Beranda / Romansa / Daging Qurban Pemberian Suamiku / Dihajar Saat Hari Raya Idul Adha

Share

Daging Qurban Pemberian Suamiku
Daging Qurban Pemberian Suamiku
Penulis: Kasuarina

Dihajar Saat Hari Raya Idul Adha

"Buka baju kamu cepat!"

"Mas ... ini hari raya," Ucapku dengan wajah memelas. Berharap belas kasihan suamiku. Kulirik bayi kami yang masih berusia sebelah bulan. Dia sedang terlelap setelah puas menangis karena air susuku tak kunjung keluar. Suara takbir menggema di luar. Menyeru kaum muslimin merayakan kemenangan.

"Kamu akan dilaknat malaikat kalau berani menolak ajakan suami!" Sebuah tendangan mendarat ke punggungku. Tidak ada yang bisa kulakukan selain menghela nafas panjang ketika suamiku melucuti semua pakaianku.

***

Setelah menuntaskan hajatnya dengan brutal, suamiku langsung memakai pakaiannya.

"Kamu mau kemana, Mas?"

"Kemana lagi? Ya ke lapangan lah! Kambingku ada tiga ekor disana."

Rasa sakit hati tadi berubah menjadi secercah harapan. Akhirnya ... setelah setahun lebih aku bisa menikmati daging yang empuk lagi setelah setiap hari hanya makan tahu, tempe dan sayuran yang kupetik dari halaman belakang.

"Kamu berqurban, Mas?"

Meski suamiku tidak mencukupiku dirumah, aku tidak bertanya-tanya alasan mengapa dia berqurban. Ini tentang agama. Dan aku tidak mau mengakhirkan agamaku demi kepentingan pribadi. Meski ... aku bahkan sangat kekurangan.

"Dapat bonus dari kantor. Sekalian mau pamer sama jemaah masjid. Biar mereka tahu siapa aku ini."

"Yasudah aku pergi dulu!"

Tanpa basa-basi suamiku pergi meninggalkan rumah kecil kami. Beruntung, dalam kondisi serba kekurangan, aku tidak tinggal di kontrakan yang membuatku harus memutar otak mengumpulkan uang untuk membayar sewa. Ini rumah peninggalan orang tuaku sebelum mereka meninggal dan menitipkanku pada suamiku yang mereka anggap 'alim' dan mampu membawaku ke surga.

"Sayang ... akhirnya kita bisa makan daging hari ini. Mama tidak sabar lagi ingin menyusui kamu dengan air susu melimpah." Kuusap wajah putri kecilku yang terbangun. Matanya mengerjap indah seperti bintang kejora dilangit.

Suara takbir menggema diluar. Sayangnya aku tidak bisa kemana-mana. Mas Hilal tidak memberiku uang untuk membeli baju lebaran dan dia juga mengatakan jika aku keluar, maka aku hanya akan menjadi fitnah. Payudaraku yang membesar akibat menyusui akan mengundang syahwat laki-laki dan dia tidak terima jika aku menjadi bahan tatapan nafsu mereka. Demi baktiku pada suami, aku menurut.

Rumahpun harus selalu dikunci. Aku tidak boleh keluar kecuali memakai pakaian rombeng yang buruk dengan jilbab dua lapis dan wajah tanpa riasan apapun. Ke kondangan, suamiku malah menyuruhku memakai helm ketika naik pelaminan untuk salaman dengan mempelai pengantin jika tidak sedang bersama dia.

***

Tujuh jam menunggu, sampai adzan magrib berkumandanh, barulah Mas Hilal pulang.

Dengan tangan kosong.

"Daging Qurbannya mana, Mas?"

"Sudah habis. Dibagikan ke kaum dhuafa. Kasihan mereka kelaparan. Cuma momen idul adha ini mereka bisa makan enak. Itupun kalau bumbu dapurnya ada."

Hatiku remuk. Harapanku hancur. Aku sudah menunggu berjam-jam. Tempe bekas kemarin bahkan tidak kusentuh demi sesuap daging.

"Bukannya kalau Qurban itu, pemilik daging berhak atas sepertiga bagian ya, Mas?" tanyaku hati-hati. Ingin protes keras, yang ada aku malah digampar seperti minggu lalu. Kalau aku digampar, wajahku akan babak belur dan aku akan kesulitan keluar rumah jika ada tetangga dengan wajah membiru dan babak belur.

"Kamu membangkang lagi ya?" pelototan tajam lagi-lagi kudapatkan, "dasar istri tidak bersyukur. Masih untung kamu masih bisa makan tiap hari. Sekarang mau minta lebih? Kamu dilaknat tahu!"

"Mas ... sudah setahun lebih aku mau makan daging. Bahkan daging ayam saja enam bulan sekali baru bisa aku cicipi."

"Mau kuhajar lagi?"

"Iya, Mas. Maaf. Aku minta ampun. Sudah jadi istri yang tidak salihah buat kamu."

"Bagus ... beginilah aku mendidik istriku."

Mas Hilal pergi. Aroma daging bakar menguar dari tubuhnya ketika dia melewatiku. Ah, suamiku hari ini pasti pulang kerumah ibunya. Membayangkan sate daging kambing saja air liurku sudah mau menetes. Tuhan ... apakah disurga nanti aku bisa makan sepuasnya?

****

Suara berisik di depan rumah sehabis magrib membuatku penasaran. Mas Hilal sedang bermain dengan Syifa di kamar. Suamiku sangat senang punya anak perempuan. Dia bahkan sudah membuat banyak aturan untuk Syifa yang akan dia terapkan dimasa depan nanti. Suamiku bilang, itulah tanda sayang seorang ayah pada putrinya. Aku hanya bisa mengiyakan sebab ilmu agama suamiku, jauh lebih banyak dibanding aku.

Kuintip diam-diam dengan menyibak tirai. Aku hanya menggigit bibir melihat tetangga depan rumah sedang membakar sate beramai-ramai dengan tetangga lainnya. Seorang wanita asing -mungkin tetangga lain yang tidak aku kenal- menatapku lekat. Aku langsung menutup tirai menyadari diriku kepergok mengintip orang-orang yang asik memasak daging qurban mereka.

Ya tuhan ... aku hanya ingin sepotong daging. Meski itu daging qurban.

Semua berjalan lancar satu jam kemudian sampai ketukan pintu depan membuat suamiku bergegas keluar.

"Ini buat Bu Toybah, Ustadz Hilal. Maaf, tadi saya nggak sengaja lihat istri Ustadz mengintip kami."

Kata-kata lembut tetangga yang bicara pada suamiku membuatku gemetar. Benar saja, Mas Hilal langsung muncul di depanku dengan wajah sangar. Tangannya memegang raket nyamuk.

"Memalukan ...." Desisnya, "seorang istri Ustadz berlagak seperti pengemis. Kamu mau orang-orang itu mikir jalau kamu gak dikasih makan hah? Dimana kamu meletakkan kehormatan suami? Apa ini balasan kamu setelah aku mau menannggung semua dosa-dosa kamu?!"

"Ampun Mas .... Aku cuma penasaran aja. Sumpah demi Allah aku gak ada niat minta-minta." Aku bersimpuh di kaki suamiku sambil menangis. Semoga Allah berikan belas kasih dihatinya dihari raya ini.

"Tetap saja! Tetangga sudah memandang aku suami yang gagal. Kamu sudah mencoreng nama baikku sebagai seorang Ustadz!"

Pukulan bertubi-tubi langsung dilayangkan. Tulang belakangku rasanya mau remuk ketika Mas Hilal melayangkan raket nyamuk itu kepunggungku. Tangisku bercampur tangis Syifa rupanya tidak mempan untuk membuat seorang imam rumah tangga untuk menghentikan aksinya.

"Aku minta ampun, Mas! Aku minta maaf! Aku khilaf, Mas! Aku khilaf!!!"

Teriakanku semakin membuat Mas Hilal kalap. "Wanita brengsek pembawa sial! Kau itu cuma menumpang sama aku! Kalau kau tidak menjaga nama baikku, kubunuh kau! Halal kau kubunuh karena telah mencoreng rumah tangga kita. Kau sudah mempermalukan aku sebagai suami. Kau pikir kau itu kaum dhuafa hah? Memalukan! Hanya karena daging saja kau sampai seperti ini. Dasar tolol! Mampus saja kau!"

Tangan Mas Hilal hinggap dipipiku. Membuat bunyi keras seperti tepukan tangan. Pipiku rasanya terbakar dan tulang rahang ini serasa remuk. Air mata tidak bisa lagi mengalir. Nyawaku seolah melayang dengan semakin kerasnya siksaan yang menghantam fisik ini. Dan aku masih bertahan dalam neraka ini karena pesan orang tuaku. Suamiku adalah surga setelah mereka tidak ada.

Mas Hilal semakin kalap. Matanya semakin merah. Dia menjambak rambutku dan membenturkan kepalaku kedinding. Sebelum kesadaran ini hilang, satu hal yang aku rasakan dengan nyata. Perutku keroncongan karena aku menahan diri tidak makan demi menunggu daging qurban milik suamiku yang tidak kunjung datang dan tidak pernah ada.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status