"Nak .... mama senang banget. Akhirnya tahun ini bisa juga makan daging qurban. Rasanya enak banget, Nak. Beda sama daging yang mama pungut disampah bekas orang tadi."
Aku bercerita pada putriku. Dia hanya bisa mengoceh sambil memberi senyum terbaiknya. Anakku... meski kamu belum bisa bicara, aku tahu kamu mengerti apa yang aku katakan."Jangan sampai ayah tahu ya, Nak kalau mama cerita sama kamu. Nanti mama dipukul sama ayah." Sambungku. Syifa tertawa. Dia lebih peduli dengan mainan yang dipegangnya dibanding ceritaku. Anakku yang manis. Semoga kelak engkau menjadi anak yang berbakti pada orang tua dan menjadi alasan untukku tersenyum.***Kesabaran akan membuahkan hasil yang manis meski bersabar saat ujian mendera, rasanya sangat pahit. Akhirnya aku mendapat hadiah atas kesabaranku. Tadi sore aku menyantap sate kambing sendirian diam-diam dan sekarang Mas Hilak pulang membawa banyak makanan."Ini buat kamu, istriku. Makan yang banyak, ya. Kuperhatikan badan kamu kurus banget sekarang. Muka kamu juga kusam."Mas Hilal duduk di sebelahku. Dia memberikan satu kantong plastik penuh makanan. Ada empat kotak makanan berisi nasi goreng dan ayam bakar. Selain itu, ada sepuluh resoles daging ayam yang rasanya sangat lezat."Kamu isi kajian dimana, Mas?""Dimasjid Al-Falah. Kampung sebelah. Tapi bukan masjid yang biasanya. Masjid baru. Kebetulan ada warganya yang lagi adakan selamatan. Jadi Mas sekalian isi kajian buat selamatan juga. Alhamdulillah dikasih amplop lumayan tebal."Mas Hilal menunjukkan amplopnya padaku. Aku tidak mengambilnya. Itu bukan hakku. Lagipula, suamiku mendidikku untuk tidak bersikap lancang.Mas Hilal membuka amplopnya. Aku menunduk. Berusaha sebisa mungkin untuk tidak melihat dan mengetahui nominal uang yang dimiliki suamiku. Mas Hilal memberi empat lembar merah padaku. "Ambil ini buat beli popok Syifa. Dia butuh susu kotak? Kalau butuh aku tambahin lagi seratus.""Syifa sampai sekarang masih minum ASI, Mas. Alhamdulillah anak kita gak rewel. Dia juga sebentar lagi MPASI kan?"Mas Hilal tersenyum. Wajahnya tampan juga kalau moodnya sedang baik. Mas Hilal mengajak Syifa bermain sebentar dan menyuruhku makan.Kuhabiskan makanan ini. Nikmat mana lagi yang tuhan dustakan? Aku kekenyangan hari ini setelah menelam pil pahit. Aku merasa berdosa karena telah kecewa pada suamiku. Mungkin dia tidak bermaksud menghabiskan sate yang dimakannya bersama teman-temannya tadi siang. Mungkin Mas Hilal sudah menyisakan tapi dihabiskan teman-temannya. Lihat saja, dia bahkan membawa pulang nasi berkat dan kuenya untukku. Dia masih menganggapku sebagai istrinya. Cintanya tidak lagi berupa kalimat gombal yang bikin bergetar melainkan sejumput perhatian. Cinta dewasa lebih matang dan logis.Aku merasa berdosa karena menerima pemberian dari tetangga. "Mas ... aku minta maaf ya. Selama ini aku gagal jadi istri yang baik buat kamu." Kudekati kaki suamiku dan menciumnya.Mas Hilal diam. Dia tidak menghentikan aksiku mencium kakinya dengan takzim karena memang sudah seharusnya aku begitu. Dimana letak surga seorang istri selain dibawah kaki suaminya?"Tidak apa-apa, Sayang. Mas tahu ilmu agama kamu masih dangkal dan masih banyak cacatnya. Makanya kamu suka membangkang. Tapi Mas minta, kamu harus tetap mau belajar dan dihajar. Mas memukuli kamu juga tanpa alasan. Mas sebenarnya sayang sama kamu. Mas cinta sama kamu. Mas hanya berusaha mengajari kamu menjadi wanita salihah seutuhnya. Wanita yang tunduk patuh apa kata suaminya. Wanita yang menyelamatkan keluarganya dari api neraka. Kamu ingat kisah nabi Ayyub?"Aku menggeleng."Dia memukul istrinya dengan seribu lidi karena telah meninggalkannya dan menjual rambut panjangnya tanpa izin suami. Itulah alasan kenapa Mas menghajar kamu. Mas mau kamu belajar.Mas selalu ridho dengan apa yang kamu lakukan. Mas bisa memaafkan kesalahan kamu hanya setelah menghajar kamu. Kamu paham, Sayang?"Mas Hilal menatapku dalam. Tatapannya penuh nafsu. Aku tahu apa yang dia inginkan. Kulirik bayi kami. Syifa masih terbangun dan asik bermain dengan maianannya. Kupindah Syifa ke kamar tamu. Disana kami meletakkan ranjang bayi. Melayani suami adalah kewajiban meski berada diatas punggung unta. Anak hanya titipan dan tidak bisa dijadikan alasan untuk sebuah penolakan pelayanan.Setelah meletakkan Syifa, kulangkahkan kaki kembali ke kamar. Sambil bersiap menerima permainan brutal. Jika ini menyenangkan suamiku, aku tidak bisa menolaknya.Mas Hilal sudah menunggu dengan ikat pinggang yang akan dia jadikan cambuk ditangannya."Kamu sudah siap?"****Selesai bercinta, hubungan sebagai suami istri biasanya lebih rekat. Mas Hilal pun begitu. Dia memeluk dan mencium tubuhku. Kadang merayu dan memuji."Kamu itu sebenarnya cantik loh, Sayang. Cuma kurang perawatan saja."Ingin rasanya kubahas omongan suamiku tadi siang yang mengatakan kalau pelacur jauh lebih cantik daripada aku. Tapi apa guna memicu pertengkaran?"Jadi gimana, Mas? Apa aku harus beli skincare?"Mas Hilal tertawa. "Aku gak suka punya istri yang terlalu palsu. Kamu tahu, perawatan dan make up bukannya bikin jadi cantik malah bikin jadi burik. Lebih buruk daripada aslinya. Lebih jelek juga. Perempuan seperti itu muka mereka malah kayak badut. Tidak alami. Alis yang sudah ada digundul lagi lalu digambar. Padahal kan ada hadistnya kalau Allah melaknat wanita yang mengikir gigi dan mencabut alis. Kamu mau jadi penghuni neraka selanjutnya?""Sayang uangnya. Lebih baik uangnya digunakan untuk hal yang lebih penting. Kamu tahu sendiri kan kalau kerja di kantor desa gajinya gak seberapa? Kajian ceramahku inilah yang menyelamatkan hidup kita."Mas Hilal mendekapku. Nyaman sekali berada dalam peluknya. Aroma kasturi selalu menyengat hidungku. Aku sesak dan aku hanya bisa diam atau sesekali bernafas lewat mulut. Istri macam apa yang protes dipeluk suaminya? Bisa-bisa Mas Hilal marah lagi."Sayangku ... istriku ... Jauzatiku...."Aku mendongak. "Uang empat ratus ribu itu cukupkan untuk setengah bulan, ya?""A-apa?""Kenapa? Gak bersyukur?""I-iya, Mas. Aku cukupkan sampai setengah bulan." Ternyata begini rasanya tidak punya penghasilan dan kemampuan. Meminta lebih pun rasanya mustahil. Mas Hilal hanya sekretaris desa yang bekerja di balai desa. Dia juga harus memberi ibunya uang dan membiayai adik satu-satunya. Aku tidak boleh tamak dan rakus ingin menguasai suami sendirian."Sayang.""Iya, Mas?" Jawabku tanpa semangat. Bagimana mengelola uang empat ratus ribu dua minggu dan beli popok? Mas Hilal pasti akan marah jika aku tidak memakaikan popok untuk Syifa.Ah, rasanya masih ada daun singkong halaman belakang. Pohon pisang juga ada. Apalagi ya yang bisa dimasak tanpa harus beli?Ayo Toybah ... kamu harus bisa memutar otak!"Tadi aku isi kajian soal poligami. Pas banget sama saran yang Emak kasih tadi sore." Mas Hilal memandangku penuh arti. Tanpa aba-aba, air mataku tumpah sejadi-jadinya."Jadi kamu mau nikah lagi?"Mas Hilal tertawa melihat perubahan air mukaku yang mendadak suram. Dia memelukku tapi kata-katanya menyakitiku. Apa benar kata pepatah lama bahwa racun bisa menjadi obat? Suamiku sering menyakitiku dan dia juga yang menyembuhkan lukanya. Seringkali aku hampir meregang nyawa ditangannya dan dia merawatku dengan baik sampai aku kembali sembuh."Itu yang kamu pikirkan? Hahaha. Sayang ... memangnya kalau aku nikah lagi kamu setuju, hm?"Suara lembut dengan tatapan penuh ancaman membuatku harus mengangguk. "Bukankah kamu pernah bilang kalau istri yang rela dimadu akan mendapat balasan surga?"Mas Hilal mengelus rambutku dengan lembut. Pandangannya menerawang ke dinding. Apa yang dia pikirkan? Apa dia benar-benar ingin menambah istri dalam keadaan ekonomi kami yang serba kekurangan? Apa uang sedikit yang selalu dia berikan padaku harus aku bagi dua dengan adik madu? Empat ratus ribu untuk setengah bulan akan jadi dua ratus ribu untuk setengah bulan? Keterlaluan
POV Ustadz HilalSeharusnya aku menemani istriku pergi ke pasar untuk beli gamis baru. Sayangnya aku baru ingat kalau pagi ini aku sudah ada janji dengan wanita muda yang cantik. Dia seorang janda baru-baru ini. Bukan karena bercerai, melainkan karena suaminya meninggal. Dia tipikal wanita alim idaman yang cantik dengan kerudung menutup dada. Bukan janda pirang dan sejenisnya. "Assalamualaikum, Ustadz .... Maaf saya terlambat. Tadi ban motor saya miris.""Waalaikum Salam, Suci ... Tidak apa-apa. Ayo, kita makan dulu. Kebetulan saya belum makan siang." Kusambut kedatangan wanita cantik itu dengan ramah. Dia ingin mengulurkan tangan dan aku membalasnya dengan tangkupan tangan di depan dada. Seandainya tidak berdosa ... aku ingin lebih dari itu. Astagfirullah ... Sadarlah Hilal! Dia bukan mahrammu. Syaitan memang selalu saja membuat tipu daya. Dan seburuk-buruknya tipu daya adalah tipu daya wanita."Maaf, Ustadz. Saya lupa." Penolakanku membuat Suci tampak tidak enak. Ah, dasar wanita
Aku berhasil membeli gamis seharga delapan puluh lima ribu dipasar. Gamis ini memang tampak sederhana. Tapi aku suka dengan motifnya. Berlatar hitam dengan bunga sakura pink kecil-kecil. Mas Hilal selalu menyuruhku membeli pakaian hitam. Dia tidak pernah membuatku tampak mencolok. Menurut suamiku, istri hanya boleh meminta perhatian pada suaminya. Bukan orang lain. Kusimpan uang lima belas ribu. Meski taat begini, diam-diam aku juga membangkang. Aku sudah mengumpulkan beberapa ratus ribu dalam dua tahun ini. Ketika belum menikah, aku ingat pesan dari guruku. Perempuan harus pandai menyimpan uang. Kita tidak tahu kapan suami meninggal atau hilang kepelukan wanita lain. Bergantung boleh, tapi jangan terlalu. Jadilah aku menyeludupkan dua atau tiga ribu rupiah dari uang nafkah. Kalau sedang beruntung, aku bisa menabung banyak. Seperti sekarang. Lima belas ribu rupiah untuk ditabung adalah uang yang sangat banyak. "Mas ... cantikkan?" Aku berputar di depan suamiku yang membawa masuk put
Di acara walimah, suamiku disambut layaknya raja dari negeri seberang. Dia begitu dihormati orang-orang. Semua ingin mencium tangannya. Namun Mas Hilal tidak menerima ciuman tangan. Dia menganggap semua orang setara dengan dirinya. "Jangan anggap saya lebih tinggi dari kalian ya .... Saya juga manusia yang punya banyak salah dosa. Jangan cium tangan saya bapak-bapak ... Kalian lebih tua dari saya. Dimana adab saya?"Mas Hilal terus menerus mengulang kata-katanya sambil tersenyum. Sementara aku terus berada dibalik punggungnya. Mengamati dibalik masker hitam. Tidak ada yang memperhatikanku karena mengira aku hanya orang asing yang menguntit. Suami benar-benar memperlakukan orang disekelilingnya dengan lembut. Langkah kami menuju mempelai pengantin di pelaminan juga menjadi sangat lambat karena banyak yang ingin bicara dengan Mas Hilal. Akhirnya kami sampai juga dipelaminan. Mas Hilal mengucapkan selamat dan mendoakan pernikahan sang mempelai pria yang merupakan jamaahnya agar selalu
POV Ustadz Hilal"Gimana menurut Emak?"Aku akhirnya tidak tahan lagi. Kedekatan kami semakin lama semakin membuatku gelisah. Apalagi Suci selalu mengirim pesan untuk mengingatkanku agar tidak lupa makan siang. Dia benar-benar wanita yang perhatian. Emak mengukur-ukur dari sudut pandangnya. Ini pernikahan kedua dan menantu kedua emak tentulah yang sesuai dengan kriterianya. "Memangnya dia punya apa?""Kecantikan tidak penting disini. Jika dia kaya, dia bisa cantik. Satu lagi, dia juga harus bukan wanita yang pintar. Kalau dia pintar, maka dia yang akan memimpin." Emak mulai mengajariku. Memberi petuah dan bayangan bagaimana aku bisa bersikap. "Dia kaya, Mak. Dia janda muda. Suaminya meninggal. Dia punya bisnis toko kue dan laundri. Ibunya juga seorang janda. Pegawai negeri dan kerja jadi gurup tetap disekolah dasar.""Gaji UMR!" Emak mencibir. Tapi sekejap kemudian tangannya melambai," Ambil saja. Tak apa. Lebih baik daripada tidak sama sekali dan cuma duduk manis dirumah kaya istr
POV Ustadz Hilal"Awas saja kalau air mata kamu jatuh. Kucekik anakmu!" Kubisikkan ancaman ditelinga istriku yang memakai pakaian serba hitam dihari pernikahanku. Aku memakai pakaian serba putih. Emak dan Dewi juga. Hanya Toybah yang berbeda. Istri bodoh ini datang kepernikahan suaminya dengan pakaian berkabung. Apa dia pikir pernikahanku akan diadakan di pemakaman?Mobil yang kusewa terus melaju menuju rumah Suci. Walimah pernikahan sedernana kami akan diadakan disana. Aku tidak sabar untuk malam pertama dengan janda seksi yang cantik itu. Jauh berbeda dengan wanita disebelahku yang kurus kering dengan tubuh seperti papan. "Toybah! Bawa seserahan ini masuk ke dalam. Ibu sibuk mau video Hilal." Ibu mertua langsung meletakkan kotak seserahan ditanganku. Syifa ada dipangkuan Dewi. Adik iparku tampak tidak senang mengasuh keponakannya. Namun kali ini dia memilih diam saja. Tidak banyak protes seperti biasanya.Sebelum keluar dari mobil, Mas Hilal menahan tanganku. Wajahnya yang tampan
"Buka baju kamu cepat!""Mas ... ini hari raya," Ucapku dengan wajah memelas. Berharap belas kasihan suamiku. Kulirik bayi kami yang masih berusia sebelah bulan. Dia sedang terlelap setelah puas menangis karena air susuku tak kunjung keluar. Suara takbir menggema di luar. Menyeru kaum muslimin merayakan kemenangan."Kamu akan dilaknat malaikat kalau berani menolak ajakan suami!" Sebuah tendangan mendarat ke punggungku. Tidak ada yang bisa kulakukan selain menghela nafas panjang ketika suamiku melucuti semua pakaianku.***Setelah menuntaskan hajatnya dengan brutal, suamiku langsung memakai pakaiannya. "Kamu mau kemana, Mas?""Kemana lagi? Ya ke lapangan lah! Kambingku ada tiga ekor disana."Rasa sakit hati tadi berubah menjadi secercah harapan. Akhirnya ... setelah setahun lebih aku bisa menikmati daging yang empuk lagi setelah setiap hari hanya makan tahu, tempe dan sayuran yang kupetik dari halaman belakang."Kamu berqurban, Mas?" Meski suamiku tidak mencukupiku dirumah, aku tida
"Bangun kamu! Sudah subuh!"Tendangan di wajah, membuatku terbangun. Remuk rasanya tubuh ringkih ini. Ternyata semalaman aku tidur dilantai yang dingin. Syifa! Ah, putriku pasti baik-baik saja. Suamiku sangat menyayanginya. Dia pasti telah memberi anak kami susu sewaktu aku pingsan."Sholat subuh cepat," Ucap Mas Hilal. Aku mengangguk dan bergegas pergi kebelakang untuk mengambil air wudhu sebelum suamiku kalap lagi. Tetesan air dingin membuat tubuhku yang sakit menjadi ngilu. Berkali-kali ringisan terdengar. Suara mengeram terdengar dibelakang. Mas Hilal memantau.Setelah aku siap dengan mukena, Mas Hilal keluar. Dia memang imam masjid di kampung ini. Sebelum pergi, suamiku mencium putri kami sebentar. Aku merasa dimasa depan, anakku tidak akan kekurangan kasih sayang seperti aku. Suamiku tidak akan mungkin memperlakukannya seperti dia memperlakukanku. Setiap aku minta dengan penuh permohonan, selalu saja keluar kata-kata yang sama dari mulutnya."Aku begini karena ingin mendidik