Di acara walimah, suamiku disambut layaknya raja dari negeri seberang. Dia begitu dihormati orang-orang. Semua ingin mencium tangannya. Namun Mas Hilal tidak menerima ciuman tangan. Dia menganggap semua orang setara dengan dirinya.
"Jangan anggap saya lebih tinggi dari kalian ya .... Saya juga manusia yang punya banyak salah dosa. Jangan cium tangan saya bapak-bapak ... Kalian lebih tua dari saya. Dimana adab saya?"Mas Hilal terus menerus mengulang kata-katanya sambil tersenyum. Sementara aku terus berada dibalik punggungnya. Mengamati dibalik masker hitam. Tidak ada yang memperhatikanku karena mengira aku hanya orang asing yang menguntit.Suami benar-benar memperlakukan orang disekelilingnya dengan lembut. Langkah kami menuju mempelai pengantin di pelaminan juga menjadi sangat lambat karena banyak yang ingin bicara dengan Mas Hilal.Akhirnya kami sampai juga dipelaminan. Mas Hilal mengucapkan selamat dan mendoakan pernikahan sang mempelai pria yang merupakan jamaahnya agar selalu sakinah, mawadaddah dan warrohmah. Aku malah sibuk menilai si pengantin wanita. Pengantin wanita tampak seperti cucu jika disandingkan dengan suaminya. Diakah yang dimaksud Mas Hilal sebagai janda muda yang butuh bantuan?Selesai bersalaman, Mas Hilal mengajakku ke meja paling ujung untuk menyantap makanan. Seorang wanita muda muncul di depan kami."Boleh saya ikut makan disini, Ustadz?" wanita itu sangat cantik. Dia memakai gaun pink yang mencolok dan kerudung dari satin dengan aksesoris yang mewah. Aku melihat dari sisi lain meja bundar ini dan merasa sedih melihat suamiku sangat pantas bersanding dengannya dibanding dengan aku yang tampak seperti pelayan."Boleh, Mbak Suci. Sendirian?" Mas Hilal menanggapinya dengan sumringah. Jadi suamiku dan wanita bernama Suci ini sudah saling mengenal?"Iya nih, Pak Ustadz. Pak Ustadz tahu sendirikan kalau saya seorang janda? Makanya saya mengurus akta kematian almarhumah suami biar saya bisa menikah lagi," Suci melirikku sesaat dan nyeletuk, "gimana rasanya kue yang saya kirimkan kemarin, Bu Ustadzah? Enak?"Kue? Kue apa? Mas Hilal mengedipkan mata dan tersenyum. Aku tahu, inilah saatnya aku bersandiwara."Enak banget kuenya, Dik. Saya makan sampai habis loh." Aku menjawab sambil menambahkan tawa yang garing. Benak ini dipenuhi tanda tanya."Wah ... saya senang banget loh. Ngomong-ngomong, boleh nggak kapan-kapan saya mau bertamu? Saya kesepian dirumah soalnya." Suci ini kenapa tampak menggatal ya pada suamiku? Aku tahu suamiku memang tampan. Tapi, apa dia tidak bisa melihat kalau aku sebagai istri Mas Hilal ada disini?"Ruma kami selalu terbuka untuk kehadiran tamu. Kabari saja sehari sebelumnya biar saya bisa beres-beres rumah. Rumah kami berantakan, Mbak. Istri saya gak sempat bersih-bersih. Kami punya bayi kecil. Jadi saya yang bersih-bersih dan masak dirumah."Hah?Suci menatap kagum pada Mas Hilal. "Masya Allah ... Ustadz Hilal ini benar-benar tipe suami idaman. Beruntung sekali Bu Ustadzah dapat suami kayak Ustadz Hilal.""Alhamdulillah ...." Mulutku kelu untuk berkata banyak. Apalagi baru mendengar dusta yang keluar dari mulut suamiku. Kenapa Mas Hilal malah cari muka? Apa dia sedang mencari perhatian Suci?Kuamati dengan seksama. Arah tubuh suamiku lebih condong dengan Susi dibandingkan denganku. Mereka juga banyak bercakap-cakap. Mas Hilal rupanya risih juga dipandangi sedemikian rupa. Dia menyuruhku makan."Kamu habiskan makanan kamu ya, sayang. Kalau sudah, kita pulang."Akhirnya kulepas masker ini. Beruntung ada Suci disini jadi aku bisa makan. Eh, apa aku harus berterima kasih pada janda muda yang menggatal ini?Wajah istri tua mempelai pria yang ada dipelaminan mendampingi suaminya tampak lelah. Gurat kesedihan begitu kentara meski sudah dipoles dengan make up tebal. Padahal istri tua juga cantik. Dia yang menemani suami dari nol, ketika suaminya sudah mencapai puncak, suaminya malah membawa orang lain agar ikut menikmati kapal rumah tangga yang berlayar dengan tenang.Apa nasibku juga begitu? Mas Hilal dan wanita bernama Suci berbincang dengan intens. Kadang Mas Hilal memakai kiasan dan Suci tertawa."Mas ... aku sudah selesai makan. Ayo kita pulang."Suci tersenyum aneh. Seperti tidak rela jika suamiku pergi. Kali ini, kuseret tangan suamiku agar sampai diparkiran dengan cepat. Tentu saja Mas Hilal tidak akan mungkin menepisnya apalagi mengkritikku dengan tajam di depan umum. Dia harus menjaga citranya di mata masyarakat dan jemaahnya.***"Kasar banget kamu, ya. Berani kamu tarik-tarik tangan aku depan Suci?"Mas Hilal langsung mengkritikku ketika kami dalam perjalanan pulang. Aku tidak takut kali ini. Emosi ini tidak bisa ditahan-tahan. Wajar saja aku cemburu. Siapa yang bisa santai melihat suaminya tampak bahagia dengan perempuan lain?"Aku gak suka liat kamu sedekat itu apalagi sama wanita. Kamu kan suami aku, Mas!" Seruku. Mas Hilal diam. Apa kali ini dia akan meminta maaf seperti yang biasa aku lakukan padanya?Motor kembali melaju. Mas Hilal tetap mengemudi dengan santai seolah tidak terjadi apa-apa diantara kami."Jadi ... kamu cemburu?"Aku terdiam. "Ayo jawab! Kamu cemburu kan?" Aku tidak menjawab. Mas Hilal terus mendesak sampai aku muak dan mengatakan kalau aku cemburu.Tawa Mas Hilal pecah. "Toybah ... Toybah. Jadi kamu pikir apa? Aku selingkuh sama Suci? Ya enggaklah. Ngapain juga aku selingkuh. Kalau aku mau, mending aku nikahin langsung biar halal."Legaku berubah menjadi sesak. "Kamu serius mau nikah lagi sama dia?""Emangnya dia mau sama suami kamu ini? Mas cuma kerja di kantor desa dan isi kajian dari kampung ke kampung. Mas punya apa? Rumah yang kita tempati juga rumah warisan mendiang orang tua kamu, kan?"Aku diam. Aku yang salah. Aku yang terlalu berpikir macam-macam sampai melayangkan tuduhan pada suamiku. Akhirnya ...."Mas, aku minta maaf. Aku pikir kamu selingkuh. Soalnya ... kue yang dimaksud Suci nggak ada kamu bawa pulang." Dengan berat, kujelaskan alasanku mengapa cemburu. Ada sedikit perasaan malu sebab masalah yang muncul selalu saja berkaitan dengan makanan. Apa suamiku melihat aku seperti mahkluk yang rakus akan makanan?"Oh ... kue. Sudah aku kasih ke emak. Kemarin waktu kamu beli baju, aku sama Suci ketemuan di resto. Dia minta uruskan akta kematian suaminya. Dia bayarin makan aku dan dia pulang. Terus dia titip kue. Aku kasih ke emak soalnya sebelum pulang aku singgah dulu ke rumah emak buat jemput Syifa." Mas Hilal memberi penjelasan panjang lebar.Aku sekali lagi meminta maaf padanya. Mas Hilal memaafkanku. Tapi aku tidak bisa memaafkan bagaimana cara Mas Hilal royal sekali dengan makanan enak pada orang lain dibanding aku, istrinya. Membayangkan kue yang dimaksud Suci membuat air liurku hampir menetes."Sayang ... menurut kamu, Suci pantas nggak jadi istri keduaku?"Pertanyaan yang seumur hidup tidak akan pernah siap aku jawab."Kalau Mas mau nikah lagi, kamu setuju?"POV Ustadz Hilal"Gimana menurut Emak?"Aku akhirnya tidak tahan lagi. Kedekatan kami semakin lama semakin membuatku gelisah. Apalagi Suci selalu mengirim pesan untuk mengingatkanku agar tidak lupa makan siang. Dia benar-benar wanita yang perhatian. Emak mengukur-ukur dari sudut pandangnya. Ini pernikahan kedua dan menantu kedua emak tentulah yang sesuai dengan kriterianya. "Memangnya dia punya apa?""Kecantikan tidak penting disini. Jika dia kaya, dia bisa cantik. Satu lagi, dia juga harus bukan wanita yang pintar. Kalau dia pintar, maka dia yang akan memimpin." Emak mulai mengajariku. Memberi petuah dan bayangan bagaimana aku bisa bersikap. "Dia kaya, Mak. Dia janda muda. Suaminya meninggal. Dia punya bisnis toko kue dan laundri. Ibunya juga seorang janda. Pegawai negeri dan kerja jadi gurup tetap disekolah dasar.""Gaji UMR!" Emak mencibir. Tapi sekejap kemudian tangannya melambai," Ambil saja. Tak apa. Lebih baik daripada tidak sama sekali dan cuma duduk manis dirumah kaya istr
POV Ustadz Hilal"Awas saja kalau air mata kamu jatuh. Kucekik anakmu!" Kubisikkan ancaman ditelinga istriku yang memakai pakaian serba hitam dihari pernikahanku. Aku memakai pakaian serba putih. Emak dan Dewi juga. Hanya Toybah yang berbeda. Istri bodoh ini datang kepernikahan suaminya dengan pakaian berkabung. Apa dia pikir pernikahanku akan diadakan di pemakaman?Mobil yang kusewa terus melaju menuju rumah Suci. Walimah pernikahan sedernana kami akan diadakan disana. Aku tidak sabar untuk malam pertama dengan janda seksi yang cantik itu. Jauh berbeda dengan wanita disebelahku yang kurus kering dengan tubuh seperti papan. "Toybah! Bawa seserahan ini masuk ke dalam. Ibu sibuk mau video Hilal." Ibu mertua langsung meletakkan kotak seserahan ditanganku. Syifa ada dipangkuan Dewi. Adik iparku tampak tidak senang mengasuh keponakannya. Namun kali ini dia memilih diam saja. Tidak banyak protes seperti biasanya.Sebelum keluar dari mobil, Mas Hilal menahan tanganku. Wajahnya yang tampan
"Buka baju kamu cepat!""Mas ... ini hari raya," Ucapku dengan wajah memelas. Berharap belas kasihan suamiku. Kulirik bayi kami yang masih berusia sebelah bulan. Dia sedang terlelap setelah puas menangis karena air susuku tak kunjung keluar. Suara takbir menggema di luar. Menyeru kaum muslimin merayakan kemenangan."Kamu akan dilaknat malaikat kalau berani menolak ajakan suami!" Sebuah tendangan mendarat ke punggungku. Tidak ada yang bisa kulakukan selain menghela nafas panjang ketika suamiku melucuti semua pakaianku.***Setelah menuntaskan hajatnya dengan brutal, suamiku langsung memakai pakaiannya. "Kamu mau kemana, Mas?""Kemana lagi? Ya ke lapangan lah! Kambingku ada tiga ekor disana."Rasa sakit hati tadi berubah menjadi secercah harapan. Akhirnya ... setelah setahun lebih aku bisa menikmati daging yang empuk lagi setelah setiap hari hanya makan tahu, tempe dan sayuran yang kupetik dari halaman belakang."Kamu berqurban, Mas?" Meski suamiku tidak mencukupiku dirumah, aku tida
"Bangun kamu! Sudah subuh!"Tendangan di wajah, membuatku terbangun. Remuk rasanya tubuh ringkih ini. Ternyata semalaman aku tidur dilantai yang dingin. Syifa! Ah, putriku pasti baik-baik saja. Suamiku sangat menyayanginya. Dia pasti telah memberi anak kami susu sewaktu aku pingsan."Sholat subuh cepat," Ucap Mas Hilal. Aku mengangguk dan bergegas pergi kebelakang untuk mengambil air wudhu sebelum suamiku kalap lagi. Tetesan air dingin membuat tubuhku yang sakit menjadi ngilu. Berkali-kali ringisan terdengar. Suara mengeram terdengar dibelakang. Mas Hilal memantau.Setelah aku siap dengan mukena, Mas Hilal keluar. Dia memang imam masjid di kampung ini. Sebelum pergi, suamiku mencium putri kami sebentar. Aku merasa dimasa depan, anakku tidak akan kekurangan kasih sayang seperti aku. Suamiku tidak akan mungkin memperlakukannya seperti dia memperlakukanku. Setiap aku minta dengan penuh permohonan, selalu saja keluar kata-kata yang sama dari mulutnya."Aku begini karena ingin mendidik
Jangan bayangkan daging sapi bekas kunyahan yang dibuang lagi itu rasanya mirip seperti steak bintang lima. Daging itu alot, bau bekas liur dan tentu saja keras. "Gila istri kamu. Sinting!""Biarkan aja dia, Mak. Akalnya dari dulu emang kurang," Ucap suamiku. Mas Hilal memandangku dengan jijik seolah-olah dia baru saja menikahi gelandangan yang sudah tiga hari tidak makan. Padahal ini akibat perbuatannya. Aku sudah susah payah memotong dan menjerang daging agar empuk dan dia bahkan tidak memberiku barang setusuk sate yang mereka bakar. Keterlaluan. Sayangnya aku tidak bisa marah."Kalau sudah selesai, kamu langsung mandi. Aku mau isi kajian habis ashar. Kalau aku sudah pulang, awas saja rumah masih berantakan dan kamu masih bau. Aku gak suka. Istri yang baik itu wajib menyenangkan suaminya. Ingat, kamu itu bukan bidadari dari neraka. Pelacur saja lebih baik penampilannya daripada kamu."Mas Hilal bicara enteng seolah-olah aku baru saja makan daging yang bersih dan nikmat yang dihid
"Nak .... mama senang banget. Akhirnya tahun ini bisa juga makan daging qurban. Rasanya enak banget, Nak. Beda sama daging yang mama pungut disampah bekas orang tadi."Aku bercerita pada putriku. Dia hanya bisa mengoceh sambil memberi senyum terbaiknya. Anakku... meski kamu belum bisa bicara, aku tahu kamu mengerti apa yang aku katakan. "Jangan sampai ayah tahu ya, Nak kalau mama cerita sama kamu. Nanti mama dipukul sama ayah." Sambungku. Syifa tertawa. Dia lebih peduli dengan mainan yang dipegangnya dibanding ceritaku. Anakku yang manis. Semoga kelak engkau menjadi anak yang berbakti pada orang tua dan menjadi alasan untukku tersenyum.***Kesabaran akan membuahkan hasil yang manis meski bersabar saat ujian mendera, rasanya sangat pahit. Akhirnya aku mendapat hadiah atas kesabaranku. Tadi sore aku menyantap sate kambing sendirian diam-diam dan sekarang Mas Hilak pulang membawa banyak makanan."Ini buat kamu, istriku. Makan yang banyak, ya. Kuperhatikan badan kamu kurus banget sekara
"Jadi kamu mau nikah lagi?"Mas Hilal tertawa melihat perubahan air mukaku yang mendadak suram. Dia memelukku tapi kata-katanya menyakitiku. Apa benar kata pepatah lama bahwa racun bisa menjadi obat? Suamiku sering menyakitiku dan dia juga yang menyembuhkan lukanya. Seringkali aku hampir meregang nyawa ditangannya dan dia merawatku dengan baik sampai aku kembali sembuh."Itu yang kamu pikirkan? Hahaha. Sayang ... memangnya kalau aku nikah lagi kamu setuju, hm?"Suara lembut dengan tatapan penuh ancaman membuatku harus mengangguk. "Bukankah kamu pernah bilang kalau istri yang rela dimadu akan mendapat balasan surga?"Mas Hilal mengelus rambutku dengan lembut. Pandangannya menerawang ke dinding. Apa yang dia pikirkan? Apa dia benar-benar ingin menambah istri dalam keadaan ekonomi kami yang serba kekurangan? Apa uang sedikit yang selalu dia berikan padaku harus aku bagi dua dengan adik madu? Empat ratus ribu untuk setengah bulan akan jadi dua ratus ribu untuk setengah bulan? Keterlaluan
POV Ustadz HilalSeharusnya aku menemani istriku pergi ke pasar untuk beli gamis baru. Sayangnya aku baru ingat kalau pagi ini aku sudah ada janji dengan wanita muda yang cantik. Dia seorang janda baru-baru ini. Bukan karena bercerai, melainkan karena suaminya meninggal. Dia tipikal wanita alim idaman yang cantik dengan kerudung menutup dada. Bukan janda pirang dan sejenisnya. "Assalamualaikum, Ustadz .... Maaf saya terlambat. Tadi ban motor saya miris.""Waalaikum Salam, Suci ... Tidak apa-apa. Ayo, kita makan dulu. Kebetulan saya belum makan siang." Kusambut kedatangan wanita cantik itu dengan ramah. Dia ingin mengulurkan tangan dan aku membalasnya dengan tangkupan tangan di depan dada. Seandainya tidak berdosa ... aku ingin lebih dari itu. Astagfirullah ... Sadarlah Hilal! Dia bukan mahrammu. Syaitan memang selalu saja membuat tipu daya. Dan seburuk-buruknya tipu daya adalah tipu daya wanita."Maaf, Ustadz. Saya lupa." Penolakanku membuat Suci tampak tidak enak. Ah, dasar wanita