaf telah melibatkanmu dengan ini. Tenang, kau pasti–" "Tenang saja, aku pastikan dia akan merasakan sengsara, tidak perlu berusaha mengatakan lelucon bodoh. Kau tidak bisa melakukan apa pun lagi." "Kumohon jangan menyakiti putriku. Keira, maaf, maafkan ayah, tolong maafkan ayah–" Merasa muak mendengar suara Alan, Cullen mematikan ponsel. Sambungan terputus, dia kemudian melepar ponsel tersebut ke lantai hingga hancur berlebur. Layarnya pecah total, yang tidak bisa diperbaiki lagi. Mata Keira melotot menatap nanar ponselnya. Dia sejak tadi terdiam, menyimak percakapan antara Cullen dan ayahnya, yang semakin membuatnya tidak mengerti. Ayahnya yang kejam dan tidak berperasaan, terdengar begitu ketakutan. Suaranya yang besar, penuh wibawa, mencicit, bergetar seolah menghadapi malaikat kematian. Dan permintaan maaf ayahnya, sungguh semakin membuat Keira tidak mengerti mengenai, dosa, dendam, dan pembalasan. Cullen kemudian tersenyum puas, memandangnya. "Kau sudah dengar kan, betapa takutnya ayahmu mengenai dosa masa lalunya, dan bagaimana putri satu-satunya akan menjadi penebus dosanya." Keira terus menatap tajam, sama sekali tidak terima, dan semakin tidak terima saat mendengar ucapan yang keluar dari mulut Cullen selanjutnya."Apa kau sudah siap menerima takdir hidupmu, Keira Hale?" Keira sangat tidak suka namanya disebut olehnya. Nada suara pria itu terdengar merendahkannya. Begitu pula dengan tatapan matanya. "Apa sekarang giliranku?" Siapa lagi? Matanya otomatis mengarah pada sumber suara yang lain. Dari sudut ruangan gelap, pria lain muncul. Kali ini bukan bawahan karena dia mengenakan setelan jas abu-abu. Tubuhnya menjulang tinggi dan begitu kekar. Pria itu mengenakan kacamata bening yang membingkai wajah, seringai jahat tersungging di bibirnya saat menatap ke arahnya. Keduanya memiliki sedikit kemiripan yang Keira simpulkan bahwa mereka pasti bersaudara. "Apa aku sudah bisa membawanya ke ranjangku?" Mata Keira melotot. Gila! yang benar saja. Dia sama sekali tidak sudi disentuh oleh tangan-tangan kotor mereka. Namun, saat ini dia tidak dapat melakukan perlawanan. Membayangkan disentuh oleh salah satu dari mereka membuat Keira merinding. Perasaan mual menjalar ke perutnya. "Diamlah.
Menjelang pagi, kegiatan pada ruangan itu sudah dimulai. Mereka perlu bergerak lebih dahulu untuk menyiapkan segalanya. Mata Keira terbuka, memandang kosong, dia kesulitan tidur setelah dibawa ke ruangan ini. Padahal saat tertidur tadi sejenak Keira berharap semuanya adalah mimpi, tetapi kenyataan menampar keras saat dia terbangun di ruangan pembantu. Kasurnya sempit definisi khusus satu orang saja. Bantalnya keras. Tidak ada guling. Sangat jauh berbeda dari kamar tidurnya yang luas dan megah di rumahnya. Apa-apaan ini? Keadaan buruk yang sama sekali tidak bisa dia terima. Dia membutuhkan penjelasan ayahnya, dia perlu mendengarkan dosa masa lalu dari mulut ayahnya sendiri. Akan tetapi apakah ayahnya masih hidup? Kemungkinan besar dia sudah dibunuh oleh keluarga Grant. "Bangun!" Lamunan Keira buyar saat seseorang memukul tubuhnya menggunakan bantal. Dia terkesiap dan segera bangun, terduduk di kasurnya. Para pembantu lainnya sudah bersiap diri sejak tadi, mereka mengenakan p
Para pembantu lainnya menatap terkejut sekaligus bingung saat melihat Keira berjalan di belakang Jake yang menunggangi kuda. Tidak seperti biasanya putra kedua keluarga Grant ingin berurusan dengan pembantu. Jake begitu dingin dan jarang berbicara. Bahkan dia hanya memerintah dengan tatapan matanya. Dia seharusnya tidak perlu berusah payah mengurusi pembantu baru. Tetapi tidak ada yang bisa menebak pikiran para anggota keluarga Grant. "Ayo lanjut bekerja," sahut salah satunya memecah keheningan. Mereka kemudian melanjutkan cucian yang bertumpuk. Sedangkan Keira membawa kakinya melangkah ringan, pandangannya tertuju kepada punggung kokoh tersebut. Bagaimana nasib dirinya? Jake tidak muncul tadi malam hingga Keira tidak bisa menyimpulkan seperti apa pria ini. Apakah dia lebih kejam dan sadis dari kedua saudaranya? Terlalu banyak berpikir sampai Keira tidak sadar bahwa mereka telah sampai pada bagian barat tepatnya di kandang kuda. Jake kemudian turun dari kudanya dan menole
"Di mansion terdapat perpustakaan besar. Dibagi menjadi tiga bagian, satu untuk tamu, ruangan paling luas untuk keluarga Grant, dan satunya lagi untuk pembantu," Lily menjelaskan dengan semangat. Setelah makan siang mereka memutuskan kembali ke halaman belakang. Duduk bersandar di bawah pohon beringin menunggu jemuran kering untuk diangkat. Angin sepoi bertiup, meski menolak mengakui tetapi Keira sedikit merasa nyaman di tempat ini. Suasananya begitu damai dan seolah jauh dari keramaian kota yang penuh polusi. "Kau pernah ke perpustakaan?" "Hanya sesekali. Soalnya Nia sering memonopoli. Mentang-mentang dekat dengan Mia, dia bertindak sok sekali. Banyak dari kami yang tidak suka padanya tetapi tidak berani melakukan apa pun karena takut," Lily menepuk tangannya, ekspresi wajahnya riang. "Tapi tadi kau berani sekali memukulnya. Kami bangga padamu, Keira." Pukulan itu bahkan bukan apa-apa, lagi pula seseorang seperti Nia memang harus diberi pelajaran agar bisa menjaga sik
Malam harinya Keira sulit tertidur. Matanya terus terbuka di dalam ruangan yang lampunya sudah dimatikan sejak tadi. Dia memikirkan nasib dari kehidupan ke depannya. Apakah Keira hanya akan terus menjadi pembantu di keluarga monster iblis ini? Membayangkannya saja sudah membuat perutnya mual. Dia jijik dan sama sekali tidak sudi. Mana mungkin Keira rela menghabiskan sisa hidupnya dengan mengabdi kepada orang gila seperti mereka. Pokoknya Keira harus mencari cara agar bisa pergi dari tempat ini. Dari seribu satu ketidakmungkinan yang ada, pasti ada satu cara untuk meloloskan diri. Meski keluarga Hale sudah hancur tak bersisa, Keira yakin di luar sana masih ada seseorang yang dapat dia datangi dan meminta bantuan. Dia bisa pergi ke tempat temannya atau kabur ke luar negeri melalui kapal pesiar milik pria yang menyukainya. Apa pun yang terjadi, dia harus meninggalkan tempat ini secepatnya. Soalnya ayahnya, Keira tidak ingin memikirkan dulu. Dia ingin egois kali ini dan menyela
Sudah dua hari berlalu semenjak Keira melihat tangga tersebut, tetapi dia belum menemukan kesempatan untuk kabur. Terlebih lagi Lily dan Daya terus menyeretnya mengikuti mereka. Membuat Keira bingung mencari alasan untuk berpisah karena mereka bisa curiga. Seperti sekarang mereka duduk di bawah pohon rindang dan menikmati buah persik pemberian Dion. Keira cukup menikmati tekstur buah yang lembut digigit dan berair dengan rasa sempurna yang menyatu. "Dion tidak dimarahi jika memberimu buah seperti ini terus?" Daya mengigit buah ketiganya. Lily menelan, menggeleng. "Tidak, soalnya para penjaga ladang buah memang diberikan jatah per dua keranjang masing-masing setiap minggunya. Dion bilang dia sudah agak muak terlalu banyak memakan buah sejak bekerja di sini, jadi dia membagikannya deh," ujarnya bahagia yang membuat rona merah di pipinya muncul. Daya memberenggut. "Bahagia ya jika disukai oleh tukang ladang buah." "Daya!" Seru Lily malu. Sedangkan Daya tertawa kecil.
Samuel meloloskan dengusan tidak puas. "Oh ayolah, apa aku tidak bisa bersenang-senang dengannya sekali saja?" "Apa aku pernah mengulangi perkataan dua kali?!" Ekspresi dan suara marah Cullen membuat Samuel berdecak kecil. Pandangannya beralih untuk menatap Keira yang memasang raut jijik yang malah menggemaskan di matanya. Dia kemudian mendaratkan kecupan ringan di pipinya sebelum melepas tangan dan membawa dirinya menjauh darinya. "Lihat, dia begitu menggoda. Aku yakin kau juga ingin menidurinya, kan?" Samuel menatap jahil ke arah Cullen. "Tutup mulutmu!" Membuat Cullen semakin marah. Dasar para pria gila! Keira buru-buru bangkit, merapikan gaun dan rambut yang berantakan. Tangannya sudah gatal sekali ingin meninju ekspresi menyebalkan di wajah Samuel, tapi menahan diri karena tidak ingin membuat masalah baru. "Kalau begitu aku akan menelpon jalangku saja, sampai jumpa Keira. Selanjutnya kita pasti bisa melakukannya," Samuel tertawa kencang berjalan menjauh dengan sa
Tubuhnya terlalu banyak menerima rangsangan kejut dan ketakutan membuat Keira pingsan tiga puluh menit kemudian. Anak-anak kucing masih terus mengeong dan menempel pada tubuhnya yang terkulai lemah. Alarm berbunyi dari alat hitung jam pada dinding yang menandakan hukumannya telah selesai dalam waktu satu jam. Bawahan tadi masuk dan memeriksa kondisinya kemudian keluar membawa laporan kepada Cullen yang duduk menunggu di meja kerja dan Samuel yang datang lima menit lalu. "Dia pingsan, Tuan." Samuel mendorong dirinya dari dinding, tersenyum licik. "Baiklah, kalau begitu aku akan membawanya ke kamarku." "Apa kau datang ke sini untuk itu?" Cullen menatap dingin ke arahnya. Tangannya dilipat di depan dada, dan kakinya diangkat ke atas meja. "Biarkan aku melakukannya sekali saja," senyum Samuel menghilang dari wajahnya digantikan ekspresi serius. Kesal karena Cullen selalu saja memerintah seenak diri. "Tidak." Satu kata yang cukup menggambarkan penolakan secara jelas.
Saat berada di luar ruangan, penjahat itu berhenti, cengkaramannya semakin mengencang. Sebelah tangannya bergerak, menempelkan ujung pistol di pelipis Keira, mulai menekan pelatuk. Keira yang tidak bisa melawan, mulai memikirkan segala kejadian yang pernah terjadi dalam hidupnya. Lebih tepatnya mengenang kehidupan sebelum berakhir di tangan penjahat tersebut. Dalam hidupnya, Keira belum pernah mencapai sesuatu yang betul-betul diimpikan. Dia menjalani kehidupan dengan sangat datar, tanpa ambisi, dan cita-cita. Mungkin inilah hukuman untuk seseorang yang tidak pernah menikmati kehidupan dengan semestinya. "Terimalah kematianmu," bisik penjahat tersebut. "Eh?" Matanya membulat, terkejut. "Samuel?" "Huh?" Cengkraman pada lehernya mengendur, Keira menjadikan itu sebagai kesempatan untuk menjauh dan berbalik, memandangnya dengan keterkejutan yang masih sama. "Kau Samuel, kan?" "Huh?!""Tidak perlu berbohong, aku tahu itu kau," tangan Keira bergerak hendak menarik topeng, tapi pria
"Aku tidak mengira akan bertemu denganmu di sini, Keira. Kau menghilang setelah hari kelulusan, bahkan chatku saja tidak dibalas. Kau ke mana selama ini?"Mereka kini berada di ruangan tanpa pintu tempat penyimpanan barang cadangan. Keira berdiri di depan Evan, memandangnya. Mereka memang sudah lama tidak bertemu, oiya Evan merupakan teman kampus Keira, mereka dulunya satu jurusan dan sering berada di kelas yang sama. Evan adalah pria yang pernah Keira pikirkan sebagai pilihan untuk kabur. Ya, dia pria yang memliki kapal pesiar yang berlabuh mengelilingi dunia. Termasuk dari keluarga kaya raya di dunia. Dia pria tampan berambut pirang, yang baik hati dan sering menolongnya dahulu. Bahkan saat status Keira hanyalah mahasiswa yang mendapatkan bantuan dari sekolah dulunya. Alan sangat tidak ingin jika seseorang mengetahui siapa Keira sebenarnya, maka dari itu, sepanjang hidupnya Keira lebih banyak menyembunyikan dirinya yang sebenarnya. Di kampusnya dia dikenal sebagai gadis miskin ta
Nia memasuki ruangan Cullen dengan setengah hati, ada rasa gugup, takut, sekaligus kesal melihat bagaimana Keira dapat menghindari hukuman begitu mudah. Meski Nia tahu bahwa wanita itu bukan seorang pembantu sepertinya, tapi seharusnya diberi hukuman juga, kan? Keluarga Grant yang dia tahu adalah keluarga yang tidak segan menghukum seseorang yang melakukan keributan atau bertengkar di mansion. Namun di sinilah Nia sekarang, berdiri sembari menahan getaran di kaki, menunduk saat Cullen melayangkan tatapan membunuh ke arahnya. Tatapan Cullen saja sudah seperti hukuman. Nia merasa seolah tatapan itu menembus ke dalam jiwa dan merobeknya secara perlahan. Dia sangat tersiksa hingga menimbulkan sesak di dadanya. Hukuman apa yang akan Nia terima? Selama berada di mansion, dia sudah berapa kali dihukum dan dapat dibilang sudah terbiasa, maka dari itu, dia menenangkan diri dan mengatakan bahwa semua akan baik-baik saja saat waktu berlalu nantinya. "Anda memanggil saya Tuan?" Pintu terbuk
Keesokan harinya, Keira berjalan-jalan di sekitar halaman belakang mansion. Sejak tadi malam, pikirannya dipenuhi oleh perkataan Cullen dan isi diary serta surat yang ditinggalkan ayahnya. Jika menggunakan pemikiran jangka pendek, semuanya tampak tidak masuk akal, seolah hanya sesuatu yang dibuat-buat untuk mendramatisi kematian ayahnya. Namun jika memikirkannya secara jangka panjang, segala sesuatu memang saling terhubung. Kemungkinan besar ada sosok dibalik kejadian kejam masa lalu Alan, yang membuat ayahnya melakukan sesuatu keji dan tak bermoral. Dan saat waktunya tiba, ayahnya sengaja bunuh diri, dan mengungkap seperti teka-teki agar mereka yang mendapatkan suratnya dapat menyelidiki setelah kematiannya. "Keira." Langkahnya terhenti, Keira segera menoleh menemukan Lily dan Daya berdiri tak jauh darinya. Mereka berdua memegang keranjang kosong, sepertinya telah selesai menjemur pakaian. Lily maju selangkah, gugup ingin berbicara dengan Keira setelah saling mendiami selama be
Keira menatap keluar jendela, rintik-rintik hujan mengentuk atap saat mobil melaju dengan kecepatan tinggi. Pandangannya kosong, juga pikirannya yang sudah terlalu penuh sebab memikirkan semuanya. Cobaan hidupnya sangat berat, rumit, dimulai dari ibunya yang meninggal saat melahirkannya, membuatnya tumbuh dan besar tanpa pernah merasakan kasih sayang. Hidup bersama sang ayah yang kadang bersikap kejam dan dingin padanya, sering meninggalkan Keira yang kesepian. Jika Keira protes atau melampiaskan kekesalan sekali saja, maka Alan tak akan segan memberi hukuman. Seperti mengurung Keira di gudang yang gelap gulita dan hanya sedikit sirkulasi udara, atau membawanya ke hutan dan meninggalkannya sendiri, Keira harus berjuang agar keluar dari hutan sebelum malam hari. Pokoknya hidupnya tidak lurus dan sempurna seperti kata orang-orang, Keira banyak mengalami kesulitan terutama saat beranjak remaja. Meski begitu, terlepas dari sikap buruk Alan, Keira dapat tumbuh sebagai sosok anak perempu
Selama menjalani perawatan, Keira berada di kamar Cullen, lebih tepat dikurung, pintu hanya terbuka jika Amanda datang untuk memeriksa atau Mia yang datang membawa makanan. Kamar tersebut dirancang seketat mungkin. Jendelanya diberi trali besi, sejenis cairan sabun atau sampo berbahaya dihilangkan. Kini rak kamar mandi Cullen hanya dipenuhi oleh sejenis sabun mandi bayi yang aman jika tertelan. Sejak berada di kamar tersebut, Clara hanya bisa berbaring, memandang kosong ke arah langit-langit. Dia kembali lagi dalam model boneka, terlihat tak bernyawa dan begitu hampa. Untuk sementara waktu, Clara mencoba tidak memikirkan apa pun. Menjerihkan pikiran, terlalu banyak berpikir juga membuatnya lelah, dan merasakan energinya terbuang habis. Saat kesadaran hampir hilang, pintu yang terbuka membuat matanya terbuka. Keira bangkit dari posisi tidur saat mengenali suara langkah tersebut, yang mengetuk lantai keras dan terburu-buru. Cullen datang. "Bagaimana keadaanmu?" Tanyanya blak-blaka
"Bagaimana keadaanmu?" Matanya yang semula terpejam, perlahan terbuka, Keira mengerjap pelan, memandang Amanda yang datang untuk memeriksanya siang ini. Sudah seminggu berlalu pasca Amanda berhasil menyelamatkan nyawa Keira yang hampir tidak terselamatkan. Seumur hidup bekerja pada keluarga Grant, baru pertama kali Amanda berjuang begitu keras, bahkan sedikit menangis saat dirinya berhasil, meski sebenarnya Keira terbilang mustahil untuk ditolong. Dengan Keira yang masih hidup, tanpa mengalami kecacatan di dalam organ dalamnya, Amanda menyebut hal itu sebagai keajaiban. "Baik," Keira menjawab setelah terdiam, dan hanya memandang selama beberapa menit, kemudian mengalihkan pandangan. Mengabaikan Amanda yang kembali mengecek keadannya. Keira sudah seperti boneka yang tidak bergerak, matanya tak berkedip menatap dinding putih kosong. "Kau harus rajin makan dan perbanyak minum air putih, yang paling penting, jangan pernah melewati jadwal minum obat. Aku akan kembali nanti
Matanya terbuka perlahan, Keira memandang ruangan yang tidak asing baginya. Bagian belakang kepalanya berdenyut pelan, beberapa detik kemudian, dia baru tersadar bahwa dirinya sudah berada selama tiga hari di kamar Cullen. Sejak malam itu, ketika dirinya pingsan, Cullen membawanya ke kamar ini. Keira mengalami demam selama dua hari, dan baru sore ini, dia merasa sedikit baikan. Dia sudah terlalu lama berada di ranjang, mengubur dirinya di dalam kasur empuk. Pikirannya berkelana, terus memikirkan perkataan ayahnya yang seperti menekan dirinya. Kenapa? kenapa ayahnya begitu jahat? membantai orang lain, hanya karena tidak ingin kalah dalam persaingan bisnis, kenapa ayahnya tega melakukan hal keji? Semakin memikirkannya, semakin menyebabkan kepalanya berdenyut sakit, air matanya menetes, panas di pipinya. Tangannya mencengkram selimut erat, menahan isakan. "Kau sudah bangun?" Keira mengigit bibirnya saat mendengar pintu terbuka, diikuti oleh suara Cullen yang bertanya pel
Keira menoleh pada Cullen yang duduk di sampingnya, matanya memandang sebal. Yang benar saja, mereka berdua duduk di kursi yang dibawa oleh salah satu bawahan lalu pamit pergi, menyisakan mereka bertiga. Hal yang membuatnya kesal sekaligus marah karena Cullen menyuruh dirinya duduk bersamanya, sedangkan ayahnya berlutut di depan mereka. Hatinya terenyuh melihat tampilan ayahnya yang tidak berdaya, Keira bahkan baru dapat memperhatikan dengan jelas jika mata sang ayah sipit sebelah, mata sebelah kiri hampir tertutup, dihiasi oleh luka lebam."Duduk Keira." Suara Cullen berujar dingin, penuh perintah setiap kali Keira mencoba untuk turun dan duduk di lantai bersama ayahnya. Keira pun tidak bisa tidak menuruti sebab Cullen memegang lengannya kuat, menahan agar tetap di tempat. "Sekarang, Alan Hale, bisakah kau menceritakan dosa masa lalumu kepada putrimu?" Tubuh ayahnya sejak tadi tegang, bingung dan tidak tahu harus memulai dari mana. Kisahnya begitu kejam, orang yang mendengarnya p