"Jadi kamu mau nikah lagi?"
Mas Hilal tertawa melihat perubahan air mukaku yang mendadak suram. Dia memelukku tapi kata-katanya menyakitiku. Apa benar kata pepatah lama bahwa racun bisa menjadi obat? Suamiku sering menyakitiku dan dia juga yang menyembuhkan lukanya. Seringkali aku hampir meregang nyawa ditangannya dan dia merawatku dengan baik sampai aku kembali sembuh."Itu yang kamu pikirkan? Hahaha. Sayang ... memangnya kalau aku nikah lagi kamu setuju, hm?"Suara lembut dengan tatapan penuh ancaman membuatku harus mengangguk. "Bukankah kamu pernah bilang kalau istri yang rela dimadu akan mendapat balasan surga?"Mas Hilal mengelus rambutku dengan lembut. Pandangannya menerawang ke dinding. Apa yang dia pikirkan? Apa dia benar-benar ingin menambah istri dalam keadaan ekonomi kami yang serba kekurangan? Apa uang sedikit yang selalu dia berikan padaku harus aku bagi dua dengan adik madu? Empat ratus ribu untuk setengah bulan akan jadi dua ratus ribu untuk setengah bulan? Keterlaluan."Memang seperti itu, sayang. Kalau kamu mau bersabar dan menerima. Tapi kalau kamu mengamuk dan sering menyumpah, sama saja kamu akan mendapat neraka. Makanya Mas selalu menanamkan sifat tunduk patuh sama kamu biar kamu gak durhaka."Petuah-petuah dengan nada bijaksana, setiap malam seperti dongeng pengantar tidur. Mas Hilal selalu menyempatkan diri bercerita apa saja. Dia selalu memberi waktu dan ruang untuk kami berdua sebagai sepasang suami istri. Bahkan mendiang ayahku dulu, tidak pernah melakukan ini pada almarhumah ibuku. Setiap malam, ketika mereka berdua masih hidup, kusaksikan sendiri bagaimana mendiang ayahku langsung tidur di kasur depan televisi ketika dia pulang tengah malam selesai bermain catur dengan teman-temannya. Tidak ada waktu saling mendengarkan isi hati satu sama lain. Tidak ada waktu untuk saling memahami isi kepala masing-masing.Bisa dibilang, Mas Hilal lebih mengerti aku dan aku juga tahu dia luar dalam. Dia laki-laki yang baik meski tempramental. Petuah-petuahnya adalah aturan yang tidak boleh dilanggar. Dia seorang pemimpin yang tegas tapi tidak bisa menahan amarah."Kamu mau menikah lagi, Mas?" Air mata tak kuasa lagi ditahan. Seperti bendungan yang jebol, ia melesak keluar dengan deras.Mas Hilal tertawa. "Kamu lucu sekali. Mas cuma diajak datang ke walimah seorang jamaah. Sekaligus isi kajian disana. Dia menikah lagi dengan seorang janda atas persetujuan istrinya.""Kamu disuruh datang. Makanya Mas mau belikan kamu pakaian besok ke pasar. Ingat, jangan berdandan."Tatapan tajam sebagai peringatan keras sekali lagi dilayangkan. Senyumku merekah. Kapan lagi aku dibelikan pakaian baru. Rupanya amplop semalam yang tebalnya hampir tiga sentimeter itu berisi banyak uang. Pasti yang akan menikah adalah orang kaya. Mas Hilal diberi banyak uang setelah selesai mengisi kajian dan dia hanya memberiku empat ratus ribu rupiah. Sisanya pasti masih banyak! Sayangnya bukan hakku. Masih ada hak ibu dan adiknya disana."Terima kasih, Mas.""Mas sangat mencintai kamu, Toybah. Selama kamu jadi istri yang penurut, Mas akan terus bersikap baik sama kamu."Pelukan dan ciuman menjadi penutup percakapan. Malam semakin menggantung bulan diatas langit. Suara senyap membuat detak jantung terdengar. Deru nafas imam yang tertidur, terasa hangat di atas wajahku.****"Mas, hari ini kita jadi kepasar?"Suamiku menyipitkan matanya. Dia belum sarapan dan aku sudah menagih pakaian baru. "Maaf,Mas.""Hmmm..." Mas Hilal mengeram.Segera kusiapkan nasi goreng telur di depan suamiku. Aku harus pandai menghemat uang empat ratus ribu itu. Beruntung uang listrik dan air ditanggung suamiku sehingga aku tidak terlalu pusing memikirkannya. Sayur mayur juga ditanam dihalaman belakang rumah untuk pendamping lauk."Kamu beli sendiri aja ya. Mas kasih uangnya. Hari ini Mas ada kegiatan. Sibuk banget. Tapi ingat, habis kepasar langsung pulang kerumah. Syifa biar Mas yang titip dia kerumah Ibu.""Iya, Mas."****"Mbak!"Teriakan dari tetangga yang kemarin memberi sepuluh tusuk sate diam-diam membuatku mempercepat langkah. Jangan sampai dia mengajakku bicara. Apagi dia seorang ibu muda yang pasti punya keinginan besar untuk bergosip."Mbak! Tunggu!"Tangan wanita muda itu mencekal lenganku. Tampaknya dia sangat suka menahan orang lain seperti kemarin, ketika dia menahan tanganku agar tidak menutup pintu."Mau kemana, Mbak?""Saya mau kepasar.""Saya ikut. Kita sekalian bareng, ya?" Suara wanita itu tampak riang."Iya.""Mbak ... saya minta maaf soal kemarin ya. Apa Mbak nggak melaporkan suaminya?"Langkahku terhenti. Apa maksudnya?"Maksud kamu apa?""Mbak dihajar dan dipukuli. Itu termasuk kekerasan dalam rumah tangga, loh. Mbak butuh bantuan." Wajahnya tampak serius. Dia mengasihaniku? Ternyata benar yang dikatakan Mas Hilal. Orang-orang akan menilaiku seperti pengemis jika aku terlalu menampakkan keinginanku. Aku menyesal telah menerima pemberiannya semalam jika dia menilaiku seperti ini."Saya baik-baik saja. Dan sebaiknya kamu tidak usah terlalu ikut campur rumah tangga saya. Suami saya orang yang baik. Jangan pernah kamu tuduh dia dengan tuduhan keji kamu.""Ustadz Hilal memang pribadi yang ramah dan menyenangkan. Saya pernah ikut kajiannya dua kali. Saya tahu dia sosok yang sederhana dan sabar. Sampai malam itu saya dengar ...."Aku kehabisan kesabaran. Jika wanita comeh ini bercerita kesana kemari seperti penjual obat, maka habislah nasibku. Mas Hilal akan membunuhku."Cukup! Saya tidak mau ada orang lain yang berkomentar terkait kehidupan rumah tangga saya. Saya baik-baik saja. Jika saya sampai mendengar desas-desus yang tidak baik terkait nama baik suami saya, saya akan menyalahkan kamu."Kuberi peringatan keras. Kujiplak sikap intimidasi suamiku agar wanita ini diam. Wajahnya tidak menunjukkan rasa takut sama sekali. Tidak seperti aku yang dibentak langsung kehilangan suara. Dia balas menatapku tajam."Saya tahu kamu tidak baik-baik saja dan mental kamu sudah rusak, Toybah." Seperti dapat membaca keterkejutanku, wanita itu langsung menyambung perkataannya, "iya, saya tahu nama kamu bahkan ketika kamu tidak tahu siapa saya. Semua orang tahu kamu. Istri ustadz Hilal yang tidak pernah keluar rumah dan tidak pernah bergaul dengan siapapun karena sangat menjaga dirinya. Iyakan?""Saya tidak punya urusan sama kamu. Saya mau kepasar. Assalamualaikum." Segera kutinggalkan dirinya. Dasar orang sinting. Astagfirullah. Ternyata apa yang dikatakan suamiku memang benar. Ada banyakngoadaan syaitan dan fitnah diluar rumah yang bisa menghancurkan rumah tangga."Mbak ... suatu saat jika pikiran kamu terbuka entah karena kamu hampir gila atau sekarat, datang sama saya. Tinggal menyebrang saja. Rumah saya ada diseberang rumah kamu. Saya akan membantu kamu. Saya akan membantu kamu, Mbak!"Tidak kuindahkan lagi kata-katanya. Tujuanku sekarang adalah pergi kepasar dan membeli baju terbaik seharga seratus ribu ribu rupiah untuk datang ke walimah yang diadakan oleh jemaah suamiku.POV Ustadz HilalSeharusnya aku menemani istriku pergi ke pasar untuk beli gamis baru. Sayangnya aku baru ingat kalau pagi ini aku sudah ada janji dengan wanita muda yang cantik. Dia seorang janda baru-baru ini. Bukan karena bercerai, melainkan karena suaminya meninggal. Dia tipikal wanita alim idaman yang cantik dengan kerudung menutup dada. Bukan janda pirang dan sejenisnya. "Assalamualaikum, Ustadz .... Maaf saya terlambat. Tadi ban motor saya miris.""Waalaikum Salam, Suci ... Tidak apa-apa. Ayo, kita makan dulu. Kebetulan saya belum makan siang." Kusambut kedatangan wanita cantik itu dengan ramah. Dia ingin mengulurkan tangan dan aku membalasnya dengan tangkupan tangan di depan dada. Seandainya tidak berdosa ... aku ingin lebih dari itu. Astagfirullah ... Sadarlah Hilal! Dia bukan mahrammu. Syaitan memang selalu saja membuat tipu daya. Dan seburuk-buruknya tipu daya adalah tipu daya wanita."Maaf, Ustadz. Saya lupa." Penolakanku membuat Suci tampak tidak enak. Ah, dasar wanita
Aku berhasil membeli gamis seharga delapan puluh lima ribu dipasar. Gamis ini memang tampak sederhana. Tapi aku suka dengan motifnya. Berlatar hitam dengan bunga sakura pink kecil-kecil. Mas Hilal selalu menyuruhku membeli pakaian hitam. Dia tidak pernah membuatku tampak mencolok. Menurut suamiku, istri hanya boleh meminta perhatian pada suaminya. Bukan orang lain. Kusimpan uang lima belas ribu. Meski taat begini, diam-diam aku juga membangkang. Aku sudah mengumpulkan beberapa ratus ribu dalam dua tahun ini. Ketika belum menikah, aku ingat pesan dari guruku. Perempuan harus pandai menyimpan uang. Kita tidak tahu kapan suami meninggal atau hilang kepelukan wanita lain. Bergantung boleh, tapi jangan terlalu. Jadilah aku menyeludupkan dua atau tiga ribu rupiah dari uang nafkah. Kalau sedang beruntung, aku bisa menabung banyak. Seperti sekarang. Lima belas ribu rupiah untuk ditabung adalah uang yang sangat banyak. "Mas ... cantikkan?" Aku berputar di depan suamiku yang membawa masuk put
Di acara walimah, suamiku disambut layaknya raja dari negeri seberang. Dia begitu dihormati orang-orang. Semua ingin mencium tangannya. Namun Mas Hilal tidak menerima ciuman tangan. Dia menganggap semua orang setara dengan dirinya. "Jangan anggap saya lebih tinggi dari kalian ya .... Saya juga manusia yang punya banyak salah dosa. Jangan cium tangan saya bapak-bapak ... Kalian lebih tua dari saya. Dimana adab saya?"Mas Hilal terus menerus mengulang kata-katanya sambil tersenyum. Sementara aku terus berada dibalik punggungnya. Mengamati dibalik masker hitam. Tidak ada yang memperhatikanku karena mengira aku hanya orang asing yang menguntit. Suami benar-benar memperlakukan orang disekelilingnya dengan lembut. Langkah kami menuju mempelai pengantin di pelaminan juga menjadi sangat lambat karena banyak yang ingin bicara dengan Mas Hilal. Akhirnya kami sampai juga dipelaminan. Mas Hilal mengucapkan selamat dan mendoakan pernikahan sang mempelai pria yang merupakan jamaahnya agar selalu
POV Ustadz Hilal"Gimana menurut Emak?"Aku akhirnya tidak tahan lagi. Kedekatan kami semakin lama semakin membuatku gelisah. Apalagi Suci selalu mengirim pesan untuk mengingatkanku agar tidak lupa makan siang. Dia benar-benar wanita yang perhatian. Emak mengukur-ukur dari sudut pandangnya. Ini pernikahan kedua dan menantu kedua emak tentulah yang sesuai dengan kriterianya. "Memangnya dia punya apa?""Kecantikan tidak penting disini. Jika dia kaya, dia bisa cantik. Satu lagi, dia juga harus bukan wanita yang pintar. Kalau dia pintar, maka dia yang akan memimpin." Emak mulai mengajariku. Memberi petuah dan bayangan bagaimana aku bisa bersikap. "Dia kaya, Mak. Dia janda muda. Suaminya meninggal. Dia punya bisnis toko kue dan laundri. Ibunya juga seorang janda. Pegawai negeri dan kerja jadi gurup tetap disekolah dasar.""Gaji UMR!" Emak mencibir. Tapi sekejap kemudian tangannya melambai," Ambil saja. Tak apa. Lebih baik daripada tidak sama sekali dan cuma duduk manis dirumah kaya istr
POV Ustadz Hilal"Awas saja kalau air mata kamu jatuh. Kucekik anakmu!" Kubisikkan ancaman ditelinga istriku yang memakai pakaian serba hitam dihari pernikahanku. Aku memakai pakaian serba putih. Emak dan Dewi juga. Hanya Toybah yang berbeda. Istri bodoh ini datang kepernikahan suaminya dengan pakaian berkabung. Apa dia pikir pernikahanku akan diadakan di pemakaman?Mobil yang kusewa terus melaju menuju rumah Suci. Walimah pernikahan sedernana kami akan diadakan disana. Aku tidak sabar untuk malam pertama dengan janda seksi yang cantik itu. Jauh berbeda dengan wanita disebelahku yang kurus kering dengan tubuh seperti papan. "Toybah! Bawa seserahan ini masuk ke dalam. Ibu sibuk mau video Hilal." Ibu mertua langsung meletakkan kotak seserahan ditanganku. Syifa ada dipangkuan Dewi. Adik iparku tampak tidak senang mengasuh keponakannya. Namun kali ini dia memilih diam saja. Tidak banyak protes seperti biasanya.Sebelum keluar dari mobil, Mas Hilal menahan tanganku. Wajahnya yang tampan
"Buka baju kamu cepat!""Mas ... ini hari raya," Ucapku dengan wajah memelas. Berharap belas kasihan suamiku. Kulirik bayi kami yang masih berusia sebelah bulan. Dia sedang terlelap setelah puas menangis karena air susuku tak kunjung keluar. Suara takbir menggema di luar. Menyeru kaum muslimin merayakan kemenangan."Kamu akan dilaknat malaikat kalau berani menolak ajakan suami!" Sebuah tendangan mendarat ke punggungku. Tidak ada yang bisa kulakukan selain menghela nafas panjang ketika suamiku melucuti semua pakaianku.***Setelah menuntaskan hajatnya dengan brutal, suamiku langsung memakai pakaiannya. "Kamu mau kemana, Mas?""Kemana lagi? Ya ke lapangan lah! Kambingku ada tiga ekor disana."Rasa sakit hati tadi berubah menjadi secercah harapan. Akhirnya ... setelah setahun lebih aku bisa menikmati daging yang empuk lagi setelah setiap hari hanya makan tahu, tempe dan sayuran yang kupetik dari halaman belakang."Kamu berqurban, Mas?" Meski suamiku tidak mencukupiku dirumah, aku tida
"Bangun kamu! Sudah subuh!"Tendangan di wajah, membuatku terbangun. Remuk rasanya tubuh ringkih ini. Ternyata semalaman aku tidur dilantai yang dingin. Syifa! Ah, putriku pasti baik-baik saja. Suamiku sangat menyayanginya. Dia pasti telah memberi anak kami susu sewaktu aku pingsan."Sholat subuh cepat," Ucap Mas Hilal. Aku mengangguk dan bergegas pergi kebelakang untuk mengambil air wudhu sebelum suamiku kalap lagi. Tetesan air dingin membuat tubuhku yang sakit menjadi ngilu. Berkali-kali ringisan terdengar. Suara mengeram terdengar dibelakang. Mas Hilal memantau.Setelah aku siap dengan mukena, Mas Hilal keluar. Dia memang imam masjid di kampung ini. Sebelum pergi, suamiku mencium putri kami sebentar. Aku merasa dimasa depan, anakku tidak akan kekurangan kasih sayang seperti aku. Suamiku tidak akan mungkin memperlakukannya seperti dia memperlakukanku. Setiap aku minta dengan penuh permohonan, selalu saja keluar kata-kata yang sama dari mulutnya."Aku begini karena ingin mendidik
Jangan bayangkan daging sapi bekas kunyahan yang dibuang lagi itu rasanya mirip seperti steak bintang lima. Daging itu alot, bau bekas liur dan tentu saja keras. "Gila istri kamu. Sinting!""Biarkan aja dia, Mak. Akalnya dari dulu emang kurang," Ucap suamiku. Mas Hilal memandangku dengan jijik seolah-olah dia baru saja menikahi gelandangan yang sudah tiga hari tidak makan. Padahal ini akibat perbuatannya. Aku sudah susah payah memotong dan menjerang daging agar empuk dan dia bahkan tidak memberiku barang setusuk sate yang mereka bakar. Keterlaluan. Sayangnya aku tidak bisa marah."Kalau sudah selesai, kamu langsung mandi. Aku mau isi kajian habis ashar. Kalau aku sudah pulang, awas saja rumah masih berantakan dan kamu masih bau. Aku gak suka. Istri yang baik itu wajib menyenangkan suaminya. Ingat, kamu itu bukan bidadari dari neraka. Pelacur saja lebih baik penampilannya daripada kamu."Mas Hilal bicara enteng seolah-olah aku baru saja makan daging yang bersih dan nikmat yang dihid