Jangan bayangkan daging sapi bekas kunyahan yang dibuang lagi itu rasanya mirip seperti steak bintang lima. Daging itu alot, bau bekas liur dan tentu saja keras.
"Gila istri kamu. Sinting!""Biarkan aja dia, Mak. Akalnya dari dulu emang kurang," Ucap suamiku. Mas Hilal memandangku dengan jijik seolah-olah dia baru saja menikahi gelandangan yang sudah tiga hari tidak makan. Padahal ini akibat perbuatannya. Aku sudah susah payah memotong dan menjerang daging agar empuk dan dia bahkan tidak memberiku barang setusuk sate yang mereka bakar.Keterlaluan.Sayangnya aku tidak bisa marah."Kalau sudah selesai, kamu langsung mandi. Aku mau isi kajian habis ashar. Kalau aku sudah pulang, awas saja rumah masih berantakan dan kamu masih bau. Aku gak suka. Istri yang baik itu wajib menyenangkan suaminya. Ingat, kamu itu bukan bidadari dari neraka. Pelacur saja lebih baik penampilannya daripada kamu."Mas Hilal bicara enteng seolah-olah aku baru saja makan daging yang bersih dan nikmat yang dihidangkan ibunya. Ibu mertuaku bahkan menatapku dengan jijik dan penuh kebencian."Coba aja aku punya uang lebih, Hilal kunikahkan dengan wanita yang lebih baik dari kamu. Kamu benar-benar menjijikan, Toybah. Pengemis saja tidak mau makan makanan sampah bekas dikunyah.""Sejak kemarin Mas Hilal gak kasih aku sepotong daging, Mak.... Aku juga mau mencicipi sedikit ....""Ngidam ya kamu?!" adik ipar langsung menunjuk wajahku.Mata ibu mertua langsung melotot. Ringan sekali kakinya menendang dadaku. Payudaraku sudah sakit akibat menyusui. Kini aku harus mendapat rasa sakit yang lebih lagi."Toybah gak hamil, Mak. Toybah sudah suntik KB, kok.""Apa? Kamu KB? Dari mana uangnya hah?" Mas Hilal yang berganti pakaian ternyata menguping. Dengan menggebrak pintu kamar, suamiku keluar. Sekali lagi aku mendapat tendangan. Kaki Mas Hilal mendarat dikepalaku. Allah ... tidak ada yang membelaku selain engkau. Ibu bapakku sudah meninggal dunia."Ampun ... Mas. Tapi Syifa masih kecil. Kalau nambah anak lagi aku gak kuat. Apalagi kamu jarang dirumah. Aku kerjain pekerjaan rumah sambil ngemong satu anak aja capek banget. Aku gak sanggup kalau harus hamil lagi.""Alasan! Kamu itu wanita. Fitrahnya memang melahirkan. Malah bagus kalau kamu sering melahirkan. Dasar dungu! Sudah aku bilang sampai berbuih mulutku. KB itu haram! Wanita memang harus melahirkan! Kamu menantang kodrat yang diberikan tuhan hah?"Aku hanya bisa diam. Menunduk menatap lantai. Cacian demi cacian keluar. Dari mulut suami, ibu mertua dan adik ipar."Dari dulu Emak memang berat kalau kamu kawin sama dia, Lal. Kalau bisa kamu cari istri baru yang kerja. Dia bisanya bikin kamu darah tinggi dan bikin kamu tambah banyak pikiran. Kerjaannya cuma minta duit aja kan?"Mas Hilal tampak lelah. Setiap kali marah, suamiku seperti orang yang kehilangan energinya. Kadang kulihat sorot matanya penuh sesal melihatku. Namun kata maaf tak pernah terdengar sejak awal kami menikah.Mas Hilal tidak pernah meminta maaf. Dia adalah suami. Dia adalah raja. Dan dia seorang ustadz. Dia dihormati diluar rumah kami. Dia imam dan panutan. Apa pantas aku yang rendah ini meminta dia menurunkan harga dirinya untuk wanita macam diriku?Itulah ajaran suamiku. Doktrin yang dia tanamkan setiap hari sampai mengakar dikepalaku."Punya istri satu kaya dia aku sudah pusing, Mak. Aku gak kepikiran mau nambah lagi," Ucap Mas Hilal. Mendadak aku merasa lega. Udara yang tadi sesak dengan kekerasan dan cacian mendadak terasa lapang.Suamiku masih mencintaiku. Dia tidak akan mendua.Mas Hilal berpamitan pada emak dan adiknya. Sore ini dia mengisi kajian di masjid kampung sebelah. Biasanya, setiap pulang Mas Hilal pasti membawa banyak makanan dan kue pemberian dari jamaah."Ingat pesanku tadi!" Ancam Mas Hilal sebelum pergi ketika aku mencium tangannya dengan takzim."Hati-hati dijalan, Mas ....""Hmmm..."****Sepeninggal Mas Hilal, ibu mertua juga langsung pulang. Tentu saja tanpa perlu berbasa-basi untuk pamitan padaku.Akhirnya rumah kami sepi. Hanya aroma sisa daging sapi yang tertinggal. Bayangan para tamu yang menikmati hidangan dengan nikmat membuatku merasa sesak. Aku sakit hati diperlakukan seperti ini. Aku bisa apa? Aku tidak berani melawan. Suamiku sudah sangat bertanggung jawab memberiku makan selama orang tuaku meninggal. Dia bahkan menanggung dosaku. Apa yang harus aku lakukan?"Mbak! Ssstt...""Astagfirullah ... maaf, saya gak bisa terima tamu kalau suami tidak ada, Bu ...." Segera kututup pintu yang terbuka. Namun tangan wanita yang tampak seusiaku itu menahan gagang pintu rumah kami dengan kuat."Tolong jangan tutup dulu. Saya mohon ...."Aku panik. Melihat sekeliling. Meski Mas Hilal pasti pulang menjelang pukul sembilan malam, aku tetap takut ketahuan.Wanita muda itu merangsek masuk. Aku merasa tubuh ini gemetaran. Selama ini aku tidak pernah melanggar perintah. Tidak ada tamu, tidak ada make up, tidak ada ponsel, tidak ada gaya-gayaan seperti kaum jahiliyah zaman sekarang."Saya sudah mendengar semuanya. Saya minta maaf soal kejadian tadi malam, Mbak ...."Ternyata dia tahu. Tetangga sudah tahu? Matilah aku kalau Mas Hilal tahu nama baiknya rusak dimata orang. Bisa-bisa aku dicekiknya sampai mati."Mbak! Kamu salah paham! Suamiku tidak pernah melakukan kekerasan!" Sentakku dengan kasar. Tangan wanita muda yang tadi malam menatapku dengan tatapan aneh itu erat berpegang pada lenganku. Seolah-olah aku ini buruannya yang tidak ingin dia lepaskan."Saya tidak bilang dia melakukan kekerasan." Wanita muda itu menatapku dengan tajam. Kali ini aku yang salah bicara. Wajahnya serius menguliti dari ujung kepala sampai ujung kaki."Dahi kamu memar. Kenapa?""Bukan urusan kamu! Sebaiknya kamu pulang atau saya laporkan ke RT kalau kamu sudah masuk ke dalam rumah saya dan mengganggu saya tanpa izin." Kuberanikan diri mengancam. Wanita di depanku malah tersenyum lembut."Saya kesini karena tadi malam saya tidak sengaja mendengar tangisan kamu. Setelah memberi sate kesuami kamu, saya mau ambil piringnya. Saya tidak jadi mengetuk pintu mendengar suara kamu. Kamu itu butuh bantuan. Tetangga disini bilang kamu tidak pernah bersosialisasi. Kamu bahkan tidak tahu saya, kan?""Saya baik-baik saja!""Semoga begitu .... Ini saya bawakan sate kambing. Tenang saja, saya sudah masukkan dalam plastik biar bisa kamu buang. Saya gak akan bilang kesuami kamu, kok. Saya minta maaf atas kejadian tadi malam. Kalau kamu butuh bantuan, segera hubungi saya. Saya permisi."Wanita muda itu bergegas pergi. Aku tercengang. Bantuan? Aku butuh bantuan? Memangnya apa yang salah dengan menjadi seorang istri yang taat? Kenapa aku harus butuh bantuan?Aroma daging yang lembut menguar. Segera kukunci pintu dan menikmati sepuluh tusuk sate daging qurban dengan perasaan bahagia.Allah ... akhirnya hamba menikmati sate daging qurban."Nak .... mama senang banget. Akhirnya tahun ini bisa juga makan daging qurban. Rasanya enak banget, Nak. Beda sama daging yang mama pungut disampah bekas orang tadi."Aku bercerita pada putriku. Dia hanya bisa mengoceh sambil memberi senyum terbaiknya. Anakku... meski kamu belum bisa bicara, aku tahu kamu mengerti apa yang aku katakan. "Jangan sampai ayah tahu ya, Nak kalau mama cerita sama kamu. Nanti mama dipukul sama ayah." Sambungku. Syifa tertawa. Dia lebih peduli dengan mainan yang dipegangnya dibanding ceritaku. Anakku yang manis. Semoga kelak engkau menjadi anak yang berbakti pada orang tua dan menjadi alasan untukku tersenyum.***Kesabaran akan membuahkan hasil yang manis meski bersabar saat ujian mendera, rasanya sangat pahit. Akhirnya aku mendapat hadiah atas kesabaranku. Tadi sore aku menyantap sate kambing sendirian diam-diam dan sekarang Mas Hilak pulang membawa banyak makanan."Ini buat kamu, istriku. Makan yang banyak, ya. Kuperhatikan badan kamu kurus banget sekara
"Jadi kamu mau nikah lagi?"Mas Hilal tertawa melihat perubahan air mukaku yang mendadak suram. Dia memelukku tapi kata-katanya menyakitiku. Apa benar kata pepatah lama bahwa racun bisa menjadi obat? Suamiku sering menyakitiku dan dia juga yang menyembuhkan lukanya. Seringkali aku hampir meregang nyawa ditangannya dan dia merawatku dengan baik sampai aku kembali sembuh."Itu yang kamu pikirkan? Hahaha. Sayang ... memangnya kalau aku nikah lagi kamu setuju, hm?"Suara lembut dengan tatapan penuh ancaman membuatku harus mengangguk. "Bukankah kamu pernah bilang kalau istri yang rela dimadu akan mendapat balasan surga?"Mas Hilal mengelus rambutku dengan lembut. Pandangannya menerawang ke dinding. Apa yang dia pikirkan? Apa dia benar-benar ingin menambah istri dalam keadaan ekonomi kami yang serba kekurangan? Apa uang sedikit yang selalu dia berikan padaku harus aku bagi dua dengan adik madu? Empat ratus ribu untuk setengah bulan akan jadi dua ratus ribu untuk setengah bulan? Keterlaluan
POV Ustadz HilalSeharusnya aku menemani istriku pergi ke pasar untuk beli gamis baru. Sayangnya aku baru ingat kalau pagi ini aku sudah ada janji dengan wanita muda yang cantik. Dia seorang janda baru-baru ini. Bukan karena bercerai, melainkan karena suaminya meninggal. Dia tipikal wanita alim idaman yang cantik dengan kerudung menutup dada. Bukan janda pirang dan sejenisnya. "Assalamualaikum, Ustadz .... Maaf saya terlambat. Tadi ban motor saya miris.""Waalaikum Salam, Suci ... Tidak apa-apa. Ayo, kita makan dulu. Kebetulan saya belum makan siang." Kusambut kedatangan wanita cantik itu dengan ramah. Dia ingin mengulurkan tangan dan aku membalasnya dengan tangkupan tangan di depan dada. Seandainya tidak berdosa ... aku ingin lebih dari itu. Astagfirullah ... Sadarlah Hilal! Dia bukan mahrammu. Syaitan memang selalu saja membuat tipu daya. Dan seburuk-buruknya tipu daya adalah tipu daya wanita."Maaf, Ustadz. Saya lupa." Penolakanku membuat Suci tampak tidak enak. Ah, dasar wanita
Aku berhasil membeli gamis seharga delapan puluh lima ribu dipasar. Gamis ini memang tampak sederhana. Tapi aku suka dengan motifnya. Berlatar hitam dengan bunga sakura pink kecil-kecil. Mas Hilal selalu menyuruhku membeli pakaian hitam. Dia tidak pernah membuatku tampak mencolok. Menurut suamiku, istri hanya boleh meminta perhatian pada suaminya. Bukan orang lain. Kusimpan uang lima belas ribu. Meski taat begini, diam-diam aku juga membangkang. Aku sudah mengumpulkan beberapa ratus ribu dalam dua tahun ini. Ketika belum menikah, aku ingat pesan dari guruku. Perempuan harus pandai menyimpan uang. Kita tidak tahu kapan suami meninggal atau hilang kepelukan wanita lain. Bergantung boleh, tapi jangan terlalu. Jadilah aku menyeludupkan dua atau tiga ribu rupiah dari uang nafkah. Kalau sedang beruntung, aku bisa menabung banyak. Seperti sekarang. Lima belas ribu rupiah untuk ditabung adalah uang yang sangat banyak. "Mas ... cantikkan?" Aku berputar di depan suamiku yang membawa masuk put
Di acara walimah, suamiku disambut layaknya raja dari negeri seberang. Dia begitu dihormati orang-orang. Semua ingin mencium tangannya. Namun Mas Hilal tidak menerima ciuman tangan. Dia menganggap semua orang setara dengan dirinya. "Jangan anggap saya lebih tinggi dari kalian ya .... Saya juga manusia yang punya banyak salah dosa. Jangan cium tangan saya bapak-bapak ... Kalian lebih tua dari saya. Dimana adab saya?"Mas Hilal terus menerus mengulang kata-katanya sambil tersenyum. Sementara aku terus berada dibalik punggungnya. Mengamati dibalik masker hitam. Tidak ada yang memperhatikanku karena mengira aku hanya orang asing yang menguntit. Suami benar-benar memperlakukan orang disekelilingnya dengan lembut. Langkah kami menuju mempelai pengantin di pelaminan juga menjadi sangat lambat karena banyak yang ingin bicara dengan Mas Hilal. Akhirnya kami sampai juga dipelaminan. Mas Hilal mengucapkan selamat dan mendoakan pernikahan sang mempelai pria yang merupakan jamaahnya agar selalu
POV Ustadz Hilal"Gimana menurut Emak?"Aku akhirnya tidak tahan lagi. Kedekatan kami semakin lama semakin membuatku gelisah. Apalagi Suci selalu mengirim pesan untuk mengingatkanku agar tidak lupa makan siang. Dia benar-benar wanita yang perhatian. Emak mengukur-ukur dari sudut pandangnya. Ini pernikahan kedua dan menantu kedua emak tentulah yang sesuai dengan kriterianya. "Memangnya dia punya apa?""Kecantikan tidak penting disini. Jika dia kaya, dia bisa cantik. Satu lagi, dia juga harus bukan wanita yang pintar. Kalau dia pintar, maka dia yang akan memimpin." Emak mulai mengajariku. Memberi petuah dan bayangan bagaimana aku bisa bersikap. "Dia kaya, Mak. Dia janda muda. Suaminya meninggal. Dia punya bisnis toko kue dan laundri. Ibunya juga seorang janda. Pegawai negeri dan kerja jadi gurup tetap disekolah dasar.""Gaji UMR!" Emak mencibir. Tapi sekejap kemudian tangannya melambai," Ambil saja. Tak apa. Lebih baik daripada tidak sama sekali dan cuma duduk manis dirumah kaya istr
POV Ustadz Hilal"Awas saja kalau air mata kamu jatuh. Kucekik anakmu!" Kubisikkan ancaman ditelinga istriku yang memakai pakaian serba hitam dihari pernikahanku. Aku memakai pakaian serba putih. Emak dan Dewi juga. Hanya Toybah yang berbeda. Istri bodoh ini datang kepernikahan suaminya dengan pakaian berkabung. Apa dia pikir pernikahanku akan diadakan di pemakaman?Mobil yang kusewa terus melaju menuju rumah Suci. Walimah pernikahan sedernana kami akan diadakan disana. Aku tidak sabar untuk malam pertama dengan janda seksi yang cantik itu. Jauh berbeda dengan wanita disebelahku yang kurus kering dengan tubuh seperti papan. "Toybah! Bawa seserahan ini masuk ke dalam. Ibu sibuk mau video Hilal." Ibu mertua langsung meletakkan kotak seserahan ditanganku. Syifa ada dipangkuan Dewi. Adik iparku tampak tidak senang mengasuh keponakannya. Namun kali ini dia memilih diam saja. Tidak banyak protes seperti biasanya.Sebelum keluar dari mobil, Mas Hilal menahan tanganku. Wajahnya yang tampan
"Buka baju kamu cepat!""Mas ... ini hari raya," Ucapku dengan wajah memelas. Berharap belas kasihan suamiku. Kulirik bayi kami yang masih berusia sebelah bulan. Dia sedang terlelap setelah puas menangis karena air susuku tak kunjung keluar. Suara takbir menggema di luar. Menyeru kaum muslimin merayakan kemenangan."Kamu akan dilaknat malaikat kalau berani menolak ajakan suami!" Sebuah tendangan mendarat ke punggungku. Tidak ada yang bisa kulakukan selain menghela nafas panjang ketika suamiku melucuti semua pakaianku.***Setelah menuntaskan hajatnya dengan brutal, suamiku langsung memakai pakaiannya. "Kamu mau kemana, Mas?""Kemana lagi? Ya ke lapangan lah! Kambingku ada tiga ekor disana."Rasa sakit hati tadi berubah menjadi secercah harapan. Akhirnya ... setelah setahun lebih aku bisa menikmati daging yang empuk lagi setelah setiap hari hanya makan tahu, tempe dan sayuran yang kupetik dari halaman belakang."Kamu berqurban, Mas?" Meski suamiku tidak mencukupiku dirumah, aku tida