Beranda / Romansa / Daging Qurban Pemberian Suamiku / Suamiku Orang yang Baik, Kan?

Share

Suamiku Orang yang Baik, Kan?

"Jadi kamu mau nikah lagi?"

Mas Hilal tertawa melihat perubahan air mukaku yang mendadak suram. Dia memelukku tapi kata-katanya menyakitiku. Apa benar kata pepatah lama bahwa racun bisa menjadi obat? Suamiku sering menyakitiku dan dia juga yang menyembuhkan lukanya. Seringkali aku hampir meregang nyawa ditangannya dan dia merawatku dengan baik sampai aku kembali sembuh.

"Itu yang kamu pikirkan? Hahaha. Sayang ... memangnya kalau aku nikah lagi kamu setuju, hm?"

Suara lembut dengan tatapan penuh ancaman membuatku harus mengangguk. "Bukankah kamu pernah bilang kalau istri yang rela dimadu akan mendapat balasan surga?"

Mas Hilal mengelus rambutku dengan lembut. Pandangannya menerawang ke dinding. Apa yang dia pikirkan? Apa dia benar-benar ingin menambah istri dalam keadaan ekonomi kami yang serba kekurangan? Apa uang sedikit yang selalu dia berikan padaku harus aku bagi dua dengan adik madu? Empat ratus ribu untuk setengah bulan akan jadi dua ratus ribu untuk setengah bulan? Keterlaluan.

"Memang seperti itu, sayang. Kalau kamu mau bersabar dan menerima. Tapi kalau kamu mengamuk dan sering menyumpah, sama saja kamu akan mendapat neraka. Makanya Mas selalu menanamkan sifat tunduk patuh sama kamu biar kamu gak durhaka."

Petuah-petuah dengan nada bijaksana, setiap malam seperti dongeng pengantar tidur. Mas Hilal selalu menyempatkan diri bercerita apa saja. Dia selalu memberi waktu dan ruang untuk kami berdua sebagai sepasang suami istri. Bahkan mendiang ayahku dulu, tidak pernah melakukan ini pada almarhumah ibuku. Setiap malam, ketika mereka berdua masih hidup, kusaksikan sendiri bagaimana mendiang ayahku langsung tidur di kasur depan televisi ketika dia pulang tengah malam selesai bermain catur dengan teman-temannya. Tidak ada waktu saling mendengarkan isi hati satu sama lain. Tidak ada waktu untuk saling memahami isi kepala masing-masing.

Bisa dibilang, Mas Hilal lebih mengerti aku dan aku juga tahu dia luar dalam. Dia laki-laki yang baik meski tempramental. Petuah-petuahnya adalah aturan yang tidak boleh dilanggar. Dia seorang pemimpin yang tegas tapi tidak bisa menahan amarah.

"Kamu mau menikah lagi, Mas?" Air mata tak kuasa lagi ditahan. Seperti bendungan yang jebol, ia melesak keluar dengan deras.

Mas Hilal tertawa. "Kamu lucu sekali. Mas cuma diajak datang ke walimah seorang jamaah. Sekaligus isi kajian disana. Dia menikah lagi dengan seorang janda atas persetujuan istrinya."

"Kamu disuruh datang. Makanya Mas mau belikan kamu pakaian besok ke pasar. Ingat, jangan berdandan."

Tatapan tajam sebagai peringatan keras sekali lagi dilayangkan. Senyumku merekah. Kapan lagi aku dibelikan pakaian baru. Rupanya amplop semalam yang tebalnya hampir tiga sentimeter itu berisi banyak uang. Pasti yang akan menikah adalah orang kaya. Mas Hilal diberi banyak uang setelah selesai mengisi kajian dan dia hanya memberiku empat ratus ribu rupiah. Sisanya pasti masih banyak! Sayangnya bukan hakku. Masih ada hak ibu dan adiknya disana.

"Terima kasih, Mas."

"Mas sangat mencintai kamu, Toybah. Selama kamu jadi istri yang penurut, Mas akan terus bersikap baik sama kamu."

Pelukan dan ciuman menjadi penutup percakapan. Malam semakin menggantung bulan diatas langit. Suara senyap membuat detak jantung terdengar. Deru nafas imam yang tertidur, terasa hangat di atas wajahku.

****

"Mas, hari ini kita jadi kepasar?"

Suamiku menyipitkan matanya. Dia belum sarapan dan aku sudah menagih pakaian baru. "Maaf,Mas."

"Hmmm..." Mas Hilal mengeram.

Segera kusiapkan nasi goreng telur di depan suamiku. Aku harus pandai menghemat uang empat ratus ribu itu. Beruntung uang listrik dan air ditanggung suamiku sehingga aku tidak terlalu pusing memikirkannya. Sayur mayur juga ditanam dihalaman belakang rumah untuk pendamping lauk.

"Kamu beli sendiri aja ya. Mas kasih uangnya. Hari ini Mas ada kegiatan. Sibuk banget. Tapi ingat, habis kepasar langsung pulang kerumah. Syifa biar Mas yang titip dia kerumah Ibu."

"Iya, Mas."

****

"Mbak!"

Teriakan dari tetangga yang kemarin memberi sepuluh tusuk sate diam-diam membuatku mempercepat langkah. Jangan sampai dia mengajakku bicara. Apagi dia seorang ibu muda yang pasti punya keinginan besar untuk bergosip.

"Mbak! Tunggu!"

Tangan wanita muda itu mencekal lenganku. Tampaknya dia sangat suka menahan orang lain seperti kemarin, ketika dia menahan tanganku agar tidak menutup pintu.

"Mau kemana, Mbak?"

"Saya mau kepasar."

"Saya ikut. Kita sekalian bareng, ya?" Suara wanita itu tampak riang.

"Iya."

"Mbak ... saya minta maaf soal kemarin ya. Apa Mbak nggak melaporkan suaminya?"

Langkahku terhenti. Apa maksudnya?

"Maksud kamu apa?"

"Mbak dihajar dan dipukuli. Itu termasuk kekerasan dalam rumah tangga, loh. Mbak butuh bantuan." Wajahnya tampak serius. Dia mengasihaniku? Ternyata benar yang dikatakan Mas Hilal. Orang-orang akan menilaiku seperti pengemis jika aku terlalu menampakkan keinginanku. Aku menyesal telah menerima pemberiannya semalam jika dia menilaiku seperti ini.

"Saya baik-baik saja. Dan sebaiknya kamu tidak usah terlalu ikut campur rumah tangga saya. Suami saya orang yang baik. Jangan pernah kamu tuduh dia dengan tuduhan keji kamu."

"Ustadz Hilal memang pribadi yang ramah dan menyenangkan. Saya pernah ikut kajiannya dua kali. Saya tahu dia sosok yang sederhana dan sabar. Sampai malam itu saya dengar ...."

Aku kehabisan kesabaran. Jika wanita comeh ini bercerita kesana kemari seperti penjual obat, maka habislah nasibku. Mas Hilal akan membunuhku.

"Cukup! Saya tidak mau ada orang lain yang berkomentar terkait kehidupan rumah tangga saya. Saya baik-baik saja. Jika saya sampai mendengar desas-desus yang tidak baik terkait nama baik suami saya, saya akan menyalahkan kamu."

Kuberi peringatan keras. Kujiplak sikap intimidasi suamiku agar wanita ini diam. Wajahnya tidak menunjukkan rasa takut sama sekali. Tidak seperti aku yang dibentak langsung kehilangan suara. Dia balas menatapku tajam.

"Saya tahu kamu tidak baik-baik saja dan mental kamu sudah rusak, Toybah." Seperti dapat membaca keterkejutanku, wanita itu langsung menyambung perkataannya, "iya, saya tahu nama kamu bahkan ketika kamu tidak tahu siapa saya. Semua orang tahu kamu. Istri ustadz Hilal yang tidak pernah keluar rumah dan tidak pernah bergaul dengan siapapun karena sangat menjaga dirinya. Iyakan?"

"Saya tidak punya urusan sama kamu. Saya mau kepasar. Assalamualaikum." Segera kutinggalkan dirinya. Dasar orang sinting. Astagfirullah. Ternyata apa yang dikatakan suamiku memang benar. Ada banyakngoadaan syaitan dan fitnah diluar rumah yang bisa menghancurkan rumah tangga.

"Mbak ... suatu saat jika pikiran kamu terbuka entah karena kamu hampir gila atau sekarat, datang sama saya. Tinggal menyebrang saja. Rumah saya ada diseberang rumah kamu. Saya akan membantu kamu. Saya akan membantu kamu, Mbak!"

Tidak kuindahkan lagi kata-katanya. Tujuanku sekarang adalah pergi kepasar dan membeli baju terbaik seharga seratus ribu ribu rupiah untuk datang ke walimah yang diadakan oleh jemaah suamiku.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status