"Bangun kamu! Sudah subuh!"
Tendangan di wajah, membuatku terbangun. Remuk rasanya tubuh ringkih ini. Ternyata semalaman aku tidur dilantai yang dingin.Syifa! Ah, putriku pasti baik-baik saja. Suamiku sangat menyayanginya. Dia pasti telah memberi anak kami susu sewaktu aku pingsan."Sholat subuh cepat," Ucap Mas Hilal. Aku mengangguk dan bergegas pergi kebelakang untuk mengambil air wudhu sebelum suamiku kalap lagi.Tetesan air dingin membuat tubuhku yang sakit menjadi ngilu. Berkali-kali ringisan terdengar. Suara mengeram terdengar dibelakang. Mas Hilal memantau.Setelah aku siap dengan mukena, Mas Hilal keluar. Dia memang imam masjid di kampung ini. Sebelum pergi, suamiku mencium putri kami sebentar. Aku merasa dimasa depan, anakku tidak akan kekurangan kasih sayang seperti aku. Suamiku tidak akan mungkin memperlakukannya seperti dia memperlakukanku. Setiap aku minta dengan penuh permohonan, selalu saja keluar kata-kata yang sama dari mulutnya."Aku begini karena ingin mendidik kamu! Jangan anggap aku sebagai penjahat. Di akhirat nanti, aku yang bertanggung jawab atas semua dosa-dosa kamu!"Selalu saja begitu. Mendidik. Pertanggung jawaban. Dua kata yang tidak pernah selesai. Seperti kehidupanku yang belum selesai. Suamiku selalu memakai alasan yang sama. Jika wajahku mulai berubah, dia tahu aku protes. Maka Mas Hilal tidak segan-segan mengeluarkan dalil dan hadist-hadist serta kutipan ceramah dari ustadz-ustadz yang pernah dia ikuti.Semua memang salahku. Aku istri yang tidak bersyukur.***"Banyak banget, Mas. Kamu dapat dari mana?"Sepulang sholat subuh, Mas Hilal membawa satu kresek hitam penuh daging sapi. Aroma daging menguar tajam mengusik penciuman. Keinginanku akhirnya terkabul. Rasanya mirip seperti mendapat air digurun sahara. Melegakan ketika harapan terpenuhi."Tolong potongin daging ini kecil-kecil. Tapi jangan dimasak dulu. Mau dibikin sate sama emak. Nanti siang emak sama adikku kesini. Kamu bikim bumbu sambel kacang yang enak. Jangan lupa masukin garamnya lumayan banyak biar asinnya kerasa.""Baik, Mas. Nanti aku potong-potong habis masak nasi goreng, ya?""Terserah kamu. Yang penting sebelum emak datang, dagingnya sudah dipotong kecil-kecil." Mas Hilal berlalu. Senyuman menyungging diwajahnya. Berarti hari ini perasaan suamiku sedang baik. Aku tidak boleh melewatkan kesempatan ini.Menjadi istri yang berbakti sangatlah sulit. Rasanya seperti budak sahaya yang tidak punya hak bersuara dan menjadi apa yang diinginkan. Hanya saja, inilah jalan menuju ridho. Apapun akan dilakukan demi mendapat surga-Nya.Pukul sembilan pagi, Emak dan adik iparku muncul. Aku langsung mencium tangan ibu mertuaku dan menyambutnya dengan takzim. Kuambil tas tangannya dan langsung membawanya masuk ke dalam."Emak mau minum apa? Biar Toybah buatkan." Tawarku."Emangnya kamu punya apa?" Tanya emak. Raut wajahnya memang selalu sinis. Mungkin karena beliau tidak terbiasa dengan orang asing dan masih belum bisa menganggap menantu seperti putrinya sendiri."Keluarkan saja semua yang kamu punya. Emangnya kamu punya apa, sih? Sok banget. Lagaknya kayak orang kaya aja." Dewi ikut menambahkan sambil mencibir. Adik iparku itu selalu saja memandang rendah aku. Pasti dia masih tidak percaya kalau aku punya perasaan sayang yang tulus pada mereka semua."Tadi abangmu beli banyak makanan dan minuman buat menyambut kalian," Jawabku. Berusaha mempertahankan senyuman meski ada sedikit pedih di dalam dada.Kutinggalkan emak dan adik ipar yang bersantai diruang tamu. Di pintu dapur, aku berpapasan dengan Mas Hilal. Dia membawa panggangan portabel dan sepanci besar daging yang sudah kupresto dan kupotong kecil."Mau ngapain kamu?""Mau bikinkan emak minum, Mas.""Kalau mau bikin minum, bikin aja banyak-banyak. Yah, cukup buat tiga puluh orang lah. Soalnya teman-temanku mau kesini juga. Kamu keluarkan juga teko besar. Bawakan juga baskom buat es batu."Ternyata ada banyak tamu yang diundang suamiku. Wajar saja, ini suasana lebaran. Aku menganggukkan kepala dan mempersiapkan jamuan dengan sempurna. Suamiku adalah ustadz dikampung ini. Semua orang harus menilai dia sempurna. Dan salah satunya adalah bagaimana caraku memuliakan dan menjamu tamu suamiku layaknya raja.Kuletakkan sirup dingin dan es serut melon di depan ibu mertua. Suamiku langsung melambaikan tangan, memberi perintah agar aku masuk ke dalam. Mengangguk takzim dan terus bertanya-tanya, aku tetap patuh melangkahkan kaki ke kamar."Awas saja kamu keluar. Ingat! Jangan sampai tamuku melihat muka jelek kamu. Baju kamu juga gak ada yang bagus semuanya. Awas saja kalau kamu mempermalukan aku. Nanti aku bilang kamu sakit. Jangan berani-berani melanggar!"Tangisku pecah ketika Mas Hilal menutup pintu. Lagi-lagi harapan sederhana ini sirna. Aku hanya ingin mencicipi sepotong daging dan aku malah dikurungnya dikamar kami.Muka jelek ini dan pakaian buruk ini adalah hasil menjadi istrinya. Kapan aku dibelikan baju baru? Rasanya sudah lama sekali. Mungkin ketika jadi pengantin baru. Dan perawatan wajah? Beli sabun cuci muka saja aku dimaki. Ditandai sebagai istri boros yang bisanya menyusahkan dan makan uang suami. Bahkan Mas Hilal sempat menggosok wajahku dengan sabun cuci piring hanya karena aku menegur bahwa wajah adik iparku sangat glowing karena paket perawatan yang dibelikan suamiku untuknya.Suara gelak tawa terdengar. Pujian demi pujian dan suara cecap nikmat para tamu membuat dada ini semakin sesak. Sate dagingnya sangat enak dan empuk. Tentu saja karena aku sudah memotongnya kecil-kecil dan menyiram sedikit air perasan nanas dan jeruk nipis dengan takaran pas. Ya tuhan ... semoga Mas Hilal mau berbaik hati menyisakan sedikit sate yang saat ini mereka nikmati untukku.Lagi-lagi harapan muncul. Aku wanita penurut yang tidak berani menuntut apa-apa ini, masih saja berbaik sangka dan menaruh harapan besar padahal aku tahu, pasti aku akan terluka lagi.Menunggu membuat mengantuk. Apalagi Syifa terlelap dalam buaian dengan nyenyak. Bayi kecilku sama sekali tidak terganggu apalagi menangis ketika rumah kami dipenuji suara berisik gelak tawa. Ketika aku terbangun, pintu kamar sudah dibuka. Sambil mengucek mata yang masih sedikit mengantuk, kulangkahkan kaki menuju dapur. Berharap ada sisa makanan disana. Berharap ada sisa belas kasihan suamiku disana.Ibu mertua masih disini. Sedang membersihkan sisa-sisa makanan bekas jamuan tadi. "Baru bangun rupanya menantu pemalas ini. Coba saja dia bukan yatim piatu, sudah kusuruh kau ceraikan dia, Lal.""Satenya masih ada, Mas?""Nggak ada! Satenya enak banget jadi kami habiskan semuanya. Salah kamu sendiri sih ketiduran. Bekas sisa satenya sudah dimasukin Ibu dalam kresek sampah."Tanpa mengindahkan tatapan jijik suami dan ibu mertua, kurebut kresek sampah dari tangan ibu mertuaku. Bukan salahku jika aku seperti pengemis. Salah mereka karena tidak berbelas kasih pada yatim piatu sepertiku. Aku hanya ingin makan sate. Bekas daging yang alot yang sudah basah, mungkin sudah dikunyah sekali dan dimuntahkan, segera kutelan sambil memejamkan mata. Akhirnya tuhan mengabulkan keinginanku untuk makan daging meski dengan cara paling menjijikan.Jangan bayangkan daging sapi bekas kunyahan yang dibuang lagi itu rasanya mirip seperti steak bintang lima. Daging itu alot, bau bekas liur dan tentu saja keras. "Gila istri kamu. Sinting!""Biarkan aja dia, Mak. Akalnya dari dulu emang kurang," Ucap suamiku. Mas Hilal memandangku dengan jijik seolah-olah dia baru saja menikahi gelandangan yang sudah tiga hari tidak makan. Padahal ini akibat perbuatannya. Aku sudah susah payah memotong dan menjerang daging agar empuk dan dia bahkan tidak memberiku barang setusuk sate yang mereka bakar. Keterlaluan. Sayangnya aku tidak bisa marah."Kalau sudah selesai, kamu langsung mandi. Aku mau isi kajian habis ashar. Kalau aku sudah pulang, awas saja rumah masih berantakan dan kamu masih bau. Aku gak suka. Istri yang baik itu wajib menyenangkan suaminya. Ingat, kamu itu bukan bidadari dari neraka. Pelacur saja lebih baik penampilannya daripada kamu."Mas Hilal bicara enteng seolah-olah aku baru saja makan daging yang bersih dan nikmat yang dihid
"Nak .... mama senang banget. Akhirnya tahun ini bisa juga makan daging qurban. Rasanya enak banget, Nak. Beda sama daging yang mama pungut disampah bekas orang tadi."Aku bercerita pada putriku. Dia hanya bisa mengoceh sambil memberi senyum terbaiknya. Anakku... meski kamu belum bisa bicara, aku tahu kamu mengerti apa yang aku katakan. "Jangan sampai ayah tahu ya, Nak kalau mama cerita sama kamu. Nanti mama dipukul sama ayah." Sambungku. Syifa tertawa. Dia lebih peduli dengan mainan yang dipegangnya dibanding ceritaku. Anakku yang manis. Semoga kelak engkau menjadi anak yang berbakti pada orang tua dan menjadi alasan untukku tersenyum.***Kesabaran akan membuahkan hasil yang manis meski bersabar saat ujian mendera, rasanya sangat pahit. Akhirnya aku mendapat hadiah atas kesabaranku. Tadi sore aku menyantap sate kambing sendirian diam-diam dan sekarang Mas Hilak pulang membawa banyak makanan."Ini buat kamu, istriku. Makan yang banyak, ya. Kuperhatikan badan kamu kurus banget sekara
"Jadi kamu mau nikah lagi?"Mas Hilal tertawa melihat perubahan air mukaku yang mendadak suram. Dia memelukku tapi kata-katanya menyakitiku. Apa benar kata pepatah lama bahwa racun bisa menjadi obat? Suamiku sering menyakitiku dan dia juga yang menyembuhkan lukanya. Seringkali aku hampir meregang nyawa ditangannya dan dia merawatku dengan baik sampai aku kembali sembuh."Itu yang kamu pikirkan? Hahaha. Sayang ... memangnya kalau aku nikah lagi kamu setuju, hm?"Suara lembut dengan tatapan penuh ancaman membuatku harus mengangguk. "Bukankah kamu pernah bilang kalau istri yang rela dimadu akan mendapat balasan surga?"Mas Hilal mengelus rambutku dengan lembut. Pandangannya menerawang ke dinding. Apa yang dia pikirkan? Apa dia benar-benar ingin menambah istri dalam keadaan ekonomi kami yang serba kekurangan? Apa uang sedikit yang selalu dia berikan padaku harus aku bagi dua dengan adik madu? Empat ratus ribu untuk setengah bulan akan jadi dua ratus ribu untuk setengah bulan? Keterlaluan
POV Ustadz HilalSeharusnya aku menemani istriku pergi ke pasar untuk beli gamis baru. Sayangnya aku baru ingat kalau pagi ini aku sudah ada janji dengan wanita muda yang cantik. Dia seorang janda baru-baru ini. Bukan karena bercerai, melainkan karena suaminya meninggal. Dia tipikal wanita alim idaman yang cantik dengan kerudung menutup dada. Bukan janda pirang dan sejenisnya. "Assalamualaikum, Ustadz .... Maaf saya terlambat. Tadi ban motor saya miris.""Waalaikum Salam, Suci ... Tidak apa-apa. Ayo, kita makan dulu. Kebetulan saya belum makan siang." Kusambut kedatangan wanita cantik itu dengan ramah. Dia ingin mengulurkan tangan dan aku membalasnya dengan tangkupan tangan di depan dada. Seandainya tidak berdosa ... aku ingin lebih dari itu. Astagfirullah ... Sadarlah Hilal! Dia bukan mahrammu. Syaitan memang selalu saja membuat tipu daya. Dan seburuk-buruknya tipu daya adalah tipu daya wanita."Maaf, Ustadz. Saya lupa." Penolakanku membuat Suci tampak tidak enak. Ah, dasar wanita
Aku berhasil membeli gamis seharga delapan puluh lima ribu dipasar. Gamis ini memang tampak sederhana. Tapi aku suka dengan motifnya. Berlatar hitam dengan bunga sakura pink kecil-kecil. Mas Hilal selalu menyuruhku membeli pakaian hitam. Dia tidak pernah membuatku tampak mencolok. Menurut suamiku, istri hanya boleh meminta perhatian pada suaminya. Bukan orang lain. Kusimpan uang lima belas ribu. Meski taat begini, diam-diam aku juga membangkang. Aku sudah mengumpulkan beberapa ratus ribu dalam dua tahun ini. Ketika belum menikah, aku ingat pesan dari guruku. Perempuan harus pandai menyimpan uang. Kita tidak tahu kapan suami meninggal atau hilang kepelukan wanita lain. Bergantung boleh, tapi jangan terlalu. Jadilah aku menyeludupkan dua atau tiga ribu rupiah dari uang nafkah. Kalau sedang beruntung, aku bisa menabung banyak. Seperti sekarang. Lima belas ribu rupiah untuk ditabung adalah uang yang sangat banyak. "Mas ... cantikkan?" Aku berputar di depan suamiku yang membawa masuk put
Di acara walimah, suamiku disambut layaknya raja dari negeri seberang. Dia begitu dihormati orang-orang. Semua ingin mencium tangannya. Namun Mas Hilal tidak menerima ciuman tangan. Dia menganggap semua orang setara dengan dirinya. "Jangan anggap saya lebih tinggi dari kalian ya .... Saya juga manusia yang punya banyak salah dosa. Jangan cium tangan saya bapak-bapak ... Kalian lebih tua dari saya. Dimana adab saya?"Mas Hilal terus menerus mengulang kata-katanya sambil tersenyum. Sementara aku terus berada dibalik punggungnya. Mengamati dibalik masker hitam. Tidak ada yang memperhatikanku karena mengira aku hanya orang asing yang menguntit. Suami benar-benar memperlakukan orang disekelilingnya dengan lembut. Langkah kami menuju mempelai pengantin di pelaminan juga menjadi sangat lambat karena banyak yang ingin bicara dengan Mas Hilal. Akhirnya kami sampai juga dipelaminan. Mas Hilal mengucapkan selamat dan mendoakan pernikahan sang mempelai pria yang merupakan jamaahnya agar selalu
POV Ustadz Hilal"Gimana menurut Emak?"Aku akhirnya tidak tahan lagi. Kedekatan kami semakin lama semakin membuatku gelisah. Apalagi Suci selalu mengirim pesan untuk mengingatkanku agar tidak lupa makan siang. Dia benar-benar wanita yang perhatian. Emak mengukur-ukur dari sudut pandangnya. Ini pernikahan kedua dan menantu kedua emak tentulah yang sesuai dengan kriterianya. "Memangnya dia punya apa?""Kecantikan tidak penting disini. Jika dia kaya, dia bisa cantik. Satu lagi, dia juga harus bukan wanita yang pintar. Kalau dia pintar, maka dia yang akan memimpin." Emak mulai mengajariku. Memberi petuah dan bayangan bagaimana aku bisa bersikap. "Dia kaya, Mak. Dia janda muda. Suaminya meninggal. Dia punya bisnis toko kue dan laundri. Ibunya juga seorang janda. Pegawai negeri dan kerja jadi gurup tetap disekolah dasar.""Gaji UMR!" Emak mencibir. Tapi sekejap kemudian tangannya melambai," Ambil saja. Tak apa. Lebih baik daripada tidak sama sekali dan cuma duduk manis dirumah kaya istr
POV Ustadz Hilal"Awas saja kalau air mata kamu jatuh. Kucekik anakmu!" Kubisikkan ancaman ditelinga istriku yang memakai pakaian serba hitam dihari pernikahanku. Aku memakai pakaian serba putih. Emak dan Dewi juga. Hanya Toybah yang berbeda. Istri bodoh ini datang kepernikahan suaminya dengan pakaian berkabung. Apa dia pikir pernikahanku akan diadakan di pemakaman?Mobil yang kusewa terus melaju menuju rumah Suci. Walimah pernikahan sedernana kami akan diadakan disana. Aku tidak sabar untuk malam pertama dengan janda seksi yang cantik itu. Jauh berbeda dengan wanita disebelahku yang kurus kering dengan tubuh seperti papan. "Toybah! Bawa seserahan ini masuk ke dalam. Ibu sibuk mau video Hilal." Ibu mertua langsung meletakkan kotak seserahan ditanganku. Syifa ada dipangkuan Dewi. Adik iparku tampak tidak senang mengasuh keponakannya. Namun kali ini dia memilih diam saja. Tidak banyak protes seperti biasanya.Sebelum keluar dari mobil, Mas Hilal menahan tanganku. Wajahnya yang tampan