"Buka baju kamu cepat!"
"Mas ... ini hari raya," Ucapku dengan wajah memelas. Berharap belas kasihan suamiku. Kulirik bayi kami yang masih berusia sebelah bulan. Dia sedang terlelap setelah puas menangis karena air susuku tak kunjung keluar. Suara takbir menggema di luar. Menyeru kaum muslimin merayakan kemenangan."Kamu akan dilaknat malaikat kalau berani menolak ajakan suami!" Sebuah tendangan mendarat ke punggungku. Tidak ada yang bisa kulakukan selain menghela nafas panjang ketika suamiku melucuti semua pakaianku.***Setelah menuntaskan hajatnya dengan brutal, suamiku langsung memakai pakaiannya."Kamu mau kemana, Mas?""Kemana lagi? Ya ke lapangan lah! Kambingku ada tiga ekor disana."Rasa sakit hati tadi berubah menjadi secercah harapan. Akhirnya ... setelah setahun lebih aku bisa menikmati daging yang empuk lagi setelah setiap hari hanya makan tahu, tempe dan sayuran yang kupetik dari halaman belakang."Kamu berqurban, Mas?"Meski suamiku tidak mencukupiku dirumah, aku tidak bertanya-tanya alasan mengapa dia berqurban. Ini tentang agama. Dan aku tidak mau mengakhirkan agamaku demi kepentingan pribadi. Meski ... aku bahkan sangat kekurangan."Dapat bonus dari kantor. Sekalian mau pamer sama jemaah masjid. Biar mereka tahu siapa aku ini.""Yasudah aku pergi dulu!"Tanpa basa-basi suamiku pergi meninggalkan rumah kecil kami. Beruntung, dalam kondisi serba kekurangan, aku tidak tinggal di kontrakan yang membuatku harus memutar otak mengumpulkan uang untuk membayar sewa. Ini rumah peninggalan orang tuaku sebelum mereka meninggal dan menitipkanku pada suamiku yang mereka anggap 'alim' dan mampu membawaku ke surga."Sayang ... akhirnya kita bisa makan daging hari ini. Mama tidak sabar lagi ingin menyusui kamu dengan air susu melimpah." Kuusap wajah putri kecilku yang terbangun. Matanya mengerjap indah seperti bintang kejora dilangit.Suara takbir menggema diluar. Sayangnya aku tidak bisa kemana-mana. Mas Hilal tidak memberiku uang untuk membeli baju lebaran dan dia juga mengatakan jika aku keluar, maka aku hanya akan menjadi fitnah. Payudaraku yang membesar akibat menyusui akan mengundang syahwat laki-laki dan dia tidak terima jika aku menjadi bahan tatapan nafsu mereka. Demi baktiku pada suami, aku menurut.Rumahpun harus selalu dikunci. Aku tidak boleh keluar kecuali memakai pakaian rombeng yang buruk dengan jilbab dua lapis dan wajah tanpa riasan apapun. Ke kondangan, suamiku malah menyuruhku memakai helm ketika naik pelaminan untuk salaman dengan mempelai pengantin jika tidak sedang bersama dia.***Tujuh jam menunggu, sampai adzan magrib berkumandanh, barulah Mas Hilal pulang.Dengan tangan kosong."Daging Qurbannya mana, Mas?""Sudah habis. Dibagikan ke kaum dhuafa. Kasihan mereka kelaparan. Cuma momen idul adha ini mereka bisa makan enak. Itupun kalau bumbu dapurnya ada."Hatiku remuk. Harapanku hancur. Aku sudah menunggu berjam-jam. Tempe bekas kemarin bahkan tidak kusentuh demi sesuap daging."Bukannya kalau Qurban itu, pemilik daging berhak atas sepertiga bagian ya, Mas?" tanyaku hati-hati. Ingin protes keras, yang ada aku malah digampar seperti minggu lalu. Kalau aku digampar, wajahku akan babak belur dan aku akan kesulitan keluar rumah jika ada tetangga dengan wajah membiru dan babak belur."Kamu membangkang lagi ya?" pelototan tajam lagi-lagi kudapatkan, "dasar istri tidak bersyukur. Masih untung kamu masih bisa makan tiap hari. Sekarang mau minta lebih? Kamu dilaknat tahu!""Mas ... sudah setahun lebih aku mau makan daging. Bahkan daging ayam saja enam bulan sekali baru bisa aku cicipi.""Mau kuhajar lagi?""Iya, Mas. Maaf. Aku minta ampun. Sudah jadi istri yang tidak salihah buat kamu.""Bagus ... beginilah aku mendidik istriku."Mas Hilal pergi. Aroma daging bakar menguar dari tubuhnya ketika dia melewatiku. Ah, suamiku hari ini pasti pulang kerumah ibunya. Membayangkan sate daging kambing saja air liurku sudah mau menetes. Tuhan ... apakah disurga nanti aku bisa makan sepuasnya?****Suara berisik di depan rumah sehabis magrib membuatku penasaran. Mas Hilal sedang bermain dengan Syifa di kamar. Suamiku sangat senang punya anak perempuan. Dia bahkan sudah membuat banyak aturan untuk Syifa yang akan dia terapkan dimasa depan nanti. Suamiku bilang, itulah tanda sayang seorang ayah pada putrinya. Aku hanya bisa mengiyakan sebab ilmu agama suamiku, jauh lebih banyak dibanding aku.Kuintip diam-diam dengan menyibak tirai. Aku hanya menggigit bibir melihat tetangga depan rumah sedang membakar sate beramai-ramai dengan tetangga lainnya. Seorang wanita asing -mungkin tetangga lain yang tidak aku kenal- menatapku lekat. Aku langsung menutup tirai menyadari diriku kepergok mengintip orang-orang yang asik memasak daging qurban mereka.Ya tuhan ... aku hanya ingin sepotong daging. Meski itu daging qurban.Semua berjalan lancar satu jam kemudian sampai ketukan pintu depan membuat suamiku bergegas keluar."Ini buat Bu Toybah, Ustadz Hilal. Maaf, tadi saya nggak sengaja lihat istri Ustadz mengintip kami."Kata-kata lembut tetangga yang bicara pada suamiku membuatku gemetar. Benar saja, Mas Hilal langsung muncul di depanku dengan wajah sangar. Tangannya memegang raket nyamuk."Memalukan ...." Desisnya, "seorang istri Ustadz berlagak seperti pengemis. Kamu mau orang-orang itu mikir jalau kamu gak dikasih makan hah? Dimana kamu meletakkan kehormatan suami? Apa ini balasan kamu setelah aku mau menannggung semua dosa-dosa kamu?!""Ampun Mas .... Aku cuma penasaran aja. Sumpah demi Allah aku gak ada niat minta-minta." Aku bersimpuh di kaki suamiku sambil menangis. Semoga Allah berikan belas kasih dihatinya dihari raya ini."Tetap saja! Tetangga sudah memandang aku suami yang gagal. Kamu sudah mencoreng nama baikku sebagai seorang Ustadz!"Pukulan bertubi-tubi langsung dilayangkan. Tulang belakangku rasanya mau remuk ketika Mas Hilal melayangkan raket nyamuk itu kepunggungku. Tangisku bercampur tangis Syifa rupanya tidak mempan untuk membuat seorang imam rumah tangga untuk menghentikan aksinya."Aku minta ampun, Mas! Aku minta maaf! Aku khilaf, Mas! Aku khilaf!!!"Teriakanku semakin membuat Mas Hilal kalap. "Wanita brengsek pembawa sial! Kau itu cuma menumpang sama aku! Kalau kau tidak menjaga nama baikku, kubunuh kau! Halal kau kubunuh karena telah mencoreng rumah tangga kita. Kau sudah mempermalukan aku sebagai suami. Kau pikir kau itu kaum dhuafa hah? Memalukan! Hanya karena daging saja kau sampai seperti ini. Dasar tolol! Mampus saja kau!"Tangan Mas Hilal hinggap dipipiku. Membuat bunyi keras seperti tepukan tangan. Pipiku rasanya terbakar dan tulang rahang ini serasa remuk. Air mata tidak bisa lagi mengalir. Nyawaku seolah melayang dengan semakin kerasnya siksaan yang menghantam fisik ini. Dan aku masih bertahan dalam neraka ini karena pesan orang tuaku. Suamiku adalah surga setelah mereka tidak ada.Mas Hilal semakin kalap. Matanya semakin merah. Dia menjambak rambutku dan membenturkan kepalaku kedinding. Sebelum kesadaran ini hilang, satu hal yang aku rasakan dengan nyata. Perutku keroncongan karena aku menahan diri tidak makan demi menunggu daging qurban milik suamiku yang tidak kunjung datang dan tidak pernah ada."Bangun kamu! Sudah subuh!"Tendangan di wajah, membuatku terbangun. Remuk rasanya tubuh ringkih ini. Ternyata semalaman aku tidur dilantai yang dingin. Syifa! Ah, putriku pasti baik-baik saja. Suamiku sangat menyayanginya. Dia pasti telah memberi anak kami susu sewaktu aku pingsan."Sholat subuh cepat," Ucap Mas Hilal. Aku mengangguk dan bergegas pergi kebelakang untuk mengambil air wudhu sebelum suamiku kalap lagi. Tetesan air dingin membuat tubuhku yang sakit menjadi ngilu. Berkali-kali ringisan terdengar. Suara mengeram terdengar dibelakang. Mas Hilal memantau.Setelah aku siap dengan mukena, Mas Hilal keluar. Dia memang imam masjid di kampung ini. Sebelum pergi, suamiku mencium putri kami sebentar. Aku merasa dimasa depan, anakku tidak akan kekurangan kasih sayang seperti aku. Suamiku tidak akan mungkin memperlakukannya seperti dia memperlakukanku. Setiap aku minta dengan penuh permohonan, selalu saja keluar kata-kata yang sama dari mulutnya."Aku begini karena ingin mendidik
Jangan bayangkan daging sapi bekas kunyahan yang dibuang lagi itu rasanya mirip seperti steak bintang lima. Daging itu alot, bau bekas liur dan tentu saja keras. "Gila istri kamu. Sinting!""Biarkan aja dia, Mak. Akalnya dari dulu emang kurang," Ucap suamiku. Mas Hilal memandangku dengan jijik seolah-olah dia baru saja menikahi gelandangan yang sudah tiga hari tidak makan. Padahal ini akibat perbuatannya. Aku sudah susah payah memotong dan menjerang daging agar empuk dan dia bahkan tidak memberiku barang setusuk sate yang mereka bakar. Keterlaluan. Sayangnya aku tidak bisa marah."Kalau sudah selesai, kamu langsung mandi. Aku mau isi kajian habis ashar. Kalau aku sudah pulang, awas saja rumah masih berantakan dan kamu masih bau. Aku gak suka. Istri yang baik itu wajib menyenangkan suaminya. Ingat, kamu itu bukan bidadari dari neraka. Pelacur saja lebih baik penampilannya daripada kamu."Mas Hilal bicara enteng seolah-olah aku baru saja makan daging yang bersih dan nikmat yang dihid
"Nak .... mama senang banget. Akhirnya tahun ini bisa juga makan daging qurban. Rasanya enak banget, Nak. Beda sama daging yang mama pungut disampah bekas orang tadi."Aku bercerita pada putriku. Dia hanya bisa mengoceh sambil memberi senyum terbaiknya. Anakku... meski kamu belum bisa bicara, aku tahu kamu mengerti apa yang aku katakan. "Jangan sampai ayah tahu ya, Nak kalau mama cerita sama kamu. Nanti mama dipukul sama ayah." Sambungku. Syifa tertawa. Dia lebih peduli dengan mainan yang dipegangnya dibanding ceritaku. Anakku yang manis. Semoga kelak engkau menjadi anak yang berbakti pada orang tua dan menjadi alasan untukku tersenyum.***Kesabaran akan membuahkan hasil yang manis meski bersabar saat ujian mendera, rasanya sangat pahit. Akhirnya aku mendapat hadiah atas kesabaranku. Tadi sore aku menyantap sate kambing sendirian diam-diam dan sekarang Mas Hilak pulang membawa banyak makanan."Ini buat kamu, istriku. Makan yang banyak, ya. Kuperhatikan badan kamu kurus banget sekara
"Jadi kamu mau nikah lagi?"Mas Hilal tertawa melihat perubahan air mukaku yang mendadak suram. Dia memelukku tapi kata-katanya menyakitiku. Apa benar kata pepatah lama bahwa racun bisa menjadi obat? Suamiku sering menyakitiku dan dia juga yang menyembuhkan lukanya. Seringkali aku hampir meregang nyawa ditangannya dan dia merawatku dengan baik sampai aku kembali sembuh."Itu yang kamu pikirkan? Hahaha. Sayang ... memangnya kalau aku nikah lagi kamu setuju, hm?"Suara lembut dengan tatapan penuh ancaman membuatku harus mengangguk. "Bukankah kamu pernah bilang kalau istri yang rela dimadu akan mendapat balasan surga?"Mas Hilal mengelus rambutku dengan lembut. Pandangannya menerawang ke dinding. Apa yang dia pikirkan? Apa dia benar-benar ingin menambah istri dalam keadaan ekonomi kami yang serba kekurangan? Apa uang sedikit yang selalu dia berikan padaku harus aku bagi dua dengan adik madu? Empat ratus ribu untuk setengah bulan akan jadi dua ratus ribu untuk setengah bulan? Keterlaluan
POV Ustadz HilalSeharusnya aku menemani istriku pergi ke pasar untuk beli gamis baru. Sayangnya aku baru ingat kalau pagi ini aku sudah ada janji dengan wanita muda yang cantik. Dia seorang janda baru-baru ini. Bukan karena bercerai, melainkan karena suaminya meninggal. Dia tipikal wanita alim idaman yang cantik dengan kerudung menutup dada. Bukan janda pirang dan sejenisnya. "Assalamualaikum, Ustadz .... Maaf saya terlambat. Tadi ban motor saya miris.""Waalaikum Salam, Suci ... Tidak apa-apa. Ayo, kita makan dulu. Kebetulan saya belum makan siang." Kusambut kedatangan wanita cantik itu dengan ramah. Dia ingin mengulurkan tangan dan aku membalasnya dengan tangkupan tangan di depan dada. Seandainya tidak berdosa ... aku ingin lebih dari itu. Astagfirullah ... Sadarlah Hilal! Dia bukan mahrammu. Syaitan memang selalu saja membuat tipu daya. Dan seburuk-buruknya tipu daya adalah tipu daya wanita."Maaf, Ustadz. Saya lupa." Penolakanku membuat Suci tampak tidak enak. Ah, dasar wanita
Aku berhasil membeli gamis seharga delapan puluh lima ribu dipasar. Gamis ini memang tampak sederhana. Tapi aku suka dengan motifnya. Berlatar hitam dengan bunga sakura pink kecil-kecil. Mas Hilal selalu menyuruhku membeli pakaian hitam. Dia tidak pernah membuatku tampak mencolok. Menurut suamiku, istri hanya boleh meminta perhatian pada suaminya. Bukan orang lain. Kusimpan uang lima belas ribu. Meski taat begini, diam-diam aku juga membangkang. Aku sudah mengumpulkan beberapa ratus ribu dalam dua tahun ini. Ketika belum menikah, aku ingat pesan dari guruku. Perempuan harus pandai menyimpan uang. Kita tidak tahu kapan suami meninggal atau hilang kepelukan wanita lain. Bergantung boleh, tapi jangan terlalu. Jadilah aku menyeludupkan dua atau tiga ribu rupiah dari uang nafkah. Kalau sedang beruntung, aku bisa menabung banyak. Seperti sekarang. Lima belas ribu rupiah untuk ditabung adalah uang yang sangat banyak. "Mas ... cantikkan?" Aku berputar di depan suamiku yang membawa masuk put
Di acara walimah, suamiku disambut layaknya raja dari negeri seberang. Dia begitu dihormati orang-orang. Semua ingin mencium tangannya. Namun Mas Hilal tidak menerima ciuman tangan. Dia menganggap semua orang setara dengan dirinya. "Jangan anggap saya lebih tinggi dari kalian ya .... Saya juga manusia yang punya banyak salah dosa. Jangan cium tangan saya bapak-bapak ... Kalian lebih tua dari saya. Dimana adab saya?"Mas Hilal terus menerus mengulang kata-katanya sambil tersenyum. Sementara aku terus berada dibalik punggungnya. Mengamati dibalik masker hitam. Tidak ada yang memperhatikanku karena mengira aku hanya orang asing yang menguntit. Suami benar-benar memperlakukan orang disekelilingnya dengan lembut. Langkah kami menuju mempelai pengantin di pelaminan juga menjadi sangat lambat karena banyak yang ingin bicara dengan Mas Hilal. Akhirnya kami sampai juga dipelaminan. Mas Hilal mengucapkan selamat dan mendoakan pernikahan sang mempelai pria yang merupakan jamaahnya agar selalu
POV Ustadz Hilal"Gimana menurut Emak?"Aku akhirnya tidak tahan lagi. Kedekatan kami semakin lama semakin membuatku gelisah. Apalagi Suci selalu mengirim pesan untuk mengingatkanku agar tidak lupa makan siang. Dia benar-benar wanita yang perhatian. Emak mengukur-ukur dari sudut pandangnya. Ini pernikahan kedua dan menantu kedua emak tentulah yang sesuai dengan kriterianya. "Memangnya dia punya apa?""Kecantikan tidak penting disini. Jika dia kaya, dia bisa cantik. Satu lagi, dia juga harus bukan wanita yang pintar. Kalau dia pintar, maka dia yang akan memimpin." Emak mulai mengajariku. Memberi petuah dan bayangan bagaimana aku bisa bersikap. "Dia kaya, Mak. Dia janda muda. Suaminya meninggal. Dia punya bisnis toko kue dan laundri. Ibunya juga seorang janda. Pegawai negeri dan kerja jadi gurup tetap disekolah dasar.""Gaji UMR!" Emak mencibir. Tapi sekejap kemudian tangannya melambai," Ambil saja. Tak apa. Lebih baik daripada tidak sama sekali dan cuma duduk manis dirumah kaya istr