"Di mansion terdapat perpustakaan besar. Dibagi menjadi tiga bagian, satu untuk tamu, ruangan paling luas untuk keluarga Grant, dan satunya lagi untuk pembantu," Lily menjelaskan dengan semangat.
Setelah makan siang mereka memutuskan kembali ke halaman belakang. Duduk bersandar di bawah pohon beringin menunggu jemuran kering untuk diangkat. Angin sepoi bertiup, meski menolak mengakui tetapi Keira sedikit merasa nyaman di tempat ini. Suasananya begitu damai dan seolah jauh dari keramaian kota yang penuh polusi. "Kau pernah ke perpustakaan?" "Hanya sesekali. Soalnya Nia sering memonopoli. Mentang-mentang dekat dengan Mia, dia bertindak sok sekali. Banyak dari kami yang tidak suka padanya tetapi tidak berani melakukan apa pun karena takut," Lily menepuk tangannya, ekspresi wajahnya riang. "Tapi tadi kau berani sekali memukulnya. Kami bangga padamu, Keira." Pukulan itu bahkan bukan apa-apa, lagi pula seseorang seperti Nia memang harus diberi pelajaran agar bisa menjaga sikap. "Dia pasti sudah dihukum oleh Tuan Cullen. Di dalam kotak kaca bersama seribu kecoak." Membayangkannya saja membuat keduanya merinding. Entah seperti apa nasib Nia saat ini. "Tapi tumben sekali lho, Tuan Jake mengambil alih memberi hukuman kepada pembantu. Biasanya cuek saja dan menyerahkan kepada Tuan Cullen," Lily menatapnya, "kau dihukum membersihkan tumpukan jerami ya?" Keira hanya mengangguk. "Beruntung sekali. Kau bisa bebas dari hukuman kotak kaca," ujar Lily senang, menyadarkan tubuhya pada pohon. Mereka kemudian terdiam dan menikmati ketenangan. Keira lebih banyak berpikir. Semua ini masih menjadi tanda tanya besar baginya. Di satu sisi Keira marah, tetapi di sisi lain dia takut pada nasib ke depannya. Dia lalu menatapnya. "Oiya, kau bilang Tuan Paul paman mereka? Jadi dia sudah tua?" "Hm, aku juga tidak tahu banyak sih, tapi bagaimana ya menjelaskannya." Lily berpikir sejenak. "Umurnya masih sekitaran 30 tahun. Mungkin 38? Hampir sepantaran dengan Tuan Cullen karena kehamilan orang tua mereka berdekatan. Berbeda tiga tahun. Tuan Cullen berumur 35 tahun. Tuan Jake 30 tahun, dan Tuan Samuel 27 tahun." Ah, seperti itu. Berarti kemungkinan Paul pasti mempunyai dendam yang bahkan mungkin lebih besar dari ketiganya. Pikirannya besar terhadap nasibnya. Baru kali ini Keira tidak dapat menyusun rencana untuk dirinya. Dia takut mengambil langkah yang salah dan berakhir membawa dia ke jurang kematiannya sendiri. Keira juga tidak bisa berhenti memikirkan ayahnya. Meski ada setitik rasa tidak suka dan marah sebab tidak memberitahu tentang apa pun, dia tetap saja mengkhawatirkan kondisinya. Apa yang sedang ayahnya lakukan sekarang? Apakah ayahnya masih menyusun rencana menyelamatkannya? atau dia malah dibuat sengsara juga oleh keluarga Grant? Dia perlu informasi mengenai ayahnya, pun mengenai seluruh harta Hale yang tersisa. Paling dia pikirkan adalah perusahaan yang selama berapa tahun terakhir merosot dan jatuh ke titik minus. Dia berjuang sekuat tenaga, dibanjiri keringat, air mata, dan otaknya yang mengepul menididih agar perusahaan mereka tidak bangkrut. Tetapi apa hasil yang dia dapatkan dari semua itu? Dia malah berakhir menjadi pembantu. Kalau bisa bertemu dengan sekertaris yang sudah Keira anggap sebagai teman. Mungkin dia bisa menemukan celah keluar dari semuanya. "Kau pernah melihat keluarga Grant membawa musuh ke tempat ini?" Tanyanya tiba-tiba. Mata Lily membelalak, kaget. "Jangan mengatakan hal itu. Nanti kau dianggap musuh juga." Ya, dia kan memang anak musuh mereka. "Ini rahasia," Lily berbisik, "aku belum pernah melihat mereka membawa musuh tetapi di mansion terdapat ruang bawah tanah yang tidak boleh diakses oleh siapa pun selain keluarga Grant. Aneh kan? Padahal ruang bawah tanah seharusnya dibersihkan terus agar tidak kotor tapi tidak ada pembantu yang pernah ke sana. Banyak yang curiga ruang bawah tanah digunakan sebagai tempat penyiksaan." Tubuh Keira kaku, matanya membelalak, jantungnya memompa cepat. Apakah semua musuh keluarga Grant berada di ruang bawah tanah? Jika iya, berarti ada kemungkinan ayahnya berada si sana juga, jikalau ditangkap juga sepertinya. "Kau kenapa?" Matanya mengerjap pelan. "Apa?" "Tidak, hanya saja kau tegang. Aku pikir kau tengah memikirkan sesuatu." Keira hanya menggeleng. Mereka kemudian terdiam sembari memejamkan mata, angin sepoi-sepoi menjadi pengantar tidur. Berapa jam kemudian mereka terbangun saat salah satu dari pembantu membangungkan mereka. "Hei ayo bangun. Sudah sore, kalian lama juga ya tertidur," pelayan yang membangunkan mereka bernama Daya. Keira berkenalan dengannya saat makan siang tadi. Keduanya terbangun dan segera bergabung dengan mereka yang sedang memungut pakaian kering. Ternyata sudah sore hari, sekitar jam empat sore. Selesai memungutnya, mereka harus membawa ke ruangan khusus menyetrika dan melipat lalu setelahnya akan dibawa ke kamar para tuan rumah. Saat hendak memasuki ruangan, Keira melihat sekelebat bayangan dari ruangan lain. "Kau mau ke mana?" Tanya Lily saat melihat Keira berjalan keluar dari ruangan. "Aku mau ke kamar mandi sebentar," Keira segera berjalan cepat. Dia yakin mengenal orang yang dia lihat tadi. Saat memasuki ruangan tersebut, mata Keira melotot. "Agatha!" teriaknya. Wanita berambut merah kecoklatan menoleh saat mendengar namanya disebut. Matanya balas melotot. Dia berbalik dan menghampirinya. "Nona Hale," suaranya memanggil sopan sesaat, setelah itu bibirnya tersenyum jahat, "maksud saya, Keira." "Apa?" "Ouh, sekarang saya tidak perlu menghormati anda, lagi kan?" Ucapan Agatha membungkamnya. Wanita ini adalah sekertarisnya, orang kepercayaannya. Bisa-bisanya berkata seperti itu. "Agatha!" Bentaknya "Jeng!" Agatha memperlihatkan flashdisk di tangannya. Tempat semua biodatanya dan berkas rahasia yang Keira simpan baik-baik. Tangannya bergerak untuk merebutnya, tetapi Agatha menutup telapaknya, mengenggam erat. "Tidak boleh dong, nanti kedatangan saya sia-sia ke sini," kekehnya. "Kau mengkhianatiku?!" "Sayang sekali, saya dulunya menikmati kok menjadi bawahan anda. Anda orang yang baik Nona, maksud saya Keira. Tetapi dunia ini tidak membutuhkan orang baik. Jadi daripada terus menjadi bawahan di perusahaan yang hampir bangkrut lebih baik menjualnya dengan harga tinggi." Tangan Keira bergerak melayangkan satu tamparan keras di wajah Agatha hingga membekas merah. Wanita itu memegang pipinya tidak percaya. Tangannya terangkat hendak membalas tetapi berhenti oleh suara seseorang yang datang. "Akhirnya kau datang juga," Samuel memasuki ruangan, seringai licik menghiasi wajahnya. Keira melempar tatapan tidak suka. "Kemarilah jalang," telunjuknya memberi perintah kepada Agatha untuk mendekat. Dipanggil merendahkan seperti itu sama sekali bukan masalah bagi Agatha. Dia merapikan rambutnya dan berjalan dengan lenggak-lenggok, menghampirinya. "Jalang yang satunya juga jika ingin bergabung silakan. Aku kuat dalam memuaskan jalang yang haus kasih sayang," Samuel menatapnya dalam, matanya berkilat penuh nafsu jahat. Wajahnya berkerut membentuk ekspresi jijik bercampur marah. "Tapi nanti saja saat waktunya tiba. Lagi pula aku ingin mengurus sesuatu dulu," Samuel melingkarkan lengan di bahu Agatha menarik mendekat dan berjalan menjauh. Sialan! Wanita itu sungguh mengkhianatinya. Keira tidak terima. Seolah seluruh orang di dunia ini menyerangnya secara bersamaan. Dia tidak ingin menerima keadaan begitu saja. Melirik ke kanan-kiri Keira mengikuti mereka diam-diam. Dia kemudian tiba di depan ruangan yang mereka masuki, terdiam sembari berusaha mencuri obrolan. "Kau membawanya?" "Aku membawanya Tuan." "Jalang yang pintar. Aku akan langsung mengirim uang kepadamu. Lalu setelah itu kau menginginkan apa?" "Aku menginginkanmu, Tuan Samuel." "Baiklah." Keira tidak terlalu bisa mendengarnya, hanya samar-samar tapi sudah pasti Agatha menyerahkan flashdisk kepada Samuel. Setelah itu tidak ada lagi percakapan, melainkan suara desahan yang saling bersahutan. "T-tuan... C-cepat..." "Hah! Kau suka ini?!" "I-iyaahh, T-tuann..." "Haa, haa! Aku membayangkan apakah tubuh Keira akan senikmat ini juga." Mendengar desahan menjijikkan Samuel menyebut namanya saat mencapai pelepasan membuat Keira buru-buru menjauhkan telinganya dari pintu. Dia seketika mual. Pria itu selain kurang ajar ternyata mesum. Keira harus menjaga diri darinya. Tak lama kemudian pintu terbuka, Agatha keluar dengan tampilan acak-acakan. Dia menghembuskan asap dari rokok yang terselip di bibirnya. "Aku ingin bicara denganmu," ucap Keira dengan tegas. Agatha hanya mengangguk, melepas rokok dari bibirnya. "Seperti yang terlihat, saya mengkhianati anda." "Kenapa?" Dahinya berkerut samar, amarahnya membumbung tinggi ke ubun-ubun. "Kenapa? Saya sudah menjelaskan tadi," Agatha menghembuskan asap, terlihat tenang, "saya bosan menjadi bawahan dan dengan menjual perusahaan yang akan bangkrut membuat hidup saya lebih baik." Napasnya memburu, Keira benar-benar dipermainkan. "Padahal aku sudah menganggapmu sebagai temanku." "Teman?" Agatha merenung sejenak, menghela napas, "jangan katakan hal yang membuat saya merasa bersalah, Nona Hale. Oh ya, saya mendapatkan flashdisk itu dari Tuan Hale." Matanya melotot. "Apa? Kau bertemu ayah? Di mana?!" "Kalau sekarang saya tidak tahu di mana Tuan Hale berada. Dia memberikannya seminggu yang lalu. Kasihan sekali, Tuan Hale begitu menyedihkan setelah Nyonya Hale meninggal. Jadi hanya dengan sedikit kepuasan dia memberi flashdisknya." Setiap kata yang keluar dari mulut Agatha seperti bahan bakar yang membakar amarah. Keira merasakan sesak tak tertahankan, pengkhianatan besar-besaran ini dilatarbelakangi oleh ayahnya? Kenapa? Kenapa ayahnya selalu menyakitinya baik fisik maupun raga? Keira mendesis marah. "Kau benar-benar–" "Ah saya lupa. Kemarin kalau tidak salah, keluarga Grant menyuruh bawahannya menangkap Tuan Hale," Agatha menurunkan suaranya, berbisik pelan, "mungkin sekarang Tuan Hale berada di tempat penyiksaan atau bisa lebih dari itu. Saya menyarakan anda untuk tidak perlu mencarinya." "Apa?!" "Saya melihatnya lho, tubuh Tuan Hale penuh luka dan lebam, kemudian diseret masuk ke dalam bagasi mobil, keadaannya sekarat antara hidup dan mati. Kasihan sekali." Tubuh Keira menenang. Tebakannya benar, ayahnya juga ditangkap sepertinya. Pandangannya terus tertuju kepada Agatha yang menikmati rokoknya. "Nikmati saja kehidupan baru anda. Karena tidak ada lagi yang tersisa di luar sana. Rumah, harta benda, dan perusahaan semuanya sudah jatuh ke tangan keluarga Grant. Ada tidak punya apa pun sekarang," Agatha menatap kosong, asap menutupi wajahnya. Keira terdiam. Bukan tidak ingin melawan, tetapi percuma saja melawan. Jika menyerang Agatha sekarang dia tidak akan mendapatkan apa pun yang menguntungkan. "Awalnya memang aneh, tapi jika sudah terbiasa pasti anda bisa menerima segalanya," Agatha berjalan, kemudian berhenti di dekatnya, berbisik, "lagi pula kenapa anda tidak memanfaatkan Tuan Samuel? Meski agak kasar tapi ukurannya besar dan saya jamin anda akan terpuaskan." Bisa-bisanya berkata seperti itu! Keira menahan diri untuk tidak menjambak rambut Agatha. "Selamat tinggal, Nona Hale. Saya selalu berdoa untuk kesehatan anda. Senang bisa menjadi bawahan anda dulu." Setelah mengatakan kalimat perpisahan, Agatha berjalan pergi. Hak tingginya mengetuk lantai dengan nyaring. Keira lalu berbalik menatap punggung yang perlahan menghilang dari matanya. Begitu menyakitkan, tetapi seperti inilah kehidupannya sekarang. Mau tidak mau Keira harus menerima kenyataan bahwa keluarga Hale benar-benar sudah runtuh dan tidak tersisa apa pun.Malam harinya Keira sulit tertidur. Matanya terus terbuka di dalam ruangan yang lampunya sudah dimatikan sejak tadi. Dia memikirkan nasib dari kehidupan ke depannya. Apakah Keira hanya akan terus menjadi pembantu di keluarga monster iblis ini? Membayangkannya saja sudah membuat perutnya mual. Dia jijik dan sama sekali tidak sudi. Mana mungkin Keira rela menghabiskan sisa hidupnya dengan mengabdi kepada orang gila seperti mereka. Pokoknya Keira harus mencari cara agar bisa pergi dari tempat ini. Dari seribu satu ketidakmungkinan yang ada, pasti ada satu cara untuk meloloskan diri. Meski keluarga Hale sudah hancur tak bersisa, Keira yakin di luar sana masih ada seseorang yang dapat dia datangi dan meminta bantuan. Dia bisa pergi ke tempat temannya atau kabur ke luar negeri melalui kapal pesiar milik pria yang menyukainya. Apa pun yang terjadi, dia harus meninggalkan tempat ini secepatnya. Soalnya ayahnya, Keira tidak ingin memikirkan dulu. Dia ingin egois kali ini dan menyela
Sudah dua hari berlalu semenjak Keira melihat tangga tersebut, tetapi dia belum menemukan kesempatan untuk kabur. Terlebih lagi Lily dan Daya terus menyeretnya mengikuti mereka. Membuat Keira bingung mencari alasan untuk berpisah karena mereka bisa curiga. Seperti sekarang mereka duduk di bawah pohon rindang dan menikmati buah persik pemberian Dion. Keira cukup menikmati tekstur buah yang lembut digigit dan berair dengan rasa sempurna yang menyatu. "Dion tidak dimarahi jika memberimu buah seperti ini terus?" Daya mengigit buah ketiganya. Lily menelan, menggeleng. "Tidak, soalnya para penjaga ladang buah memang diberikan jatah per dua keranjang masing-masing setiap minggunya. Dion bilang dia sudah agak muak terlalu banyak memakan buah sejak bekerja di sini, jadi dia membagikannya deh," ujarnya bahagia yang membuat rona merah di pipinya muncul. Daya memberenggut. "Bahagia ya jika disukai oleh tukang ladang buah." "Daya!" Seru Lily malu. Sedangkan Daya tertawa kecil.
Samuel meloloskan dengusan tidak puas. "Oh ayolah, apa aku tidak bisa bersenang-senang dengannya sekali saja?" "Apa aku pernah mengulangi perkataan dua kali?!" Ekspresi dan suara marah Cullen membuat Samuel berdecak kecil. Pandangannya beralih untuk menatap Keira yang memasang raut jijik yang malah menggemaskan di matanya. Dia kemudian mendaratkan kecupan ringan di pipinya sebelum melepas tangan dan membawa dirinya menjauh darinya. "Lihat, dia begitu menggoda. Aku yakin kau juga ingin menidurinya, kan?" Samuel menatap jahil ke arah Cullen. "Tutup mulutmu!" Membuat Cullen semakin marah. Dasar para pria gila! Keira buru-buru bangkit, merapikan gaun dan rambut yang berantakan. Tangannya sudah gatal sekali ingin meninju ekspresi menyebalkan di wajah Samuel, tapi menahan diri karena tidak ingin membuat masalah baru. "Kalau begitu aku akan menelpon jalangku saja, sampai jumpa Keira. Selanjutnya kita pasti bisa melakukannya," Samuel tertawa kencang berjalan menjauh dengan sa
Tubuhnya terlalu banyak menerima rangsangan kejut dan ketakutan membuat Keira pingsan tiga puluh menit kemudian. Anak-anak kucing masih terus mengeong dan menempel pada tubuhnya yang terkulai lemah. Alarm berbunyi dari alat hitung jam pada dinding yang menandakan hukumannya telah selesai dalam waktu satu jam. Bawahan tadi masuk dan memeriksa kondisinya kemudian keluar membawa laporan kepada Cullen yang duduk menunggu di meja kerja dan Samuel yang datang lima menit lalu. "Dia pingsan, Tuan." Samuel mendorong dirinya dari dinding, tersenyum licik. "Baiklah, kalau begitu aku akan membawanya ke kamarku." "Apa kau datang ke sini untuk itu?" Cullen menatap dingin ke arahnya. Tangannya dilipat di depan dada, dan kakinya diangkat ke atas meja. "Biarkan aku melakukannya sekali saja," senyum Samuel menghilang dari wajahnya digantikan ekspresi serius. Kesal karena Cullen selalu saja memerintah seenak diri. "Tidak." Satu kata yang cukup menggambarkan penolakan secara jelas.
Tepat satu minggu Keira berada di mansion ini. Kesehariannya diisi dengan mencuci pakaian, tidur siang di bawah pohon atau mendengar celotehan Daya dan Lily yang menceritakan banyak hal sedangkan Keira hanya tinggal diam hanya sesekali ikut dalam pembicaraan. Matahari bersinar terik. Setelah makan siang, mereka ke bawah pohon rindang seperti biasanya. Aktivitas yang tidak melelahkan tetapi sangat membosankan hingga Keira rasanya ingin mati sebab terus melakukan pekerjaan berulang-ulang setiap harinya. Tapi untung saja para keluarga Grant sedang ke luar negeri, Keira jadi tidak perlu bertemu dan berurusan dengan mereka selama beberapa waktu. Keira juga menunggu kesempatan untuk dapat mengendap ke ruang bawah sebelum mereka kembali. Dia memandang Daya dan Lily yang sedang berdebat kecil, sedangkan dia sembari memikirkan rencana untuk melancarkan aksinya. "Kau tidak ingin mengatakan apa pun Keira?" Pertanyaan Daya membuatnya berkedip. "Huh?" "Sejak berapa hari lalu ka
Kembali lagi kepada situasi di mansion beberapa menit sebelum laporan tiba kepada Cullen. Awalnya Keira terkejut sekaligus bingung mendengar ucapan Bon. Dia kehilangan jarinya bukan atas kesalahan Keira, melainkan kesalahan dirinya sendiri yang bertindak sok hebat saat hendak membawanya kemari. Pun yang memotong jarinya bukan Keira melainkan Samuel tetapi kenapa dia malah dendam kepadanya? Bawahan sok hebat sepertinya memang seharusnya menerima hukuman berat. Dia mungkin mengira Keira lemah karena tampilannya lembut dan feminim. Tetapi jangan salah, Keira bukan tipe yang tidak tahu menyerang. Kehidupan masa lalunya bukan hanya tentang bermanja dan menghabiskan uang. Ayahnya mendidik begitu keras bahkan pernah melepaskan Keira di hutan selama dua hari tanpa perlengkapan makanan, selain senapan dan pisau lipat. Dalam dua hari itu, Keira mampu membunuh tiga harimau dan menikam ular besar yang hendak melititinya. Jadi bawahan rendahan seperti Bon sama sekali bukan lawannya. Keira
Satu minggu sejak kejadian itu, keadaan kembali seperti semula seolah kejadian itu tidak pernah terjadi. Keira sadar memasuki hari kelima dan masih dirawat di kamar Cullen. Dua hari setelah sadar Keira masih belum melihat pria itu, hanya dokter dan Mia sesekali datang untuk memeriksa dan memberinya makanan. Jika bertanya apakah boleh keluar atau kembali ke kamar pembantu, Keira terus mendapat jawaban tidak.Apalagi jika bertanya kepada Mia, dia begitu sinis dan dingin kepadanya. Entah apa salah yang Keira perbuat? Apakah wanita itu marah karena Nia mendapat hukuman? Padahal sudah jelas kalau kerabatnya itu yang membuat ulah lebih dulu. Luka di tubuhnya sudah hampir mengering, sang dokter memberi perawatan terbaik kepadanya. Keira berterima kasih akan hal itu tapi tetap saja dia ingin keluar dari kamar yang terkunci. Sampai kapan dirinya di kurung di sini? Rasa bosan seakan hendak membunuhnya. Lagi pula Keira sudah merasa baikan dan tidak perlu berada di tempat ini terlalu lama.
Memasuki minggu kedua, kondisi Keira benar-benar telah membaik dan dapat kembali ke kamar pembantu. Dia sangat bersyukur dapat bebas dan tidak terkurung di kamar Cullen lagi. Saat tiba di kamar, semua orang sudah menyambutnya, mereka lega melihatnya kembali dalam keadaan utuh. Terlebih lagi Daya dan Lily yang memeluk tubuhnya erat. Keduanya menangis dan memberitahu kekhawatiran sebab tidak melihatnya dalam jangka waktu dua minggu. "Kau sungguh sudah sehat?" Lily menyeka air matanya, hidungnya memerah karena terisak keras. "Iya Keira, tanyakan kepada kami jika ada yang sakit. Kami sungguh tidak bisa bekerja dengan tenang memikirkan keadaanmu," Daya menambahkan, air matanya sendiri sudah mengering di matanya. Sedangkan yang lain ikut menimpali, mengucapkan puji syukur dan lainnya. "Kau benar-benar hebat dapat bertahan." Yang lain mengangguk. "Syukurlah kau kembali." "Katanya bawahan itu dibunuh oleh Tuan Cullen?" "Eh benarkah?" "Bagaimana sikap Tuan Cullen kepadamu." "Hei be
Saat berada di luar ruangan, penjahat itu berhenti, cengkaramannya semakin mengencang. Sebelah tangannya bergerak, menempelkan ujung pistol di pelipis Keira, mulai menekan pelatuk. Keira yang tidak bisa melawan, mulai memikirkan segala kejadian yang pernah terjadi dalam hidupnya. Lebih tepatnya mengenang kehidupan sebelum berakhir di tangan penjahat tersebut. Dalam hidupnya, Keira belum pernah mencapai sesuatu yang betul-betul diimpikan. Dia menjalani kehidupan dengan sangat datar, tanpa ambisi, dan cita-cita. Mungkin inilah hukuman untuk seseorang yang tidak pernah menikmati kehidupan dengan semestinya. "Terimalah kematianmu," bisik penjahat tersebut. "Eh?" Matanya membulat, terkejut. "Samuel?" "Huh?" Cengkraman pada lehernya mengendur, Keira menjadikan itu sebagai kesempatan untuk menjauh dan berbalik, memandangnya dengan keterkejutan yang masih sama. "Kau Samuel, kan?" "Huh?!""Tidak perlu berbohong, aku tahu itu kau," tangan Keira bergerak hendak menarik topeng, tapi pria
"Aku tidak mengira akan bertemu denganmu di sini, Keira. Kau menghilang setelah hari kelulusan, bahkan chatku saja tidak dibalas. Kau ke mana selama ini?"Mereka kini berada di ruangan tanpa pintu tempat penyimpanan barang cadangan. Keira berdiri di depan Evan, memandangnya. Mereka memang sudah lama tidak bertemu, oiya Evan merupakan teman kampus Keira, mereka dulunya satu jurusan dan sering berada di kelas yang sama. Evan adalah pria yang pernah Keira pikirkan sebagai pilihan untuk kabur. Ya, dia pria yang memliki kapal pesiar yang berlabuh mengelilingi dunia. Termasuk dari keluarga kaya raya di dunia. Dia pria tampan berambut pirang, yang baik hati dan sering menolongnya dahulu. Bahkan saat status Keira hanyalah mahasiswa yang mendapatkan bantuan dari sekolah dulunya. Alan sangat tidak ingin jika seseorang mengetahui siapa Keira sebenarnya, maka dari itu, sepanjang hidupnya Keira lebih banyak menyembunyikan dirinya yang sebenarnya. Di kampusnya dia dikenal sebagai gadis miskin ta
Nia memasuki ruangan Cullen dengan setengah hati, ada rasa gugup, takut, sekaligus kesal melihat bagaimana Keira dapat menghindari hukuman begitu mudah. Meski Nia tahu bahwa wanita itu bukan seorang pembantu sepertinya, tapi seharusnya diberi hukuman juga, kan? Keluarga Grant yang dia tahu adalah keluarga yang tidak segan menghukum seseorang yang melakukan keributan atau bertengkar di mansion. Namun di sinilah Nia sekarang, berdiri sembari menahan getaran di kaki, menunduk saat Cullen melayangkan tatapan membunuh ke arahnya. Tatapan Cullen saja sudah seperti hukuman. Nia merasa seolah tatapan itu menembus ke dalam jiwa dan merobeknya secara perlahan. Dia sangat tersiksa hingga menimbulkan sesak di dadanya. Hukuman apa yang akan Nia terima? Selama berada di mansion, dia sudah berapa kali dihukum dan dapat dibilang sudah terbiasa, maka dari itu, dia menenangkan diri dan mengatakan bahwa semua akan baik-baik saja saat waktu berlalu nantinya. "Anda memanggil saya Tuan?" Pintu terbuk
Keesokan harinya, Keira berjalan-jalan di sekitar halaman belakang mansion. Sejak tadi malam, pikirannya dipenuhi oleh perkataan Cullen dan isi diary serta surat yang ditinggalkan ayahnya. Jika menggunakan pemikiran jangka pendek, semuanya tampak tidak masuk akal, seolah hanya sesuatu yang dibuat-buat untuk mendramatisi kematian ayahnya. Namun jika memikirkannya secara jangka panjang, segala sesuatu memang saling terhubung. Kemungkinan besar ada sosok dibalik kejadian kejam masa lalu Alan, yang membuat ayahnya melakukan sesuatu keji dan tak bermoral. Dan saat waktunya tiba, ayahnya sengaja bunuh diri, dan mengungkap seperti teka-teki agar mereka yang mendapatkan suratnya dapat menyelidiki setelah kematiannya. "Keira." Langkahnya terhenti, Keira segera menoleh menemukan Lily dan Daya berdiri tak jauh darinya. Mereka berdua memegang keranjang kosong, sepertinya telah selesai menjemur pakaian. Lily maju selangkah, gugup ingin berbicara dengan Keira setelah saling mendiami selama be
Keira menatap keluar jendela, rintik-rintik hujan mengentuk atap saat mobil melaju dengan kecepatan tinggi. Pandangannya kosong, juga pikirannya yang sudah terlalu penuh sebab memikirkan semuanya. Cobaan hidupnya sangat berat, rumit, dimulai dari ibunya yang meninggal saat melahirkannya, membuatnya tumbuh dan besar tanpa pernah merasakan kasih sayang. Hidup bersama sang ayah yang kadang bersikap kejam dan dingin padanya, sering meninggalkan Keira yang kesepian. Jika Keira protes atau melampiaskan kekesalan sekali saja, maka Alan tak akan segan memberi hukuman. Seperti mengurung Keira di gudang yang gelap gulita dan hanya sedikit sirkulasi udara, atau membawanya ke hutan dan meninggalkannya sendiri, Keira harus berjuang agar keluar dari hutan sebelum malam hari. Pokoknya hidupnya tidak lurus dan sempurna seperti kata orang-orang, Keira banyak mengalami kesulitan terutama saat beranjak remaja. Meski begitu, terlepas dari sikap buruk Alan, Keira dapat tumbuh sebagai sosok anak perempu
Selama menjalani perawatan, Keira berada di kamar Cullen, lebih tepat dikurung, pintu hanya terbuka jika Amanda datang untuk memeriksa atau Mia yang datang membawa makanan. Kamar tersebut dirancang seketat mungkin. Jendelanya diberi trali besi, sejenis cairan sabun atau sampo berbahaya dihilangkan. Kini rak kamar mandi Cullen hanya dipenuhi oleh sejenis sabun mandi bayi yang aman jika tertelan. Sejak berada di kamar tersebut, Clara hanya bisa berbaring, memandang kosong ke arah langit-langit. Dia kembali lagi dalam model boneka, terlihat tak bernyawa dan begitu hampa. Untuk sementara waktu, Clara mencoba tidak memikirkan apa pun. Menjerihkan pikiran, terlalu banyak berpikir juga membuatnya lelah, dan merasakan energinya terbuang habis. Saat kesadaran hampir hilang, pintu yang terbuka membuat matanya terbuka. Keira bangkit dari posisi tidur saat mengenali suara langkah tersebut, yang mengetuk lantai keras dan terburu-buru. Cullen datang. "Bagaimana keadaanmu?" Tanyanya blak-blaka
"Bagaimana keadaanmu?" Matanya yang semula terpejam, perlahan terbuka, Keira mengerjap pelan, memandang Amanda yang datang untuk memeriksanya siang ini. Sudah seminggu berlalu pasca Amanda berhasil menyelamatkan nyawa Keira yang hampir tidak terselamatkan. Seumur hidup bekerja pada keluarga Grant, baru pertama kali Amanda berjuang begitu keras, bahkan sedikit menangis saat dirinya berhasil, meski sebenarnya Keira terbilang mustahil untuk ditolong. Dengan Keira yang masih hidup, tanpa mengalami kecacatan di dalam organ dalamnya, Amanda menyebut hal itu sebagai keajaiban. "Baik," Keira menjawab setelah terdiam, dan hanya memandang selama beberapa menit, kemudian mengalihkan pandangan. Mengabaikan Amanda yang kembali mengecek keadannya. Keira sudah seperti boneka yang tidak bergerak, matanya tak berkedip menatap dinding putih kosong. "Kau harus rajin makan dan perbanyak minum air putih, yang paling penting, jangan pernah melewati jadwal minum obat. Aku akan kembali nanti
Matanya terbuka perlahan, Keira memandang ruangan yang tidak asing baginya. Bagian belakang kepalanya berdenyut pelan, beberapa detik kemudian, dia baru tersadar bahwa dirinya sudah berada selama tiga hari di kamar Cullen. Sejak malam itu, ketika dirinya pingsan, Cullen membawanya ke kamar ini. Keira mengalami demam selama dua hari, dan baru sore ini, dia merasa sedikit baikan. Dia sudah terlalu lama berada di ranjang, mengubur dirinya di dalam kasur empuk. Pikirannya berkelana, terus memikirkan perkataan ayahnya yang seperti menekan dirinya. Kenapa? kenapa ayahnya begitu jahat? membantai orang lain, hanya karena tidak ingin kalah dalam persaingan bisnis, kenapa ayahnya tega melakukan hal keji? Semakin memikirkannya, semakin menyebabkan kepalanya berdenyut sakit, air matanya menetes, panas di pipinya. Tangannya mencengkram selimut erat, menahan isakan. "Kau sudah bangun?" Keira mengigit bibirnya saat mendengar pintu terbuka, diikuti oleh suara Cullen yang bertanya pel
Keira menoleh pada Cullen yang duduk di sampingnya, matanya memandang sebal. Yang benar saja, mereka berdua duduk di kursi yang dibawa oleh salah satu bawahan lalu pamit pergi, menyisakan mereka bertiga. Hal yang membuatnya kesal sekaligus marah karena Cullen menyuruh dirinya duduk bersamanya, sedangkan ayahnya berlutut di depan mereka. Hatinya terenyuh melihat tampilan ayahnya yang tidak berdaya, Keira bahkan baru dapat memperhatikan dengan jelas jika mata sang ayah sipit sebelah, mata sebelah kiri hampir tertutup, dihiasi oleh luka lebam."Duduk Keira." Suara Cullen berujar dingin, penuh perintah setiap kali Keira mencoba untuk turun dan duduk di lantai bersama ayahnya. Keira pun tidak bisa tidak menuruti sebab Cullen memegang lengannya kuat, menahan agar tetap di tempat. "Sekarang, Alan Hale, bisakah kau menceritakan dosa masa lalumu kepada putrimu?" Tubuh ayahnya sejak tadi tegang, bingung dan tidak tahu harus memulai dari mana. Kisahnya begitu kejam, orang yang mendengarnya p