Share

Bab 3. Uang Dari Mana?

‘Arka, Hana dan Kiano adalah anak yang baik, tapi nasib mereka yang tidak baik terlahir dari rahim seorang perempuan miskin sepertiku,’ batin Mira dengan mata berkaca-kaca.

Mira sudah tak kuasa menahan pilu yang seakan tak henti menerpa hidupnya. Ia menghentikan langkahnya, lalu berjongkok memeluk ketiga anaknya itu.

“Maafin Ibu yang belum bisa membahagiakan kalian.”

Hana dan Arka saling pandang.

“Ibu nggak salah, Arka sayang Ibu.”

“Hana juga sayang Ibu.”

“Eno uda tayang, mbu,” ucap Kiano tiba-tiba.

Mendengar ucapan Kiano membuat Mira dan kedua anaknya itu seketika terkejut. Itu adalah kata yang pertama keluar dari mulut bocah kecil itu setelah sekian lama seolah enggan berbicara.

Meski awalnya hati terasa pilu, sikap sederhana dari Kiano benar-benar membuat mereka merasa bahagia dan seakan lupa dengan apa yang terjadi sebelumnya.

Beberapa jam berlalu, saat Mira masih bekerja sebagai buruh cuci tiba-tiba Raka datang sambil berteriak memanggilnya.

“Mira, Mas ada kabar baik. Ayo kita pulang dulu!” ajak Raka yang wajahnya terlihat begitu sumringah.

Mira yang sedang menjemur pakaian pun terlihat kebingungan, beruntung saat itu ia sudah menyelesaikan semua pekerjaannya, sehingga bisa langsung pamit pulang setelah selesai menjemur.

Mira pun lantas membawa ketiga anaknya dengan tergesa-gesa. Hingga saat sampai di rumah, betapa terkejutnya mereka ketika melihat apa yang Raka tunjukan.

“Mas, apa ini?” tanya Mira seraya mengerutkan alis.

Arka dan Hana yang sudah paham dengan situasi tersebut pun tak kalah penasaran. Kedua bocah itu sampai tak berkedip menunggu jawaban sang ayah.

Sebuah amplop yang cukup tebal di atas meja itu sekilas saja sudah ketahuan jika isinya adalah u4ng. Hal yang sangat jarang sekali Mira dan keluarga kecilnya temui.

“U4ng apa ini, Mas? Apa yang sudah Mas lakukan?” Mira menjadi panik saat Raka terus tersenyum tanpa menjawab pertanyaannya.

“Hayo, tebak. U4ng apa kira-kira?” Raka menggoda istrinya dengan tatapan genit.

Ketiga bocah kecil yang tidak mengerti apa-apa itu lantas hanya bisa memandangi kedua orang tuanya dengan wajah kebingungan.

“Arka pernah lihat orang pegang amplop seperti itu. Mereka bilang isinya u4ng. Apa amplop ayah juga isinya u4ng?” Mendadak mata Arka berbinar. “Apa sekarang kita jadi orang k4ya, Ayah?”

Raka tertawa geli melihat tingkah anaknya. Bagaimanapun anak pertamanya memang sering mengoceh ingin menjadi orang kaya.

“Meski banyak tapi u4ng ini tidak membuat kita menjadi kaya. Tapi, kalian boleh jajan sepuasnya di warung Mbak Yun!” ujar Raka dengan begitu bersemangat.

Hana dan Arka pun seketika saling pandang.

“Jajan?” ucap kedua bocah itu serentak. “Ye, akhirnya kita bisa jajan, ye!”

Arka dan Hana melompat-lompat kegirangan dan dengan lugunya Kiano malah meniru kedua kakaknya itu.

“Jan, ee, jan,” oceh Kiano yang membeo ucapan kakaknya.

Sontak keluarga kecil itu pun tertawa melihat tingkah menggemaskan dari si bungsu yang baru saja belajar berbicara itu.

“kalau begitu Arka ajak adik-adik jajan ya, masing-masing lima r!bu.” Mira mengusap lembut rambut Arka.

Lagi-lagi Arka dan Hana saling pandang.

“Lima r!bu? Banyak sekali, akhirnya kita bisa jajan, Hana,” teriak Arka sambil memeluk adiknya.

Arka pun lantas menuntun Hana dan Kiano untuk menuju warung yang jaraknya tidak terlalu jauh, hanya terhalang tiga rumah saja.

Perginya anak-anak memberi kesempatan bagi Mira dan Raka untuk berbicara lebih dekat tanpa harus merasa canggung.

Raka pun segera memeluk Mira.

“Jadi, u4ang dari mana itu, Mas?”

“Itu u4ng yang mas p!njam dari Pak Dodi, b4yarnya potong gaji.”

“Potong g4ji? B4yaran Mas saja hanya cukup untuk makan sehari, kenapa harus p!njam u4ng segala?” Mira tampak kesal pada suaminya itu. Ia segera melepaskan pelukan sang suami.

Raka semakin gemas melihat istrinya yang marah, dengan cepat menyambar pipi Mira, lalu mencubitnya.

“Nanti malam Mas berangkat keluar negeri. Meskipun cuma jadi kuli bangunan tapi g4jinya bisa buat memperbaiki kehidupan kita sekarang.” Raka kini mengusap lembut rambut Mira.

“Luar negri?” Mira terkejut, tanpa sadar langsung memeluk erat sang suami. “Tapi itu sangat jauh, Mas. Bagaimana denganku dan anak-anak?”

Raka menghela napas panjang. Bukan ia tak sayang anak istri, tetapi hanya itulah cara yang terpikirkan agar bisa membahagiakan keluarga kecilnya.

“Mas pengen Arka, Hana dan Kiano bisa jajan kayak anak-anak lain. Kalian bisa makan-makanan layak. Mas juga pengen sekali membelikan kamu make up, perhiasan dan baju biar kayak perempuan lain.”

Entah kenapa ucapan yang seharusnya memberikan rasa bahagia itu malah terasa menyesakkan dada. Meski Mira ingin selalu berada di dekat sang suami, tetapi ia juga tidak ingin egois dan memilih mengorbankan perasaannya agar kehidupan anak-anak kelak bisa jauh lebih baik.

“Mir, kamu nangis?” Raka memegangi kedua pipi Mira, lalu menatap lekat.

“Nggak, cuma kelilipan.”

“Jangan sedih, Mas usahakan pulang setahun sekali.”

Lagi-lagi ucapan Raka begitu menyesakkan. Satu tahun? Rasanya itu terlalu lama, tetapi mau bagaimana lagi semua demi anak-anak.

Di tengah perbincangan sekilas Raka mendengar tangisan Hana, yang dari kejauhan saja sudah begitu jelas. Pria itu pun buru-buru keluar rumah saking mencemaskan sang anak.

“Ada apa Hana?” Raka berjongkok di depan sang anak.

Hana terus menangis dan hanya menggelengkan kepala. Bocah itu seakan enggan berbicara dan malah terus melirik Raka.

“Kita nggak jadi jajan, Ayah,” jawab Raka yang matanya tampak berkaca-kaca.

“Loh, memangnya kenapa?” Raka mengerutkan alis.

“Arka dituduh mencuri, Mbak Yun nggak bolehin kita jajan di sana.” Arka mulai mengusap mata, tetapi masih berusaha menyembunyikan kesedihannya.

Raka hanya bisa menghela napas. Memang selama ini dirinya tak memiliki u4ng, tapi bukan berarti saat memiliki u4ng adalah hasil mencuri.

“Ya sudah, kita jajan ke warung lain saja. Tapi Arka kuat kan jalan jauh?”

Hana berhenti menangis, sedangkan Arka kini tampak tersenyum bahagia, bahkan bocah itu mengangguk dengan sangat bersemangat.

“Kalau begitu, let's go.” Raka langsung menggendong Kiano sambil berlari kecil, kemudian disusul oleh Hana dan Arka sambil tertawa-tawa.

Mira yang menyaksikan dari ambang pintu hanya bisa menahan sesak. Momen manis itu entah kapan akan mereka rasakan lagi.

Menjelang malam setelah berpamitan pada anak-anak, Raka pun diantar keluar oleh Mira. Sebelum pergi pria itu beberapa kali memeluk Mira dan anak-anak seperti tidak rela untuk pergi.

“Jaga anak-anak ya, Sayang. Mas pasti akan membahagiakan kalian.” Raka mengecup kening Mira dengan penuh kasih sayang.

Mira dan ketiga anaknya melambai mengiringi perginya sang kepala keluarga yang begitu dicintai.

Hingga saat pagi hari sesuatu yang tak terduga pun terjadi, rumah Mira didatangi polisi. Para warga yang penasaran tampak berkumpul, memantau dari kejauhan.

“Permisi, apa benar ini dengan rumah Pak Raka?” tanya salah satu polisi.

Mira yang baru saja membukakan pintu lantas mendadak berdebar tak karuan. Ia merasakan sebuah firasat buruk akan kedatangan polisi tersebut.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status