"Aku tidak mengira akan bertemu denganmu di sini, Keira. Kau menghilang setelah hari kelulusan, bahkan chatku saja tidak dibalas. Kau ke mana selama ini?"Mereka kini berada di ruangan tanpa pintu tempat penyimpanan barang cadangan. Keira berdiri di depan Evan, memandangnya. Mereka memang sudah lama tidak bertemu, oiya Evan merupakan teman kampus Keira, mereka dulunya satu jurusan dan sering berada di kelas yang sama. Evan adalah pria yang pernah Keira pikirkan sebagai pilihan untuk kabur. Ya, dia pria yang memliki kapal pesiar yang berlabuh mengelilingi dunia. Termasuk dari keluarga kaya raya di dunia. Dia pria tampan berambut pirang, yang baik hati dan sering menolongnya dahulu. Bahkan saat status Keira hanyalah mahasiswa yang mendapatkan bantuan dari sekolah dulunya. Alan sangat tidak ingin jika seseorang mengetahui siapa Keira sebenarnya, maka dari itu, sepanjang hidupnya Keira lebih banyak menyembunyikan dirinya yang sebenarnya. Di kampusnya dia dikenal sebagai gadis miskin ta
Saat berada di luar ruangan, penjahat itu berhenti, cengkaramannya semakin mengencang. Sebelah tangannya bergerak, menempelkan ujung pistol di pelipis Keira, mulai menekan pelatuk. Keira yang tidak bisa melawan, mulai memikirkan segala kejadian yang pernah terjadi dalam hidupnya. Lebih tepatnya mengenang kehidupan sebelum berakhir di tangan penjahat tersebut. Dalam hidupnya, Keira belum pernah mencapai sesuatu yang betul-betul diimpikan. Dia menjalani kehidupan dengan sangat datar, tanpa ambisi, dan cita-cita. Mungkin inilah hukuman untuk seseorang yang tidak pernah menikmati kehidupan dengan semestinya. "Terimalah kematianmu," bisik penjahat tersebut. "Eh?" Matanya membulat, terkejut. "Samuel?" "Huh?" Cengkraman pada lehernya mengendur, Keira menjadikan itu sebagai kesempatan untuk menjauh dan berbalik, memandangnya dengan keterkejutan yang masih sama. "Kau Samuel, kan?" "Huh?!""Tidak perlu berbohong, aku tahu itu kau," tangan Keira bergerak hendak menarik topeng, tapi pria
"Huh?" Apa yang terjadi? Semuanya tampak seperti mimpi saat beberapa pria berbadan besar, mengenakan setelan hitam, mengelilingi mejanya. Keira mematung, terkejut, berusaha menekan perasaan bingung dan cemas, tetap bersikap tenang. Siapa mereka? Seharusnya ayahnya yang datang, memenuhi janji makan malam sejak beberapa hari yang lalu. Bukan malah mereka, yang membuat pikiran Keira dipenuhi oleh berbagai macam pertanyaan. "Siapa kalian?" tanyanya dengan suara tegas. "Kami datang untuk menjemput anda, Nona Hale," ujar salah satu dari mereka. Tubuhnya menegang. Keira menatap waspada, tangannya mencengkram pinggiran meja dengan kuat. Apa sebenarnya inginkan? Keira belum sempat mengatakan apa pun ketika tubuhnya ditarik begitu kasar, kursi yang dia duduki terjatuh, menciptakan bunyi debam. Lengannya sakit saat disentak begitu kuat yang membuatnya terhuyung berdiri. Setidaknya dibutuhkan dua pria untuk memegang lengannya agar tidak bisa memberontak. "Lepaskan aku! Lepaskan," me
"Apa kau sudah siap menerima takdir hidupmu, Keira Hale?" Keira sangat tidak suka namanya disebut olehnya. Nada suara pria itu terdengar merendahkannya. Begitu pula dengan tatapan matanya. "Apa sekarang giliranku?" Siapa lagi? Matanya otomatis mengarah pada sumber suara yang lain. Dari sudut ruangan gelap, pria lain muncul. Kali ini bukan bawahan karena dia mengenakan setelan jas abu-abu. Tubuhnya menjulang tinggi dan begitu kekar. Pria itu mengenakan kacamata bening yang membingkai wajah, seringai jahat tersungging di bibirnya saat menatap ke arahnya. Keduanya memiliki sedikit kemiripan yang Keira simpulkan bahwa mereka pasti bersaudara. "Apa aku sudah bisa membawanya ke ranjangku?" Mata Keira melotot. Gila! yang benar saja. Dia sama sekali tidak sudi disentuh oleh tangan-tangan kotor mereka. Namun, saat ini dia tidak dapat melakukan perlawanan. Membayangkan disentuh oleh salah satu dari mereka membuat Keira merinding. Perasaan mual menjalar ke perutnya. "Diamlah.
Menjelang pagi, kegiatan pada ruangan itu sudah dimulai. Mereka perlu bergerak lebih dahulu untuk menyiapkan segalanya. Mata Keira terbuka, memandang kosong, dia kesulitan tidur setelah dibawa ke ruangan ini. Padahal saat tertidur tadi sejenak Keira berharap semuanya adalah mimpi, tetapi kenyataan menampar keras saat dia terbangun di ruangan pembantu. Kasurnya sempit definisi khusus satu orang saja. Bantalnya keras. Tidak ada guling. Sangat jauh berbeda dari kamar tidurnya yang luas dan megah di rumahnya. Apa-apaan ini? Keadaan buruk yang sama sekali tidak bisa dia terima. Dia membutuhkan penjelasan ayahnya, dia perlu mendengarkan dosa masa lalu dari mulut ayahnya sendiri. Akan tetapi apakah ayahnya masih hidup? Kemungkinan besar dia sudah dibunuh oleh keluarga Grant. "Bangun!" Lamunan Keira buyar saat seseorang memukul tubuhnya menggunakan bantal. Dia terkesiap dan segera bangun, terduduk di kasurnya. Para pembantu lainnya sudah bersiap diri sejak tadi, mereka mengenakan p
Para pembantu lainnya menatap terkejut sekaligus bingung saat melihat Keira berjalan di belakang Jake yang menunggangi kuda. Tidak seperti biasanya putra kedua keluarga Grant ingin berurusan dengan pembantu. Jake begitu dingin dan jarang berbicara. Bahkan dia hanya memerintah dengan tatapan matanya. Dia seharusnya tidak perlu berusah payah mengurusi pembantu baru. Tetapi tidak ada yang bisa menebak pikiran para anggota keluarga Grant. "Ayo lanjut bekerja," sahut salah satunya memecah keheningan. Mereka kemudian melanjutkan cucian yang bertumpuk. Sedangkan Keira membawa kakinya melangkah ringan, pandangannya tertuju kepada punggung kokoh tersebut. Bagaimana nasib dirinya? Jake tidak muncul tadi malam hingga Keira tidak bisa menyimpulkan seperti apa pria ini. Apakah dia lebih kejam dan sadis dari kedua saudaranya? Terlalu banyak berpikir sampai Keira tidak sadar bahwa mereka telah sampai pada bagian barat tepatnya di kandang kuda. Jake kemudian turun dari kudanya dan menole
"Di mansion terdapat perpustakaan besar. Dibagi menjadi tiga bagian, satu untuk tamu, ruangan paling luas untuk keluarga Grant, dan satunya lagi untuk pembantu," Lily menjelaskan dengan semangat. Setelah makan siang mereka memutuskan kembali ke halaman belakang. Duduk bersandar di bawah pohon beringin menunggu jemuran kering untuk diangkat. Angin sepoi bertiup, meski menolak mengakui tetapi Keira sedikit merasa nyaman di tempat ini. Suasananya begitu damai dan seolah jauh dari keramaian kota yang penuh polusi. "Kau pernah ke perpustakaan?" "Hanya sesekali. Soalnya Nia sering memonopoli. Mentang-mentang dekat dengan Mia, dia bertindak sok sekali. Banyak dari kami yang tidak suka padanya tetapi tidak berani melakukan apa pun karena takut," Lily menepuk tangannya, ekspresi wajahnya riang. "Tapi tadi kau berani sekali memukulnya. Kami bangga padamu, Keira." Pukulan itu bahkan bukan apa-apa, lagi pula seseorang seperti Nia memang harus diberi pelajaran agar bisa menjaga sik
Malam harinya Keira sulit tertidur. Matanya terus terbuka di dalam ruangan yang lampunya sudah dimatikan sejak tadi. Dia memikirkan nasib dari kehidupan ke depannya. Apakah Keira hanya akan terus menjadi pembantu di keluarga monster iblis ini? Membayangkannya saja sudah membuat perutnya mual. Dia jijik dan sama sekali tidak sudi. Mana mungkin Keira rela menghabiskan sisa hidupnya dengan mengabdi kepada orang gila seperti mereka. Pokoknya Keira harus mencari cara agar bisa pergi dari tempat ini. Dari seribu satu ketidakmungkinan yang ada, pasti ada satu cara untuk meloloskan diri. Meski keluarga Hale sudah hancur tak bersisa, Keira yakin di luar sana masih ada seseorang yang dapat dia datangi dan meminta bantuan. Dia bisa pergi ke tempat temannya atau kabur ke luar negeri melalui kapal pesiar milik pria yang menyukainya. Apa pun yang terjadi, dia harus meninggalkan tempat ini secepatnya. Soalnya ayahnya, Keira tidak ingin memikirkan dulu. Dia ingin egois kali ini dan menyela
Saat berada di luar ruangan, penjahat itu berhenti, cengkaramannya semakin mengencang. Sebelah tangannya bergerak, menempelkan ujung pistol di pelipis Keira, mulai menekan pelatuk. Keira yang tidak bisa melawan, mulai memikirkan segala kejadian yang pernah terjadi dalam hidupnya. Lebih tepatnya mengenang kehidupan sebelum berakhir di tangan penjahat tersebut. Dalam hidupnya, Keira belum pernah mencapai sesuatu yang betul-betul diimpikan. Dia menjalani kehidupan dengan sangat datar, tanpa ambisi, dan cita-cita. Mungkin inilah hukuman untuk seseorang yang tidak pernah menikmati kehidupan dengan semestinya. "Terimalah kematianmu," bisik penjahat tersebut. "Eh?" Matanya membulat, terkejut. "Samuel?" "Huh?" Cengkraman pada lehernya mengendur, Keira menjadikan itu sebagai kesempatan untuk menjauh dan berbalik, memandangnya dengan keterkejutan yang masih sama. "Kau Samuel, kan?" "Huh?!""Tidak perlu berbohong, aku tahu itu kau," tangan Keira bergerak hendak menarik topeng, tapi pria
"Aku tidak mengira akan bertemu denganmu di sini, Keira. Kau menghilang setelah hari kelulusan, bahkan chatku saja tidak dibalas. Kau ke mana selama ini?"Mereka kini berada di ruangan tanpa pintu tempat penyimpanan barang cadangan. Keira berdiri di depan Evan, memandangnya. Mereka memang sudah lama tidak bertemu, oiya Evan merupakan teman kampus Keira, mereka dulunya satu jurusan dan sering berada di kelas yang sama. Evan adalah pria yang pernah Keira pikirkan sebagai pilihan untuk kabur. Ya, dia pria yang memliki kapal pesiar yang berlabuh mengelilingi dunia. Termasuk dari keluarga kaya raya di dunia. Dia pria tampan berambut pirang, yang baik hati dan sering menolongnya dahulu. Bahkan saat status Keira hanyalah mahasiswa yang mendapatkan bantuan dari sekolah dulunya. Alan sangat tidak ingin jika seseorang mengetahui siapa Keira sebenarnya, maka dari itu, sepanjang hidupnya Keira lebih banyak menyembunyikan dirinya yang sebenarnya. Di kampusnya dia dikenal sebagai gadis miskin ta
Nia memasuki ruangan Cullen dengan setengah hati, ada rasa gugup, takut, sekaligus kesal melihat bagaimana Keira dapat menghindari hukuman begitu mudah. Meski Nia tahu bahwa wanita itu bukan seorang pembantu sepertinya, tapi seharusnya diberi hukuman juga, kan? Keluarga Grant yang dia tahu adalah keluarga yang tidak segan menghukum seseorang yang melakukan keributan atau bertengkar di mansion. Namun di sinilah Nia sekarang, berdiri sembari menahan getaran di kaki, menunduk saat Cullen melayangkan tatapan membunuh ke arahnya. Tatapan Cullen saja sudah seperti hukuman. Nia merasa seolah tatapan itu menembus ke dalam jiwa dan merobeknya secara perlahan. Dia sangat tersiksa hingga menimbulkan sesak di dadanya. Hukuman apa yang akan Nia terima? Selama berada di mansion, dia sudah berapa kali dihukum dan dapat dibilang sudah terbiasa, maka dari itu, dia menenangkan diri dan mengatakan bahwa semua akan baik-baik saja saat waktu berlalu nantinya. "Anda memanggil saya Tuan?" Pintu terbuk
Keesokan harinya, Keira berjalan-jalan di sekitar halaman belakang mansion. Sejak tadi malam, pikirannya dipenuhi oleh perkataan Cullen dan isi diary serta surat yang ditinggalkan ayahnya. Jika menggunakan pemikiran jangka pendek, semuanya tampak tidak masuk akal, seolah hanya sesuatu yang dibuat-buat untuk mendramatisi kematian ayahnya. Namun jika memikirkannya secara jangka panjang, segala sesuatu memang saling terhubung. Kemungkinan besar ada sosok dibalik kejadian kejam masa lalu Alan, yang membuat ayahnya melakukan sesuatu keji dan tak bermoral. Dan saat waktunya tiba, ayahnya sengaja bunuh diri, dan mengungkap seperti teka-teki agar mereka yang mendapatkan suratnya dapat menyelidiki setelah kematiannya. "Keira." Langkahnya terhenti, Keira segera menoleh menemukan Lily dan Daya berdiri tak jauh darinya. Mereka berdua memegang keranjang kosong, sepertinya telah selesai menjemur pakaian. Lily maju selangkah, gugup ingin berbicara dengan Keira setelah saling mendiami selama be
Keira menatap keluar jendela, rintik-rintik hujan mengentuk atap saat mobil melaju dengan kecepatan tinggi. Pandangannya kosong, juga pikirannya yang sudah terlalu penuh sebab memikirkan semuanya. Cobaan hidupnya sangat berat, rumit, dimulai dari ibunya yang meninggal saat melahirkannya, membuatnya tumbuh dan besar tanpa pernah merasakan kasih sayang. Hidup bersama sang ayah yang kadang bersikap kejam dan dingin padanya, sering meninggalkan Keira yang kesepian. Jika Keira protes atau melampiaskan kekesalan sekali saja, maka Alan tak akan segan memberi hukuman. Seperti mengurung Keira di gudang yang gelap gulita dan hanya sedikit sirkulasi udara, atau membawanya ke hutan dan meninggalkannya sendiri, Keira harus berjuang agar keluar dari hutan sebelum malam hari. Pokoknya hidupnya tidak lurus dan sempurna seperti kata orang-orang, Keira banyak mengalami kesulitan terutama saat beranjak remaja. Meski begitu, terlepas dari sikap buruk Alan, Keira dapat tumbuh sebagai sosok anak perempu
Selama menjalani perawatan, Keira berada di kamar Cullen, lebih tepat dikurung, pintu hanya terbuka jika Amanda datang untuk memeriksa atau Mia yang datang membawa makanan. Kamar tersebut dirancang seketat mungkin. Jendelanya diberi trali besi, sejenis cairan sabun atau sampo berbahaya dihilangkan. Kini rak kamar mandi Cullen hanya dipenuhi oleh sejenis sabun mandi bayi yang aman jika tertelan. Sejak berada di kamar tersebut, Clara hanya bisa berbaring, memandang kosong ke arah langit-langit. Dia kembali lagi dalam model boneka, terlihat tak bernyawa dan begitu hampa. Untuk sementara waktu, Clara mencoba tidak memikirkan apa pun. Menjerihkan pikiran, terlalu banyak berpikir juga membuatnya lelah, dan merasakan energinya terbuang habis. Saat kesadaran hampir hilang, pintu yang terbuka membuat matanya terbuka. Keira bangkit dari posisi tidur saat mengenali suara langkah tersebut, yang mengetuk lantai keras dan terburu-buru. Cullen datang. "Bagaimana keadaanmu?" Tanyanya blak-blaka
"Bagaimana keadaanmu?" Matanya yang semula terpejam, perlahan terbuka, Keira mengerjap pelan, memandang Amanda yang datang untuk memeriksanya siang ini. Sudah seminggu berlalu pasca Amanda berhasil menyelamatkan nyawa Keira yang hampir tidak terselamatkan. Seumur hidup bekerja pada keluarga Grant, baru pertama kali Amanda berjuang begitu keras, bahkan sedikit menangis saat dirinya berhasil, meski sebenarnya Keira terbilang mustahil untuk ditolong. Dengan Keira yang masih hidup, tanpa mengalami kecacatan di dalam organ dalamnya, Amanda menyebut hal itu sebagai keajaiban. "Baik," Keira menjawab setelah terdiam, dan hanya memandang selama beberapa menit, kemudian mengalihkan pandangan. Mengabaikan Amanda yang kembali mengecek keadannya. Keira sudah seperti boneka yang tidak bergerak, matanya tak berkedip menatap dinding putih kosong. "Kau harus rajin makan dan perbanyak minum air putih, yang paling penting, jangan pernah melewati jadwal minum obat. Aku akan kembali nanti
Matanya terbuka perlahan, Keira memandang ruangan yang tidak asing baginya. Bagian belakang kepalanya berdenyut pelan, beberapa detik kemudian, dia baru tersadar bahwa dirinya sudah berada selama tiga hari di kamar Cullen. Sejak malam itu, ketika dirinya pingsan, Cullen membawanya ke kamar ini. Keira mengalami demam selama dua hari, dan baru sore ini, dia merasa sedikit baikan. Dia sudah terlalu lama berada di ranjang, mengubur dirinya di dalam kasur empuk. Pikirannya berkelana, terus memikirkan perkataan ayahnya yang seperti menekan dirinya. Kenapa? kenapa ayahnya begitu jahat? membantai orang lain, hanya karena tidak ingin kalah dalam persaingan bisnis, kenapa ayahnya tega melakukan hal keji? Semakin memikirkannya, semakin menyebabkan kepalanya berdenyut sakit, air matanya menetes, panas di pipinya. Tangannya mencengkram selimut erat, menahan isakan. "Kau sudah bangun?" Keira mengigit bibirnya saat mendengar pintu terbuka, diikuti oleh suara Cullen yang bertanya pel
Keira menoleh pada Cullen yang duduk di sampingnya, matanya memandang sebal. Yang benar saja, mereka berdua duduk di kursi yang dibawa oleh salah satu bawahan lalu pamit pergi, menyisakan mereka bertiga. Hal yang membuatnya kesal sekaligus marah karena Cullen menyuruh dirinya duduk bersamanya, sedangkan ayahnya berlutut di depan mereka. Hatinya terenyuh melihat tampilan ayahnya yang tidak berdaya, Keira bahkan baru dapat memperhatikan dengan jelas jika mata sang ayah sipit sebelah, mata sebelah kiri hampir tertutup, dihiasi oleh luka lebam."Duduk Keira." Suara Cullen berujar dingin, penuh perintah setiap kali Keira mencoba untuk turun dan duduk di lantai bersama ayahnya. Keira pun tidak bisa tidak menuruti sebab Cullen memegang lengannya kuat, menahan agar tetap di tempat. "Sekarang, Alan Hale, bisakah kau menceritakan dosa masa lalumu kepada putrimu?" Tubuh ayahnya sejak tadi tegang, bingung dan tidak tahu harus memulai dari mana. Kisahnya begitu kejam, orang yang mendengarnya p