Malam harinya Keira sulit tertidur. Matanya terus terbuka di dalam ruangan yang lampunya sudah dimatikan sejak tadi. Dia memikirkan nasib dari kehidupan ke depannya.
Apakah Keira hanya akan terus menjadi pembantu di keluarga monster iblis ini? Membayangkannya saja sudah membuat perutnya mual. Dia jijik dan sama sekali tidak sudi. Mana mungkin Keira rela menghabiskan sisa hidupnya dengan mengabdi kepada orang gila seperti mereka. Pokoknya Keira harus mencari cara agar bisa pergi dari tempat ini. Dari seribu satu ketidakmungkinan yang ada, pasti ada satu cara untuk meloloskan diri. Meski keluarga Hale sudah hancur tak bersisa, Keira yakin di luar sana masih ada seseorang yang dapat dia datangi dan meminta bantuan. Dia bisa pergi ke tempat temannya atau kabur ke luar negeri melalui kapal pesiar milik pria yang menyukainya. Apa pun yang terjadi, dia harus meninggalkan tempat ini secepatnya. Soalnya ayahnya, Keira tidak ingin memikirkan dulu. Dia ingin egois kali ini dan menyelamatkan dirinya. "Keira." Lamunan Keira buyar oleh bisikan Lily dan segera menoleh, menatap wanita itu yang ranjangnya berada di sampingnya. Lily turun dari ranjang dan mengambil keranjang dari kolong kasur. "Ayo makan anggur." "Anggur?" Lily mengangguk menyuruh Keira mengikutinya ke balkon ruangan tersebut. Angin menerpa mereka, menerbangkan gaun tidur dan rambut yang terurai bebas. Mengenai pakaian sehari-hari juga pakaian dalam pembantu semua ditanggung. Menjelang malam tadi, Mia datang dan membawa satu tas untuk Keira dan meminta untuk disusun rapi di dalam lemari kecil dekat ranjang. Semua orang punya masing-masing satu lemari berisi pakaian layak pakai. Bahkan Mia memberitahunya jika ukuran pakaian dalamnya kecil atau kebesaran, silakan memberitahu sesegera mungkin agar dapat dibelikan sesuai ukuran. Sistem mansion ini memang terlalu tidak masuk akal di pikiran Keira, tapi diam-diam mencoba tadi dan untung pas di tubuhnya. Setelah itu Keira melamun memikirkan pakaian mahalnya di lemari-lemari kaca besar yang berjejer di ruang ganti. Semua pasti sudah diamankan, kemungkinan besar dibakar oleh mereka. Keira menghela napas panjang saat memikirkan semuanya. Memegang penyangga balkon. Sementara Lily menutup pintu balkon agar tidak ketahuan karena jika ketahuan tidak tidur di jam malam seperti ini akan dihukum. Untungnya langit bersinar cerah dengan hamparan bintang yang tampak dekat di mata. Cahaya bulan purnama menjadi penerang saat mereka duduk dan menikmati buah anggur. "Hm, enak sekali," Lily begitu bersemangat memasukkan tiga buah anggur ke mulutnya. Keira tidak langsung memakan anggur, malah menatapnya. "Kau dapat ini dari mana?" Lily menutup mulutnya saat hampir tersedak. "Hm itu," dia menelan buah anggur, "salah satu penjaga ladang buah memberinya padaku. Aku dan dia berkenalan tiga bulan yang lalu. Kami cukup akrab." Ada juga yang seperti itu. Keira hanya mengambil satu buah anggur dan sekadar mencicipi tapi rasanya ternyata lezat sekali. Entah kenapa sensasi memakannya berbeda dari anggur yang disajikan di rumahnya dulu. "Kalian saling menyukai?" Pertanyaan Keira mendapat reaksi malu dari Lily. Wajah wanita itu memerah dan tersenyum salah tingkah. "Dion pria yang baik," ujarnya berbisik. Cukup sekali menebak untuk tahu bahwa Lily tengah jatuh cinta. "Kami hanya bertemu secara diam-diam. Kau tahu kan, tidak ada yang bisa ditebak di mansion ini. Lalu saat sudah saling mencintai, apa lagi setelahnya? Apakah kami bisa menikah? Apa kami bisa keluar dari sini?" Ekspresi Lily sendu, menghela napas panjang. Melihatnya sedih, Keira hanya terdiam. Pertanyaan Lily memenuhi pikirannya. Tidak ada masa depan di tempat ini. Mereka semua, baik pembantu, penjaga ladang buah, pengawal, bawahan, hanya akan terus mengabdi hingga napas terakhir tanpa merasakan indahnya berkeluarga. "Apa yang kalian lakukan?" Pintu terbuka bersama pertanyaan menyeruak membuat keduanya terlonjak kaget. Mengira mereka tertangkap basah, namun segera bernapas lega saat melihat Daya muncul di balik pintu. "Makan buah anggur," jawab Lily menyodorkan kepada Daya yang bergabung. "Wah! Dari Dion lagi?" Pertanyaan Daya membuat Lily mengangguk. Mereka saling tertawa agak pelan karena takut ketahuan. "Ini bukan pertama kalinya lho Keira, Lily mendapat buah dari Dion. Asal berbuah lebat, Dion pasti memberinya, bahkan sampai bermacam-macam. Blueberry, stroberi, apel merah, apel hijau, persik, dan buah lainnya," Daya menjelaskan dengan serius. "Memang ladang buahnya seluas itu?" "Oh iya, kau belum pernah melihatnya. Bagaimana kalau besok jalan-jalan ke sana? Sekalian Lily bertemu Dion," Daya tersenyum lebar, menyenggol lengan Lily dengan main-main. "Hentikan," wajah Lily memerah. Keira terdiam sejenak, kemudian ide terlintas di pikirannya. "Memang boleh?" "Boleh kok. Asalkan tidak terlalu lama dan paling penting tidak mencuri buahnya," ujar Daya mengambil dua buah anggur dan memasukkan satu per satu ke mulutnya. Keira mengangguk. Mereka kemudian menyusun rencana mengunjungi ladang buah setelah makan siang. Waktu yang strategis karena orang lain jarang berkeliaran di halaman belakang saat sinar matahari lagi terik-teriknya. Mereka lalu menghabiskan waktu satu jam kemudian dengan menghabiskan buah anggur dan mengobrol hal-hal kecil. *** Hari kedua Keira bekerja sebagai pembantu dalam kelompok pencuci baju berjalan agak lancar. Dia masih belum terbiasa menyikat cepat seperti yang lain tetapi dia sudah bisa meski hasilnya jari-jari tangan memerah. Nia belum masuk bekerja karena dirawat di rumah sakit yang bahkan ada di dalam mansion. Dia pingsan saat menjalani hukuman bersama seribu kecoak dan berakhir demam tinggi berserta muntah hebat. Beberapa orang mengatakan Keira beruntung karena tidak mendapat hukuman kotak kaca. Mereka tidak tahu saja kalau dia menerima tindakan kurang ajar dari Jake. Setelah makan siang, seperti rencana mereka secara diam-diam mengunjungi ladang buah yang berada di sisi utara yang bersebelahan dengan taman bunga. Sepanjang perjalanan Keira tidak bisa tidak terpana melihat pemandangan indah. Bertanya-tanya dalam hati berapa sebenarnya luas mansion beserta pekerangannya. "Dion!" Lily berseru kecil saat melihat pemuda berambut coklat itu melintas dengan keranjang besar berisi anggur muskat. Pria itu menoleh. Matanya membelalak dan segera menghampiri mereka. "Lily" dia melirik Daya dan wanita asing yang begitu cantik, lalu menggeleng pelan, "apa yang kalian lakukan di sini?" "Jalan-jalan," senyum mengembang di wajah Lily yang memerah. Dion senang namun agak cemas. "Sebentar saja ya, takutnya ada Tuan yang datang." "Memangnya mereka sering ke sini?" Tanya Keira sedikit penasaran. Dion mengangguk. "Ya, biasanya Tuan Samuel dan Tuan Jake datang untuk meninjau perkembangan buah." "Ya sudah, sepuluh menit saja," Daya memberikan batas waktu yang disetujui. Mereka kemudian memasuki ladang buah yang begitu luas. Buah-buah menggantung sepanjang mata memandang. Semua ranum dan berkilau di bawah sinar matahari. Tampak menggoda sekali untuk dipetik. Dion kemudian membahas beberapa hal bersama Lily dan Daya, sedangkan Keira memperhatikan sekitar dan berharap menemukan sesuatu yang dapat membantunya kabur. Melewati ladang anggur, mereka masuk ke pepohonan persik dan apel yang berjejer rapi dan sangat banyak. Keira benar-benar tidak fokus mendengar apa yang mereka bicarakan. Matanya sibuk memandang ke sana, kemari, dan berakhir pada tangga yang berada di sudut dinding besar yang menjadi gerbang penghalang di halaman belakang. "Itu tangga apa?" Pertanyaan Keira membuat ketiganya berhenti dan menoleh memandang secara bersamaan. "Jangan bertanya," ujar Daya setengah berbisik. Lily mengangguk cemas. Dahinya berkerut samar. "Kenapa?" "Di luar tembok ada hamparan rumput hijau luas dan hutan yang digunakan para Tuan untuk berburu," Dion menjelaskan hati-hati. Keira masih menatap bingung dan penuh tanda tanya. Itu tidak menjawab rasa penasarannya. "Lalu?" "Hamparan hijau menjadi tempat area landas jet pribadi mereka. Jika melihat keluar terdapat puluhan jet yang dapat digunakan. Dan para pekerja seperti kita tidak boleh ke sana," imbuh Dion. Setelah mendapat informasi itu Keira mengangguk paham. Mereka kembali berjalan-jalan di sekitar pohon apel dan persik. Keira sesekali menoleh, memandang tangga tersebut. Jet pribadi .... Ide melintas di pikirannya. Keira tidak asing dalam mengemudi jet, dia sering kali menggunakan sebagai alat transportasi cepat jika ke luar negeri dulu. Celah untuk kabur akhirnya Keira temukan. Dia tinggal menyusun strategi dan waktu untuk kabur.Sudah dua hari berlalu semenjak Keira melihat tangga tersebut, tetapi dia belum menemukan kesempatan untuk kabur. Terlebih lagi Lily dan Daya terus menyeretnya mengikuti mereka. Membuat Keira bingung mencari alasan untuk berpisah karena mereka bisa curiga. Seperti sekarang mereka duduk di bawah pohon rindang dan menikmati buah persik pemberian Dion. Keira cukup menikmati tekstur buah yang lembut digigit dan berair dengan rasa sempurna yang menyatu. "Dion tidak dimarahi jika memberimu buah seperti ini terus?" Daya mengigit buah ketiganya. Lily menelan, menggeleng. "Tidak, soalnya para penjaga ladang buah memang diberikan jatah per dua keranjang masing-masing setiap minggunya. Dion bilang dia sudah agak muak terlalu banyak memakan buah sejak bekerja di sini, jadi dia membagikannya deh," ujarnya bahagia yang membuat rona merah di pipinya muncul. Daya memberenggut. "Bahagia ya jika disukai oleh tukang ladang buah." "Daya!" Seru Lily malu. Sedangkan Daya tertawa kecil.
Samuel meloloskan dengusan tidak puas. "Oh ayolah, apa aku tidak bisa bersenang-senang dengannya sekali saja?" "Apa aku pernah mengulangi perkataan dua kali?!" Ekspresi dan suara marah Cullen membuat Samuel berdecak kecil. Pandangannya beralih untuk menatap Keira yang memasang raut jijik yang malah menggemaskan di matanya. Dia kemudian mendaratkan kecupan ringan di pipinya sebelum melepas tangan dan membawa dirinya menjauh darinya. "Lihat, dia begitu menggoda. Aku yakin kau juga ingin menidurinya, kan?" Samuel menatap jahil ke arah Cullen. "Tutup mulutmu!" Membuat Cullen semakin marah. Dasar para pria gila! Keira buru-buru bangkit, merapikan gaun dan rambut yang berantakan. Tangannya sudah gatal sekali ingin meninju ekspresi menyebalkan di wajah Samuel, tapi menahan diri karena tidak ingin membuat masalah baru. "Kalau begitu aku akan menelpon jalangku saja, sampai jumpa Keira. Selanjutnya kita pasti bisa melakukannya," Samuel tertawa kencang berjalan menjauh dengan sa
Tubuhnya terlalu banyak menerima rangsangan kejut dan ketakutan membuat Keira pingsan tiga puluh menit kemudian. Anak-anak kucing masih terus mengeong dan menempel pada tubuhnya yang terkulai lemah. Alarm berbunyi dari alat hitung jam pada dinding yang menandakan hukumannya telah selesai dalam waktu satu jam. Bawahan tadi masuk dan memeriksa kondisinya kemudian keluar membawa laporan kepada Cullen yang duduk menunggu di meja kerja dan Samuel yang datang lima menit lalu. "Dia pingsan, Tuan." Samuel mendorong dirinya dari dinding, tersenyum licik. "Baiklah, kalau begitu aku akan membawanya ke kamarku." "Apa kau datang ke sini untuk itu?" Cullen menatap dingin ke arahnya. Tangannya dilipat di depan dada, dan kakinya diangkat ke atas meja. "Biarkan aku melakukannya sekali saja," senyum Samuel menghilang dari wajahnya digantikan ekspresi serius. Kesal karena Cullen selalu saja memerintah seenak diri. "Tidak." Satu kata yang cukup menggambarkan penolakan secara jelas.
Tepat satu minggu Keira berada di mansion ini. Kesehariannya diisi dengan mencuci pakaian, tidur siang di bawah pohon atau mendengar celotehan Daya dan Lily yang menceritakan banyak hal sedangkan Keira hanya tinggal diam hanya sesekali ikut dalam pembicaraan. Matahari bersinar terik. Setelah makan siang, mereka ke bawah pohon rindang seperti biasanya. Aktivitas yang tidak melelahkan tetapi sangat membosankan hingga Keira rasanya ingin mati sebab terus melakukan pekerjaan berulang-ulang setiap harinya. Tapi untung saja para keluarga Grant sedang ke luar negeri, Keira jadi tidak perlu bertemu dan berurusan dengan mereka selama beberapa waktu. Keira juga menunggu kesempatan untuk dapat mengendap ke ruang bawah sebelum mereka kembali. Dia memandang Daya dan Lily yang sedang berdebat kecil, sedangkan dia sembari memikirkan rencana untuk melancarkan aksinya. "Kau tidak ingin mengatakan apa pun Keira?" Pertanyaan Daya membuatnya berkedip. "Huh?" "Sejak berapa hari lalu ka
Kembali lagi kepada situasi di mansion beberapa menit sebelum laporan tiba kepada Cullen. Awalnya Keira terkejut sekaligus bingung mendengar ucapan Bon. Dia kehilangan jarinya bukan atas kesalahan Keira, melainkan kesalahan dirinya sendiri yang bertindak sok hebat saat hendak membawanya kemari. Pun yang memotong jarinya bukan Keira melainkan Samuel tetapi kenapa dia malah dendam kepadanya? Bawahan sok hebat sepertinya memang seharusnya menerima hukuman berat. Dia mungkin mengira Keira lemah karena tampilannya lembut dan feminim. Tetapi jangan salah, Keira bukan tipe yang tidak tahu menyerang. Kehidupan masa lalunya bukan hanya tentang bermanja dan menghabiskan uang. Ayahnya mendidik begitu keras bahkan pernah melepaskan Keira di hutan selama dua hari tanpa perlengkapan makanan, selain senapan dan pisau lipat. Dalam dua hari itu, Keira mampu membunuh tiga harimau dan menikam ular besar yang hendak melititinya. Jadi bawahan rendahan seperti Bon sama sekali bukan lawannya. Keira
Satu minggu sejak kejadian itu, keadaan kembali seperti semula seolah kejadian itu tidak pernah terjadi. Keira sadar memasuki hari kelima dan masih dirawat di kamar Cullen. Dua hari setelah sadar Keira masih belum melihat pria itu, hanya dokter dan Mia sesekali datang untuk memeriksa dan memberinya makanan. Jika bertanya apakah boleh keluar atau kembali ke kamar pembantu, Keira terus mendapat jawaban tidak.Apalagi jika bertanya kepada Mia, dia begitu sinis dan dingin kepadanya. Entah apa salah yang Keira perbuat? Apakah wanita itu marah karena Nia mendapat hukuman? Padahal sudah jelas kalau kerabatnya itu yang membuat ulah lebih dulu. Luka di tubuhnya sudah hampir mengering, sang dokter memberi perawatan terbaik kepadanya. Keira berterima kasih akan hal itu tapi tetap saja dia ingin keluar dari kamar yang terkunci. Sampai kapan dirinya di kurung di sini? Rasa bosan seakan hendak membunuhnya. Lagi pula Keira sudah merasa baikan dan tidak perlu berada di tempat ini terlalu lama.
Memasuki minggu kedua, kondisi Keira benar-benar telah membaik dan dapat kembali ke kamar pembantu. Dia sangat bersyukur dapat bebas dan tidak terkurung di kamar Cullen lagi. Saat tiba di kamar, semua orang sudah menyambutnya, mereka lega melihatnya kembali dalam keadaan utuh. Terlebih lagi Daya dan Lily yang memeluk tubuhnya erat. Keduanya menangis dan memberitahu kekhawatiran sebab tidak melihatnya dalam jangka waktu dua minggu. "Kau sungguh sudah sehat?" Lily menyeka air matanya, hidungnya memerah karena terisak keras. "Iya Keira, tanyakan kepada kami jika ada yang sakit. Kami sungguh tidak bisa bekerja dengan tenang memikirkan keadaanmu," Daya menambahkan, air matanya sendiri sudah mengering di matanya. Sedangkan yang lain ikut menimpali, mengucapkan puji syukur dan lainnya. "Kau benar-benar hebat dapat bertahan." Yang lain mengangguk. "Syukurlah kau kembali." "Katanya bawahan itu dibunuh oleh Tuan Cullen?" "Eh benarkah?" "Bagaimana sikap Tuan Cullen kepadamu." "Hei be
Baik Jake maupun Samuel masih berada di negara tetangga selama dua minggu lebih. Mereka belum mendapat panggilan pulang dari Cullen, meski semua bisnis telah diselesaikan. Keduanya bahkan tidak tahu apa yang saja yang terjadi di mansion selama mereka pergi. Siang menjelang sore hari, akhirnya Jake menerima panggilan dari Cullen dan menyuruh mereka pulang nanti malam. "Sialan Cullen, akhirnya dia mengingat juga kalau mempunyai adik di sini," Samuel mencibir sinis, meletakkan botol wine kosong yang dia habiskan sendiri. Jake tidak mengatakan apa pun, hanya membuang waktu meladeni orang seperti Samuel. "Aku keluar dulu," walau telah satu botol wine, Samuel masih belum mabuk, dia mempunyai toleran tinggi terhadap alkohol. "Jangan membuat kekacauan," Jake memberi peringatan ketika melihat seringai lebar di wajah Samuel yang menurutnya aneh. Anak itu memang berbeda, lain dari yang lain. Seperti bocah yang masih membutuhkan pengawasan. Samuel terkekeh, membuka pintu, menoleh, seringain
Saat berada di luar ruangan, penjahat itu berhenti, cengkaramannya semakin mengencang. Sebelah tangannya bergerak, menempelkan ujung pistol di pelipis Keira, mulai menekan pelatuk. Keira yang tidak bisa melawan, mulai memikirkan segala kejadian yang pernah terjadi dalam hidupnya. Lebih tepatnya mengenang kehidupan sebelum berakhir di tangan penjahat tersebut. Dalam hidupnya, Keira belum pernah mencapai sesuatu yang betul-betul diimpikan. Dia menjalani kehidupan dengan sangat datar, tanpa ambisi, dan cita-cita. Mungkin inilah hukuman untuk seseorang yang tidak pernah menikmati kehidupan dengan semestinya. "Terimalah kematianmu," bisik penjahat tersebut. "Eh?" Matanya membulat, terkejut. "Samuel?" "Huh?" Cengkraman pada lehernya mengendur, Keira menjadikan itu sebagai kesempatan untuk menjauh dan berbalik, memandangnya dengan keterkejutan yang masih sama. "Kau Samuel, kan?" "Huh?!""Tidak perlu berbohong, aku tahu itu kau," tangan Keira bergerak hendak menarik topeng, tapi pria
"Aku tidak mengira akan bertemu denganmu di sini, Keira. Kau menghilang setelah hari kelulusan, bahkan chatku saja tidak dibalas. Kau ke mana selama ini?"Mereka kini berada di ruangan tanpa pintu tempat penyimpanan barang cadangan. Keira berdiri di depan Evan, memandangnya. Mereka memang sudah lama tidak bertemu, oiya Evan merupakan teman kampus Keira, mereka dulunya satu jurusan dan sering berada di kelas yang sama. Evan adalah pria yang pernah Keira pikirkan sebagai pilihan untuk kabur. Ya, dia pria yang memliki kapal pesiar yang berlabuh mengelilingi dunia. Termasuk dari keluarga kaya raya di dunia. Dia pria tampan berambut pirang, yang baik hati dan sering menolongnya dahulu. Bahkan saat status Keira hanyalah mahasiswa yang mendapatkan bantuan dari sekolah dulunya. Alan sangat tidak ingin jika seseorang mengetahui siapa Keira sebenarnya, maka dari itu, sepanjang hidupnya Keira lebih banyak menyembunyikan dirinya yang sebenarnya. Di kampusnya dia dikenal sebagai gadis miskin ta
Nia memasuki ruangan Cullen dengan setengah hati, ada rasa gugup, takut, sekaligus kesal melihat bagaimana Keira dapat menghindari hukuman begitu mudah. Meski Nia tahu bahwa wanita itu bukan seorang pembantu sepertinya, tapi seharusnya diberi hukuman juga, kan? Keluarga Grant yang dia tahu adalah keluarga yang tidak segan menghukum seseorang yang melakukan keributan atau bertengkar di mansion. Namun di sinilah Nia sekarang, berdiri sembari menahan getaran di kaki, menunduk saat Cullen melayangkan tatapan membunuh ke arahnya. Tatapan Cullen saja sudah seperti hukuman. Nia merasa seolah tatapan itu menembus ke dalam jiwa dan merobeknya secara perlahan. Dia sangat tersiksa hingga menimbulkan sesak di dadanya. Hukuman apa yang akan Nia terima? Selama berada di mansion, dia sudah berapa kali dihukum dan dapat dibilang sudah terbiasa, maka dari itu, dia menenangkan diri dan mengatakan bahwa semua akan baik-baik saja saat waktu berlalu nantinya. "Anda memanggil saya Tuan?" Pintu terbuk
Keesokan harinya, Keira berjalan-jalan di sekitar halaman belakang mansion. Sejak tadi malam, pikirannya dipenuhi oleh perkataan Cullen dan isi diary serta surat yang ditinggalkan ayahnya. Jika menggunakan pemikiran jangka pendek, semuanya tampak tidak masuk akal, seolah hanya sesuatu yang dibuat-buat untuk mendramatisi kematian ayahnya. Namun jika memikirkannya secara jangka panjang, segala sesuatu memang saling terhubung. Kemungkinan besar ada sosok dibalik kejadian kejam masa lalu Alan, yang membuat ayahnya melakukan sesuatu keji dan tak bermoral. Dan saat waktunya tiba, ayahnya sengaja bunuh diri, dan mengungkap seperti teka-teki agar mereka yang mendapatkan suratnya dapat menyelidiki setelah kematiannya. "Keira." Langkahnya terhenti, Keira segera menoleh menemukan Lily dan Daya berdiri tak jauh darinya. Mereka berdua memegang keranjang kosong, sepertinya telah selesai menjemur pakaian. Lily maju selangkah, gugup ingin berbicara dengan Keira setelah saling mendiami selama be
Keira menatap keluar jendela, rintik-rintik hujan mengentuk atap saat mobil melaju dengan kecepatan tinggi. Pandangannya kosong, juga pikirannya yang sudah terlalu penuh sebab memikirkan semuanya. Cobaan hidupnya sangat berat, rumit, dimulai dari ibunya yang meninggal saat melahirkannya, membuatnya tumbuh dan besar tanpa pernah merasakan kasih sayang. Hidup bersama sang ayah yang kadang bersikap kejam dan dingin padanya, sering meninggalkan Keira yang kesepian. Jika Keira protes atau melampiaskan kekesalan sekali saja, maka Alan tak akan segan memberi hukuman. Seperti mengurung Keira di gudang yang gelap gulita dan hanya sedikit sirkulasi udara, atau membawanya ke hutan dan meninggalkannya sendiri, Keira harus berjuang agar keluar dari hutan sebelum malam hari. Pokoknya hidupnya tidak lurus dan sempurna seperti kata orang-orang, Keira banyak mengalami kesulitan terutama saat beranjak remaja. Meski begitu, terlepas dari sikap buruk Alan, Keira dapat tumbuh sebagai sosok anak perempu
Selama menjalani perawatan, Keira berada di kamar Cullen, lebih tepat dikurung, pintu hanya terbuka jika Amanda datang untuk memeriksa atau Mia yang datang membawa makanan. Kamar tersebut dirancang seketat mungkin. Jendelanya diberi trali besi, sejenis cairan sabun atau sampo berbahaya dihilangkan. Kini rak kamar mandi Cullen hanya dipenuhi oleh sejenis sabun mandi bayi yang aman jika tertelan. Sejak berada di kamar tersebut, Clara hanya bisa berbaring, memandang kosong ke arah langit-langit. Dia kembali lagi dalam model boneka, terlihat tak bernyawa dan begitu hampa. Untuk sementara waktu, Clara mencoba tidak memikirkan apa pun. Menjerihkan pikiran, terlalu banyak berpikir juga membuatnya lelah, dan merasakan energinya terbuang habis. Saat kesadaran hampir hilang, pintu yang terbuka membuat matanya terbuka. Keira bangkit dari posisi tidur saat mengenali suara langkah tersebut, yang mengetuk lantai keras dan terburu-buru. Cullen datang. "Bagaimana keadaanmu?" Tanyanya blak-blaka
"Bagaimana keadaanmu?" Matanya yang semula terpejam, perlahan terbuka, Keira mengerjap pelan, memandang Amanda yang datang untuk memeriksanya siang ini. Sudah seminggu berlalu pasca Amanda berhasil menyelamatkan nyawa Keira yang hampir tidak terselamatkan. Seumur hidup bekerja pada keluarga Grant, baru pertama kali Amanda berjuang begitu keras, bahkan sedikit menangis saat dirinya berhasil, meski sebenarnya Keira terbilang mustahil untuk ditolong. Dengan Keira yang masih hidup, tanpa mengalami kecacatan di dalam organ dalamnya, Amanda menyebut hal itu sebagai keajaiban. "Baik," Keira menjawab setelah terdiam, dan hanya memandang selama beberapa menit, kemudian mengalihkan pandangan. Mengabaikan Amanda yang kembali mengecek keadannya. Keira sudah seperti boneka yang tidak bergerak, matanya tak berkedip menatap dinding putih kosong. "Kau harus rajin makan dan perbanyak minum air putih, yang paling penting, jangan pernah melewati jadwal minum obat. Aku akan kembali nanti
Matanya terbuka perlahan, Keira memandang ruangan yang tidak asing baginya. Bagian belakang kepalanya berdenyut pelan, beberapa detik kemudian, dia baru tersadar bahwa dirinya sudah berada selama tiga hari di kamar Cullen. Sejak malam itu, ketika dirinya pingsan, Cullen membawanya ke kamar ini. Keira mengalami demam selama dua hari, dan baru sore ini, dia merasa sedikit baikan. Dia sudah terlalu lama berada di ranjang, mengubur dirinya di dalam kasur empuk. Pikirannya berkelana, terus memikirkan perkataan ayahnya yang seperti menekan dirinya. Kenapa? kenapa ayahnya begitu jahat? membantai orang lain, hanya karena tidak ingin kalah dalam persaingan bisnis, kenapa ayahnya tega melakukan hal keji? Semakin memikirkannya, semakin menyebabkan kepalanya berdenyut sakit, air matanya menetes, panas di pipinya. Tangannya mencengkram selimut erat, menahan isakan. "Kau sudah bangun?" Keira mengigit bibirnya saat mendengar pintu terbuka, diikuti oleh suara Cullen yang bertanya pel
Keira menoleh pada Cullen yang duduk di sampingnya, matanya memandang sebal. Yang benar saja, mereka berdua duduk di kursi yang dibawa oleh salah satu bawahan lalu pamit pergi, menyisakan mereka bertiga. Hal yang membuatnya kesal sekaligus marah karena Cullen menyuruh dirinya duduk bersamanya, sedangkan ayahnya berlutut di depan mereka. Hatinya terenyuh melihat tampilan ayahnya yang tidak berdaya, Keira bahkan baru dapat memperhatikan dengan jelas jika mata sang ayah sipit sebelah, mata sebelah kiri hampir tertutup, dihiasi oleh luka lebam."Duduk Keira." Suara Cullen berujar dingin, penuh perintah setiap kali Keira mencoba untuk turun dan duduk di lantai bersama ayahnya. Keira pun tidak bisa tidak menuruti sebab Cullen memegang lengannya kuat, menahan agar tetap di tempat. "Sekarang, Alan Hale, bisakah kau menceritakan dosa masa lalumu kepada putrimu?" Tubuh ayahnya sejak tadi tegang, bingung dan tidak tahu harus memulai dari mana. Kisahnya begitu kejam, orang yang mendengarnya p