Beranda / Romansa / Daging Qurban Pemberian Suamiku / Suci Menggatal Suami Suka

Share

Suci Menggatal Suami Suka

Di acara walimah, suamiku disambut layaknya raja dari negeri seberang. Dia begitu dihormati orang-orang. Semua ingin mencium tangannya. Namun Mas Hilal tidak menerima ciuman tangan. Dia menganggap semua orang setara dengan dirinya.

"Jangan anggap saya lebih tinggi dari kalian ya .... Saya juga manusia yang punya banyak salah dosa. Jangan cium tangan saya bapak-bapak ... Kalian lebih tua dari saya. Dimana adab saya?"

Mas Hilal terus menerus mengulang kata-katanya sambil tersenyum. Sementara aku terus berada dibalik punggungnya. Mengamati dibalik masker hitam. Tidak ada yang memperhatikanku karena mengira aku hanya orang asing yang menguntit.

Suami benar-benar memperlakukan orang disekelilingnya dengan lembut. Langkah kami menuju mempelai pengantin di pelaminan juga menjadi sangat lambat karena banyak yang ingin bicara dengan Mas Hilal.

Akhirnya kami sampai juga dipelaminan. Mas Hilal mengucapkan selamat dan mendoakan pernikahan sang mempelai pria yang merupakan jamaahnya agar selalu sakinah, mawadaddah dan warrohmah. Aku malah sibuk menilai si pengantin wanita. Pengantin wanita tampak seperti cucu jika disandingkan dengan suaminya. Diakah yang dimaksud Mas Hilal sebagai janda muda yang butuh bantuan?

Selesai bersalaman, Mas Hilal mengajakku ke meja paling ujung untuk menyantap makanan. Seorang wanita muda muncul di depan kami.

"Boleh saya ikut makan disini, Ustadz?" wanita itu sangat cantik. Dia memakai gaun pink yang mencolok dan kerudung dari satin dengan aksesoris yang mewah. Aku melihat dari sisi lain meja bundar ini dan merasa sedih melihat suamiku sangat pantas bersanding dengannya dibanding dengan aku yang tampak seperti pelayan.

"Boleh, Mbak Suci. Sendirian?" Mas Hilal menanggapinya dengan sumringah. Jadi suamiku dan wanita bernama Suci ini sudah saling mengenal?

"Iya nih, Pak Ustadz. Pak Ustadz tahu sendirikan kalau saya seorang janda? Makanya saya mengurus akta kematian almarhumah suami biar saya bisa menikah lagi," Suci melirikku sesaat dan nyeletuk, "gimana rasanya kue yang saya kirimkan kemarin, Bu Ustadzah? Enak?"

Kue? Kue apa? Mas Hilal mengedipkan mata dan tersenyum. Aku tahu, inilah saatnya aku bersandiwara.

"Enak banget kuenya, Dik. Saya makan sampai habis loh." Aku menjawab sambil menambahkan tawa yang garing. Benak ini dipenuhi tanda tanya.

"Wah ... saya senang banget loh. Ngomong-ngomong, boleh nggak kapan-kapan saya mau bertamu? Saya kesepian dirumah soalnya." Suci ini kenapa tampak menggatal ya pada suamiku? Aku tahu suamiku memang tampan. Tapi, apa dia tidak bisa melihat kalau aku sebagai istri Mas Hilal ada disini?

"Ruma kami selalu terbuka untuk kehadiran tamu. Kabari saja sehari sebelumnya biar saya bisa beres-beres rumah. Rumah kami berantakan, Mbak. Istri saya gak sempat bersih-bersih. Kami punya bayi kecil. Jadi saya yang bersih-bersih dan masak dirumah."

Hah?

Suci menatap kagum pada Mas Hilal. "Masya Allah ... Ustadz Hilal ini benar-benar tipe suami idaman. Beruntung sekali Bu Ustadzah dapat suami kayak Ustadz Hilal."

"Alhamdulillah ...." Mulutku kelu untuk berkata banyak. Apalagi baru mendengar dusta yang keluar dari mulut suamiku. Kenapa Mas Hilal malah cari muka? Apa dia sedang mencari perhatian Suci?

Kuamati dengan seksama. Arah tubuh suamiku lebih condong dengan Susi dibandingkan denganku. Mereka juga banyak bercakap-cakap. Mas Hilal rupanya risih juga dipandangi sedemikian rupa. Dia menyuruhku makan.

"Kamu habiskan makanan kamu ya, sayang. Kalau sudah, kita pulang."

Akhirnya kulepas masker ini. Beruntung ada Suci disini jadi aku bisa makan. Eh, apa aku harus berterima kasih pada janda muda yang menggatal ini?

Wajah istri tua mempelai pria yang ada dipelaminan mendampingi suaminya tampak lelah. Gurat kesedihan begitu kentara meski sudah dipoles dengan make up tebal. Padahal istri tua juga cantik. Dia yang menemani suami dari nol, ketika suaminya sudah mencapai puncak, suaminya malah membawa orang lain agar ikut menikmati kapal rumah tangga yang berlayar dengan tenang.

Apa nasibku juga begitu? Mas Hilal dan wanita bernama Suci berbincang dengan intens. Kadang Mas Hilal memakai kiasan dan Suci tertawa.

"Mas ... aku sudah selesai makan. Ayo kita pulang."

Suci tersenyum aneh. Seperti tidak rela jika suamiku pergi. Kali ini, kuseret tangan suamiku agar sampai diparkiran dengan cepat. Tentu saja Mas Hilal tidak akan mungkin menepisnya apalagi mengkritikku dengan tajam di depan umum. Dia harus menjaga citranya di mata masyarakat dan jemaahnya.

***

"Kasar banget kamu, ya. Berani kamu tarik-tarik tangan aku depan Suci?"

Mas Hilal langsung mengkritikku ketika kami dalam perjalanan pulang. Aku tidak takut kali ini. Emosi ini tidak bisa ditahan-tahan. Wajar saja aku cemburu. Siapa yang bisa santai melihat suaminya tampak bahagia dengan perempuan lain?

"Aku gak suka liat kamu sedekat itu apalagi sama wanita. Kamu kan suami aku, Mas!" Seruku. Mas Hilal diam. Apa kali ini dia akan meminta maaf seperti yang biasa aku lakukan padanya?

Motor kembali melaju. Mas Hilal tetap mengemudi dengan santai seolah tidak terjadi apa-apa diantara kami.

"Jadi ... kamu cemburu?"

Aku terdiam. "Ayo jawab! Kamu cemburu kan?"

Aku tidak menjawab. Mas Hilal terus mendesak sampai aku muak dan mengatakan kalau aku cemburu.

Tawa Mas Hilal pecah. "Toybah ... Toybah. Jadi kamu pikir apa? Aku selingkuh sama Suci? Ya enggaklah. Ngapain juga aku selingkuh. Kalau aku mau, mending aku nikahin langsung biar halal."

Legaku berubah menjadi sesak. "Kamu serius mau nikah lagi sama dia?"

"Emangnya dia mau sama suami kamu ini? Mas cuma kerja di kantor desa dan isi kajian dari kampung ke kampung. Mas punya apa? Rumah yang kita tempati juga rumah warisan mendiang orang tua kamu, kan?"

Aku diam. Aku yang salah. Aku yang terlalu berpikir macam-macam sampai melayangkan tuduhan pada suamiku. Akhirnya ....

"Mas, aku minta maaf. Aku pikir kamu selingkuh. Soalnya ... kue yang dimaksud Suci nggak ada kamu bawa pulang." Dengan berat, kujelaskan alasanku mengapa cemburu. Ada sedikit perasaan malu sebab masalah yang muncul selalu saja berkaitan dengan makanan. Apa suamiku melihat aku seperti mahkluk yang rakus akan makanan?

"Oh ... kue. Sudah aku kasih ke emak. Kemarin waktu kamu beli baju, aku sama Suci ketemuan di resto. Dia minta uruskan akta kematian suaminya. Dia bayarin makan aku dan dia pulang. Terus dia titip kue. Aku kasih ke emak soalnya sebelum pulang aku singgah dulu ke rumah emak buat jemput Syifa." Mas Hilal memberi penjelasan panjang lebar.

Aku sekali lagi meminta maaf padanya. Mas Hilal memaafkanku. Tapi aku tidak bisa memaafkan bagaimana cara Mas Hilal royal sekali dengan makanan enak pada orang lain dibanding aku, istrinya. Membayangkan kue yang dimaksud Suci membuat air liurku hampir menetes.

"Sayang ... menurut kamu, Suci pantas nggak jadi istri keduaku?"

Pertanyaan yang seumur hidup tidak akan pernah siap aku jawab.

"Kalau Mas mau nikah lagi, kamu setuju?"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status