Share

Suci yang Seksi

POV Ustadz Hilal

Seharusnya aku menemani istriku pergi ke pasar untuk beli gamis baru. Sayangnya aku baru ingat kalau pagi ini aku sudah ada janji dengan wanita muda yang cantik. Dia seorang janda baru-baru ini. Bukan karena bercerai, melainkan karena suaminya meninggal. Dia tipikal wanita alim idaman yang cantik dengan kerudung menutup dada. Bukan janda pirang dan sejenisnya.

"Assalamualaikum, Ustadz .... Maaf saya terlambat. Tadi ban motor saya miris."

"Waalaikum Salam, Suci ... Tidak apa-apa. Ayo, kita makan dulu. Kebetulan saya belum makan siang." Kusambut kedatangan wanita cantik itu dengan ramah. Dia ingin mengulurkan tangan dan aku membalasnya dengan tangkupan tangan di depan dada. Seandainya tidak berdosa ... aku ingin lebih dari itu.

Astagfirullah ... Sadarlah Hilal! Dia bukan mahrammu. Syaitan memang selalu saja membuat tipu daya. Dan seburuk-buruknya tipu daya adalah tipu daya wanita.

"Maaf, Ustadz. Saya lupa."

Penolakanku membuat Suci tampak tidak enak. Ah, dasar wanita baik-baik. Dia kelihatan merasa bersalah sekali. Wow. Inilah calon istri idaman yang seharusnya. Cantik dan semok. Bahkan aku bisa menaksir lekuk tubuhnya dari gamis yang dia kenakan. Benar-benar seksi sekali.

"Jadi begini. Saya mau minta tolong ustadz untuk membuatkan akta kematian suami saya. Barangkali nanti saya bertemu dengan imam yang pantas buat saya, saya ingin menikah lagi. Bukannya saya malu dengan status janda, saya hanya menghindari fitnah. Saya sering mengikuti kajian Ustadz dan kebetulan sekali ustadz bekerja di kantor desa."

Kata-kata Suci lembut. Sesejuk angin dari negara bersalju yang mengantar angin dinginnya ke gurun panas menggelegak.

"Iya, saya mengerti. Sebab itulah saja mengajak kamu ketemuan disini saja. Barangkali kamu bisa curhat isi hati kamu dengan saya terkait kehilangan kamu. Atau ... jika kamu butuh bantuan, kamu bisa minta pertolongan saya."

Alis Suci terangkat. Tampaknya dia memahami ucapanku. Namun sebagai wanita muslimah yang baik, dia tidak langsung menanggapi.

"Terima kasih atas bantuannya, Ustadz. Saya membawa semua persyaratannya. Dan ... saya sudah makan dari rumah. Tapi Ustadz tenang saja. Makan siang Ustadz disini, biar saya yang bayar. Hitung-hitung sebagai tanda terima kasih saya karena telah mau mengurus ini. Oh ya, saya juga ada bawa kue dari toko saya. Barangkali istri Ustadz suka ...."

Suci menyodorkan sekotak kue coklat. Aku menatapnya tanpa minat. Sebenarnya aku ingin sekali makan siang dengannya. Namun memaksa Suci tetap tinggal dan menemani hanya akan membuat pamor dan kehormatanku sebagai ustadz yang dihormati.

"Terima kasih."

Ketika Suci berbalik, pantat besarnya benar-benar menggoda. Bergoyang dibalik gamis hijau tua yang longgar. Aku mengusap muka. Jauhkan aku dari zina mata. Segera kualihkan perhatian agar tidak menghayal kemana-mana.

"Istrimu jalan kaki kepasar sendirian, kamu malah makan siang sama janda muda. Apa ini cerminan seorang ustadz? Gimana kalau jamaahmu tahu?"

Sindiran tajam terdengar disebelah kananku. Ternyata Hana. Dia istri seorang pegawai bank. Cih! Wanita muda penggosip yang kemarin sok baik mengantarkan sate untuk istriku. Rupanya dia sedang cari bahan untuk gibahnya.

"Maaf, saya tidak ada urusan dengan kamu. Sebaiknya jaga ucapan kamu atau hanya akan membuat fitnah." Dengan suara lembut, kubalas sindiran Hana.

"Saya tadi ketemu mbak Toybah. Dia panas-panasan jalan kaki sendirian. Ustadz malah enak-enakan makan siang sama wanita lain." Hana mulai nyolot. Ingin sekali kucoreng wajahnya dengan arang. Kasihan sekali Bram. Punya istri bermulut nyinyir seperti Hana ini. Inilah akibat dari memberi makan keluarga dari uang haram. Bram bekerja di bank. Dia mendapat gaji dari penghasilan bank yang bersumber dari bunga. Sementara bunga sendiri adalah riba. Padahal uang haram yang masuk ke dalam perut hanya akan jadi bara api.

"Apa kamu melihat saya makan siang berdua? Suci datang untuk minta tolong mengurus akta kematian suaminya dan memberikan kue ini sebagai tanda terima kasih. Hana, jika kamu ingin menuduh saya berzina, sebaiknya kamu berpikir ulang. Apa kamu melihat saya berduaan dengan Suci di sebuah kamar hotel? Saya ada disini. Di restoran yang dipenuhi banyak pelanggan."

Hana hanya diam. Wanita itu kemudian menjauh tanpa basa-basi ketika pelayan memberikan pesanannya.

Dasar wanita tidak sempurna. Memasak saja tidak bisa. Seharusnya dia memasak untuk suaminya bukannya malah menghamburkan uang suami untuk beli lauk matang.

Sepeninggal Hana, kuselesaikan makan siang yang tertunda. Lalu pergi ke rumah emak untuk memberikan kue brownies ini dan menjemput Syifa.

****

"Assalamualaikum, Mak."

"Lal ... anakmu rewelnya minta ampun. Lepas dikit dari gendongan langsung nangis. Apa istrimu gak bisa ajari dia sejak dini biar jadi anak yang pintar?"

Bukannya menjawab salam, Emak langsung ngomel-ngomel.

"Iya nih, Bang! Anakmu dari tadi nangis terus. Aku yang pusing mikiri outif buat ngampus jadi tambah pusing, kan. Dulu aja aku gak nangisan kayak gini. Pasti istrimu gak becus ngurus anak makanya anakmu bentukannya kayak gini!" Dewi ikut menambahkan dengan wajah sebal. Kulihat adikku tampak sangat marah.

"Hilal minta maaf, Mak. Tadi Hilal emang sengaja antar Syifa kesini soalnya Toybah belanja kepasar beli gamis baru buat keacara walimah."

"Lah? Ada duit dong! Mana jatah Emak?" tangan Emak langsung terulur. Mana tega aku menahan-nahan rezeki untuk wanita yang sudah melahirkanku. Kuberi lima lembar uang berwarna merah ke tangan emak. Dewi langsung saja berdiri di depanku sambil berkacak pinggang.

"Jatah buat Emak aja nih? Buat aku mana, Bang? Keperluanku banyak loh. Aku juga butuh duit buat nongkrong sama teman-teman. Kalau nggak gini ya pasti dikeluarkan dari circle dan malah gak punya teman lagi."

Kukeluarkan dua lembar merah untuk adikku tersayang. Meski sebenarnya aku tidak mengerti mengapa remaja seusia Dewi sangat memuja tempat tongkrongan dan teman-temannya. Tapi biar saja. Toh, dia masih muda.

"Nah, gitu dong! Jangan cuma istri aja yang dimanja dikasih ini itu segala macam. Emak juga wajib. Kamu tahukan surga ada ditelapak kaki siapa?"

"Hilal tahu, Mak ...."

"Baguslah. Pokoknya kamu itu sampai mati wajib tunduk patuh sama semua perintah Emak. Bukan istri kamu. Ingat! Istri kamu cuma orang lain yang tidak sengaja kamu pelihara. Paham?"

Malas mendengar ceramah emak yang ujung-ujungnya sama saja. Menikah lagi. Sebenarnya aku tidak pernah memiliki niat menduakan Toybah. Dia istri yang patuh dan taat padaku. Meski aku kadang tergoda juga melihat wanita seksi yang tidak sengaja melintas atau berpapasan. Tapi mereka semua seperti angin lalu yang muncul hanya sesaat dan lenyap seketika tanpa meninggalkan jejak apa-apa.

"Emak tahu kenapa kamu senyum, Lal. Sudah ada calonnya?" Tanya Emak dengan wajah sumringah. Kali ini emak menang. Dia tidak perlu membujukku untuk menikah lagi. Aku sendiri yang menginginkannya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status