Para pembantu lainnya menatap terkejut sekaligus bingung saat melihat Keira berjalan di belakang Jake yang menunggangi kuda. Tidak seperti biasanya putra kedua keluarga Grant ingin berurusan dengan pembantu.
Jake begitu dingin dan jarang berbicara. Bahkan dia hanya memerintah dengan tatapan matanya. Dia seharusnya tidak perlu berusah payah mengurusi pembantu baru. Tetapi tidak ada yang bisa menebak pikiran para anggota keluarga Grant. "Ayo lanjut bekerja," sahut salah satunya memecah keheningan. Mereka kemudian melanjutkan cucian yang bertumpuk. Sedangkan Keira membawa kakinya melangkah ringan, pandangannya tertuju kepada punggung kokoh tersebut. Bagaimana nasib dirinya? Jake tidak muncul tadi malam hingga Keira tidak bisa menyimpulkan seperti apa pria ini. Apakah dia lebih kejam dan sadis dari kedua saudaranya? Terlalu banyak berpikir sampai Keira tidak sadar bahwa mereka telah sampai pada bagian barat tepatnya di kandang kuda. Jake kemudian turun dari kudanya dan menoleh. Keira otomatis menghentikan langkah, balas menatap. Mereka saling terdiam. Tatapan dingin itu seolah membekukan sekitar, hanya terdengar suara gemerisik dari kandang kuda dan tiupan angin yang membuat rambutnya menari di udara. "Cocok," ujarnya sembari memandang Keira dari atas hingga ke bawah sebanyak dua kali. "Apa?" Keira jelas tahu bahwa itu adalah kata menghina. Dia pasti melihatnya begitu pas mengenakan pakaian pembantu. Jake menatapnya datar. Dia tidak mempunyai kata lagi untuk dikatakan. Matanya terus tertuju kepadanya tanpa berkedip. Tatapan dalam yang menusuk hingga ke jiwa. "Kalian pasti sudah puas menghancurkan kehidupan seseorang," Keira melihat diamnya sebagai kesempatan untuk mengutarakan unek-uneknya. Mengira bahwa dia mungkin lebih bisa mendengarkannya dibanding dua lainnya. "Kalian tahu betapa tidak adilnya jika kebebasan direnggut tapi kalian tidak berpikir jauh ke sana, dan menghancurkan kehidupanku," dia mengambil langkah maju, tangannya terulur mengenggam kerah bajunya hingga membuat tubuh itu merunduk sedikit karena perbedaan tinggi tubuh mereka. Napasnya memburu, amarahnya bangkit lagi memenuhi ubun-ubun. Kehidupannya berubah menjadi seperti ini karena mereka! Keluarga Grant yang merupakan wujud nyata monster iblis. Matanya menghunus tajam seolah ingin membunuhnya. "Jadi lepaskan aku sekarang atau aku akan—" "Kau akan apa?" Sentak Jake memotong ucapannya. Tangannya bergerak memegang dagunya agak kuat. Keira baru ingin mengatakan sesuatu tetapi Jake meremas dagunya yang membuat katanya kembali tertelan di tenggorokan. Sialan pria ini! Tangan Keira lepas dari pakaian Jake hendak melepaskan tangan dia di dagunya, namun Jake membaca pergerakan dan menangkap kedua tangannya. "Terima saja takdirmu," bisik Jake tepat di telinganya. Suaranya menyeruak berat, napasnya menggelitik telinganya. Dia memberontak kecil yang semakin membut pria itu meremas dagunya. Sedikit perih, dia meringis samar. Ternyata mereka semua sama saja. Tidak ada yang lebih baik. Keira seharusnya sadar dari awal bahwa sekali berdarah kejam maka semua pasti kejam. Melihatnya tidak akan melakukan perlawanan lagi, Jake melepaskan cengkraman pada dagunya. Tetapi kedua tangannya masih berada dalam genggamannya. "Aku akan menghukummu." Mata Keira melotot. Belum sempat mengatakan apa pun, Jake sudah dulu menyeretnya dan memaksanya naik ke atas kuda. Setelahnya, Jake ikut naik, memeluknya dari belakang dan menyuruh kudanya jalan dengan menendang lembut. Seolah memahami perintah kuda tersebut berjalan maju. "Turunkan aku." Meski meminta seribu kali pun, Jake tidak akan menurutinya. Dia malah bersikap santai, membawa tangan ke sisi pinggang, meremas pelan. "Hentikan!" Keira bergerak tidak nyaman yang hampir membuatnya kehilangan keseimbangan. Tetapi pegangan Jake erat padanya, dan membuat Keira otomatis memegang tali kekang mengendalikan kuda yang bergerak agak tak beraturan. Napasnya memburu. Pria gila ini! Keira mengenggam tali kekang kuda begitu erat, berusaha fokus pada hamparan di depan. Takut menabrak pagar atau hal lainnya. Akan tetapi Jake ingin bermain-main sementara. Kakinya menendang lembut kuda dua kali sebagai perintah untuk berlari. Menerima kode tersebut, kudanya seketika berlari yang membuat Keira panik. "Jangan main-main!" Keira berteriak kesal berusaha menghentikan laju kuda namun tidak berhasil. Sepertinya kuda ini hanya jinak dan menurut kepada pemiliknya. Semua menjadi semakin buruk saat tangan Jake meremas pinggangnya dan bibirnya menyentuh lekuk lehernya. Mengirim gelombang listrik ke tubuhnya. Rambutnya yang tertiup angin bahkan tidak menghalangi aksi pria tersebut. Leher Keira yang halus terpampang lebih jelas lagi saat satu tangan Jake berpindah meraup rambutnya agar tidak berterbangan lagi. Bibirnya leluasa bergerak di kulit halus tersebut, memberinya ciuman pada beberapa bagian yang menggoda. Napasnya tersenggal, Keira bergerak gelisah dan tidak nyaman. "Kubilang hentikan." Tetapi Jake mana mau mendengarnya. Lagi pula dia menikmati ini. Rasanya begitu memuaskan dapat menekan Keira ke tombol paling bawah dan membuatnya kewalahan hanya karena ciuman kecil di lehernya. "Hentikan! Hentikan!" Suara Keira meninggi saat kuda hampir menabrak pagar. Namun sebelum semua terjadi, kudanya lebih dulu melompati pagar setinggi dada orang dewasa. Keira menahan napas sejenak, lalu menghembuskan lega. Hampir saja mereka terjatuh. "Turunkan aku!" "Baiklah," Jake melakukan opsi terakhir dan memiringkan kepala dan membawa bibirnya ke titik sensitif di belakang telinganya, mengigit lembut. Keira tersentak, mengigit bibirnya untuk menahan suaranya. Saat fokusnya terbawa olehnya, Jake tiba-tiba menarik diri dan melepas pegangan kepadanya. Tubuhnya ditarik keluar dari kuda, pegangan pada tali kekang terlepas, dan Jake dengan mudah menjatuhkannya ke salah satu tumpukan jerami. Tubuhnya terjerembap menghantam jerami yang seketika berterbangan, dan berserakan di udara. Keira terbatuk kecil, buru-buru bangun, pakaian serta rambutnya dipenuhi jerami. Dia segera membersihkan meski di rambutnya masih terdapat beberapa jerami yang tersangkut. Dia kemudian memandang punggung Jake yang perlahan menjauh. Dasar pria sialan! Keira terpaksa menahan perasaan kesal dan beranjak pergi, kembali ke tempat pencucian. Ketika tiba ternyata cucian sudah selesai. Mereka yang baru saja bersiap ingin menjemur pakaian menoleh serentak. Lily berlari menghampirinya dengan keranjang besar di pelukannya. "Kau baik-baik saja??" Keira hanya mengangguk. "Ada jerami di rambutmu." "Tuan Jake melakukan apa?" "Apakah dia menyakitimu?" Setelah Lily, mereka kemudian melempar pertanyaan masing-masing yang tidak Keira jawab. Hanya menatap mereka satu per satu dengan wajah tanpa ekspresi. Berpikir bahwa Keira mengalami hal yang sulit selama bersama Jake beberapa waktu lalu, mereka lalu memilih diam dan berjalan ke arah jemuran. Untungnya Nia tidak ada di sini, jadinya Keira bisa diam menonton lebih dahulu, mengamati, lalu mulai membantu mereka menjemur. Dia menjepit pakaian-pakaian agar tidak terjatuh oleh angin yang cukup keras hari ini. Sambil menjemur, sambil Keira memikirkan kehidupan barunya. Dia bukan lagi pewaris Hale yang dihormati melainkan pembantu musuh ayahnya. "Jadi siapa namamu? Kau belum mengenalkan namamu," Lily yang berdiri di dekatnya bertanya. Ah iya, sejak tadi Keira belum memperkenalkan namanya. Dia menjepit pakaian lainnya yang baru saja digantung Lily. "Keira." Lily tersenyum. "Oh, salam kenal ya Keira. Kalau ada yang kau tidak tahu silakan tanya padaku." Dia meliriknya, memperhatikan ekspresi riang di wajah wanita tersebut. Apakah dia senang berkerja di sini? "Kau bilang tadi berasal dari negara selatan. Bagaimana bisa kau ke sini?" "Oh itu," Lily terdiam sejenak, merenung, "aku dibawa ke tempat ini oleh Tuan Samuel." Oh pria gila satunya lagi. "Kenapa bisa?" Lily memandangnya terkejut, mengerjap kecil. "Eh?? Bukannya kau dibawa juga oleh Tuan Samuel?" "Maksudmu?" "Semua pembantu muda yang bekerja di sini karena keinginan Tuan Samuel. Dia sering berpergian ke luar negeri dan mencari wanita cantik yang bisa dia tiduri. Setelah bosan dia akan menyimpannya sebagai pembantu." Cerita yang menjijikkan. Keira menghembuskan napas. "Jadi kau termasuk?" "Semuanya termasuk. Tuan Samuel penggila wanita dan tidak pernah puas dengan satu wanita. Kenapa kau kaget begitu? Apakah bukan dia yang membawamu?" Bagaimana ya, Keira menjawabnya? Apakah jujur saja jika dia pewaris tunggal keluarga Hale. Namun, dia segera mengenyahkan pikiran tersebut. Itu bukan ide yang bagus. Saat dia terdiam, Lily berbicara lagi, kali ini dia memelankan suaranya. "Atau kau dibawa oleh Tuan Paul?" Huh siapa lagi itu? Keira hanya memandang Lily. "Tuan Paul adalah paman yang mengasuh ketiganya saat Tuan Harnes dibunuh oleh seseorang," bisik Lily. Mata Keira membelalak kecil mendengarnya. Apakah dia bisa mendapat sedikit informasi dari wanita ini? "Tapi melihat kebingunganmu, sepertinya bukan Tuan Paul," Lily menghela napas panjang, "syukurlah, kalau bisa jangan sampai bertemu atau berurusan dengannya." "Kenapa?" "Kalau kau sudah bertemu dengan ketiga bersaudara Grant dan melihat sifatnya, Tuan Paul lebih dari itu. Untungnya dia jarang di mansion, jadi hanya perlu menjaga diri saja agar tidak bertemu dengannya." Keira mendengarkan semuanya secara rinci, mengangguk pelan. Lily memberinya anggukan kecil. "Apalagi kau begitu cantik Keira. Bahkan aku takut kau akan menjadi mangsa Tuan Paul hanya dengan sekali melihatmu. Pokoknya kau harus menjaga diri." "Apakah dia pernah memangsa pembantu?" "Tidak," Lily menggeleng, memeras air dari pakaian, kemudian menggantungnya, "tapi entahlah, aku berpikir kau terlalu mewah untuk menjadi pembantu." Keira tidak menanggapi ucapannya dan menjepit pakaian. Mereka lalu melakukannya hingga seluruh pakaian habis. "Akhirnya!" Lily berseru senang. Mereka berjalan bersama-sama meletakkan kembali keranjang ke tempat cucian. Besoknya akan terisi sendiri kok. Sinar matahari mulai menyengat, Keira mendongkak menatap langit biru yang bersih. "Cepat, nanti menu enak makan siangnya habis," Lily menarik lengannya, membuatnya sedikit tersentak. Dia kemudian mengikuti langkah mereka. Keira lagi-lagi menyadari bahwa kehidupan benar-benar sudah berubah."Di mansion terdapat perpustakaan besar. Dibagi menjadi tiga bagian, satu untuk tamu, ruangan paling luas untuk keluarga Grant, dan satunya lagi untuk pembantu," Lily menjelaskan dengan semangat. Setelah makan siang mereka memutuskan kembali ke halaman belakang. Duduk bersandar di bawah pohon beringin menunggu jemuran kering untuk diangkat. Angin sepoi bertiup, meski menolak mengakui tetapi Keira sedikit merasa nyaman di tempat ini. Suasananya begitu damai dan seolah jauh dari keramaian kota yang penuh polusi. "Kau pernah ke perpustakaan?" "Hanya sesekali. Soalnya Nia sering memonopoli. Mentang-mentang dekat dengan Mia, dia bertindak sok sekali. Banyak dari kami yang tidak suka padanya tetapi tidak berani melakukan apa pun karena takut," Lily menepuk tangannya, ekspresi wajahnya riang. "Tapi tadi kau berani sekali memukulnya. Kami bangga padamu, Keira." Pukulan itu bahkan bukan apa-apa, lagi pula seseorang seperti Nia memang harus diberi pelajaran agar bisa menjaga sik
Malam harinya Keira sulit tertidur. Matanya terus terbuka di dalam ruangan yang lampunya sudah dimatikan sejak tadi. Dia memikirkan nasib dari kehidupan ke depannya. Apakah Keira hanya akan terus menjadi pembantu di keluarga monster iblis ini? Membayangkannya saja sudah membuat perutnya mual. Dia jijik dan sama sekali tidak sudi. Mana mungkin Keira rela menghabiskan sisa hidupnya dengan mengabdi kepada orang gila seperti mereka. Pokoknya Keira harus mencari cara agar bisa pergi dari tempat ini. Dari seribu satu ketidakmungkinan yang ada, pasti ada satu cara untuk meloloskan diri. Meski keluarga Hale sudah hancur tak bersisa, Keira yakin di luar sana masih ada seseorang yang dapat dia datangi dan meminta bantuan. Dia bisa pergi ke tempat temannya atau kabur ke luar negeri melalui kapal pesiar milik pria yang menyukainya. Apa pun yang terjadi, dia harus meninggalkan tempat ini secepatnya. Soalnya ayahnya, Keira tidak ingin memikirkan dulu. Dia ingin egois kali ini dan menyela
Sudah dua hari berlalu semenjak Keira melihat tangga tersebut, tetapi dia belum menemukan kesempatan untuk kabur. Terlebih lagi Lily dan Daya terus menyeretnya mengikuti mereka. Membuat Keira bingung mencari alasan untuk berpisah karena mereka bisa curiga. Seperti sekarang mereka duduk di bawah pohon rindang dan menikmati buah persik pemberian Dion. Keira cukup menikmati tekstur buah yang lembut digigit dan berair dengan rasa sempurna yang menyatu. "Dion tidak dimarahi jika memberimu buah seperti ini terus?" Daya mengigit buah ketiganya. Lily menelan, menggeleng. "Tidak, soalnya para penjaga ladang buah memang diberikan jatah per dua keranjang masing-masing setiap minggunya. Dion bilang dia sudah agak muak terlalu banyak memakan buah sejak bekerja di sini, jadi dia membagikannya deh," ujarnya bahagia yang membuat rona merah di pipinya muncul. Daya memberenggut. "Bahagia ya jika disukai oleh tukang ladang buah." "Daya!" Seru Lily malu. Sedangkan Daya tertawa kecil.
Samuel meloloskan dengusan tidak puas. "Oh ayolah, apa aku tidak bisa bersenang-senang dengannya sekali saja?" "Apa aku pernah mengulangi perkataan dua kali?!" Ekspresi dan suara marah Cullen membuat Samuel berdecak kecil. Pandangannya beralih untuk menatap Keira yang memasang raut jijik yang malah menggemaskan di matanya. Dia kemudian mendaratkan kecupan ringan di pipinya sebelum melepas tangan dan membawa dirinya menjauh darinya. "Lihat, dia begitu menggoda. Aku yakin kau juga ingin menidurinya, kan?" Samuel menatap jahil ke arah Cullen. "Tutup mulutmu!" Membuat Cullen semakin marah. Dasar para pria gila! Keira buru-buru bangkit, merapikan gaun dan rambut yang berantakan. Tangannya sudah gatal sekali ingin meninju ekspresi menyebalkan di wajah Samuel, tapi menahan diri karena tidak ingin membuat masalah baru. "Kalau begitu aku akan menelpon jalangku saja, sampai jumpa Keira. Selanjutnya kita pasti bisa melakukannya," Samuel tertawa kencang berjalan menjauh dengan sa
Tubuhnya terlalu banyak menerima rangsangan kejut dan ketakutan membuat Keira pingsan tiga puluh menit kemudian. Anak-anak kucing masih terus mengeong dan menempel pada tubuhnya yang terkulai lemah. Alarm berbunyi dari alat hitung jam pada dinding yang menandakan hukumannya telah selesai dalam waktu satu jam. Bawahan tadi masuk dan memeriksa kondisinya kemudian keluar membawa laporan kepada Cullen yang duduk menunggu di meja kerja dan Samuel yang datang lima menit lalu. "Dia pingsan, Tuan." Samuel mendorong dirinya dari dinding, tersenyum licik. "Baiklah, kalau begitu aku akan membawanya ke kamarku." "Apa kau datang ke sini untuk itu?" Cullen menatap dingin ke arahnya. Tangannya dilipat di depan dada, dan kakinya diangkat ke atas meja. "Biarkan aku melakukannya sekali saja," senyum Samuel menghilang dari wajahnya digantikan ekspresi serius. Kesal karena Cullen selalu saja memerintah seenak diri. "Tidak." Satu kata yang cukup menggambarkan penolakan secara jelas.
Tepat satu minggu Keira berada di mansion ini. Kesehariannya diisi dengan mencuci pakaian, tidur siang di bawah pohon atau mendengar celotehan Daya dan Lily yang menceritakan banyak hal sedangkan Keira hanya tinggal diam hanya sesekali ikut dalam pembicaraan. Matahari bersinar terik. Setelah makan siang, mereka ke bawah pohon rindang seperti biasanya. Aktivitas yang tidak melelahkan tetapi sangat membosankan hingga Keira rasanya ingin mati sebab terus melakukan pekerjaan berulang-ulang setiap harinya. Tapi untung saja para keluarga Grant sedang ke luar negeri, Keira jadi tidak perlu bertemu dan berurusan dengan mereka selama beberapa waktu. Keira juga menunggu kesempatan untuk dapat mengendap ke ruang bawah sebelum mereka kembali. Dia memandang Daya dan Lily yang sedang berdebat kecil, sedangkan dia sembari memikirkan rencana untuk melancarkan aksinya. "Kau tidak ingin mengatakan apa pun Keira?" Pertanyaan Daya membuatnya berkedip. "Huh?" "Sejak berapa hari lalu ka
Kembali lagi kepada situasi di mansion beberapa menit sebelum laporan tiba kepada Cullen. Awalnya Keira terkejut sekaligus bingung mendengar ucapan Bon. Dia kehilangan jarinya bukan atas kesalahan Keira, melainkan kesalahan dirinya sendiri yang bertindak sok hebat saat hendak membawanya kemari. Pun yang memotong jarinya bukan Keira melainkan Samuel tetapi kenapa dia malah dendam kepadanya? Bawahan sok hebat sepertinya memang seharusnya menerima hukuman berat. Dia mungkin mengira Keira lemah karena tampilannya lembut dan feminim. Tetapi jangan salah, Keira bukan tipe yang tidak tahu menyerang. Kehidupan masa lalunya bukan hanya tentang bermanja dan menghabiskan uang. Ayahnya mendidik begitu keras bahkan pernah melepaskan Keira di hutan selama dua hari tanpa perlengkapan makanan, selain senapan dan pisau lipat. Dalam dua hari itu, Keira mampu membunuh tiga harimau dan menikam ular besar yang hendak melititinya. Jadi bawahan rendahan seperti Bon sama sekali bukan lawannya. Keira
Satu minggu sejak kejadian itu, keadaan kembali seperti semula seolah kejadian itu tidak pernah terjadi. Keira sadar memasuki hari kelima dan masih dirawat di kamar Cullen. Dua hari setelah sadar Keira masih belum melihat pria itu, hanya dokter dan Mia sesekali datang untuk memeriksa dan memberinya makanan. Jika bertanya apakah boleh keluar atau kembali ke kamar pembantu, Keira terus mendapat jawaban tidak.Apalagi jika bertanya kepada Mia, dia begitu sinis dan dingin kepadanya. Entah apa salah yang Keira perbuat? Apakah wanita itu marah karena Nia mendapat hukuman? Padahal sudah jelas kalau kerabatnya itu yang membuat ulah lebih dulu. Luka di tubuhnya sudah hampir mengering, sang dokter memberi perawatan terbaik kepadanya. Keira berterima kasih akan hal itu tapi tetap saja dia ingin keluar dari kamar yang terkunci. Sampai kapan dirinya di kurung di sini? Rasa bosan seakan hendak membunuhnya. Lagi pula Keira sudah merasa baikan dan tidak perlu berada di tempat ini terlalu lama.
Saat berada di luar ruangan, penjahat itu berhenti, cengkaramannya semakin mengencang. Sebelah tangannya bergerak, menempelkan ujung pistol di pelipis Keira, mulai menekan pelatuk. Keira yang tidak bisa melawan, mulai memikirkan segala kejadian yang pernah terjadi dalam hidupnya. Lebih tepatnya mengenang kehidupan sebelum berakhir di tangan penjahat tersebut. Dalam hidupnya, Keira belum pernah mencapai sesuatu yang betul-betul diimpikan. Dia menjalani kehidupan dengan sangat datar, tanpa ambisi, dan cita-cita. Mungkin inilah hukuman untuk seseorang yang tidak pernah menikmati kehidupan dengan semestinya. "Terimalah kematianmu," bisik penjahat tersebut. "Eh?" Matanya membulat, terkejut. "Samuel?" "Huh?" Cengkraman pada lehernya mengendur, Keira menjadikan itu sebagai kesempatan untuk menjauh dan berbalik, memandangnya dengan keterkejutan yang masih sama. "Kau Samuel, kan?" "Huh?!""Tidak perlu berbohong, aku tahu itu kau," tangan Keira bergerak hendak menarik topeng, tapi pria
"Aku tidak mengira akan bertemu denganmu di sini, Keira. Kau menghilang setelah hari kelulusan, bahkan chatku saja tidak dibalas. Kau ke mana selama ini?"Mereka kini berada di ruangan tanpa pintu tempat penyimpanan barang cadangan. Keira berdiri di depan Evan, memandangnya. Mereka memang sudah lama tidak bertemu, oiya Evan merupakan teman kampus Keira, mereka dulunya satu jurusan dan sering berada di kelas yang sama. Evan adalah pria yang pernah Keira pikirkan sebagai pilihan untuk kabur. Ya, dia pria yang memliki kapal pesiar yang berlabuh mengelilingi dunia. Termasuk dari keluarga kaya raya di dunia. Dia pria tampan berambut pirang, yang baik hati dan sering menolongnya dahulu. Bahkan saat status Keira hanyalah mahasiswa yang mendapatkan bantuan dari sekolah dulunya. Alan sangat tidak ingin jika seseorang mengetahui siapa Keira sebenarnya, maka dari itu, sepanjang hidupnya Keira lebih banyak menyembunyikan dirinya yang sebenarnya. Di kampusnya dia dikenal sebagai gadis miskin ta
Nia memasuki ruangan Cullen dengan setengah hati, ada rasa gugup, takut, sekaligus kesal melihat bagaimana Keira dapat menghindari hukuman begitu mudah. Meski Nia tahu bahwa wanita itu bukan seorang pembantu sepertinya, tapi seharusnya diberi hukuman juga, kan? Keluarga Grant yang dia tahu adalah keluarga yang tidak segan menghukum seseorang yang melakukan keributan atau bertengkar di mansion. Namun di sinilah Nia sekarang, berdiri sembari menahan getaran di kaki, menunduk saat Cullen melayangkan tatapan membunuh ke arahnya. Tatapan Cullen saja sudah seperti hukuman. Nia merasa seolah tatapan itu menembus ke dalam jiwa dan merobeknya secara perlahan. Dia sangat tersiksa hingga menimbulkan sesak di dadanya. Hukuman apa yang akan Nia terima? Selama berada di mansion, dia sudah berapa kali dihukum dan dapat dibilang sudah terbiasa, maka dari itu, dia menenangkan diri dan mengatakan bahwa semua akan baik-baik saja saat waktu berlalu nantinya. "Anda memanggil saya Tuan?" Pintu terbuk
Keesokan harinya, Keira berjalan-jalan di sekitar halaman belakang mansion. Sejak tadi malam, pikirannya dipenuhi oleh perkataan Cullen dan isi diary serta surat yang ditinggalkan ayahnya. Jika menggunakan pemikiran jangka pendek, semuanya tampak tidak masuk akal, seolah hanya sesuatu yang dibuat-buat untuk mendramatisi kematian ayahnya. Namun jika memikirkannya secara jangka panjang, segala sesuatu memang saling terhubung. Kemungkinan besar ada sosok dibalik kejadian kejam masa lalu Alan, yang membuat ayahnya melakukan sesuatu keji dan tak bermoral. Dan saat waktunya tiba, ayahnya sengaja bunuh diri, dan mengungkap seperti teka-teki agar mereka yang mendapatkan suratnya dapat menyelidiki setelah kematiannya. "Keira." Langkahnya terhenti, Keira segera menoleh menemukan Lily dan Daya berdiri tak jauh darinya. Mereka berdua memegang keranjang kosong, sepertinya telah selesai menjemur pakaian. Lily maju selangkah, gugup ingin berbicara dengan Keira setelah saling mendiami selama be
Keira menatap keluar jendela, rintik-rintik hujan mengentuk atap saat mobil melaju dengan kecepatan tinggi. Pandangannya kosong, juga pikirannya yang sudah terlalu penuh sebab memikirkan semuanya. Cobaan hidupnya sangat berat, rumit, dimulai dari ibunya yang meninggal saat melahirkannya, membuatnya tumbuh dan besar tanpa pernah merasakan kasih sayang. Hidup bersama sang ayah yang kadang bersikap kejam dan dingin padanya, sering meninggalkan Keira yang kesepian. Jika Keira protes atau melampiaskan kekesalan sekali saja, maka Alan tak akan segan memberi hukuman. Seperti mengurung Keira di gudang yang gelap gulita dan hanya sedikit sirkulasi udara, atau membawanya ke hutan dan meninggalkannya sendiri, Keira harus berjuang agar keluar dari hutan sebelum malam hari. Pokoknya hidupnya tidak lurus dan sempurna seperti kata orang-orang, Keira banyak mengalami kesulitan terutama saat beranjak remaja. Meski begitu, terlepas dari sikap buruk Alan, Keira dapat tumbuh sebagai sosok anak perempu
Selama menjalani perawatan, Keira berada di kamar Cullen, lebih tepat dikurung, pintu hanya terbuka jika Amanda datang untuk memeriksa atau Mia yang datang membawa makanan. Kamar tersebut dirancang seketat mungkin. Jendelanya diberi trali besi, sejenis cairan sabun atau sampo berbahaya dihilangkan. Kini rak kamar mandi Cullen hanya dipenuhi oleh sejenis sabun mandi bayi yang aman jika tertelan. Sejak berada di kamar tersebut, Clara hanya bisa berbaring, memandang kosong ke arah langit-langit. Dia kembali lagi dalam model boneka, terlihat tak bernyawa dan begitu hampa. Untuk sementara waktu, Clara mencoba tidak memikirkan apa pun. Menjerihkan pikiran, terlalu banyak berpikir juga membuatnya lelah, dan merasakan energinya terbuang habis. Saat kesadaran hampir hilang, pintu yang terbuka membuat matanya terbuka. Keira bangkit dari posisi tidur saat mengenali suara langkah tersebut, yang mengetuk lantai keras dan terburu-buru. Cullen datang. "Bagaimana keadaanmu?" Tanyanya blak-blaka
"Bagaimana keadaanmu?" Matanya yang semula terpejam, perlahan terbuka, Keira mengerjap pelan, memandang Amanda yang datang untuk memeriksanya siang ini. Sudah seminggu berlalu pasca Amanda berhasil menyelamatkan nyawa Keira yang hampir tidak terselamatkan. Seumur hidup bekerja pada keluarga Grant, baru pertama kali Amanda berjuang begitu keras, bahkan sedikit menangis saat dirinya berhasil, meski sebenarnya Keira terbilang mustahil untuk ditolong. Dengan Keira yang masih hidup, tanpa mengalami kecacatan di dalam organ dalamnya, Amanda menyebut hal itu sebagai keajaiban. "Baik," Keira menjawab setelah terdiam, dan hanya memandang selama beberapa menit, kemudian mengalihkan pandangan. Mengabaikan Amanda yang kembali mengecek keadannya. Keira sudah seperti boneka yang tidak bergerak, matanya tak berkedip menatap dinding putih kosong. "Kau harus rajin makan dan perbanyak minum air putih, yang paling penting, jangan pernah melewati jadwal minum obat. Aku akan kembali nanti
Matanya terbuka perlahan, Keira memandang ruangan yang tidak asing baginya. Bagian belakang kepalanya berdenyut pelan, beberapa detik kemudian, dia baru tersadar bahwa dirinya sudah berada selama tiga hari di kamar Cullen. Sejak malam itu, ketika dirinya pingsan, Cullen membawanya ke kamar ini. Keira mengalami demam selama dua hari, dan baru sore ini, dia merasa sedikit baikan. Dia sudah terlalu lama berada di ranjang, mengubur dirinya di dalam kasur empuk. Pikirannya berkelana, terus memikirkan perkataan ayahnya yang seperti menekan dirinya. Kenapa? kenapa ayahnya begitu jahat? membantai orang lain, hanya karena tidak ingin kalah dalam persaingan bisnis, kenapa ayahnya tega melakukan hal keji? Semakin memikirkannya, semakin menyebabkan kepalanya berdenyut sakit, air matanya menetes, panas di pipinya. Tangannya mencengkram selimut erat, menahan isakan. "Kau sudah bangun?" Keira mengigit bibirnya saat mendengar pintu terbuka, diikuti oleh suara Cullen yang bertanya pel
Keira menoleh pada Cullen yang duduk di sampingnya, matanya memandang sebal. Yang benar saja, mereka berdua duduk di kursi yang dibawa oleh salah satu bawahan lalu pamit pergi, menyisakan mereka bertiga. Hal yang membuatnya kesal sekaligus marah karena Cullen menyuruh dirinya duduk bersamanya, sedangkan ayahnya berlutut di depan mereka. Hatinya terenyuh melihat tampilan ayahnya yang tidak berdaya, Keira bahkan baru dapat memperhatikan dengan jelas jika mata sang ayah sipit sebelah, mata sebelah kiri hampir tertutup, dihiasi oleh luka lebam."Duduk Keira." Suara Cullen berujar dingin, penuh perintah setiap kali Keira mencoba untuk turun dan duduk di lantai bersama ayahnya. Keira pun tidak bisa tidak menuruti sebab Cullen memegang lengannya kuat, menahan agar tetap di tempat. "Sekarang, Alan Hale, bisakah kau menceritakan dosa masa lalumu kepada putrimu?" Tubuh ayahnya sejak tadi tegang, bingung dan tidak tahu harus memulai dari mana. Kisahnya begitu kejam, orang yang mendengarnya p